Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
hapus3
"

Pendahuluan: Tremor merupakan salah satu gangguan gerak yang sering ditemukan dalam praktik sehari-hari dan memiliki potensi dampak tinggi terhadap terjadinya disabilitas. Tremor dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor dan salah satunya adalah pajanan uap merkuri. Di Indonesia, terdapat sekitar 150.000 pekerja Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) yang berisiko terpajan merkuri, dan sampai saat ini belum ada penelitian yang secara spesifik menilai prevalensi tremor terkait pajanan merkuri pada pekerja PESK dan faktor-faktor yang berhubungan.

Metode: Desain potong lintang digunakan dalam penelitian ini untuk mencari hubungan antara usia, kebiasaan merokok, masa kerja sebagai penambang, jenis aktivitas bekerja dalam PESK, kebiasaan menyemprot pestisida dan kadar merkuri urin dengan tremor pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner asesmen kesehatan populasi terpajan merkuri dari WHO UNEP, pemeriksaan fisis finger to nose, dan kadar merkuri urin terkoreksi kreatinin

Hasil: Prevalensi tremor pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten didapatkan sebesar 8,6% dengan faktor yang paling berhubungan adalah usia > 40 tahun (OR = 5,09; 95% CI = 1,05 – 24,48; p = 0,02)

Kesimpulan: Didapatkan hubungan yang bermakna antara usia > 40 tahun dengan tremor pada pekerja PESK. Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok, masa kerja sebagai penambang, jenis aktivitas bekerja dalam PESK, kebiasaan menyemprot pestisida dan nilai Indeks Pajanan Biologis dengan tremor. Tidak didapatkan hubungan antara pajanan merkuri dengan tremor.

 

Kata kunci: tremor, PESK, merkuri

 


Introduction: Tremor is a movement disorder that is oftenly found in daily practice and has high potential impact related to disability. Tremor can be caused by various factors and one of them is exposure to mercury vapor. In Indonesia, there are around 150,000 Artisanal Small-scale Gold Mining (ASGM) workers who are at risk of being exposed to mercury, and to date no studies have specifically assessed the prevalence of tremors related to mercury exposure in Artisanal and Small-scale Gold Mining (ASGM) workers and its related factors.

Method: A cross-sectional design study was used to find the relationship of age, smoking habits, working period as a miner, type of work activities in ASGM, history of spraying pesticides and the level of urinary mercury with tremor in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten province. The instrument used is a health assessment questionnaire of mercury-exposed population established by WHO UNEP, finger to nose physical examination, and creatinine-corrected urinary mercury levels.

Results: The prevalence of tremor in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten provinces was 8.6% with the most related factor was age > 40 years-old (OR = 5.09, 95% CI = 1.05 - 24.48, p = 0.02)

Conclusion: There was a significant relationship between age > 40 years-old and tremor amongst ASGM workers. No significant relationship was found between smoking habits, working period as a miner, type of work activities in ASGM, history of spraying pesticides and the level of Biological Exposure Index with tremor. There was no relationship between mercury exposure and tremor.

 

Keywords: tremor, ASGM, mercury

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Nikopama
"Uap logam merupakan agen penyebab atopi golongan berat molekul rendah yang menyebabkan terjadinya Metal Fume Fever(MFF). Adanya mekanisme alergi pada MFF belum diketahui dengan jelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran atopi dan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya MFF. Desain potong lintang dengan analisis komparatif digunakan untuk mengetahui hubungan atopi serta faktor lain terhadap terjadinya MFF pada pekerja las.Subjek penelitian adalah 234 pekerja las di industri suku cadang otomotif PT X di Bekasi, Indonesia.Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, pemeriksaan klinis, uji tusuk kulit, serta pengukuran arus puncak ekspirasi. 108 dari 234 sampel (46%) mengalami MFF.Tidak ditemukan adanya perbedaan proporsi yang bermakna antara subjek dengan atopi dan subjek tanpa atopi terhadap terjadinya MFF. Berdasarkan RRsuaian dengan melakukan penyesuaian antar variabel yaitu atopi, masa kerja dan APD tidak diperoleh adanya variabel yang merupakan faktor determinan, walaupun pada perhitungan RRkasar ditemukan masa kerja > 5 tahun dan tidak menggunakan APD meningkatkan risiko MFF dengan masing-masing RRkasar (1.46, 95%IK=1.03-2.09) dan (1.5, 95%IK=1.05-2.15). Sebagai simpulan yaitu prevalensi MFF pada pekerja las sebesar 46%. Tidak terdapat perbedaan secara statistik antara proporsi subjek dengan faktor atopi untuk mengalami MFF dengan subjek tanpa faktor atopi.

