Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jenni Pratita
Abstrak :
Hipotensi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang menjalani bedah sesar dengan anestesi spinal. Kejadian hipotensi dapat membahayakan baik ibu maupun janin. Penelitian yang telah dilakukan di luar negeri menunjukan angka kejadiannya mencapai 70-80% tanpa penggunaan profilaksis farmakologis, namun di Indonesia penelitian tentang subjek ini masih sangat minim, termasuk tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipotensi tersebut. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik sosio demografik dan klinik pasien yang menjalani bedah sesar dengan anestesi spinal di RSUPN Ciptomangunkusumo (status hipotensi, jenis cairan yang diberikan, usia, penyakit penyerta, lokasi penyuntikan, dosis cairan anestesi, dan tinggi badan) serta hubungan status hipotensi dengan berat badan lahir bayi. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan 107 subjek yang didapatkan melalui pemenuhan kriteria penelitian serta metode consecutive sampling. Subjek penelitian merupakan pasien yang menjalani bedah sesar emergensi di Instalasi Gawat Darurat RSUPN Ciptomangunkusumo. Pengertian hipotensi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penurunan tekanan darah sistolik dibawah 80% tekanan darah awal yang diukur sebelum operasi dilakukan. Penelitian menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hipotensi ditemukan pada 24,3% subjek. Dari segi karakteristik lainnya, mayoritas subjek tidak memiliki faktor risiko hipotensi berdasarkan penelitian terdahulu kecuali dari segi jenis cairan yang diberikan. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara berat badan lahir bayi dengan status hipotensi, namun ratarata berat badan lahir bayi dari subjek pada kelompok hipotensi lebih besar daripada kelompok non-hipotensi.
Hypotension is a common complication in patients undergoing caesar surgery with spinal anesthesia. Hypotension could endanger both the mother and the fetus. Studies done abroad show that the event rate of hypotension could reach 70-80% without pharmacologic profilaxis, but in Indonesia the number of studies on this subject is very limited, including about factors correlated with the event of hypotension. Therefore, this study is done to find out the sociodemographic and clinical characteristics of patients undergoing emergency Caesar surgery with spinal anesthesia in RSUPN Ciptomangunkusumo (type of fluid given, age, concurring illness, injection site, dosage of anesthetic solution, height, and hypotension status) and the correlation between hypotension status and the babies? birth weight. This study is a cross sectional study with 107 subjects acquired through criterias of the study and consecutive sampling. Subjects are patients undergoing emergency Caesar surgery in emergency installation of RSUPN Ciptomangunkusumo. The definition of hypotension used in this study is a decrease of systolic pressure under 80% baseline pressure measured before the surgery. Secondary data is used in this study. The study shows that hypotension was found in 24.3% subject. Based on other characteristics, majority of the subjects don?t have risk factors for hypotension, except about the type of the fluid given. No statistically significant correlation is found between the babies? birth weight and the hypotension status, but the mean birth weight of babies from the hypotension group is higher than non-hypotension group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Mahri
Abstrak :
ABSTRACT
Transplantasi ginjal masih menjadi terapi pilihan pada penyakit gagal ginjal stadium akhir. Lama rawat inap (Length of Stay/LOS) adalah penanda alternatif dari morbiditas perioperatif pasien yang berkaitan dengan hasil pembedahan jangka panjang. Penilaian prabedah dapat digunakan untuk memaksimalkan kualitas pemulihan. Salah satu penilaian prabedah adalah Charlson Comorbidity Index (CCI) yang secara umum dinilai baik dalam memprediksi mortalitas, disabilitas, readmisi, dan LOS. CCI belum menjadi standar alat penilaian prabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif menggunakan rekam medik resipien transplantasi ginjal antara Januari 2015-Desember 2017. Analisis bivariat dilakukan antara LOS dengan skor total CCI dan antara LOS dengan kondisi-kondisi komorbid dalam CCI. Variabel yang signifikan dimasukan ke dalam analisis multivariat. Berdasarkan hasil analisis bivariat dan multivariat, skor total CCI dan kondisi-kondisi komorbid dalam CCI tidak memengaruhi LOS secara signifikan. Kesimpulannya, sistem skor CCI tidak dapat digunakan dalam menentukan kejadian LOS berkepanjangan pascatransplantasi ginjal.
