Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abiyoga Pradata
Abstrak :
ABSTRAK
Penerapan dan penelitian terkait efektivitas automated dose dispensing (ADD) di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas ADD di salah satu Rumah Sakit Indonesia yang telah menerapkannya, yaitu RSU Kabupaten Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan membandingkan jumlah resep dengan dispensing error dan dispensing time dari populasi resep yang menggunakan ADD dan manual dispensing (MD). Sampel didapat dari resep unit dose dispensing (UDD) bangsal rawat inap RSU Kabupaten Tangerang periode Mei-Juli 2019. Hasil penelitian dari 1086 resep untuk masing-masing populasi menunjukan ADD memiliki rerata geometrik dispensing time 53,70 detik, berbeda signifikan (p<0,001) dengan MD yaitu 144,54 detik. Jumlah resep dengan dispensing error resep pada ADD sebanyak 44 error, berbeda signifikan (p < 0,001) dengan MD yaitu 77 error. Hasil ini menunjukan bahwa di RSU Kabupaten Tangerang, ADD lebih efektif dibandingkan dengan MD dilihat dari rerata geometrik dispensing time dan jumlah dispensing error. Meskipun ADD dapat mempercepat pelayanan resep dan menurunkan jumlah dispensing error, penting untuk mempertimbangkan beberapa hal sebelum menerapkan mesin ini seperti faktor biaya, sistem informasi Rumah Sakit, resep elektronik, dan keterampilan sumber daya manusia.
ABSTRACT
The application and research related to the effectiveness of the automated dose dispensing (ADD) in Indonesia are still very limited. Therefore, this study aims to see the effectiveness of ADD in one of the Indonesian hospitals that have implemented in, Tangerang district general hospital. The method of this study is a cross-sectional by comparing the number of dispensing errors and dispensing time from the prescriptions of recipes using ADD and manual dispensing (MD). Samples were obtained from the unit dose dispensing (UDD) prescription in inpatient ward of Tangerang District General Hospital, May-July 2019. The results of 1086 prescriptions for each population showed ADD had an average dispensing time of 144,54 seconds, significantly different (p<0,001) from MD, 53,70 seconds. The number of dispensing errors prescribed by ADD is 44 errors, while MD is significantly different (p<0,001) with 77 errors. These results indicate that in the District Hospital of Tangerang, ADD is more effective than MD seen from the average dispensing time and number of dispensing errors. Even though ADD can speed up prescription services and reduce the number of dispensing errors, it is important to considering some factor before applying this machine such as cost factor, Hospital information system, electronic prescription, and human resources skills.
2019
T54016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Pratama
Abstrak :
Infeksi kaki diabetik (IKD) menjadi masalah utama secara global untuk pasien dan sistem pelayanan kesehatan. Selain mempertimbangkan efektivitas antibiotik, beban biaya medis pengobatan juga menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah analisis efektivitas-biaya antara ampisilin/sulbaktam dan non-ampisilin/sulbaktam pada pasien IKD rawat inap. Desain penelitian ini kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan data biaya pengobatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Perbaikan klinis infeksi kaki dinilai pada periode 5-7 hari dan dihitung total biaya medis langsung. Total 135 pasien IKD rawat inap teriklusi terdiri dari 93 pasien kelompok ampisilin/sulbaktam dan 42 pasien kelompok non-ampisilin/sulbaktam. Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas perbaikan klinis IKD pada kedua kelompok (55,9% vs 64,3%; p = 0,361). Pada analisis bivariat, derajat infeksi luka ringan 1,63 kali lebih berpeluang mencapai perbaikan klinis infeksi dibandingkan dengan pasien derajat sedang-berat (p = 0,026). Tidak ada perbedaan signifikan pada total biaya medis langsung antara ampisilin/sulbaktam dengan non-ampisilin/sulbaktam (Rp30.645.710 vs Rp32.980.126; p = 0,601). Pada perhitungan ACER dan model decision-tree, kelompok non-ampisilin/sulbaktam lebih cost-effective dibandingkan ampisilin/sulbaktam. Pada perhitungan ICER non-ampisilin/sulbaktam, untuk penambahan 1% perbaikan klinis IKD, dibutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 277.907. ......Diabetic foot infections (DFI) is a major problem globally and health system services. In addition to considering effectiveness of antibiotics, the burden of medical treatment costs is also a major concern in this study. This study aimed to analyze cost-effectiveness between ampicillin/sulbactam and non-ampicillin/sulbactam in hospitalized DFI patients. