Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firdausyi
"Latar belakang dan tujuan : Rate iuran pada perusahaan yang mempunyai potensi bahaya/risiko kecelakaan kerja yang rendah, premi/rate iurannya rendah, yang mempunyai risiko kecelakaan kerjanya tinggi, rate iurannya lebih tinggi. Selama kurun waktu 1 tahun, tahun 2003 ditemukan rate iuran yang risiko kecelakaan kerja rendah, kejadian kecelakaan kerjanya lebih tinggi dari rate iuran dengan risiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi. Kajian data ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai rate iuran dan variabel lain yang berhubungan dengan risiko kecelakaan kerja yang terjadi pada perusahaan di daerah operasional PT `J' Kantor Cabang Wilayah Jakarta sehingga dapat dilakukan peninjauan ulang mengenai persentase iuran setiap jenis kelompok usaha.
Metode : Penelitian ini menggunakan disain cross seksional, data sekunder diambil dari laporan statistik jaminan kecelakaan kerja menurut akibat, pada 14 Kantor Cabang PT 'J' Wilayah Jakarta selama periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2004, pada 7671 kasus. Kasus adalah tenaga kerja yang mengajukan klaim Jaminan Kecelakaan Kerja. Pengolahan data dilakukan dengan program Epi Info.
Hasil dan kesimpulan : Rate iuran pada jenis kelompok usaha I (rate iuran paling rendah) ditemukan angka kejadian meninggal tertinggi (7,11%), pada jenis usaha kelompok V (rate iuran tertinggi) ditemukan angka kecacatan yang tertinggi (16,29%), sedangkan kejadian kecelakan kerja yang berada di luar lokasi kerja (62.57%) lebih tinggi dari pada di dalam lokasi kerja (37,43%).

Background. The rate of premium from companies that has low accident on the workplace, but on the contrary the accident rate has been high on numbers. On a time span of one year, the year of 2003 was found that low premium rate and low risks of accident, the work accidents occur more than the rate of premium being paid. This study aimed to provide us a picture of premium rate and other variables which related with risk of accidents at workplace within the operational area of PT"J" or the Jakarta area office. The rate of premium can be analysis for adjustment.
Methods. This research uses a cross sectional design, secondary data taken from the accident report which seen from the causal, from 14 office branches within Jakarta from January 2004 until December 2004, had found 7.671 cases. Companies and workers take those cases from claims that are proposed. A program called Epi Info transforms the data.
Result and Conclusions: Premium rate for the working group I (lowest rate of premium) has the highest death rate (7.11%), for the highest premium rate of insurance, group V has (16.29%), and for accidents occurring outside the workplace has (62.57%), which higher than accident inside the workplace (37.43%)
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ratna Sari H.
"Latar Belakang : Dari data poliklinik PT.X didapatkan bahwa pekerja dipabrik tissu yang menderita bronkitis cukup tinggi (5,4%) dan ISPA 86,7%. Dari penelitian sebelumnya tentang pajanan debu uang kertas didapatkan prevalensi obstruksi paru 19,4%.
Metode Penelitian: Desain penelitian dilakukan secara kros seksional dengan jumlah sampel 108 orang melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri dan pengukuran debu lingkungan kerja.
Hasil: Prevalensi bronkitis kronis didapatkan 9,26 %. Dan hasil analisis maka faktor umur, masa kerja, pendidikan, debu tissu, ventilasi, pemakaian APD dan kebiasaan merokok tidak ada hubungan bermakna dengan timbulnya bronkitis kronis. Hasil pengukuran debu lingkungan di bawah Nilai Ambang Batas. Dari analisa didapatkan kebiasaan merokok mempunyai risiko 2,81 kali lebih besar daripada yang perokok ringan dan bukan perokok.
Kesimpulan: Faktor risiko karakteristik pekerja dan faktor lingkungan tidak ada hubungan dengan timbulnya bronkitis kronis. Merokok merupakan faktor resiko pada pekerja.

Background : According to data from policlinic in tissue paper industry PT. X, much workers with chronic bronchitis (5,4%) and Upper Respiratory Diseases 86,7%. From the previous research about paper money dust exposure has found chronic obstruction disturbance 19,4 % prevalence.
