Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Puspitasari Nachrowi
"ABSTRAK
Latar Belakang. Takiaritmia ventrikel meningkatkan risiko mortalitas pasien infark miokard akut. Salah satu perangkat non invasif untuk stratifikasi risiko aritmia ventrikel pada pasien pasca infark miokard adalah mendeteksi late potentials (LP) pada Signal averaged-electrocardiography (SA-ECG).
Tujuan. Mengetahui prevalensi LP pada pasien infark miokard akut di Indonesia. Mengetahui hubungan antara hipertrofi ventrikel kiri, diabetes mellitus, penurunan eGFR (estimated glomerular filtration rate), penurunan LVEF (left ventricle ejection fraction), riwayat infark miokard sebelumnya, dan ketidakseimbangan elektrolit dengan LP pada pasien infark miokard akut.
Metode. Penelitian dilakukan secara cross sectional di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo selama Desember 2019-April 2020. Semua pasien infark miokard akut dengan segmen QRS <120 ms tanpa anemia gravis, sepsis, penyakit autoimun, keganasan diikutsertakan dalam penelitian. Dilakukan pengambilan rekaman SA-ECG pada 48 jam pertama dan hari ke 5 dari onset nyeri dada. Data hipertrofi ventrikel kiri, diabetes mellitus, penurunan eGFR, penurunan EF, riwayat infark miokard sebelumnya, dan ketidakseimbangan elektrolit diambil dari data rekam medis selama perawatan.
Hasil. Dari 53 subjek, didapatkan prevalensi LP sebesar 34%. Proporsi LP lebih tinggi pada subjek dengan riwayat infark miokard sebelumnya (50% vs 30,2%; p=0,205), hipertrofi ventrikel kiri (37,5% vs 31,0%; p=0,621), diabetes mellitus (35,3% vs 33,3%; p=0,563), penurunan eGFR (40% vs 31,6%; p=0,560), hipokalemia (28,6% vs 15,6%; p=0,555), hiperkalemia (100% vs 31,4%; p=0,111); hipomagnesemia (100% vs 30%; p=0,035), hipokalsemia (41,5% vs 15,4%; p=0,095); dan hipertensi (83,3% vs 19,2%; p=0,026). Pada analisa bivariat, didapatkan perbedaan proporsi LP yang bermakna pada kelompok dengan hipertensi dan kelompok dengan hipomagnesemia. Pada analisa multivariat, didapatkan hipertensi berhubungan dengan late potentials pada pasien dengan infark miokard akut (p=0,031; OR=3,900; IK95%=1,136-13,387).
"
2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Selvi Nafisa Shahab
"Latar Belakang: Bakteri resistan multiobat (MDR) dapat dibawa oleh pasien yang baru masuk perawatan inap dan menjadi sumber penyebaran di rumah sakit hingga menyebabkan. Namun, pemeriksaan deteksi bakteri MDR pada awal perawatan belum menjadi standar. Oleh karena itu, dilakukan pengembangan media cair selektif yang digunakan dalam kultur bakteri untuk mengetahui prevalensi kolonisasi bakteri MDR pada pasien saat admisi rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Untuk mengembangkan media cair selektif, dilakukan uji stabilitas cakram carbapenem. Cakram carbapenem yang paling stabil digunakan untuk suplementasi media cair untuk bakteri batang Gram negatif resistan carbapenem (CR-GNB). Media cair selektif yang digunakan adalah tryptic soy broth (TSB) yang ditambahkan cakram antibiotik yang sesuai dengan bakteri resistan yang akan diperiksa. Media kemudian menjalani uji limit deteksi dan uji spesifisitas. Saat admisi rawat inap, subjek menjalani pengambilan spesimen dan pengisian kuesioner. Spesimen skrining yang digunakan adalah swab tenggorok, swab pusar, swab rektal, swab nasal, dan swab ketiak.