Metal fume is low molecular weight atopy agent which cause Metal Fume Fever (MFF). The allergic mechanisms of MFF is still unclear. This study aims to determine role of atopy and other factors influence MFF.This was a cross-sectional study with a comparative analysis to determine assosiation between atopy and other influencing factors with occurrence of MFF on welder. Subjects were 234 workers in PT X an automotive sparepart industry in Bekasi, Indonesia. Data collected through questionnaires, clinical examination, skin prick test and peak expiratory flow measurements. 108 of 234 samples (46%) experienced MFF. There were no significant differences proportion between subjects with atopy and non atopy to the occurrence of MFF. Based on adjusted Relative Risk (adjusted RR) by making adjustments between variables atopy, working period and usage of PPE, this study wasn?t obtained the existance of a variable which act as determinant factor. Although crude relative risk analysis was found work period over 5 years and not using PPE increases the risk of MFF, which for working periode (RRcrude=1.46; 95%CI=1:03-2:09) and a habit of not using Personal Protective Equipment (PPE) (RRcrude =1.5; 95%CI=1:05-2:15).The prevalence of MFF on welder was46%. No statistic significant differance between proportion of subjects with atopy and subjects without atopy for experiencing MFF."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni`Ma Nuraini Kusuma Sari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alat skrining malnutrisi yang sesuai untuk pasien kanker dewasa rawat inap pra bedah sehingga malnutrisi cepat dikenali dan dapat diberikan dukungan nutrisi secara dini. Penelitian ini merupakan uji diagnostik alat skrining Malnutrition Screening Tool (MST) dan Royal Marsden Nutrition Screening Tool (RMNST) dengan Subjective Global Assessment (SGA) sebagai pembanding terhadap 58 pasien kanker rawat inap pra bedah yang masuk rumah sakit kurang dari 24 jam. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), dan area under the curve (AUC) dihitung untuk mengetahui metode yang paling baik diantara dua alat skrining dibanding standar baku. Hasil penelitian didapatkan prevalensi malnutrisi berdasarkan SGA sebesar 34,6%. Sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, dan AUC MST berturut-turut adalah 88.9%, 97%, 94,12%, 94,28%, dan 93% sedangkan sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, dan AUC RMNST masing-masing adalah 94.4%, 82.35%, 73,9%, 96,55%, and 88%. Hal ini menunjukkan bahwa RMNST lebih baik dibanding MST dalam menapis malnutrisi pada pasien kanker rawat inap pra bedah.

This study aimed to determine malnutrition screening tool which appropriate for adult hospitalized pre-surgical cancer patients, therefore, malnutrition could be recognized quickly and nutritional intervention could be provided at an early stage. This study was a diagnostic test of Malnutrition Screening Tool (MST) and the Royal Marsden Nutrition Screening Tool (RMNST) compared to Subjective Global Assessment (SGA) on 58 cancer pre-surgical inpatients who were admitted to the hospital less than 24 hours. Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), and area under the curve (AUC) were calculated to evaluate the perfomance of tools compared the standard. The result showed that the prevalence of malnutrition by SGA was 34.6%, the sensitivity, specificity, PPV, NPV, and AUC of MST were 88.9%, 97%, 94,12%, 94,28%, and 93% respectively while the sensitivity, specificity, PPV, NPPV, and AUC of RMNST were 94.4%, 82.35%, 73,9%, 96,55%, and 88% respectively. This indicated that RMNST better than MST in screening malnutrition in the cancer pre-surgical inpatients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Wardhana
"Pendahuluan : Pekerja laboratorium teknik gigi memiliki risiko mengalami gangguan sistem respirasi yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru akibat pajanan metil metakrilat (MMA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar MMA di lingkungan laboratorium teknik gigi di DKI Jakarta dan Kotamadya Tangerang, risiko pajanannya terhadap keluhan respirasi dan gangguan fungsi paru, serta hubungannya dengan faktor individu dan pekerjaan.
Metode : Desain penelitian cross sectional melibatkan 69 pekerja laboratorium teknik gigi dari 4 laboratorium. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan, pengukuran kadar MMA lingkungan dan pemeriksaan spirometri.
Hasil : Kadar MMA pada 4 laboratorium teknik gigi adalah 0,26 ? 5,72 ppm, jauh di bawah Nilai Ambang Batas. Ditemukan hubungan bermakna ketersediaan ventilasi personal dengan kadar MMA (p <0,05). Prevalensi keluhan subyektif respirasi 39,1 %, dengan faktor yang berhubungan adalah kadar MMA >0,5 ppm (OR = 4,90, 95% CI: 1,49 ? 16,14) dan masa kerja >10 tahun (OR = 0,14, 95% CI: 0,03 ? 0,61). Prevalensi gangguan fungsi paru 44,9 %, seluruhnya restriktif. Faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru adalah kebiasaan merokok (OR = 3,94, 95% CI: 1,22 ? 12,76) dan kadar MMA >0,5 ppm (OR = 3,29, 95% CI: 1,01 ? 10,80).
Kesimpulan : Kadar MMA >0,5 ppm memberikan risiko 4,9 kali lebih besar timbulnya keluhan subyektif respirasi pada pekerja. Kadar tersebut juga memberikan risiko 3,29 kali lebih besar timbulnya gangguan fungsi paru pada pekerja. Pekerja yang sudah bekerja >10 tahun menurunkan kemungkinan timbulnya keluhan subyektif respirasi sebesar 86 %. Efek ini diperkirakan akibat timbulnya toleransi pekerja terhadap keluhan subyektif seiring dengan waktu. Pekerja yang merokok memiliki risiko 3,94 kali lebih besar mengalami gangguan fungsi paru.