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data and medical cost data at Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. Assessment of clinical improvement of foot infections in 5-7 days and calculated total direct medical costs. A total of 135 inpatients with DFI, consisting of 93 patients in the ampicillin/sulbactam group and 42 patients in the non-ampicillin/sulbactam group. There was no significant difference in the effectiveness of clinical improvement between two groups (55.9% vs. 64.3%; p = 0.361). In bivariate analysis, mild infection had a 1.63 times probability of clinical improvement compared to moderate-severe infection (p = 0.026). There was no significant difference in total direct medical costs (IDR 30,645,710 vs IDR 32,980,126; p = 0.601). In ACER and decision-tree models, non-ampicillin/sulbactam group was more cost-effective. In ICER of non-ampicillin/sulbactam, for an additional 1% of clinical improvement in DFI, an additional fee of IDR 277,907 is required.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yovita Endah Lestari
Abstrak :
Acinetobacter baumannii adalah salah satu bakteri gram negatif oportunis yang ada di lingkungan. Karbapenem merupakan salah satu agen antibiotik yang digunakan untuk pengobatan infeksi Acinetobacter baumanni. Beberapa tahun terakhir laju resistensi karbapenem terhadap Acinetobacter baumannii selalu meningkat dengan prevalensi di seluruh dunia mencapai 30%. Peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian terkait hubungan kejadian CRAB dengan penggunaan antibiotik karbapenem di rumah sakit St. Carolus. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain studi case control. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit St. Carolus pada bulan Juni-Agustus 2019. Jumlah sampel dalam penelitian ini sejumlah 149 pasien (110 terinfeksi CRAB, 39 terinfeksi Carbapenem Sensitive Acinetobacter baumannii (CSAB)). Data yang didapatkan dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat menggunakan SPSS. Analisis multivariat dilakukan dengan analisis regresi logistik etiologik. Hasil penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ICU dan menggunakan antibiotika golongan karbapenem berpeluang 32 kali meningkatkan risiko infeksi CRAB (OR=32.266; p=0.020). ...... Acinetobacter baumannii is one of the opportunistic gram-negative bacteria in the environment. Carbapenem is an antibiotic agent used for the treatment of Acinetobacter baumanni infections. The last few years the rate of carbapenem resistance to Acinetobacter baumannii has always increased with a worldwide prevalence of 30%. Researchers intend to conduct research related to the correlation between the incidence of CRAB and the use of carbapenem antibiotics in the St. Carolus Hospital. This research was an observational analytic study using a case control study design. The study was conducted at the St. Carolus Hospital in June-August 2019. The number of samples in this study were 149 patients (110 infected with CRAB, 39 infected with Carbapenem Sensitive Acinetobacter baumannii (CSAB)). The data obtained were analyzed univariate, bivariate and multivariate using SPSS. Multivariate analysis was performed with an etiologic logistic regression analysis. The results of this study are patients who were treated in ICU and used antibiotics carbapenem 32 times increasing the risk of CRAB infection.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Hulliyyatul Jannah
Abstrak :
Penggunaan Obat Anti-Epilepsi (OAE) jangka panjang merupakan strategi terapi yang optimal setelah diagnosis epilepsi. Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu masalah utama dalam keberhasilan terapi jangka panjang pada pasien epilepsi. Salah satu faktor yang berpotensi kuat mempengaruhi kepatuhan adalah adanya Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Epilepsi Lobus Temporal (ELT) merupakan tipe epilepsi fokal yang paling banyak; lebih dari 80% pasien ELT berpotensi resisten obat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ROTD OAE pada pasien ELT dan hubungannya dengan kepatuhan pengobatan. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yang membandingkan ada/tidaknya ROTD menggunakan kuisioner Liverpool Advesre Event Profile (LAEP) dengan tingkat kepatuhan menggunakan kuisioner Morisky Adherence Questionaire (MAQ). Subyek penelitian adalah pasien ELT di Unit Rawat Jalan Departemen Neurologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Agustus-Oktober 2019. Hasil penelitian menunjukkan dari 88 pasien, 78.40% mengalami kejadian ROTD dan sebanyak 47.73% pasien memiliki tingkat kepatuhan sedang-rendah. Terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian ROTD dan tingkat kepatuhan (p=0.039;OR 4.313). Hasil ini menunjukan pasien ELT yang mengalami kejadian ROTD memiliki kecenderungan untuk tidak patuh terhadap pengobatannya. Faktor lain yang berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan pengobatan pasien yaitu