Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Betha Giofani
"ABSTRAK
Tanah ulayat di Minangkabau terdiri atas: tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum. Tanah ulayat merupakan tanah milik bersama bukan milik perorangan dari anggota kaum tersebut, namun dapat digunakan secara pribadi dalam arti, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah yang merupakan bagian daripada tanah ulayat tersebut. Bagian tanah ulayat inilah yang disebut dengan istilah ganggam bauntuak yang berada di atas tanah ulayat kaum. Pemegang hak ganggam bauntuak tidak mempunyai kewenangan untuk memiliki, menjual atau mengalihkan tanah tersebut. Tanah ganggam bauntuak dapat didaftarkan, pendaftaran tersebut dilakukan atas nama mamak kepala waris sebagai pemimpin dari suatu kaum, sehingga diterbitkannya sertipikat Hak Milik. Dengan didaftarnya tanah ganggam bauntuak tersebut atas nama mamak kepala waris dari kaumnya, tidak menyebabkan perubahan hak atau pun mengakibatkan peralihan hak atas tanah ganggam bauntuak tersebut dari milik komunal kaum tersebut menjadi hak milik dari mamak kepala waris itu secara pribadi. Apabila tanah ganggam bauntuak ini hendak di jual maka terlebih dahulu harus mendapatkan kesepakatan dari seluruh anggota kaum. Tetapi kenyataannya di Kota Payakumbuh banyak penulis temui jual beli tanah ganggam bauntuak yang dilakukan oleh mamak kepala waris tanpa persetujuan anggota kaum-nya. Permasalahan dalam karya tulis ini adalah: Apakah faktorfaktor penyebab terjadinya jual bell tanah ulayat ganggam bauntuak yang telah bersertipikat oleh mamak kepala waris tanpa persetujuan anggota kaum di Kota Payakumbuh? Bagaimanakah penyelesaian sengketa jual bell tanah ulayat ganggam bauntuak yang telah bersertipikat oleh mamak kepala waris tanpa persetujuan anggota kaum di Kota Payakumbuh? Bentuk penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab terjadinya jual bell tanah ulayat ganggam bauntuak yang telah bersertipikat oleh mamak kepala waris tanpa persetujuan anggota kaum adalah: pertama yaitu faktor ekonomi yaitu untuk membiayai pesta perkawinan anak, membangun rumah dan modal usaha, kedua yaitu faktor sosial yaitu menipisnya rasa kebersamaan dan persaudaraan yang digantikan oleh sikap individualistik.

ABSTRAK
The ulayat (customary-owned) land in Minangkabau consists of nagari's (administrative) ulayat, suku's (tribe) ulayat and kaum's (blood-tied big family) ulayat. An ulayat land is defined as a common property, instead of private, and yet it is still possible to be used for private purpose in condition the person were given the right to manage the part of the land by the kaum. This sort of land is defined as the ganggam bauntuak, which is noticeably located on the kaum's ulayat. The concessionaire possesses no right either to own or transfer the ownership of the land entrusted to him. The ganggam bauntuak land can be registered, on behalf of the mamak kepala waris (entrusted leader) as the leader of a kaum, to get The Ownership Certificate. However, the registration of the land on behalf of the mamak kepala waris is not to generate any shift in rights or transfer in ownership, for instance from communally owned by the kaum to the mamak kepala waris personally. This would mean that if the land is to be sold, it should be under the approval of all members of the kaum, since it's after all still belongs to them. Nevertheless, a contrary happened in Payakumbuh, in which an ulayat land was happened to be sold by the mamak kepala waris without any approval from the kaum. Thus, the problems addresses in this paper would be: What are the factors that cause the sale of the land? How is the process on the dispute settlement on this case progressed? The method apllied on the research is descriptive one, while the instrument used to collect the data were in-depth interview and document study. It was found out that reason the mamak kepala waris committed the sale was to get the finance needed to hold his daughter's/son's wedding party, to build a house and to get some capital needed to run a business, as well as some social factor which are identified as the degrading sense of communality and the brotherhood, only to be replace by individualism. The dispute settlement of this case was conducted through the media of musyawarah mufakat. Had the way not meet any expected result, an option to submit the case to the state court is available to be proceeded.