Methodology : The relationship of environment dust and bronchitis chronic will found with cross sectional method, with 108 samples by interview, physic examination, and environment dust measurement.
Results and conclusion : Chronic bronchitis prevalence is 9,26 %. The analysis found that age, period of working, education, environment dust, ventilation, smoking and masker are not significant to prove bronchitis chronic. Total dust exposure has found lower from international standard. Smoking habits group have 2,81 more high risk than group without smoking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16223
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Purwo Sulistyo
"Latar belakang: Sebuah penelitian di Rumah Sakit (RS) Norwegia (2012) menemukan 67,7% perawat dengan pola kerja gilir 3-rotasi mengalami insomnia. Banyak penelitian dilakukan tentang kerja gilir dan hubungannya dengan kesehatan, sehingga pola rotasi yang direkomendasikan tersedia, tetapi masih ada pola lain diterapkan, termasuk oleh pekerja rumah sakit. Pola kerja gilir iregular memiliki risiko terjadinya insomnia lebih besar. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pola kerja gilir 3-rotasi dengan insomnia pada pekerja RS.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain komparatif potong-lintang. Data sekunder dari 234 pekerja RS dengan pola kerja gilir 3-rotasi regular dan iregular diikutertakan dalam penelitian ini, yang memenuhi kriteria inklusi. Variabel yang dianalisis adalah faktor individu, seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan higiene tidur juga faktor pekerjaan, seperti profesi, masa kerja, dan unit kerja.
Hasil: Prevalensi insomnia klinis pada pekerja RS dengan pola kerja gilir 3-rotasi adalah 29.9%. Ketika insomnia ringan (pra-klinis) diikutsertakan, maka prevalensi insomnia adalah 55.5%. Variabel berhubungan dengan insomnia adalah: pola kerja gilir 3-rotasi (ROsesuaian 0.34; IK 95% 0.18 - 0.66), pekerjaan sampingan (ROsesuaian 0.46; IK 95% 0.22 - 0.99;), indeks higiene tidur (ROsesuaian 8.84; IK 95% 4.41 - 17.74). Variabel lain tidak berhubungan secara signifikan dengan insomnia preklinis-klinis.
Kesimpulan: Prevalensi insomnia preklinis-klinis adalah 55.5% di antara pekerja RS dengan pola kerja gilir 3-rotasi. Indeks higiene tidur adalah faktor paling dominan terkait dengan insomnia (ROsesuaian 8.84).
Background: A study in the Norwegian Hospital (2012) found 67.7% of nurses with 3-rotational shift work patterns had insomnia. Many studies exist on shift work and it’s association with health, there fore recommended shift patterns are available, but still other patterns are implemented, including among hospital workers. Irregular shift work patterns have a greater risk of insomnia. This study aims to determine association of 3-rotational shift work patterns with insomnia in hospital workers.
Method: This study used a cross-sectional comparative design. Secondary data from 234 hospital workers with regular and irregular 3-rotational shift work patterns were included in the study, who meet the inclusion criteria. Variables analyzed were individual factors, like age, gender, marital status and sleep hygiene also occupational factors, like profession, work period and work unit.
Results: The prevalence of clinical insomnia in hospital workers with 3-rotational shift work patterns was 29.9%. When light insomnia (pre-clinical) were included, the prevalence of insomnia was 55.5%. Variables associated with light - severe insomnia were: 3-rotational shift work patterns (ORadj 0.34; 95% CI 0.18 - 0.66), side jobs (ORadj 0.46; 95% CI 0.22 - 0.99), sleep hygiene index (ORadj 8.84; 95% CI 4.41 - 17.74). Other variables were not significantly related to insomnia.
