Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jordan L. Budiyono
Abstrak :
Kecenderungan meninggalkan Tema dan bentuk-bentuk tradisional dan mengadakan berbagai eksperimen merupakan fenomena menyolok dalam perkembangan puisi modern Di Inggris misalnya, William Butler Yeats (1865-1939) ikut memenuhi tuntutan perubahan selera atas bahasa puisi dengan memanfaatkan teknik penulisan epigram (epigramme) yaitu penggunaan kalimat-kalimat ringkas tetapi terpilih ketat dan hemat, dalam bahasa sehari-hari yang sederhana dan mudah di pahami. Di Prancis, Guillaume Apollinaire {1880-1918) kembali kepada bentuk-bentuk sajak berpola (calligramme), yaitu teknik penulisan sajak konkrit dengan memanfaatkan unsur-unsur lihatan (visue]) untuk menunjang bentukan citra yang memperkuat makna tematik sajak. Sajak-sajak konkrit ini pada umuinnya merupakan un_taian kata bermakna yang disusun sedemikian rupa, menyerupai obyek-obyek tertentu. Sajak-sajak Coeur couronne et miroir. (Jantung Bermahkota dan Cermin) , La Cravate et la montre (Dasi dan Jam), II pleut (Hujan) dan Jet d'eau (Air Mancur) dalam kumpulan Celligrammes, masing_-masing memiliki tipografik yang menyerupai bentuk-bentuk jantung, mahkota dan cermin; dasi dan jam; Tetes-tetes air hujan; dan air mancur (Apo11inaire, 1925:46-70).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1986
S14123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evie Djuhanda
Abstrak :
Penelitian mengenai Novel OtoKarya Dazai Osamu telah dilakukan melalui riset kepustakaan sejak bulan Agustus 1989 sampai dengan bulan April 1990. Tujuannya adalah untuk membuktikan karya tersebut sebagai Novel Keluarga (Katei Shosetsu) dan untuk mengetahui sejauh mana kaitan yang ada antara novel tersebut dengan realitas kehidupan pengarang (Dazai Osamu). Novel Oto (buah ceri) yang dibahas dalam skripsi ini adalah jelas mengangkat persoalan keluarga, terutama peran suami selaku kepala keluarga yang diungkapkan melalui kon_flik kejiwaan antar tokoh utamanya, yaitu suami dan isteri dengan melibatkan anak-anak mereka sebagai kambing hitam. Novel ini juga menggambarkan pemikiran Dazai Osamu tentang peran dan tanggungjawab orang-tua. Dia mengatakan bahwa di dalam keluarga orang-tua lebih penting dari anak_-anak dan ini bertentangan dengan pendapat Yamanoue No Okura yang justru berpendapat bahwa anak-anak lebih penting dari orang-tua. Lalu, buah ceri yang dipakai oleh Dazai untuk judul karyanya, dijadikan simbol untuk mengungkapkan semua permasalahan di atas. Kemudian, kaitan antara novel ini dengan realitas kehidupan pengarangnya, jelas sekali. Bahkan hampir tidak ada perbedaan antar isi cerita dalam novel ini dengan kehi_dupan Dazai beberapa tahun menjelang kematiannya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S13646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmina Kusuma Dewi
Abstrak :
Pandangan umum tentang ciri-ciri khas manusia Jepang telah banyak ditinjau dari berbagai sudut. Dalam penulisan skripsi ini, penulis bermaksud mengungkapkan ciri-ciri khas manusia Jepang ditinjau dari sudut tingkah laku dan cara berfikir orang Jepang. Untuk itu penulis memusatkan perhatian pada sebuah buku karangan Isaiah Bendasan yang berjudul Nihon Jin To Yudaya Jin (orang Jepang dan orang Yahudi). Buku ini adalah sebuah buku yang sangat terkenal di Jepang yang isinya banyak mengungkapkan tingkah laku dan cara berfikir orang Jepang yang dibandingkannya dengan ornag Yahudi. Misalnya bagaimana sikap manusia Jepang dalam menghargai nilai air, kebebasan, rasa aman dan pandangan orang Jepang terrhadap waktu dan lain-lain.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilma Sawindra Janti
Abstrak :