Hasil Penelitian: Berdasarkan hasil uji stabilitas, cakram imipenem adalah yang paling stabil. Media cair selektif yang digunakan untuk CR-GNB, Enterobacterales penghasil beta-lactamase spektrum luas (ESBL-PE), dan Staphylococcus aureus resistan methicillin (MRSA) adalah TSB dengan vancomycin-imipenem (limit deteksi < 1,5×10-1 CFU/mL), vancomycin-cefotaxime (limit deteksi < 1,5×10-1 CFU/mL), dan cefoxitin (limit deteksi 1,5×100 CFU/mL), berurutan. Dari 100 pasien yang diikutsertakan dalam penelitian, prevalensi kolonisasi bakteri MDR saat admisi rawat inap adalah 63%. Faktor yang berhubungan dengan kolonisasi bakteri MDR adalah riwayat penggunaan alat medis invasif dan komorbiditas, sedangkan faktor yang berhubungan dengan kolonisasi CR-GNB adalah riwayat penggunaan antibiotik.
Kesimpulan: Prevalensi kolonisasi bakteri MDR pada pasien saat admisi rawat inap di RSCM tahun 2022 adalah 63% yang berhubungan dengan riwayat penggunaan alat medis invasif dan komorbiditas.

Background: Multidrug-resistant (MDR) bacteria could be carried by newly admitted patients and become a source of spread in the hospital amd causing infections. However, the detection of MDR bacteria on admission has not been a standard. Therefore, we developed selective liquid media to culture MDR bacteria to get the prevalence of MDR bacteria colonization in patients on admission in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: To develop selective liquid media, we performed carbapenem disc stability testing. The most stable carbapenem disc was used to supplement the liquid media in detecting carbapenem-resistant Gram-negative bacilli (CR-GNB). Selective liquid media used for the detection was tryptic soy broth (TSB) with added antibiotics based on the target bacteria. We performed a limit detection test and specificity test on the developed media. While admitted to the hospital, we took samples from subjects and interviewed them to fill out a questionnaire. The specimens used for this study were throat swabs, navel swabs, rectal swabs, nasal swabs, and armpit swabs.
Results: Based on the stability test, imipenem disc was the most stable. Selective media used for CR-GNB, extended-spectrum beta-lactamase-producing Enterobacterales (ESBL-PE), and methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) were TSB with vancomycin-imipenem (detection limit < 1,5×10-1 CFU/mL), vancomycin-cefotaxime (detection limit < 1,5×10-1 CFU/mL), dan cefoxitin (detection limit 1,5×100 CFU/mL), respectively. Of 100 patients included in the study,the prevalence of MDR bacteria colonization on admission was 63%. Factors associated with MDR bacteria colonization were the recent use of invasive medical devices and comorbidity, while a factor associated with CR-GNB colonization was the recent use of antibiotics.
Conclusion: Prevalence of MDR bacteria colonization in patients on admission in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2022 was 63% and was associated with the recent use of invasive medical devices and comorbidity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardy Wildan
"Latar Belakang. Kanker kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga terbanyak di dunia dan memiliki mortalitas yang cukup tinggi terutama bila ditemukan pada stadium lanjut. Kesintasan pasien KKR stadium IV dan faktor yang berhubungan perlu diketahui untuk menentukan perbaikan pada tata laksana KKR. Tujuan. Mengetahui kesintasan satu tahun pasien kanker kolorektal stadium IV serta hubungan usia, lokasi tumor, lokasi metastasis, kemoterapi, terapi target, serta diferensiasi tumor dengan kesintasan dalam satu tahun Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien kanker kolorektal stadium IV yang berobat ke RSCM sejak Januari 2018 hingga Mei 2020. Data pasien dan faktor yang berhubungan diambil dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien pertama kali terdiagnosis stadium IV. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan uji log-rank untuk faktor yang berhubungan. Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 214 subyek dengan kesintasan 1 tahun sebesar 43% dengan median kesintasan 11 bulan. Pasien yang memiliki berat badan kurang [HR 1,495; IK 1,028-2,173; (p=0,035)] dan tidak mendapatkan kemoterapi [HR 4,466; IK 3,027-6,588; (p=<0,001)] merupakan faktor yang bermakna secara statistic terhadap kesintasan satu tahun pasien KKR stadium IV di RSCM. Kesimpulan. Kesintasan satu tahun pasien KKR stadium IV di RSCM hampir sama dengan negara Asia lain. Pemberian kemoterapi dan berat badan kurang memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas KKR stadium IV.