Conclusion: Prevalence of insomnia preclinical - clinical was 55.5% among hospital workers with 3-rotational shift work. Sleep hygiene index is the most dominant factor associated with insomnia (ORadj 8.84). "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Frans Henny
"ABSTRAK
Latar belakang. Kebisingan merupakan potensi bahaya yang sering ditemui pada industri hulu migas, dan memerlukan pengendalian yang tepat dengan PKP agar tidak menimbulkan NIHL. Perusahaan hulu migas X menjalankan PKP sejak tahun 2014, namun perubahan STS pada audiometri berkala sebesar 12,7% melebihi acuan dari NIOSH.
Tujuan Penelitian. Untuk menilai penerapan PKP yang dilakukan perusahaan hulu migas X.
Metode penelitian. Menggunakan metode penelitian mixed method, dilakukan scoring pada ke-8 langkah keluaran dan perhitungan perubahan STS yang terjadi. Secara kualitatif membandingkan pelaksanaan tahapan keluaran, proses dan masukan yang diperoleh melalui kontingensi data dengan panduan dari NIOSH.
Hasil penelitian. Dilakukan penilaian dan kategorisasi terhadap 8 langkah pada tahap keluaran, dengan hasil hazard monitoring, evaluasi audiometri dan record keeping dikategorikan cukup, sedangkan pengendalian enjinering dan administratif, APT, edukasi dan motivasi, evaluasi program dan audit dikategorikan kurang. Sehingga hasil penilaian untuk keseluruhan langkah pada tahap keluaran adalah kurang. Hasil pada keluaran ini berkaitan erat dengan proses dan masukan. Hampir keseluruhan proses dilakukan oleh tim pelaksana PKP yang merupakan gabungan dari tim kesehatan dan higiene industri yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman dalam menjalankan program yang kompleks ini. Dari pihak manajemen, keterbatasan dalam pendanaan, yang utamanya untuk melakukan pengendalian enjinering dan administratif, dimana pendanaan tersebut berkaitan dengan struktur gabungan dua perusahaan serta akan habisnya masa kontrak kerja sama turut memberikan andil pada kegagalan ini.
Kesimpulan. Perubahan STS pada pelaksanaan PKP di perusahaan hulu migas X sebesar 12,7% dikarenakan terdapat kekurangan pada tahapan masukan, proses dan keluaran dibandingkan panduan dari NIOSH, yang diakibatkan keterbatasan dari pihak manajemen serta tim pelaksana PKP.

ABSTRACT
Background. Noise is a potential hazard that is often encountered in the upstream oil and gas industry, and requires proper control with HCP to prevent NIHL. Upstream oil and gas company X has run HCP since 2014, but the STS changes on a periodical audiometry of 12.7% still exceed the reference from NIOSH.
Purpose. To evaluate the implementation of HCP in upstream oil and gas company X.
Method. Using mixed method, scoring the 8 steps of output stage and calculation of STS changes. Qualitatively compares the implementation of the outputs, processes and inputs stages obtained through contingency data, with guidance from NIOSH.
Result. Assessment and categorization of the 8 steps at the output stage, with results: hazard monitoring, audiometric evaluation and record keeping are categorized fair, while engineering and administrative control, hearing protection device, education and motivation, program evaluation and audit are categorized poor. The result for the overall output stage is poor. Outputs results are related to processes and inputs. Almost the whole process is carried out by the HCP team, which is a combination of health section members and industrial hygienists that previously had no experience running this complex program. On the management side, financing constraints, principally for engineering and administrative control, where the funding relates to the combined structure of the two companies and the expiration of the contract period contribute the failure.
Conclusion. STS changes in the implementation of HCP in upstream oil and gas company X amounted to 12.7% due to lack of input stage, process and output compared to guidance from NIOSH, which resulted from limitations of management and HCP implementation team."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamurijal Baharuddin
"Spirometri dirancang untuk mengidentifnkasi dan menilai abnormalitas fungsionai system pernafasan. Pajanan hazard inhalan di tempat kerja dapat menimbulkan respons iritan, iibrotik, alergik, infeksius, karsinogenik, dan sistemik bagi manusia. Beberapa iritan dapat saja tidak memberikan efek sistemik karena respons iritan lebih besar daripada efek sistemik manapun, sementara beberapa di antaranya dapat memberikan efek sistemik yang bermakna setelah penyerapan. Pajanan debu-debu mineral terkait dcngan pnoses terjadinya obstzuksi aliran udara kronik, yang mungkin juga dimediasi oleh dust-induced fibrosis pada saluran- saluran napas yang kecil. Di sisi lain, asap rokok memegang peranan sawat panting dalam proses terjadinya inflamasi dan memegang peran utama dalam patogcncsis PPOK.