Skripsi ini membahas mencoba untuk membahas kebudayaan Jepang dari sudut iklim, yang didasarkan atas tulisan seorang fisuf terkenal di Jepang yaitu Watsuji Tetsuro. Ia menulis tentang iklim yang terangkum dalam karangannya yang berjudul Fudo atau iklim pada tahun 1978. Setelah membaca buku tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hubungan antara iklim dan karakter manusia dari suatu daerah tertentu
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13577
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Meirawati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan membahas tentang proses pembentukan agama Shinto yang dianggap sebagai agama asli bangsa Jepang dan menemukan ciri-ciri khas yang dimilikinya serta peran yang dimainkannya sebagai salah satu sistim keyakinan orang Jepang untuk memahami manusia Jepang. Metode penelitian yang dipakai ialah metode kepustakaan, terutama memusatkan perhatian pada buku yang berjudul Kokka Shinto (Shinto Negara) yang merupakan hasil karya Murakami Shigeyoshi setelah Perang Dunia ke II, yaitu tahun 1971. Dari hasil penelitian, penulis berkesimpulan bahwa agama Shinto yang terbentuk di dalam masyarakat Jepang dewasa ini, pada dasarnya berasal dari Jinja Shinto yang dikategorikan sebagai agama di dalam masyarakat primitif Jepang. Dimulai pada jaman Yayoi dengan timbulnya petani yang mengerjakan sawahnya secara menetap di dataran yang relatif agak tinggi dan di lereng pegunungan maka terbentuklah kelompok masyarakat. Kelompok ini mulai menyelenggarakan ritus-ritus dengan tujuan untuk mengharapkan panen yang merlimpah. Selain itu mereka sudah mulai mengenal sistim organisasi karena adanya pembagian kerja untuk menyelenggarakan ritus-ritus tersebut dan penyelenggaraan ritus-ritus dikerjakan secara bersama-sama didalam kelompok. Akibatnya terwujudlah suatu kelompok masyarakat dengan keistimewaan tertentu, yakni menjadi satunya kelompok agama dan masyarakat. Dengan adanya faktor ini maka Jinja Shinto digolongkan sebagai suatu agama bangsa. Jinja Shinto juga mempunyai ciri khas tertentu dimana agama ini menyesuaikan tingkatan tahap asal mulanya sejarah atau dapat dikatakan bahwa Jinja Shinto selalu rnengikuti perkembangan sejarah, dalam arti tidak pernah berubah secara esensial sifat-sifatnya yakni menyelenggarakan ritus-ritus kaluarga dan daerah. Selain itu Jinja Shinto manpu memegang teguh ciri khas agama bangsa. Agama ini tidak menyebar ke luar masyarakat Jepang karena ditunjang oleh beberapa faktor, antara lain letak geografi Jepang di daerah yang dibatasi oleh laut juga ditunjang oleh keadaan di dalam masyarakat Jepang sendiri yang mempunyai kesatuan bangsa dan bahasa. Hal ini dapat dilihat hahwa kenyataannya masyarakat Jepang hingga saat ini tetap mempertahankan tradisi yakni, menyelenggarakan matsuri-matsuri dengan berbagai tujuan di dalam kehidupan mereka.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S11201
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sauliah
Abstrak :
Setelah melewati periode Nara ( abad ke-7 s/d _abad ke-8), maka periode sejarah Jepang selanjutnya disebut dengan periode zaman Heian (abad ke-8 s/d abad ke-12). Di Taman Heian kaum kizoku atau bang_sawan lebih banyak berperan, baik di kalangan pemerin_tahan maupun di dalam lingkungan masyarakat ketika itu. Istilah kizoku di dalam bahasa Indonesia seca_ra harafiah berarti bangsawan. Oleh karena itu untuk,selanjutnya penulis akan menggunakan istilah bangsawan untuk istilah kizoku. Dan selanjutnya penulis akan me_nuangkan serta menguraikan permasalahan kaum, bangsawan di zaman Heian di dalam skripsi ini. Di zaman Heian, kaum bangsawan memberikan suatu bentuk kebudayaan yang memiliki ciri khas tertentu. Inilah yang menjadi motivasi bagi penulis untuk menco_ba membahas tentang kaum bangsawan serta kebudayaannya di zaman