Background. Colorectal cancer is the third most common types of cancer in the world. Colorectal cancer has high mortality especially when found in later stage. The survival and its associated factors should be known to improve the cancer treatment. Objective. This study was undertaken to document one year survival for colorectal cancer and whether age, tumor side, metastatic location, chemotherapy, targeted therapy, and tumor differentiation are associated with one year survival. Methods. This study is a retrospective cohort study. The subjects are stage IV colorectal cancer patients in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo since January 2018-May 2020. Data of patients and its mortality status within one year is documented since the patients diagnosed with stage IV colorectal cancer. Survival was done using Kaplan-Meier method and continued with log-rank test. Result. We collected 214 subjects and 1 year survival rate is 43% with survival median of 11 months. Patients who are underweight [HR 1,495; 95% CI 1,028-2,173; (p=0,035)] and did not received chemotherapy [HR 4,466; 95% CI 3,027-6,588; (p=<0,001)] were associated with one year survival of mCRC in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Conclusion. One year survival for mCRC in RSUPN Cipto Mangunkusumo is similar to other Asian countries. Chemotherapy and underweight were associated with survival in 1 year observation."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Herliyana
"Latar Belakang : Siprofloksasin adalah salah satu antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati ISK yang paling sering disebabkan oleh Escherichia coli. Nilai konsentrasi hambat minimum (KHM)/ minimal inhibitory concentration (MIC) digunakan sebagai uji kepekaan kuantitatif yang rutin dilakukan di laboratorium mikrobiologi. Sehubungan dengan meningkatnya resistensi siprofloksasin pada pasien ISK, perlu dilakukan evaluasi batas ambang uji KHM/MIC sebagai dasar penentuan dosis siprofloksasin sesuai farmakokinetik dan farmakodinamiknya. Dilihat juga riwayat ISK berulang dan penggunaan antibiotika 3 bulan terakhir sebagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya peningkatan nilai KHM/MIC.
Metode : Studi potong lintang dengan eksperimental laboratorium dilakukan pada tahun 2019-2020. Isolasi uropatogen dilakukan pada 106 sampel urin pasien dengan diagnosis klinis ISK yang berobat ke Puskesmas dan RSUD di kota Tangerang Selatan, serta beberapa RS di Jakarta. Uji kepekaan dilakukan dengan melihat nilai KHM/MIC beberapa antibiotik untuk ISK. Selanjutnya dilakukan uji Mutant Prevention Concentration (MPC) siprofloksasin terhadap E. coli, dengan cara menilai konsentrasi siprofloksasin terendah yang mampu membunuh 1010 koloni E. coli yang ditumbuhkan pada agar Mueller-Hinton, yang diinkubasi pada suhu 370C sampai dengan 96 jam. Nilai MPC dibandingkan dengan peningkatan nilai KHM/MIC dan faktor risiko yang mempengaruhinya.