jenis OAE (p=0,011; OR 0,249)). Jenis OAE yang memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengobatan adalah jenis OAE kombinasi (generasi lama dan generasi baru). Perlu dilakukan intervensi konseling secara berkala oleh farmasis untuk meningkatkan pemahaman mengenai ROTD yang terjadi selama penggunaan OAE dan edukasi terkait pentingnya kepatuhan pengobatan pasien. ......The long-term use of Anti-Epileptic Drugs (AED) is an optimal therapeutic strategy after the diagnosis of epilepsy. Adherence to treatment is one of the main problems in the long-term success of therapy in epilepsy patients. One factor that has the potential to strongly influence adherence is the presence of Adverse Drug Reaction (ADR). Temporal Lobe Epilepsy (TLE) is the most common type of focal epilepsy; more than 80% of TLE patients are potentially drug resistant. This study aimed to explore the ADR of AED in TLE patients and its correlation with medication adherence. The research method used was a cross sectional study comparing the presence of ADR using the Liverpool Adverse Event Profile (LAEP) questionnaire with the level of compliance using the Morisky Adherence Questionaire (MAQ). The research subjects were TLE patients in the Outpatient Unit of the Department of Neurology, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, August-October 2019. The results showed that of 88 patients, 78.40% experienced ADR and 47.73% of patients had moderate-low adherence. There is a significant correlation between the incidence of ADR and the level of compliance (p = 0.031;OR = 4.35). Another factor that significantly affected patient adherence was type of AED (p = 0.011; OR 0.249). The type of AED that shows a significant relationship to the level of medication adherence is combination of old and new generation AED. These findings indicate that patients who experience ADR have a tendency to disobey their treatment. Interventions programmed by pharmacists need to be done to increase the understanding of ADR that occurs during AED use and education related to the importance of medication adherence.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55347
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mareoza Ayutri
Abstrak :
Wabah COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) telah menjadi pandemi di seluruh dunia. Para peneliti berupaya untuk mengetahui dan mengembangkan obat-obatan yang berpotensi dalam melawan penyakit ini dengan mengevaluasi kembali obat yang kemungkinan dapat melawan virus ini. Oseltamivir dan favipiravir merupaka obat yang disetujui untuk pengobatan dan menunjukkan aktivitas ampuh melawan SARS-CoV-2. Namun, pengobatan definitif dari wabah ini belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek oseltamivir dan favipiravir pada pasien terkonfirmasi COVID-19 terhadap luaran klinis dan lama rawat. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dan retrospektif dengan menggunakan data rekam medis pasien rawat inap periode Maret hingga Oktober 2020. Penelitian dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta. Total sampel 114 pasien dengan 98 pasien (86%) menerima terapi oseltamivir dan 16 pasien (14%) menerima favipiravir. Proporsi pasien dengan luaran klinis sembuh adalah 101 pasien (88,6%) sedangkan 11 pasien meninggal (11,4%). Sebagian besar pasien memiliki lama rawat ≤ 14 hari (58,8%) sedangkan pasien dengan lama rawat > 14 hari sebanyak 41,2%. Efek antivirus (oseltamivir dan favipiravir) terhadap luaran klinis tidak signifikan secara statistik (p=0,690, OR=0,478, IK95% 0,058-3,950). Hubungan antara antivirus terhadap lama rawat juga tidak signifikan secara statistik (p=0,852, OR=0,767, IK95% 0,251-2,342). Variabel independen lain yang mempengaruhi luaran klinis ialah derajat keparahan (p=0,004) dan komorbid (p=0,009) sedangkan variabel lain yang mempengaruhi lama rawat ialah usia (p=0,005). Pada studi ini dengan data Maret hingga Oktober 2020 menunjukkan bahwa oseltamivir dan favipiravir tidak memiliki hubungan bermakna terhadap luaran klinis maupun lama rawat pasien terkonfirmasi COVID-19. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat tetapi studi lebih lanjut tetap diperlukan. ......The outbreak of COVID-19 caused by SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) is a worldwide pandemic. It has led researchers to develop drugs to fight against this ailment. Repurposed drugs have been evaluated to accelerate the treatment of COVID-19 patients. Oseltamivir and Favipiravir are drugs approved for the treatment of influenza. Both drugs have shown potent activity against SARS-CoV-2. Nevertheless, definitive treatment of this outbreak has not been confirmed yet. This study aims to evaluate the effect of oseltamivir and favipiravir in patients with confirmed COVID-19 on clinical outcomes and length