"
2007
T19221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mari`e Nouza Qisthy
"Tesis ini membahas sengketa tanah ulayat kaum antara Asril (penggugat) dan Rosna (tergugat), terhadap 2 (dua) sertipikat Hak Milik No. 39/1991 gambar situasi tanggal 28 Maret 1991 No. 70/1991 seluas 4500 m2 dan sertipikat hak milik No. 100/1993 gambar situasi tanggal 1 Desember 1992 No. 851/1992 seluas 5250 m2 atas nama Rosna yang terletak di Pulai Sei Talang Bukik Lurah Kenagarian Gadut, dimana majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder dan bersifat eksplanatoris. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemberian hak milik di atas tanah ulayat kaum seperti kasus di atas serta dikuatkan dengan keputusan Pengadilan maka dapat mengerus nilai kekerabatan di Minangkabau khususnya tentang tanah Pusako Tinggi, sehingga dapat menghilang fungsi dari tanah Pusako Tinggi di Minangkabau yang melahirkan masyarakat Individualis, sehingga sistem kekeluargaan materilineal yang kental sebagaimana tersirat dalam falsafah dasar, tujuan dan cara adalah satu yang memakai prinsip sehina-semalu dan azas kebersamaan tidak terpenuhi lagi.

This thesis discusses the communal land dispute between Asril (plaintiff) and Rosna (defendant), to 2 (two) certificate of Right of Ownership Number 39/1991 dated March 28, 1991 situation No. 70/1991 covering an area of 4500 m2 and a certificate of Right of Ownership Number 100/1993 dated December 1, 1992 situation No. 851/1992 covering an area of 5250 m2 owned by Rosna located in Pulai Sei Bukik Lurah Kenagarian Gadut, where a panel refused the plaintiff's lawsuit entirely. This study uses normative juridical using secondary data and explanatory typology. The research concludes that the granting of property rights over the communal land as the above case and upheld by the Court's decision, it can destroy Minangkabau kinship Pusako Tinggi especially on land, so as to dissipate the function of Pusako Tinggi land at Minangkabau who gave birth Individualist society, so that the system materilineal familial thick as implied in the basic philosophy, objectives and the way is one who wears contemptible principle and the principle of solidarity not fulfilled anymore.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusron Lamisi
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S22011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharina Yuli Astiti
"Masyarakat Indonesia terdiri beraneka ragam suku bangsa dan agama, serta adat istiadat yang dikenal mempunyai tata cara sistem norma budaya yang berbeda antara satu dengan yang lain.Di Indonesia masalah pewarisan belum ada aturan yang bersifat unifikasi hukum, karena masalah waris merupakan masalah yang dianggap pelik sebagai akibat adanya bermacam-macam sistem hukum yang berlaku di masyarakat.Penelitian dalam skripsi ini bersifat Deskriptif. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan anak Astra(anak Luar Kawin)menurut hukum waris adat Bali dan mengenai sikap ahli waris terhadap anak Astra.
Menurut Hukum Hindu yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Bali terdapat empat anak luar kawin yang terdiri dari anak Bebinjat yang merupakan anak yang lahir dari hubungan ayah dan ibunya yang tidak kawin dan tidak diakui keberadaanya oleh bapaknya, Anak Astra adalah anak yang lahir hasil hubungan biologis yang tidak sah dari seorang laki-laki yang berkasta dengan seorang perempuan yang tidak berkasta, Anak Niyoga adalah anak yang lahir dari istri yang tidak memiliki anak dari suaminya,kemudian istri diizinkan untuk dicampuri saudaranya,sehingga dengan niyoga tersebut di dapat anak, Anak Rahasia adalah anak yang dilahirkan dari istri yang mengadakan hubungan gelap dengan laki-laki lain, yang disetujui/diketahui oleh suaminya, tetapi siapa lelaki yang telah membenihi istri tersebut tidak diketahui/dirahasiakan. Didesa Pakraman Karangasem hanya mengenal anak astra sebagai anak luar kawin.
Anak Astra tersebut tidak berhak untuk mewaris dari ayahnya dan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Sikap Ahli waris terhadap anak astra tersebut jarang ditemukan adanya sikap dikriminasi, hanya yang membedakan anak kandung dengan anak Astra adalah kasta dari anak astra tersebut,dimana Anak Astra hanya akan mengikuti kasta ibunya dan tidak berhak untuk memakai gelar ayahnya. Saran dalam skripsi ini adalah diupayakan berbagai usaha oleh pemimpin desa adat untuk mencarikan jalan keluar sehingga tidak terdapat anak luar kawin yang lahir tanpa asal-usul yang jelas. Dengan cara melakukan penyuluhanpenyuluhan secara periodik yang bertujuan agar seorang laki-laki dengan seorang perempuan tidak melakukan hubungan biologis tanpa adanya suatu ikatan perkawinan, supaya tidak ada seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang sah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21385
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Putri Handayani
"Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago)
yang terdiri dari berbagai suku bangsa (etnis) yang
tersebar di seluruh penjuru wilayahnya. Hal ini memberikan
pengaruh pada hukum adat yang berbeda-beda yang berlaku di
tiap daerah tersebut termasuk dalam bidang hukum kewarisan.