Hasil : Hasil kultur urin ≥100.000 CFU/ml ditemukan pada 95 (89,6%) dari 106 pasien dewasa dengan diagnosis klinis ISK, yang terdiri dari 67,4% perempuan dan 32,6% laki-laki. E. coli merupakan penyebab terbanyak ISK yaitu 58,6%, dengan 36,2% isolat terdeteksi sebagai ESBL. Pola kepekaan siprofloksasin pada E. coli kurang dari 50%, dan lebih rendah lagi pada bakteri ESBL. Mutan E. coli ditemukan di semua isolat yang sensitif, terutama pada nilai KHM/MIC yang berada di batas ambang yang sensitif. Riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir lebih tinggi risikonya dibandingkan riwayat ISK berulang untuk peningkatan nilai KHM/MIC pada mutan E. coli resisten siprofloksasin.
Kesimpulan : Penggunaan siprofloksasin untuk pengobatan ISK harus digunakan secara bijak. Nilai batas ambang sensitif KHM/MIC perlu diturunkan untuk mencegah kegagalan terapi disebabkan keberadaan mutan E. coli resisten siprofloksasin. Riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir dan ISK berulang berisiko untuk peningkatan nilai KHM/MIC pada mutan E. coli resisten siprofloksasin

Background : Ciprofloxacin is one of the most widely used antibiotics to treat the UTIs commonly caused by Escherichia coli. Minimum inhibitory concentration (MIC) value is used as a quantitative susceptibility test, routinely carried out in the microbiology laboratory. Due to the increasing resistance of ciprofloxacin in UTI patients, it is necessary to evaluate the MIC threshold as a basis for determining the dose of ciprofloxacin accordingly to pharmacokinetics and pharmacodynamics. Assessment of recurrent UTI and antibiotic used in the last 3 months is also conducted as risk factors affecting the increase of MIC value.
Methods : A cross-sectional study and laboratory experiments were conducted in 2019-2020. Isolation of uropathogen was conducted on 106 urine samples from patients with a clinical diagnosis of UTI who went to the community health centre and regional hospital in South Tangerang, as well as several hospitals in Jakarta. Susceptibility testing was performed to detect the MIC value of several antibiotics for UTIs. After that, the Mutant Prevention Concentration (MPC) test of ciprofloxacin was carried out against E. coli, by assessing the lowest ciprofloxacin concentration which was able to kill 1010 E. coli colonies grown on Mueller-Hinton agar, incubated at 370C for up to 96 hours. The MPC value is compared with the increasing MIC value and the risk factors that influence it.
Results : Urine culture results of ≥100,000 CFU/ ml were found in 95 (89.6%) of 106 adult patients with a clinical diagnosis of UTI, consisting of 67.4% female and 32.6% male. E. coli was the most common cause of UTI, i.e. 58.6%, including 36.2% of the isolates detected as ESBL. The sensitivity pattern of ciprofloxacin against E. coli was less than 50%, and lower in ESBL bacteria. E. coli mutants were found in all sensitive isolates, especially in isolates with MIC value on the sensitivity threshold. Antibiotics used in the last 3 months had a higher risk than recurrent UTIs for increasing MIC values in E. coli mutants resistant to ciprofloxacin.
Conclusion : The use of ciprofloxacin for the treatment of UTIs must be used wisely. The sensitivity threshold of MIC value should be reduced to prevent treatment failure due to the presence of E. coli mutants resistant to ciprofloxacin. Antibiotics used for the last 3 months and recurrent UTIs are at risk for increasing of MIC values in E. coli mutants resistant to ciprofloxacin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Hakiki Fiantoro
"Latar Belakang/Tujuan. Angka kematian dan kejadian metastasis kanker payudara cukup tinggi. Faktor metabolik termasuk resistensi insulin mempunyai peranan terhadap progresivitas kanker payudara namun terdapat hanya sedikit penelitian yang menilai hubungan resistensi insulin dengan kejadian metastasis kanker payudara. Terdapat hubungan yang erat antara beberapa variabel dalam kelompok pasca-menopause terhadap kejadian metastasis, pemberian terapi hormonal aromatase inhibitor dan kemoterapi terhadap nilai HOMA-IR. Mengetahui hubungan resistensi insulin yang dinilai menggunakan nilai homeostatic model assessment for insulin resistance (HOMA-IR) dengan kejadian metastasis kanker payudara.