Pada penclitian ini dianalisis hasil spirometri Karyawan PT X yang terpajan debu di area penambangan dan pemrosesan nikel untuk daerah kerja di dalam Plan! Site yang diasuransikan berpajanan debu lebih tinggi dan daerah kerja di luar Plan! Site yang diasumsikan berpajanan debu lebih rendah. Pcnelitian ini menggunakan desain cross seclional dengan analisis komparatif dengan menggunakan data rckam medik Check-up karyawan Iaki-Iaki, dengan sampel herjumlah 334.
Hasil dan kesimpulan: Secara demografis, karyawan golongan blue collar adalah dominan yakni sebesar 67,0 %. Adapun golongan white collar dan mixed masing-masing sebesar 18,9 % dan 14,1 %. Secara keseiuruhan, prcvalensi hasil spirometri abnormal (rcstriktif + obstruktit) sebesar 34,12 %. Dari uji bivariat kemudian dilanjutkan dengan uji multivariat ditemukan bahwa faktor risiko yang diperkirakan berperan terhadap gangguan faal paru obstruktif dan restriktif adalah variabel umur > 50 tahun, kebiasaan merokok, tidak berolahraga, IMT > 30,0, adanya gejala klinis saat check-up, dan masa kerja > 20 tahuu. Dari semua variabel ini, sccara statistik, disimpulkan tidak ada variabel yang memiliki kemaknaan hubungan dengan gangguan fungsi paru.

Spirometry is designed to identify and quantity functional abnormalities of the respiratory system. Exposure of occupational inhalants can result in irritant, fibrotic, allergic, infectious, carcinogenic, and systemic effects to human. Some irritants produce no systemic eject because the irritant response is much greater than any .systemic effect, while some also have significant systemic ejects following absorption Mineral dust exposure is associated with chronic obstructive airway process, which might be mediated by dust-induced fibrosis in the small airways. On the other hand, cigarette smoke plays a principal role in the inflammation process and the pathogenesis of COPD.
Spirometry results of the PT X employees who were exposed by dust in nickel mining and processing area which are devided to Plant Site area (assumed higher dust exposure) and beyond Plant Site area (assumed lower dust exposure) are anabfzed in this cross sectional study using comparative analysis method to 334 male employees ? medical check-up record.
Result and conclusion: In this study, blue collar workers group is predominant by 6720 % of total sample, while white collar group and mired group contribute 18,9 % and 14,1 %, respectively. Overall, prevalence of abnormal spirometry result (restrictive -é obstructive) was 34,12 %. By using bivariate and multivariate analysis consecutive of, it was found that risk factors presumably play important role in obstructive and restrictive lung function disorders are the following variables I age>50 years, smoking habit, no sport activities, BMl> 30, 0, presence of respirator clinical symptoms, and length of employment >20 years. This study concluded that of all these variables, none of them has a statistically significant association to lung function disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T29191
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budisetiawan Muchtar
"Latar belakang: Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan akibat dari kerja yang berkaitan dengan hubungan kerja dengan perusahaan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi kecelakaan kerja dan mengetahui hubungan aspek perilaku pekerja serta faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja pada pekerja industri minyak dan gas bumi (migas) di Kalimantan sehingga dapat dilakukan upaya. pcncegahan untuk menurunkan angka kecelakaan kerja.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada bulan November 2009 terhadap 364 responden di bagian operation yang bekerja selama bulan Januari-September 2009. Data dikumpulkan dengan wawancara dan kuesioner pada pekenja maupun supervisor. Hubungan antara umur, pendidikan, masa kerja, status perkawinan, status kepegawaian, lama kerja, kerja safety, status kesehatan, perilaku, pengetahuan sqkzy, pelatihan keselamatan kerja, supervisi, tanda peringatan, bising, panas dan keadaan Iingkungan kenja Iainnya dianalisis statistik secara univariat, bivariat dan regresi Iogistik.