ABSTRACT
Kidney transplantation is still the treatment of choice in end-stage renal failure. Length of stay (LOS) is an alternative marker of the patient's perioperative morbidity associated with long-term surgical results. Preoperative assessment can be used to maximize the quality of recovery. One of the preoperative assessments is the Charlson Comorbidity Index (CCI) which is generally considered good in predicting mortality, disability, readmission, and LOS. CCI has not become a standard pre-assessment assessment tool at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The study was conducted using a retrospective cohort method using a kidney transplant recipient medical record between January 2015-December 2017. Bivariate analysis was performed between LOS with a total CCI score and between LOS with comorbid conditions in CCI. Significant variables were included in the multivariate analysis. Based on the results of bivariate and multivariate analyzes, total CCI scores and comorbid conditions in CCI did not significantly affect LOS. In conclusion, the CCI scoring system cannot be used to determine the incidence of prolonged LOS after kidney transplantation.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadlika Harinda
Abstrak :
ABSTRACT
Pasien rawat inap ICU sering ditemui dengan keadaan balans cairan akumuatif positif. Hal ini dapat menjadi penanda biologis sekaligus faktor risiko perburukan gagal fungsi organ dan kematian. Untuk itu, koreksi balans cairan utamanya pada pasien dengan urin output berkurang diperlukan. Furosemid merupakan agen diuretik pilihan. Akan tetapi, furosemid dapat menyebabkan abnormalitas elektrolit. Atas dasar itu, dilakukan studi analisis komparatif antara perubahan kadar elektrolit dan pH serum terhadap penggunaan furosemid pada pasien balans cairan akumulatif positif di ICU. Dengan desain penelitian kohort retrospektif, diperoleh 222 sampel rekam medik RSCM melalui metode consecutive sampling. Data penggunaan furosemid dan perubahan kadar elektrolit dan pH serum dimasukkan dalam tabel kemudian dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan. Hasil menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan kadar elektrolit dan pH serum dengan penggunaan furosemid pada pasien balans positif di ICU (p>0,05). Furosemid dapat menyebabkan penurunan kadar elektrolit dan fluktuasi pH pada pengukuran 0, 24, 48, dan 72 jam pasca pemberian. Hal ini dapat terjadi akibat adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap retensi Na+-K+-Cl- pada urin yang terjadi sebagai efek kerja dari furosemid. Hal ini kemudian dikompensasi dengan retensi H+ yang menyebabkan fluktuasi pada pH. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi secara statistik tidak berbeda bermakna.ICU
ABSTRACT
hospitalized patients are often found with positive accumulative fluid balances. This can be a biological marker as well as a risk factor for worsening organ function failure and death so that correction of fluid balance is necessary. However, as one of preferred diuretic agent, furosemide can cause electrolyte abnormalities. This retrospective cohort study was carried out to analyze difference between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage in patients with positive accumulative fluid balance in intensive care. Data collected from 222 medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital obtained by consecutive sampling. The use of furosemide and changes in serum electrolyte levels and pH data were analyzed using independent T-test. The results show that there are no significance differences between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage (p> 0.05). A decrease in electrolyte levels on 0, 24, 48, and 72 hours after furosemide use measurements can occur due to body's compensation mechanism for urinary Na+-K+-Cl- retention as main effect of furosemide. This plasma electrolyte repletion is compensated by plasma H+ retention and the fluctuation of pH occurred. Even so, changes that occur statistically have no significance.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
Abstrak :
Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan. Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya. Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat. Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan. Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan. ...... Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery. Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test. Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation. Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ade Meuratana
Abstrak :