Metode. Studi potong lintang yang meneliti 150 pasien kanker payudara di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Siloam Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Jakarta dalam rentang waktu agustus 2019-april 2020. Terdapat 150 subjek penelitian, nilai titik potong HOMA-IR ditentukan dengan kurva receiver operating curve (ROC). Dilakukan analisis subgrup kelompok pasca menopause terhadap metastasis, terapi hormonal dan kemoterapi terhadap HOMA-IR.
Hasil. Tidak didapatkan nilai titik potong optimal HOMA-IR terhadap kejadian metastasis (Area under curve (AUC) 0,50, P : >0,05, interval kepercayaan (IK) 95% : 0,406-0,593). Tidak terdapat hubungan bermakna variabel pasca-menopause dengan kejadian metastasis dan kemoterapi terhadap nilai HOMA-IR. Terdapat hubungan bermakna pemberian terapi hormonal aromatase inhibitor terhadap peningkatan nilai HOMA-IR, P : <0,01
Simpulan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara resistensi insulin dengan kejadian metastasis pada pasien kanker payudara.

Background/Purpose. Mortality and incidence rate of metastatic breast cancer is quite high.
Metabolic factors including insulin resistance have a role in the progression of breast cancer,
but there are only a few studies that assess the relationship of insulin resistance with the incidence of breast cancer metastases. There is a close relationship between variables in the postmenopausal group for the occurrence of metastases, administration of hormonal aromatase inhibitors and chemotherapy to the value of HOMA-IR. Knowing the relationship of insulin resistance which was assessed using the value of
the homeostatic model assessment for insulin resistance (HOMA-IR) with the incidence of metastatic breast cancer.
Method. A cross-sectional study examining 150 breast cancer patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital and Siloam Hospital Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center Jakarta in August 2019-April 2020. There are 150 subjects research, the HOMA-IR cutoff value is determined by the receiver operating curve (ROC) curve. Postmenopausal subgroups were analyzed for metastases, hormonal therapy and chemotherapy for HOMA-IR.
Results. There was no optimal HOMA-IR cut off value for metastatic events (Area under curve (AUC) 0.50,
P:> 0.05, 95% confidence interval (IK): 0.406-0.593). There was no significant relationship between postmenopausal variables with the incidence of metastasis and chemotherapy on the value of HOMA-IR. There was a significant
relationship between the administration of hormonal aromatase inhibitor therapy to the increase of HOMA-IR value, P: <0.01
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Faisal
"ABSTRAK
Latar Belakang. Konstipasi idiopatik kronik adalah masalah yang cukup banyak terjadi, dan berhubungan dengan proses inflamasi. Proses inflamasi yang diwakili oleh rasio neutrofil limfosit merupakan marker inflamasi yang cukup stabil dan banyak digunakan, dan diduga ada hubungannya dengan terjadinya gejala depresi.
Tujuan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rasio neutrofil limfosit dengan gejala depresi pada konstipasi idiopatik kronik.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan pasien konstipasi idiopatik kronik berusia 18-59 tahun di populasi. Di saat bersamaan, dinilai gejala depresi dengan menggunakan Beck Depression Inventory-II kemudian diambil sampel darah untuk menilai rasio neutrofil limfosit. Uji hipotesis dilakukan dengan uji korelasi Pearson.
Hasil. Sebanyak 73 subyek didapatkan rerata (SB) usia adalah 40,29 (11,2) tahun, dengan proporsi perempuan 90,4%. Median RNL (min-maks) adalah 1,72 (0,27-7,18). Hasil analisis korelasi didapatkan hasil koefisien korelasi (r) = 0,028 (p = 0.811).
Kesimpulan. Rasio neutrofil limfosit tidak berhubungan dengan gejala depresi pada konstipasi idiopatik kronik.