of stay. It is a retrospective cross-sectional study using medical record data. The study was conducted at Fatmawati General Hospital Jakarta between March to October 2020. In this study, 98 patients (86.0%) received oseltamivir, while 16 patients (14.0%) received favipiravir. The mortality rate was 11.4% (13 patients), while the recovered was 88.6% (103 patients). Most of the patients had LoS (Length of Stay) of ≤ 14 (58.8%), while patients with LoS > 14 days were 41.2%. Antivirals (oseltamivir and favipiravir) effect on clinical outcome was not statistically significant (p = 0.690; OR = 0.478; CI95% 0.058-3.950) .Likewise, the association between antivirals and LoS was not statistically significant (p = 0.852; OR = 0.767; CI95% 0.251-2.342). Other independent variables that affect the clinical outcome are the degree of severity (p=0.004) and comorbidities (p=0.009), while another variable that affects the length of stay is age (p=0.005). In conclusion, oseltamivir and favipiravir were not significantly associated with clinical outcomes and length of stays in COVID-19 patients on March to October 2020. We hope this study will provide useful information about COVID-19 therapy. However, further study needs.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Farhanah Syafhan
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
T39562
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lailan Azizah
Abstrak :
Meskipun telah digunakan secara luas, obat anti inflamasi non steroid dihubungkan dengan insiden efek samping yang tinggi terhadap saluran cerna. Penghambatan enzim siklooksigenase merupakan dasar efikasi dan toksisitas obat anti inflamasi non steroid. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi jenis obat anti inflamasi non steroid yang digunakan di poliklinik penyakit saraf Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta dan mengevaluasi tolerabilitas meloxicam 15 mg dengan natrium diklofenak 100 mg terhadap saluran cerna. Metode dalam penelitian ini adalah observasi cross-sectional dan cohort prospektif pada periode Desember 2010 - Maret 2011. Pengambilan data mengenai keluhan dispepsia terkait penggunaan obat anti inflamasi non steroid terdiri dari nyeri abdomen atas, mual, muntah, kembung abdomen dan cepat kenyang dilakukan melalui wawancara berdasarkan kuesioner PADYQ (The porto alegre dyspeptic symptoms questionnaire) yaitu sebelum, setelah 2 minggu dan setelah 4 minggu pengobatan. Hasil penelitian menyatakan bahwa obat anti inflamasi non steroid yang paling banyak diresepkan di poliklinik penyakit saraf Rumkital Dr. Mintohardjo adalah meloxicam (48,21%), selanjutnya natrium diklofenak (31,07%), asam mefenamat (15,36%), piroxicam (3,93%) dan asetaminofen (1,43%). Meloxicam secara bermakna menunjukkan resiko yang lebih kecil terhadap insiden saluran cerna daripada natrium diklofenak setelah 2 minggu pengobatan dalam hal keluhan nyeri abdomen atas dan kembung abdomen dengan nilai kebermaknaan pengujian masing-masing sebesar 0,020 dan 0,037. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui meloxicam memiliki tolerabilitas saluran cerna lebih baik daripada natrium diklofenak setelah 2 minggu pengobatan. ......Although widely used, non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) are associated with a high incidence of gastrointestinal side-effects. Inhibition of the cyclooxygenase (COX) enzyme is the basis for both the efficacy and toxicity of NSAIDs. The aim of this study was to avaluate the non-steroidal antiinflammatory drugs were used in neuro polyclinic hospital of Dr. Mintohardjo Jakarta, and to evaluate gastrointestinal tolerability of meloxicam 15 mg compared with diclofenac sodium 100 mg. The methode of this study was crosssectional observation and cohort prospective on December 2010-March 2011. The data of dyspepsia associated were used non-steroidal anti-inflammatory drugs consist of pain in upper abdomen, nausea, vomiting, upper abdominal bloating and early satiety collected with PADYQ (The porto alegre dyspeptic symptoms questionnaire) were assessed at baseline and after 2 and 4 weeks of treatment. The non-steroidal anti-inflammatory drugs used in neuro polyclinic hospital of Dr. Mintohardjo Jakarta were meloxicam (48,21%), diclofenac sodium (31,07%), mefenamic acid (15,36%), piroxicam (3,93%) dan acetaminophen (1,43%). Insiden of adverse event after 2 weeks treatment was significantly lower in the meloxicam group compared with diclofenac sodium group in pain in upper abdomen and upper abdominal bloating (P=0.020 and P=0.037). These result suggest that meloxicam was much better tolerated than diclofenac sodium after 2 weeks treatment.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T28573
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
July
Abstrak :