Salah satu hukum waris adat yang terdapat di Indonesia
adalah sistem kewarisan mayorat perempuan tunggu tubang
yang berlaku pada masyarakat hukum adat di daerah Semendo,
kabupaten Muara Enim, propinsi Sumatera Selatan. Sistem
kewarisan tunggu tubang menentukan bahwa seorang anak
perempuan tertua yang masih hidup ketika pewaris meninggal
dunia adalah satu-satunya ahli waris yang berhak untuk
mewarisi segenap harta peninggalan orang tuanya. Apa yang
dimaksud dengan sistem kewarisan adat tunggu tubang
tersebut, apakah masih diterapkan di daerah Semendo,
bagaimana penerapannya dan apakah terdapat pergeseran nilai
atau norma hukum dari adat tunggu tubang tersebut yang
disebabkan oleh perkembangan zaman. Skripsi ini menggunakan
metode penelitian kepustakaan ditambah dengan hasil
wawancara kepada beberapa orang narasumber. Dari wawancara
diketahui bahwa meskipun sejak tahun 2002 secara
administratif daerah Semendo telah terbagi menjadi tiga
kecamatan yang terpisah, yakni kecamatan Semendo Darat Ulu,
Semendo Darat Laut dan kecamatan Semendo Darat Tengah,
namun masyarakat Semendo masih menerapkan sistem kewarisan
adat tunggu tubang yang selama ini telah dijalankan secara
turun temurun. Perkembangan terhadap kedudukan anak tunggu
tubang yakni mulai terdapat penolakan atas kedudukan
sebagai tunggu tubang karena ia ingin melanjutkan
pendidikan atau bekerja di luar daerah Semendo.
Perkembangan lain adalah adanya perubahan bentuk dan jumlah
harta sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga yang baru
dibentuk dan bagaimana mereka mempertahankan harta tunggu
tubang yang telah diamanatkan kepada mereka."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S21378
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Perdana A.S.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S23638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taihuttu, Glorius Frits
"Pela Gandong merupakan hubungan persaudaraan antara dua atau lebih desa sebagai hubungan kakak adik kandung karena kedua masyarakat desa mengakui bahwa mereka berasal dari satu keturunan atau datuk yang sama. Namun terkadang ada masyarakat dari kedua desa yang memiliki hubungan pela gandong ini melanggar hukum adat dengan melakukan perkawinan. Perkawinan seperti ini dikenal dalam hukum adat Maluku Tengah sebagai perkawinan sedarah. Sedangkan jika melihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 8 butir (a) dan (b) menyebutkan bahwa larangan perkawinan bagi mereka yang masih berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau keatas, serta berhubungan darah dalam garis keturunan menyarnping. Untuk itu timbul pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimanakah aturan-aturan adat yang mengatur tentang perkawinan pada masyarakat Maluku Tengah terkait hubungan Pela Gandong, serta bagaimana konsep perkawinan sedarah dan penerapan sanksinya menurut adat Maluku Tengah dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan)? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen melalui data sekunder di bidang hukum berupa bahan hukum primer seperti Undang-Undang Perkawinan dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, artikel-artikel, laporan penelitian dan wawancara. Bagi masyarakat Maluku Tengah, perkawinan diluar fam (marga) adalah perkawinan ideal, selain itu perkawinan diluar desa diperbolehkan asalkan antar desa tidak memiliki hubungan pela gandong. Menurut Adat Maluku Tengah, perkawinan sedarah adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah menurut konsep Pela Gandong, sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan, perkawinan sedarah adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dekat dalam garis keturunan lurus ke bawah/keatas serta garis keturunan menyamping. Untuk penerapan sanksi, adat Maluku Tengah menerapkan sanksi berupa bailele (pasangan yang melanggar hukum adat yang di arak keliling desa dengan memakai daun janur kelapa), sedangkan sanksi menurut Undang-Undang Perkawinan menerapkan sanksi berupa pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sumarjoko