Menggigil selama anestesi spinal adalah salah satu komplikasi yang paling sering dihubungkan dengan penurunan suhu inti tubuh. Insiden menggigil paska anestesi cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan pada pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Belum ada terapi gold standar untuk menggigil. Elektroakupunktur EA diketahui dapat mencegah menggigil dengan mempertahankan suhu inti tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada pencegahan menggigil pasien bedah urologi dengan anestesi spinal serta mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada rerata penurunan suhu inti pasien bedah urologi dengan anestesi spinal. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding dilakukan terhadap 36 subjek yang akan menjalani spinal anestesi pada pasien bedah urologi dialokasikan secara acak kedalam kelompok elektroakupunktur n=18 dilakukan penusukan titik LI4, PC6, ST36, dan SP6 bilateral sampai terjadi sensasi penjaruman, diberikan elektrostimulator frekuensi 2 Hz, gelombang continues pada kelompok eletroakupunktur sham n=18 dilakukan penusukan pada plester tanpa menembus kulit kemudian dihubungkan dengan elektrostimulator yang tidak dinyalakan. Elektroakupunktur dilakukan 1 kali selama 30 menit sebelum dilakukan anestesi spinal. Penilaian objektif menggigil menggunakan skala Crossley dan Mahajan serta penilaian suhu inti tubuh melalui suhu membran timpani menggunakan termometer infra red pada menit ke 5, 15, 30 dan 60. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna angka kejadian menggigil pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,22 namun secara klinis kejadian menggigil hanya ditemukan pada kelompok elektroakupunktur sham pada menit ke-60 16,7 dengan derajat menggigil 3 dan 4. Terdapat perbedaan bermakna suhu inti tubuh sebelum dan setelah dilakukan EA pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,03 , menit ke-15 p=0,03 dan menit ke-60 p=0,03 setelah anestesi spinal. Terdapat perbedaan tidak bermakna suhu inti tubuh pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham menit ke-5 p=0,11 dan menit ke-30 p=0,12. Kesimpulan penelitian ini penurunan suhu inti tubuh pada pasien dengan anestesi spinal dapat dicegah dengan menggunakan elektroakupunktur, namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian menggigil.
Shivering during spinal anesthesia is one of complications which are mostly associated with the decrease of body core temperature. The shivering incidents post anesthesia is quite high and provides an adverse physiological impact to patients that need to be prevented and addressed as soon as possible. There are no gold standards for shivering. Electroacupuncture EA is known to prevent shivering by maintaining the body core temperature. The aim of this research is to learn the impact of electroacupuncture to prevent shivering on urology surgery patients with spinal anesthesia as well as to discover the impact of electro acupuncture on the average decrease of urology surgery patient rsquo;s body core temperature with spinal anesthesia. Single blinded randomized clinical trial with comparison was performed to 36 subjects that would undergo spinal anesthesia to urology surgery patients allocated randomly into electroacupuncture group n=18 by performing needling at points LI4, PC6, ST36, and SP6 bilateral until the sensation of needling occurred, electrostimulator of 2 Hz frequency was given, continues wave given while in sham n=18 electroacupuncture group was performed needling on plaster without penetrating the skin then connected to electrostimulator that was not turn on. Electroacupuncture was performed once for 30 minutes before spinal anesthesia was conducted. An objective assessment of shivering was performed by using Crossley and Mahajan scale and the assessment of body core temperature through temperature tympanic membrane was conducted by using infra red thermometer in the 5, 15, 30 and 60 minutes. The result of the research suggested that there are meaningless differences of number of shivering incidents in electro acupuncture group compared to sham p=0,22 electro acupuncture group however clinically shivering incident was only found at sham electro acupuncture group in the 60 minutes 16,7 with the degree of shivering was 3 and 4. There are meaningful differences of body core temperature before and after EA was performed to electroacupuncture group compared to sham p=0,03 electroacupuncture group in the 15 p=0,03 minutes and 60 p=0,03 minutes after spinal anesthesia. There are meaningless differences of body core temperature in electroacupuncture group compared to sham electroacupuncture group in 5 p=0,11 minutes and 30 p=0,12 minutes. The conclusion of this research is the decrease of body core temperature of patients with spinal anesthesia can be prevented by using electroacupuncture; however there are no meaningful differences on shivering incidents.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Aditya Toga Sumondang
Abstrak :