ABSTRACT
Background. Chronic idiopathic constipation is a problem that is quite common and is related to the inflammatory process. Inflammation marker is represented by neutrophil lymphocyte ratio that is quite stable and widely used and is thought to have something to do with the occurrence odd depressive symptoms.
Objectives. This study was aimed to determine relationship between neutrophil lymphocyte ratio and depressive symptom in chronic idiopathic constipation.
Methods. This was a cross sectional study involving chronic idiopathic constipation patients aged 18-59 years old in population. At the same time depressive symptoms were assessed using the Beck Depression Inventory-II and blood sample were taken to assess the neutrophil lymphocyte ratio. Pearson correlation test was done for hypothesis testing.
Results. From total of 75 subjects, the mean (SB) age is 40.29 (11.2) years and the proportion of women is 90.4%. The median RNL (min-max) is 1.72 (0.27-7.18). The results of correlation coefficient obtained from correlation analysis is (r) = 0.028 (p= 0.811).
Conclusion. The neutrophil lymphocyte ratio is not associated with depressive symptom in chronic idiopathic constipation."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairinda Dachwan
"Pada bulan Desember, 2019, serangkaian kasus pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui muncul di China. Analisis data menunjukkan adanya coronavirus baru, yang diberi nama SARS-CoV-2. Beradasarkan WHO dan CDC pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 adalah metode molekular RT-PCR, salah satu kit yang digunakan adalah BioCoV-19 RT-PCR. Penelitian ini bertujuan membandingkan uji RT-PCR kit BioCoV-19 RT-PCR dengan N1N2 CDC sebagai standar dalam mendeteksi SARS-CoV-2, serta melakukan uji deteksi minimal untuk mengetahui sensitivitas analitik dari kit BioCoV-19 RT-PCR, menguji reaksi silang terhadap mikroba saluran nafas lain, dan menilai secara deskriptif karakteristik subjek penelitian. Perbandingan uji kit BioCoV-19 RT-PCR dengan N1N2 CDC mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP) dan nilai duga negative (NDN). Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas BioCoV-19 RT-PCR Kit secara umum adalah 97,50% dan 100%, dengan Nilai Duga Positif (NDP) 100% dan Nilai Duga Negatif (NDN) 96,49%. Hasil uji minimal deteksi untuk primer-probe N1N2 CDC dan BioCoV-19 RT-PCR Kit setelah dilakukan dilusi bertingat sebanyak enam kali pengenceran yakni 3,5 kopi/reaksi (rerata nilai Ct 35,21). Uji reaksi silang tidak terdeteksi adanya reaksi silang dari 12 bakteri, tujuh virus dan tiga jamur. Karakteristik subjek penelitian lebih banyak pada laki-laki sebanyak (61,5%), untuk usia lebih banyak pada usia berkisar 20-40 tahun (56,29%), gejala klinis pasien saat datang lebih banyak gejala ringan.

In December, 2019, a series of pneumonia cases of unknown cause appeared in China. Analysis of the data indicated the presence of a new coronavirus, which was named SARS-CoV-2. Based on WHO and the CDC, the tests used to detect SARS-CoV-2 are the molecular RT-PCR method, one of the kits used is BioCoV-19 RT-PCR. This study aims to compare the RT-PCR test of the BioCoV-19 RT-PCR kit with the CDC's N1N2 as a standard in detecting SARS-CoV-2, as well as to conduct a minimal detection test to determine the analytical sensitivity of the BioCoV-19 RT-PCR kit, to test cross reactions against other respiratory tract microbes, and descriptively assessed the characteristics of the research subjects. Comparison of the BioCoV-19 RT-PCR test kit with N1N2 CDC obtained sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV) and negative predictive value (NPV). The results of this study showed that the sensitivity and specificity of the BioCoV-19 RT-PCR Kit in general were 97.50% and 100%, with a positive predictive value (PPV) of 100% and a negative predictive value (NPV) of 96.49%. The minimum test results for detection of the N1N2 CDC primer-probe and the BioCoV-19 RT-PCR Kit were carried out after six dilutions of 3.5 copies/reaction (mean Ct value 35.21). The cross-reaction test did not detect any positives of 12 bacteria, seven viruses and three fungi. The characteristics of the study subjects were more male (61.5%), for ages ranging from 20-40 years (56.29%), the clinical symptoms of the patients when they arrived were more mild symptoms."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Asicha
"Latar Belakang Artritis reumatoid merupakan penyakit reumatik yang sering menyebabkan gangguan fungsional dan penurunan kualitas hidup. Faktor-faktor yang berbeda telah dilaporkan mempengaruhi kualitas hidup pasien AR. Penelitian ini bertujuan mengetahui rerata kualitas hidup pasien AR dan faktor-faktor yang berperan dalam kualitas hidup pasien AR.