Diabetes melitus termasuk sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia, dengan peningkatan 70% sejak tahun 2000. Kepatuhan menggunakan obat sangat penting untuk mencapai gula darah yang terkontrol pada pasien diabetes melitus. Pemberian insulin umumnya memberikan kontrol glikemik yang lebih baik sehingga meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi komplikasi diabetes, namun pemberiannya menyakitkan, membutuhkan teknik khusus, dan membatasi aktivitas harian pasien. Pemberian insulin pada pasien penyakit saraf memerlukan pertimbangan khusus karena kondisi pasien dapat memengaruhi kepatuhan menggunakan obat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pemberian insulin dengan kepatuhan menggunakan obat pada pasien diabetes melitus dengan penyakit saraf, serta pengaruh berbagai variabel perancu. Penelitian observasional ini dilakukan dengan desain potong lintang di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Timur pada September 2021-Januari 2022. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan antidiabetes minimal 6 bulan. Variabel bebas adalah pemberian insulin, sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan yang diukur dengan menggunakan metode subjektif (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) dan metode objektif (Medication Refill Adherence). Variabel perancu meliputi karakteristik dasar, riwayat kesehatan, dan pengobatan pasien. Berdasarkan metode ARMS dan MRA, dari 175 responden, 28 responden (16,0%) patuh, yaitu 5 responden (8,9%) yang menggunakan insulin dan 23 responden (19,3%) yang tidak menggunakan insulin. Pada pasien diabetes dengan penyakit saraf, pemberian insulin memengaruhi kepatuhan menggunakan obat sebesar 0,374 kali (IK95%: 0,129-1,087) atau pasien yang mendapatkan insulin memiliki kepatuhan 62,6% lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan insulin setelah dikontrol oleh iterasi dan perubahan antidiabetes yang digunakan pasien. ......Diabetes mellitus is one of the ten leading causes of death in the world, with an increase of 70% since 2000. Medication adherence is very important to achieve controlled blood sugar in patients with diabetes mellitus. Insulin generally provides better glycaemic control thereby improving quality of life and reducing diabetes complications. However, the delivery considered painful, requires special techniques, and limits the patient's daily activities. Insulin administration in patients with neurological diseases requires special consideration because the patient's condition can affect medication adherence. This study aimed to analyze the relationship between insulin administration and medication adherence in diabetic patients with neurological diseases, and the influence of various confounding variables. This observational study was conducted with a cross-sectional design at a government hospital in East Jakarta from September 2021 to January 2022. The sample was type 2 diabetes mellitus patients who received antidiabetics for at least 6 months. The independent variable was insulin administration, while the dependent variable was adherence, measured using subjective methods (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) and objective methods (Medication Refill Adherence, MRA). Confounding variables included baseline characteristics, medical history, and patient medication. Based on ARMS and MRA, there were 28 of 175 respondents (16.0%) who complied, namely 5 respondent (8.9%) who used insulin and 23 respondents (19.3%) who did not use insulin. Administration of insulin affects medication adherence by 0.374 times (95% CI: 0.129-1.087) than patients who do not use insulin or patients who use insulin have 62.6% lower adherence than patients who do not use insulin controlled by repeated prescription and antidiabetic changes.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnul Azhimah
Abstrak :
Edukasi menggunakan video, kartu pengingat minum obat dan pesan singkat merupakan intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan menuju keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi edukasi menggunakan video, kartu pengingat minum obat dan pesan singkat terhadap kepatuhan penggunaan antihipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Tangerang Selatan-Banten. Penelitian menggunakan rancangan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan melibatkan 160 responden, terdiri dari kelompok kontrol (80 responden) dan intervensi (80 responden). Data Kepatuhan penggobatan dan tekanan darah terkontrol dinilai dari pengisian kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) dan rekam medik sebelum dan setelah intervensi. Sebelum Intervensi ada perbedaan signifikan antar kelompok mengenai karakteristik demografi responden, karakteristik klinis, dan gaya hidup. Intervesi apoteker melalui video, kartu pengingat