Hasil: Prevalensi keoelakaan kerja 5.7% yang terdiri dari kecelakaan kexja ringan sebesar 3.3% dan near miss 2.4%. Dari analisis mullivariat didapat hubungan bemmkna antara kejadian kecelakaan kezja dan variabel kenja shw (OR=1 1.9; CI 95% 2.2-49.9), at risk behavior (OR=8.4; CI 95% 1.9-36.6), pengctahuan safézy kurang (OR=9.3; Cl 95% 2.0-44.l), myop (OR=45.0; Cl 95% 2.9-70l.3), masa kerja antara 5-I0 tahun (OR=0.I; CI 95% 1.9-36.6), dan kebisingan (OR=3.4; CI 95% 1.9-36.6).
Kesimpulan: Prevalcnsi kecelakaan kenja 5.7% dan kerja .shw merupakan faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja.

Background: Work accident is an unexpected or unwanted event from work which is related to work in company. The purpose of this research is to know the prevalence of work accident and to determine relationship between behavior aspect of workforce and other factors which could influence the occurence of work accident to oil and gas workforce in Kalimantan, so that preventive efforts to reduce the number of work accident can be performed.
Method: A cross-sectional study was perfonned in November 2009 to 364 workforces of Operations Department who had worked during January-September 2009. The data was compiled through interviews and questionnaires to the workforce and supervisors. Relationship between age, education, tenure, marital status, employment status, length of work, work-shift, health status, behavior, safety knowledge, safety trainings, supervision, warning signs, noise, heat and other work environment condition were analyzed statistically by univariate, bivariate and logistic regression.
Result: Work accident prevalence of 5.7%, consists of minor work accident of 3.3% and near-miss of 2.4%. From multivariate analysis, it was identified that there is a significant relationship between work accident and work-shift (0R=l 1.9; CI 95% 2.2- 49.9), at risk behavior (OR=8.4; CI 95% 1.9-36.6), lack of knowledge on safety (OR=9.3; CI 95% 2.0-44.l), myop (OR=45.0; CI 95% 2.9-7013), tenure between 5-10 years (OR=0.1; CI 95% l.9-36.6), and perception of noise (OR=3.4; CI 95% 1.9-36.6).
Conclusion: Prevalence of work accident is 5.7% and work-shitt is the most associated factor with work accident.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T32317
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriarto Nugroho
"ABSTRAK
Pendahuluan : Perawat rumah sakit memiliki risiko mengalami gangguan kualitas tidur. Penelitian tahun 2012 di Salatiga dan Semarang menemukan 52,6% perawat mengalami gangguan kualitas tidur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola kerja gilir dengan kualitas tidur dan prevalensi kejadian gangguan kualitas tidur pada perawat dua rumah sakit militer di Jakarta.
Metode : Desain penelitian menggunakan comparative cross sectional melibatkan 183 perawat dua rumah sakit militer yaitu 83 perawat dari rumah sakit yang menerapkan pola 2 kerja gilir perhari dan 100 perawat dari rumah sakit yang menerapkan pola 3 kerja gilir perhari. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data karakteristik faktor pekerja dan pekerjaan. Penilaian kualitas tidur menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index yang telah divalidasi.
Hasil : Prevalensi gangguan kualitas tidur pada perawat 52,5%, pada kelompok 2 kerja gilir perhari didapat prevalensi 63,9 % dan pada kelompok 3 kerja gilir perhari didapat prevalensi 43 %. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara pola kerja gilir dengan kualitas tidur dengan ORsuaian=3,09 dan 95%CI = 1,44 - 6,62. Status pernikahan menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitas tidur dengan ORsuaian= 5,58 dan 95%CI = 2,08 ? 14,93. Masa kerja juga menunjukkan hubungan bermakna dengan kualitas tidur dengan ORsuaian= 3,78 dan 95%CI = 1,73 ? 8,23.