Metode Penelitian Sebanyak 152 subjek direkrut dari Poliklinik Reumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Data mengenai sosiodemografi, kondisi klinis dan laboratorium yang berkaitan dengan aktivitas penyakit, status fungsional, masalah psikologis, dan jumlah komorbiditas diambil dalam penelitian ini. Kualitas hidup diukur menggunakan kuesioner EuroQol five demensional (EQ-5D) and EQ global health visual analogue (VAS). Analisis dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat.
Hasil Penelitian Sebayak 90,8% perempuan dengan rerata usia 49,41 ± 12,31 tahun dengan tingkat pendidikan menengah serta tidak bekerja. Mayoritas subjek memiliki derajat aktivitas penyakit sedang (median 3.26 (1,03 – 6,89) dan status fungsional mandiri. Median durasi penyakit penyakit 3 (0 – 34) tahun. Gangguan psikologis seperti ansietas (11,2%) dan depresi (20,4%) juga ditemukan. Median nilai indeks 0,84 (0,170 – 1,000) dan median nilai EQ VAS 70 40 – 100). Faktor-faktor yang secara independen berperan dalam nilai indeks adalah disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, dan depresi, sedangkan untuk EQ VAS disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, depresi, ansietas dan komorbiditas untuk EQ VAS.
Kesimpulan Disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, gangguan psikologis dan jumlah komorbiditas memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien AR. Sehingga evaluasi terhadap faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam standar pelayanan pasien AR dan tatalaksana yang sesuai harus dioptimalkan.

Background. Rheumatoid arthritis (RA) is a rheumatic disease that often causes functional disorders and decreased health related quality of life (HRQoL). Different factors have been reported affecting HRQoL of RA patients. This study aims to evaluate the HRQoL and related factors in patients with RA.
Methods. One hundred and fifty-two patients from Reumatology polyclinic at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta were enrolled. Data about sosiodemographic, clinical and laboratory data related to disease activity, functional status, psyological problem, and number of comorbidities were collected. HRQoL was assessed using the Indonesian EuroQol five demensional questionnaire (EQ-5D) and EQ global health visual analogue (VAS). Univariate analysis, bivariate and multivariate analysis were employed to identify factors related to HRQoL.
Results. Ninety percent were female with a mean age ± Sof 49.41 ± 12.31 years with a secondary education level and unemployed. Majority of subjects had moderate disease activity (median 3.26 (1.03 – 6.89) and independent functional status. Median duration of illness was 3 (0 – 34) years. Psychological disorders such as anxiety (11.2%) and depression (20 .4%) were also found, the median index value 0.84 (0.170 – 1,000) and the median EQ VAS 70 40 – 100). The factors that independently played a role in the index score were functional disability, disease activity, and depression, while for the EQ VAS were functional disability, disease activity, depression, anxiety, and number of comorbidities.