"Lembaga harta bersama seperti yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan baik oleh suami maupun istri. Lembaga ini juga dikenal dalam hukum adat sedangkan dalam hukum Islam ada dua pendapat mengenai harta tersebut, pendapat yang pertama tidak mengenal adanya harta bersama, kecuali dengan jalan syirkah atau perkongsian antara suami istri yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan pendapat yang kedua menqenai adanya harta bersama menurut hukum Islam, hal ini didasari dengan sendirinya ada harta bersama antara suami istri selama perkawinan berlangsung. Pembagian harta bersama bila perkawinan mereka (suami istri) itu putus karena perceraian, per1mbangan pembagiannya berbeda-beda, baik menurut hukum adat maupun hukum Islam. Dalam hal ini bisa saja pencari keadilan bagi para suami pada masyarakat Jawa Tengah itu memilih hukum adat yang lebih menguntungkan (sapikul sagendong), hal ini didasari Pasal 37 jo penjelasan UU . No. 1/1974 tentang Perkawinan. Meskipun para pencari keadilan dapat memilih menurut hukumnya masing-masing, akan tetapi hukum Islam-lah yang harus mereka pergunakan, sebagaimana diketahui bahwa bagi orang Islam, maka berlakulah hukum Islam dan hukum adat hanya berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Jadi hukum yang tepat bagi masyarakat hukum adat Jawa Tengah yang menganut harta gono gini dan beragama Islam ialah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam, adapun pembagiannya baik suami maupun istri ialah masing-masing berhak 1/2, hal ini sesuai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dan melalui lembaga Pengadilan Agama mereka (suami istri) dapat berperkara. Dengan demikian maka Pasal 37 jo penjelasan UU. No. 1/1974 belum mernberikan kepastian serta tidak adanya keseragaman hukum mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan apabila terjadi suatu perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessi
"ABSTRAK
Sistem kewarisan di Minangkabau sangat berbeda
dengan sistem kewarisan adat yang lain. Minangkabau
mengenal adanya harta pusaka kaum yaitu harta pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah. Orang yang sangat
berpengaruh dan mempunyai kuasa penuh terhadap harta
pusaka kaum adalah mamak kepala waris atau lebih
dikenal dengan sebutan Mamak. Mamak di Minangkabau
pada umumnya adalah seorang laki-laki yang dituakan
memangku jabatan sebagai pemimpin dari suatu paruik.
Mamak mempunyai tanggung jawab besar terhadap
kesejahteraan dan keselamatan semua kemenakan. Manfaat
dari harta pusaka adalah untuk keselamatan nagari,
menjaga keselamatan kaum, melindungi anak-anak kecil
dan menjaga nagari dari orang-orang yang ingin berbuat
jahat. Oleh sebab itu sangat tidak diperbolehkan harta
pusaka itu dijual, digadaikan apalagi
dihilanglenyapkan oleh siapapun yang menjadi anggota
kaum Kecuali untuk kepentingan yang sanagat mendesak.
Dalam hal ini timbul suatu permasalahan yang
memerlukan pembahasan yakni: Bagaimana bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh mamak kepala waris
terhadap harta pusaka kaum menurut hukum waris adat
Minangkabau, dan Bagaimana kedudukan mamak kepala
waris terhadap harta pusaka kaum menurut hukum waris
adat Minangkabau? Metode yang digunakan adalah
kepustakaan yang bersifat normatif dengan menggunakan
tipe penelitian eksplanatoris dengan tujuan evaluatif.
Setelah melihat kenyataannya dapat disimpulkan bahwa
pengawasan dan kedudukan mamak kepala waris yang
ditemukan sekarang ini hanya sebatas pada harta pusaka
tinggi, yaitu dalam bentuk Ganggam bauntuak yaitu hak
untuk mengelola, menikmati hasil dari apa yang telah
dikelola oleh seseorang atas tanah yang dikuasai dan
digunakan untuk keperluan kaum. Karena semakin
berkurangnya harta pusaka, sementara jumlah kemenakan
semakin bertambah maka sebaiknya mamak kepala waris
mempergunakan ranji dalam hal pemakaian harta pusaka
yang dipergenggam bauntuakkan, tujuannya agar semua
kemenakan dapat menikmati pemakaian ganggam bauntuak
tersebut secara nyata."
2005
T36893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Betha Giovani
"ABSTRAK
Tanah ulayat di Minangkabau terdiri atas: tanah
ulayat nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum.