ini, karena menurut hemat penulis kaum bangsa wan di zaman Heinan tampaknya lebih dominan dari rakyat pada umumnya. Motivasi ini diperkuat lagi setelah pe_nulis membaca beberapa artikel dari buku Sejarah Jepang yang berjudul Heian Kizoku, jilid ke-3 dari buku Nihon no Rekishi, terbitan Tokubai Shinbunsha yang lebih banyak menceritakan kehidupan kaum bangsawan serta hasil-hasil budayanya yang muncul ketika itu yang berbeda dari masa sebelumnya. Kaum bangsawan di zaman Heian melambangkan kejayaan kalangan kuge pada umumnya di masa itu. Istilah kuge identik dengan apa yang disebut kizoku atau seca_ra harafiahnya adalah kaum bangsawan. Namun istilah ini kurang beruntung karena istilah kizoku lebih dorr.inan digunakan di dalam tulisan-tulisan tentang sejarah Je_pang, khususnya sejarah periode Heian. Sehingga di dalam penulisan skripsi ini, istilah kaum bangsawan yang akan digunakan bukan hanya mengacu kepada pengertian kizoku melainkan juga berarti kuge. Kehidupan kaum bangsawan di zaman Heian penuh dengan kemewahan dan dapat dinilai menyaingi atau meng-imbangi taraf hidup keluarga kaisar. Selain secara po_litis mereka erat kaitannya dengan pihak kaisar, mere_ka juga merasa memiliki hubungan yang erat atau khusus dengan pihak kaisar. Hal ini diperkuat lagi dengan a danya jalinan perkawinan puteri-puteri kaum bangsawan dengan putera-putera keturunan kaisar. Di dalam pemerintahan, kaum bangsawan banyak rnemegang jabatan-jabatan panting. Pada masa awal Heian ini, sistim pemerintahan masih mengikuti sistim Cina yaitu berpegang pada sistim ritsuryo dimana penyeleng_gara pemerintahan dengan pimpinan tertinggi terletak di tangan kaisar. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa zaman Heian dan kebudayaannya memiliki ciri khas tersendiri dan ciri ini ditandai dengan budaya yang serba mewah. Sebagai suatu bukti dari ciri kemewahan tersebut dapat kita lihat dalam suatu upacara memajang seperangkat boneka yang dihias dengan mewah yang melambangkan kemewahan kehidupan dari kaum bangsawan ketika itu. Upacara atau festival seperti ini di jepang dikenal dengan nama hina matsuri.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Setyasih
Abstrak :
Selain mempelajari bahasa Jepang, penulis juga merasa perlu untuk mengetahui lebih lanjut dan memahami lebih dalam lagi bahasa Jepang. Penulis merasa perlu mempelajari gambaran yang jelas mengenai teori penterjemahan khususnya penterjemahan kata kerja iku, kuru, dan kata bantu kata kerja shite-iku, shite kuru, ke dalam bahasa Indonesia yang sering ditemui dalam bahasa Jepang sehari-hari baik lisan maupun tulisan. Metode penelitian kepustakaan baik yang mengandung kalimat-kalimat iku, kuru, shite iku, shite kuru yang terdapat dalam buku pelajaran bahasa Jepang dan novel karya Yasunari Kawabata. Di dalam penterjemahan yang penting kita dapat memahami amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh buku ke dalam bahasa tanpa pengaruh oleh struktur bahasanya. Begitu pula dengan menterjemahkan iku, kuru, shite iku, shite kuru ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu kita harus mengetahui makna inti dari kalimat atau wacana yang mengandung keempat kata tersebut, sehingga dalam penterjemahan akan diperoleh suatu padanan terjemahan yang wajar dan lazim dipakai dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Hartati
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13880
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tabah Helmi
Abstrak :