minum obat dan pesan singkat berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kepatuhan pengobatan (p:0.000) dengan kategori kepatuhan tingkat tinggi sebesar 7,5%, kepatuhan sedang sebesar 77,5% dan kepatuhan rendah sebesar 15%. Intervensi ini juga secara signifikan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik (p:0.000,TDS/TDD=-15,44 mmHg/-5,12 mmHg). Pasien hipertensi mengalami 3,75 % kejadian efek samping samping obat dengan level ringan (Mild). Manifestasi efek samping yaitu sakit perut dan kelelahan serta sakit kepala. ......Education using videos, medication reminder cards and text message reminder is an intervention that can be done to increase medication adherence to successful therapy. This study aims to evaluate education using videos, medication reminder cards and short messages on adherence to antihypertensive use in outpatients at the Tangerang Selatan Health Center, Banten. The study used a Randomized Controlled Trial (RCT) design involving 160 respondents, consisting of a control group (80 respondents) and an intervention group (80 respondents). Data on medication adherence and controlled blood pressure were assessed by completing the Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) questionnaire and medical records before and after the intervention. Prior to the intervention there were significant differences between groups regarding the demographic characteristics of the respondents, clinical characteristics, and lifestyle. Pharmacist intervention through videos, medication reminder cards and short messages had a significant effect on increasing medication adherence (p: 0.000) with high adherence categories of 7.5%, moderate adherence of 77.5% and low adherence of 15%. This intervention also significantly reduced systolic and diastolic blood pressure (p:0.000, TDS/TDD=-15.44 mmHg/-5.12 mmHg). Hypertensive patients experienced 3.75% of side effects of drugs with mild levels (Mild). Manifestations of side effects are abdominal pain and fatigue as well as headaches.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vriona Ade Maenkar
Abstrak :
Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19), yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2), telah mengakibatkan pandemik global. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dan efektivitas vaksinasi SARS-CoV-2. Studi observasional ini, menggunakan desain studi cross-sectional dengan total sampel penelitian 261 orang dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Google Form. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gejala KIPI paling banyak ditemukan pada onset <24 jam. Gejala umum yang ditemukan adalah sakit di tempat suntikan, fatigue, nyeri otot dan nyeri sendi. Sebagian besar keparahan KIPI adalah tingkat mild dan hanya beberapa peserta yang mengkonsumsi pengobatan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa peserta dengan jenis kelamin perempuan, peserta dengan penyakit penyerta, usia remaja – dewasa, jenis vaksin mRNA (BNT162b2) memiliki risiko KIPI yang lebih tinggi dan berpengaruh secara signifikan secara statistik (p<0.005). Efektivitas vaksin COVID-19 dalam mencegah infeksi cukup tinggi dengan persentase ≥79% pada setiap jenis dan dosis vaksin. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 aman untuk diberikan karena KIPI sebagian besar ringan dan otomatis hilang dan menurun setelah 1 hingga 3 hari dan persentase efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi COVID-19 cukup baik. ......The coronavirus that causes severe acute respiratory syndrome (COVID-19) is coronavirus 2 (SARS-CoV- 2). This virus has caused a global pandemic. This study aims to analyze relationship between risk factors for Adverse Events Following Immunization (AEFI) and the effectiveness of the SARS-CoV-2 vaccination. This observational study used a cross-sectional study design with a total sample of 261 people, data were collected using Google Forms. Results of this study showed the most AEFI symptoms are found at the onset of <24 hours. Common symptoms found are pain at injection site, fatigue, muscle aches and joint pain. Most of the AEFI severity was mild and only a few participants took medication. Results of this study stated that participants with female gender, comorbidities, adolescents - adults, type of mRNA (BNT162b2) vaccine had a higher risk of AEFI and statistically significant (p<0.005). Effectiveness of the COVID-19 vaccine is quite high with a percentage of ≥79% for each type and dose of vaccine. Conclusion of this study shows that the COVID-19 vaccines are safe to give because most of AEFIs are mild and automatically disappear and decrease after 1 to 3 days and percentage of effectiveness of the vaccine in preventing COVID-19 infection is good.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>