Tanah ulayat merupakan tanah milik bersama bukan milik
perorangan dari anggota kaum tersebut, namun dapat
digunakan secara pribadi dalam arti, dapat diberikan hak
pengelolaan atas tanah yang merupakan bagian daripada tanah
ulayat tersebut. Bagian tanah ulayat inilah yang disebut
dengan istilah ganggam bauntuak yang berada di atas tanah
ulayat kaum. Pemegang hak ganggam bauntuak tidak mempunyai
kewenangan untuk memiliki, menjual atau mengalihkan tanah
tersebut. Tanah ganggam bauntuak dapat didaftarkan,
pendaftaran tersebut dilakukan atas nama mamak kepala waris
sebagai pemimpin dari suatu kaum, sehingga diterbitkannya
sertipikat Hak Milik. Dengan didaftarnya tanah ganggam
bauntuak tersebut atas nama mamak kepala waris dari kaumnya,
tidak menyebabkan perubahan hak atau pun mengakibatkan
peralihan hak atas tanah ganggam bauntuak tersebut dari
milik komunal kaum tersebut menjadi hak milik dari mamak
kepala waris itu secara pribadi. Apabila tanah ganggam
bauntuak ini hendak di jual maka terlebih dahulu harus
mendapatkan kesepakatan dari seluruh anggota kaum. Tetapi
kenyataannya di Kota Payakumbuh banyak penulis temui jual
beli tanah ganggam bauntuak yang dilakukan oleh mamak
kepala waris tanpa persetujuan anggota kaum-nya.
Permasalahan dalam karya tulis ini adalah: Apakah faktorfaktor
penyebab terjadinya jual beli tanah ulayat ganggam
bauntuak yang telah bersertipikat oleh mamak kepala waris
tanpa persetujuan anggota kaum di Kota Payakumbuh?
Bagaimanakah penyelesaian sengketa jual beli tanah ulayat
ganggam bauntuak yang telah bersertipikat oleh mamak kepala
waris tanpa persetujuan anggota kaum di Kota Payakumbuh?
Bentuk penelitian dalam penulisan tesis ini adalah
penelitian lapangan yang bersifat deskriptif. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab
terjadinya jual beli tanah ulayat ganggam bauntuak yang
telah bersertipikat oleh mamak kepala waris tanpa
persetujuan anggota kaum adalah: pertama yaitu faktor
ekonomi yaitu untuk membiayai pesta perkawinan anak,
membangun rumah dan modal usaha, kedua yaitu faktor sosial
yaitu menipisnya rasa kebersamaan dan persaudaraan yang
digantikan oleh sikap individualistik.

ABSTRACT
The ulayat (customary-owned) land in Minangkabau
consists of nagari's (administrative) ulayat, suku's
(tribe) ulayat and kaum's (blood-tied big family) ulayat.
An ulayat land is defined as a common property, instead of
private, and yet it is still possible to be used for
private purpose in condition the person were given the
right to manage the part of the land by the kaum. This sort
of land is defined as the ganggam bauntuak, which is
noticeably located on the kaum's ulayat. The concessionaire
possesses no right either to own or transfer the ownership
of the land entrusted to him. The ganggam bauntuak land can
be registered, on behalf of the mamak kepala waris
(entrusted leader) as the leader of a kaum, to get The
Ownership Certificate. However, the registration of the
land on behalf of the mamak kepala waris is not to generate
any shift in rights or transfer in ownership, for instance
from communally owned by the kaum to the mamak kepala waris
personally. This would mean that if the land is to be sold,
it should be under the approval of all members of the kaum,
since it's after all still belongs to them. Nevertheless, a
contrary happened in Payakumbuh, in which an ulayat land
was happened to be sold by the mamak kepala waris without
any approval from the kaum. Thus, the problems addresses in
this paper would be: What are the factors that cause the
sale of the land? How is the process on the dispute
settlement on this case progressed? The method apllied on
the research is descriptive one, while the instrument used
to collect the data were in-depth interview and document
study. It was found out that reason the mamak kepala waris
committed the sale was to get the finance needed to hold
his daughter's/son's wedding party, to build a house and to
get some capital needed to run a business, as well as some
social factor which are identified as the degrading sense
of communality and the brotherhood, only to be replace by
individualism. The dispute settlement of this case was
conducted through the media of musyawarah mufakat. Had the
way not meet any expected result, an option to submit the
case to the state court is available to be proceeded."
2007
T36669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>