Ketika Jepang memasuki kancah Perang Dunia II, mi_literisme Jepang memberikan dampak negatif pada segala as_pek kehidupan bangsa Jepang. Rakyat terpaksa mengalami de_presi dan penderitaan untuk mempertahankan eksistensi da_lam suasana yang kian tidak menentu. Kehancuran moralitas melanda dan memasuki sendi-sendi kejiwaan bangsa Jepang. Tidak terkecuali pada bidang politik maupun ekonomi, deka-densi moral telah merusakkan hubungan sosial, baik dalam skala yang kecil maupun yang besar. Dalam sambutan cetakan kedua pada buku karya Daisetsu Suzuki' 'Nihonteki Reiseit ( spiritualisme Jepang ] 1943-, Ia mengemukakan adanya tiga unsur yang memprakar_sai munculnya militerisme Jepang. Antara lain adalah :1. K1ik-klik dalam organisasi militer. 2. Birokrat-birokrat pemerintahan. 3. Konglomelasi perusahaan-perusahaan (Kapitalis Je pang/Gumbatsu - Zaib_atsu). Tiga unsur tersebut di atas dikatakan sebagai penyebab ke_bobrokan dalam tubuh pemerintahan Jepang.. Apa yang diba_ngun dengan hanya mengandalkan kekuatan fisik, tidak akan berlangsung lama, demikian dikemukakan oleh Suzuki. Seba_gai konsekuensi, kerusuhan dalam tubuh intern akan menjadi problema yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Suzuki juga menyalahkan peranan para ilmuwan yang berkecimpung mempelajari sejarah bangsa kuno. Dikatakan, bahwa mereka tidak menggunakan metode ilmiah dengan pendekatan filosofis maupun religius. Para ilmuwan tersebut berpandangan orthodok dan rigid, membendung seti_ap perlawanan baik berbentuk opini maupun kritik dengan kekuatan yang dimilikinya. Simbol kekuatan ini adalah mi_literisme, imperialisme dan fasisme. Menurut Suzuki, me_reka yang berpikiran dangkal, bodoh dan ekstrim, mengibar_kan bendera ideologi Shinto lalu meracuni dan mendoktrin rakyat, agar dapat diperbudaknya. Di bawah pengawasan yang ketat, hak-hak azasi rakyat dirampas begitu saja. Kokka Shinto (Shinto Negara) dan kesadaran yang primitif, dilestarikan sebagai pemersatu rakyat dalam membina status quo rejim penguasa. Pada pihak lain Shinto Negara ikutmenyembah nenek moyang yang telah berjasa dalam mene--ruskan sistem militerisme Jepang, ikut menyembah dewa-dewa yang tidak memiliki dasar pijakan agama tertentu, juga me_neruskan praktek-praktek pemujaan pada benda-benda berhala. Lama-kelamaan kekuatan politik atau negara memperalat dan menjadikan Shinto sebagai mediator untuk menekan rakyat Jepang. Anehnya, para penganut Buddha justru memejamkan ma_ta untuk tidak memperhatikan kenyataan itu. Mereka hanya berlindung di balik jubah para penguasa. Mereka berkom_promi dengan agama Negara yaitu Shinto. Hal ini terpaksa mereka lakukan agar dapat mempertahankan eksistensi agama Buddha di kepulauan Jepang. Seiring dengan naiknya pamor militerisme, mereka ikut merembuk memikirkan tentang fasisme, mitologi dewa matahari, Buddhisme di kalangan kekaisaran dan lain-lain. Dengan demikian mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengambil simpati para penguasa. Suzuki Daisetsu yakin bahwa kekacauan yang melandaJepang itu disebabkan oleh kurangnya pendalaman kesadaranreisei (spiritualitas) bangsa Jepang. Ia merasa didesakuntuk menjawab tantangan itu dengan cara memperkenalkanidentitas asli Jepang, identitas keagamaan Jepang pada dunia luar. Dengan demikian Suzuki mengharapkan akan muncul nya manusia-manusia Jepang yang membangunkan kesadaran Raisei yang ada pada dirinya, lalu menyebarkan benih-benih dan internasionalisme yang terkandung dalam Reisei Jepang.Dalam karyanya 'Nihonteki Reisei' (1943), Suzuki Daisetsu mencoba menuangkan tenaga dan pikiran, untuk mewujudkan gagasannya itu di tengah-tengah berlangsungnya perang Dunia II. Ia adalah seorang pecinta damai yang gigih menentang setiap usaha perang, melalui tulisan kritis dan analitis. Dalam buku tersebut, ia mencoba meramalkan ke_kalahan perang pada pihak Jepang, yang ternyata perkiraan ini menjadi kenyataan setelah dua tahun kemudian.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13898
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library