Conclusion. Functional disability, disease activity, psychological disorders and the number of comorbidities have a negative influence on the HRQoL of RA patients. So, the evaluation of these factors must be considered in the standard of care for RA patients and the appropriate management must be optimized
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Indirawati Kusuma
"Latar belakang: Pneumonia komunitas adalah suatu infeksi parenkim paru yang didapat dari luar rumah sakit dan berhubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mortalitas pada pneumonia komunitas antara lain karakteristik klinis, temuan radiologi, dan biomarker serum. Identifikasi pasien pneumonia komunitas sedang-berat dengan risiko mortalitas dengan menggunakan kombinasi variabel yang digunakan diharapkan menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan menggunakan karakteristik klinis (jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh, riwayat merokok, lama tunggu sebelum pemberian antibiotik), temuan radiologi (skor Brixia), dan biomarker serum (prokalsitonin, C-Reactive Protein, leukosit, asam laktat, d-dimer, albumin) terhadap risiko mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat.
Metode: Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek pneumonia komunitas sedang-berat yang dirawat di RSPUN Dr. Ciptomangunkusumo. Data diambil dari rekam medis pasien pneumonia komunitas sedang-berat selama bulan Januari 2022 – Desember 2023. Variabel-variabel predikor tingkat mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat didapatkan dari hasil analisis multivariat dengan regresi Cox.
Hasil: Total subjek penelitian ini yaitu 277 subjek dengan subjek yang meninggal sebanyak 124 (44,77%) dan subjek yang hidup sebanyak 153 (55,23%). Variabel prediktor yang secara konsisten mempengaruhi risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat adalah IMT rendah dengan HR 1,789 (IK 95% 1,172 – 2,731), prokalsitonin dengan HR 1,913 (IK 95% 1,301 – 2,813), dan asam laktat dengan HR 1,692 (IK 95% 1,173 – 2,442). Performa determinan dengan analisis kurva ROC menunjukkan kemampuan prediksi moderat (AUC = 0,641). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lameshow menunjukkan validasi baik (p = 0,082).
Simpulan: Terdapat hubungan antara IMT, prokalsitonin, dan asam laktat dengan risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat serta terdapat model skoring risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitaa sedang-berat.

Background: Community Acquired Pneumonia (CAP) is a lung parenchyma infection acquired outside of the hospital and is significantly associated with morbidity and mortality rates. Several factors that can influence mortality in CAP include clinical characteristics, radiological findings, and serum biomarkers. Identifying patients with moderate-severe CAP at high risk of mortality through a combination of these variables is expected to serve as a basis for prompt and appropriate intervention, ultimately improving clinical outcomes for CAP patients.
Objective: This study aims to develop a scoring system using clinical characteristics (gender, age, body mask index, smoking status, time to first antibiotic administration), radiological findings (Brixia score), and serum biomarkers (procalcitonin, C-Reactive protein, leukocyte, lactate acid, d-dimer, albumin) to assess the mortality risk in patients with moderate-severe CAP.
Method: This study was a retrospective cohort study using data from patients with moderate-severe CAP at Cipto Mangunkusumo Hospital from the period January 2022 to December 2023. Predictor variables for mortality risk were obtained through multivariate analysis using cox regression.
Results: The study included 277 subjects with 124 (44.77%) deaths and 153 (55.23%) survivors. Predictor variables consistently influencing mortality risk in moderate-severe CAP patients were low BMI (HR 1.789, 95% CI 1.172–2.731), procalcitonin (HR 1.913, 95% CI 1.301–2.813), and lactate levels (HR 1.692, 95% CI 1.173–2.442). The prediction model’s performance based on the ROC curve analysis showed moderate predictive ability (AUC = 0.641) with good validation and calibration performance which has been assessed by the Hosmer-Lemeshow test (p = 0.082).
Conclusion: There is an association between body mass index, procalcitonin, and lactate acid level with the mortality risk in moderate-severe CAP patients. A mortality risk scoring model for moderate-to-severe CAP patients has been established.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library