Pendahuluan. Stress pembedahan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasca pembedahan ortopedi, khususnya pada populasi diabetes mellitus tipe dua dimana regulasi glukosa sangat penting baik sebelum maupun pasca bedah. Kadar glukosa dan C-reactive protein merupakan biomarker yang akan meningkat bila terjadi stress pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar rerata glukosa dan C-reactive protein pada subjek penelitian dengan diberikan lidokain intravena dan kontrol pada operasi ortopedi. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar yang mengikutsertakan 42 pasien yang menjalani pembedahan ortopedi. Sampel dilakukan pengelompokan dengan metode randomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pasien yang diberikan lidokain intravena selama pembedahan dalam anestesia umum. Kelompok kedua adalah pasien dalam anestesia umum tanpa lidokain. Pada kedua kelompok dilakukan dua kali pemeriksaan sampel glukosa dan C-reactive protein pada sebelum operasi dan sesudah operasi. Kedua kelompok dilakukan uji hipotesis untuk melihat perbedaan rerata glukosa dan C-reactive protein dengan analisa statistik menggunakan software SPSS. Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar glukosa dan C-reactive protein antara kelompok pasien dengan lidokain intravena dan kontrol. Rerata kadar glukosa pasca pembedahan lebih rendah pada kelompok lidokain dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda bermakna (p>0.05). Tidak terdapat perbedaan rerata C-reactive protein pada kelompok lidokain dan kelompok kontrol (p>0.05). Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa dan C-reactive protein yang bermakna antara kelompok lidokain dan kelompok kontrol pada operasi ortopedi dalam anestesia umum pada populasi dengan diabetes mellitus tipe dua. ......Introduction. Surgical stress is a factor that can influence orthopaedic postoperative outcomes, particularly in the type two diabetes mellitus population where blood sugar regulation is critical both before and after surgery. Blood sugar levels and C-reactive protein are biomarkers that will increase in the event of surgical stress. This study aimed to compare the average levels of blood sugar and C-reactive protein in study subjects with intravenous lidocaine and control in orthopaedic surgery. Methods. The study was a randomized clinical trial that included 42 patients undergoing orthopaedic surgery. Samples were grouped by randomization method into two groups. The first group were patients who were given lidocaine intravenously during surgery under general anaesthesia. The second group is patients under general anaesthesia without lidocaine. In both groups, two blood sugar and c-reactive protein samples were examined before surgery and after surgery. Both groups tested the hypothesis to see the difference in average blood sugar and C-reactive protein with statistical analysis using SPSS software. Results. There were no significant differences between mean blood sugar levels and C-reactive protein between the intravenous and control lidocaine groups. Average postoperative blood sugar levels were lower in the lidocaine group than in the control group, but not significantly different (p>0.05). There was no difference in mean C-reactive protein in the lidocaine group and the control group (p>0.05). Conclusions. There were no significant differences in blood sugar and C-reactive protein levels between the lidocaine group and the control group in orthopaedic surgery under general anaesthesia in the population with type two diabetes mellitus.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Prabowo
Abstrak :
Latar Belakang: Blok aksilaris dikatakan berhasil bila tidak hanya saraf ulnaris, medianus dan radialis saja yang dapat terblok, tetapi juga saraf muskulokutaneus. Ternyata saraf muskulokutaneus di regio fossa aksilaris sudah keluar dari selubung neurovaskular dan berada jauh dari arteri aksilaris, sehingga memerlukan blok terpisah bila menggunakan stimulator saraf. Perubahan posisi lengan dapat membuat susunan saraf di regio fossa aksilaris berubah, salah satunya jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris makin mendekat sehingga dapat memudahkan melakukan blok aksilaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh posisi lengan yang memberikan jarak optimal antara jarak saraf muskulokutaneus dengan arteri aksilaris di regio fossa aksilaris pada ras Melayu. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang pada orang dewasa ras Melayu yang berusia antara 18 hingga 60 tahun dengan rentang waktu dari Juli sampai dengan September 2018. Sebanyak 79 subjek penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Subjek penelitian akan diposisikan tidur terlentang dan ada tiga perubahan posisi lengan saat pengukuran yaitu: (1) posisi A (lengan abduksi 90° dan siku 0°), (2) posisi B (lengan abduksi 90° dan siku 90°) dan (3) posisi C (lengan abduksi dan lengan bawah fleksi dengan tangan menyentuh bagian belakang kepala). Pengukuran tiap perubahan posisi lengan dari jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris menggunakan pencitraan ultrasonografi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji repeated ANOVA. Hasil: Perubahan posisi lengan secara signifikan dapat mengubah jarak saraf muskulokutaenus ke arteri aksilaris (p <0,001). Dari ketiga posisi lengan, posisi C adalah posisi lengan dengan jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris paling dekat dengan rerata 13,27±3,95 mm. Simpulan: Posisi C menghasilkan jarak yang paling dekat antara saraf muskulokuteneus ke arteri aksilaris, namun jarak yang didapatkan bukan jarak optimal untuk melakukan blok aksilaris.