Kesimpulan dan Rekomendasi : Terdapat hubungan antara pola kerja gilir dengan gangguan kualitas tidur pada perawat di dua rumah sakit militer di Jakarta. Faktor lain yang berhubungan adalah status pernikahan serta masa kerja. Saran bagi manajemen rumah sakit yakni merubah pola kerja gilir menjadi 3 kerja gilir perhari. Edukasi berupa penyuluhan tentang kerja sehat dan sleep hygiene serta menyediakan ruangan khusus yang nyaman untuk perawat di setiap ruang perawatan untuk melepas lelah pada saat dinas.

ABSTRACT
Introduction : Nurses at hospital are at risk getting sleep quality disorder. Previous study in 2012 in Salatiga and Semarang showed that 52,6 % nurses suffers sleep quality disorder. The aim of this research are to know the asscociation betwen workshift pattern and the prevalence of sleep quality disorder among nurses at two military hospitals in Jakarta.
Method : The design of research is compartive cross sectional which involved 183 nurses from two military hospitals, consists of 83 responders from hospital which apply workshift pattern 2 shifts perday and 100 responders from hospital which apply workshift pattern 3 shifts perday. Interview was taken to seek the employee characteristic and job characteristic data. Assesment of sleep quality using quesioner from Pittsburg Sleep Quality Index which has been validated.
Result : Prevalence of sleep quality disorder is 52,5%. In group with 2 workshift perday the prevalence is 63,9% and group with 3 workshift perday prevalence is 43%. From test of analitic statistic, it can be conclude that there is significant connection between workshift pattern with sleep quality ORadj= 3,09 and 95%CI = 1,44 - 6,62. Marital Status conclude that there is significant connection between marital status with sleep quality ORadj= 5,58 and 95%CI = 2,08 ? 14,93. Period of working conclude that there is significant connection between period of working with sleep quality ORadj= 3,78 and 95%CI = 1,73 ? 8,23.
Conclusion and Recommendation : There is a asscociation between workshift pattern and sleep quality disorder. The other factors are marital status and period of working. Suggest to hospital is changes workshift pattern into 3 times perday. Education about work healthy and socialisation of sleep hygiene and also add special room for nurse to relax.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Handoko H.
"Latar Belakang : Decompression sickness (DCS) masih menjadi masalah, walaupun dekompresi telah dilakukan sesuai dengan prosedur[1,2,3] Insiden pada recreational diving 2-4 per 10.000 penyelaman[1]. Patofisiologi terjadinya DCS tidak hanya terjadi akibat mekanisme obstruksi dari gelembung gas[3,4], namun dikaitkan dengan gangguan terhadap fungsi fisiologis NO[2,3,4,5].
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over pada 16 orang penyelam laki-laki Dislambair Koarmatim TNI AL. Data diperoleh melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium ekspresi eNOS menggunakan teknik kuantitatif ELISA sandwich, yang diberi perlakuan penyelaman tunggal dekompresi US Navy 280 kPa dalam RUBT.
Hasil : Terdapat penurunan ekspresi eNOS yang bermakna pada kelompok hiperbarik (p<0,001) dan perbedaan selisih ekspresi eNOS antara kelompok normobarik dan hiperbarik yang bermakna (p=0,01). Korelasi IMT dengan ekspresi eNOS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok hiperbarik dan sebelum perlakuan pada kelompok normobarik berlawanan arah. Korelasi antara kebiasaan merokok dengan ekspresi eNOS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok normobarik adalah sedang.
Kesimpulan dan Saran: Penurunan ekspresi eNOS pada kelompok hiperbarik (p<0,001) dan selisih rerata ekspresi eNOS antara kelompok normobarik dan hiperbarik (p=0,001). Memperhatikan faktor individu, yaitu IMT dan kebiasaan merokok pada prosedur penyelaman dan diperlukan kajian medik langkah preconditioning sebelum penyelaman.

Background : Decompression sickness (DCS) is still a problem, even though decompression has been performed in accordance with the procedures[1,2,3] recreational diving incident at 2-4 per 10,000 dives[1]. Path physiology of DCS not only occur due to obstruction mechanism of gas bubbles[3,4], but is associated with disruption of physiological functions NO[2,3,4,5].
Methods : This study is an experimental study with cross-over design in 16 male divers Dislambair Koarmatim Navy. Data obtained through questionnaires , physical examination and laboratory eNOS expression using quantitative techniques sandwich ELISA, which treated single dive decompression US Navy 280 kPa in hyperbaric chamber.
Results : Significant reduction in eNOS expression in the hyperbaric group(p<0.001) and the difference in eNOS expression differences between groups normobaric and hyperbaric(p=0.01). IMT correlation with the eNOS expression before and after treatment in the hyperbaric group and before treatment in group normobaric opposite direction. The correlation between smoking and eNOS expression before and after treatment in group normobaric is being.
Conclusions and Recommendations : A reduction in eNOS expression in the hyperbaric group(p< 0.001) and the mean difference between groups normobaric eNOS expression and hyperbaric(p = 0.001) . Attention to individual factors , namely BMI and smoking habits on the procedures required dives and medical studies preconditioning step prior to the dive.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rafikana Desi Darmastuti
"Anggota Brimob adalah salah satu bagian dari Kepolisian Republik Indonesia yang ditugaskan pada situasi-situasi darurat seperti penanganan demonstrasi dan huru hara, penanggulangan bencana, dan penugasan di daerah konflik. Seorang anggota Brimob perlu didukung oleh kondisi kesamaptaan jasmani yang baik sehingga selalu siap siaga, mempunyai daya tahan dan kekuatan fisik yang yang optimal dalam melaksanakan tugasnya. Kesamaptaan jasmani adalah kondisi jasmani yang menggambarkan kesegaran jasmani untuk melaksanakan tugas tertentu dengan hasil yang optimal tanpa memperlihatkan keletihan yang berarti.
Dari hasil tes kesamaptaan periode I tahun 2014 didapatkan 30 % dari anggota yang mengikuti tes mendapatkan nilai kurang dari 60, pada periode II tahun 2014 juga didapatkan 30 % dari anggota yang mengikuti tes mendapatkan nilai kurang dari 60, pada periode I tahun 2015 didapatkan 40% dari anggota yang mengikuti tes mendapatkan nilai kurang dari 60. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor ? faktor yang berhubungan dengan penurunan tingkat hasil tes kesamaptaan dan diketahuinya faktor yang paling berhubungan. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, menggunakan data sekunder hasil tes kesamaptaan periode II tahun 2014 dan periode I tahun 2015 pada Anggota Brimob di Kelapa Dua Depok, serta data hasil pemeriksaan kesehatan rutin tahun 2015.
Dari 382 subyek penelitian, terdapat penurunan tingkat kategori hasil kesamaptaan jasmani sebesar 146 (38,1%), didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar kolesterol dengan penurunan tingkat kesamaptaan jasmani (p=0,000) dan terdapat hubungan antara pangkat dengan penurunan tingkat kesamaptaan jasmani (p=0,009).

Members of Mobile Brigade are one part of the Indonesian National Police assigned to emergency situations such as the handling of demonstrations and riots, disaster management, and assignments in conflict areas. A member of Mobile Brigade should be supported by good physical fitness, so it is always ready, has endurance and optimal physical strength in performing their duties. Physical fitness is a physical condition that describes the good condition to perform certain tasks optimally without any significant fatigue.
The result of the first periode of physical fitness test in 2014, there were 30 % participants got score under 60. The second periode in 2014, the rate of the score almost the same. For the first periode in 2015, there were 40 % of participant got score under 60. The purpose of this study to determine the factors related with decrease level of the physical fitness test score and knowing the most related factors.This research using cross sectional method, using secondary data of the second periode physical fitness test in 2014 and the first periode in 2015, and data from routine medical check up in 2015.
Out of the 382 subjects, there was a decrease in the level of physical fitness category results for 146 (38.1%), it was found a significant related between total blood cholesterol with a decrease in the level of physical fitness (p = 0.000) and between Police Rank with a decreased level of physical fitness (p = 0.009).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>