Background: Successful axillary block happens if not only the ulnar, median and radial nerve are blocked, but also the musculocutaneous nerve. Evidently, musculocutaneous nerve in axillary fossa is already out of the neurovascular sheath and far from the axillary artery. This condition requires a separate block when using a nerve stimulator. Varying arm positions can influence the nervous system in axillary fossa changing, which later makes the distance of the musculocutaneous nerve to the axillary arteries getting closer and much more easier to do the axillary block. This study aimed to determine which arm position give unsurpassed distance of musculocutaneous nerve to axillary artery in the axillary fossa of Malay race. Method: This study was an observational study with a cross-sectional design to Malay race of the ages of 18 to 60 years old. It was conducted from July to September 2018. By using a consecutive sampling, a total of 79 volunteers were recruited. Each volunteer lied in supine with three changes of arm positions: (1) position A (abduction arm 90 ° and elbow 0 °), (2) position B (abduction arm 90 ° and elbow 90 °) and (3) position C (abduction arm and forearm flexion with hands touching the back of the head). Each changes of the arm positions was measured by using ultrasonography-guided. Then, the data obtained were analyzed by using repeated ANOVA. Results: Significantly, varying of arm position can change the distance of musculocutaneous nerve to axillary artery (p <0.001). Among the three arm positions, position C is the finest position which give closest distance of the musculocutaneous nerve to the axillary artery for a mean of 13.27 ± 3.95 mm. Conclusion: Position C is the closest distance of musculokutaenus nerve to axillary artery, but not the optimal distance to do axillary block.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
Abstrak :
Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM. Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian. Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3). Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat. ...... Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence. Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration. Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3). Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnaz Fahdika
Abstrak :
Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena. Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat. Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%. Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.
Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously. Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded. Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%. Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Qudsiddik Unggul Putranto
Abstrak :
Latar Belakang : Pasien yang menjalani operasi koreksi skoliosis pascaoperasi di RSCMmendapatkan lama ventilasi mekanik pascaoperasi yang beragam. Pemakaian ventilasimekanik pascaoperasi koreksi skoliosis memengaruhi biaya perawatan dan waktu kontakpasien dengan keluarga. Identifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi lama ventilasimekanik diharapkan dapat memprediksi lama ventilasi mekanik pascaoperasi sehinggalebih efektif dalam penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini dilakukan dengan harapanmengetahui faktor risiko lama ventilasi mekanik pascaoperasi koreksi skoliosis pendekatanposterior di RSCM. Tujuan : Mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat memengaruhi lama penggunaanventilasi mekanik pascaoperasi koreksi skoliosis pendekatan posterior. Metode : Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekammedis. Lima puluh dua pasien yang menjalani operasi koreksi skoliosis pendekatanposterior antara januari 2011 hingga Juni 2016 dianalisis secara retrospektif. Dicatat lamapemakaian ventilasi mekanik pascaoperasi koreksi skoliosis pendekatan posterior. Faktorpreoperasi dan intraoperasi yang dianalisis merupakan data yang biasa dicatat dalam rekammedis antara lain nilai kapasitas vital paksa preoperasi, hipertensi pulmonal, jumlahperdarahan, jumlah cairan intraoperasi, transfusi darah dan lokasi segmen vertebra. Dataakan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji korelasi dan analisismultivariat regresi linier. Hasil : Mayoritas sampel adalah wanita 86,5 . Analisis korelasi didapatkan jumlahperdarahan r=0,431.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>