Background : Dental laboratory workers are at risk of respiratory symptom and pulmonary function disorder,due to exposure to methyl methacrylate (MMA). The objective of this study is to know the level of MMA at dental laboratories at DKI Jakarta and Kotamadya Tangerang, the risk of its exposure toward respiratory symptom and pulmonary function disorder among dental laboratory worker, and its association with individual and occupational factors.
Method : This is a cross sectional study involving 69 dental laboratory workers from 4 laboratories. Data were collected through interview, observation, environmental MMA measurement and lung function examination by spirometer.
Result : MMA levels in 4 dental laboratories were 0.26 ? 5.72 ppm, well below Treshold Limit Value. The prevalence of respiratory symptom was 39.1 %, with associated factors are MMA level >0.5 ppm (OR = 4.90, 95% CI: 1.49 ? 16.14) and working period of >10 years (OR = 0.14, 95% CI: 0.03 ? 0.61). The prevalence of pulmonary function disorder was 44.9 %, all of them restrictive. Factors associated with pulmonary function disorder were smoking habit (OR = 3.94, 95% CI: 1.22 ? 12.76) and MMA level >0.5 ppm (OR = 3.29, 95% CI: 1.01 ? 10.80).
Conclusion : MMA level of >0.5 ppm pose a 4.9 times greater risk of respiratory symptom among workers. That level also poses a risk 3.29 times greater of pulmonary function disorder among workers. Workers with >10 years length of service decreased their possibility of respiratory symptom by 86%. This effect is probably due to tolerance the workers develop towards the subjective symptoms. Smoking workers have a risk 3.94 times greater for pulmonary function disorder."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Intan Sari
"Suatu model kuesioner telah dikembangkan oleh Suarthana dkk. untuk membantu penetapan keputusan klinis terhadap individu dimana terjadinya asma kerja dan memiliki akurasi yang baik pada pengembangannya di Canada. Kuesioner tersebut belum pernah diujicobakan pada populasi pekerja di Indonesia.
Metode
Penelitian ini dilakukan pada industri kayu di daerah Depok. Rancangan penelitian melului 2 tahap yaitu studi transkultural berupa uji validasi dan uji reliabilitas kuesioner Suarthana dkk. kemudian tahap kedua berupa uji diagnostik. Sampel yang digunakan adalah total sampel berjumlah 168 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengisian data umum, pengisian kuesioner Suathana dkk. pemeriksaan APE dan analisis data dengan Program SPSS.
Hasil
Didapatkan hasil uji validasi dengan nilai r > 0,861 dan uji reliabilitas dengan nilai koefisien Alpha Cronbach > 0,6 yang berarti kuesioner Suarthana dkk. valid dan reliable. Hasil uji diagnostik kuesioner Suarthana dkk. didapatkan sensitivitas 81,81%, spesifisitas 60,90%, nilai duga positif34,18%, nilai duga negatif 93,10%, rasio kemungkinan positif 2,10, rasio kemungkinan negatif 0,29.
Kesimpulan
Kuesioner Suarthana dkk. memiliki akurasi yang baik sebagai alat skrining asma kerja di Indonesia

Background
A model quetionnare has been developed by Suarthana et all to help clinical decision setting where the occurrence of occupational asthma and has been a high accuracy in Canada. The questionnaire has not been tested among Indonesian workers.
Method
The study was done on wood’s industrial an area depok. The research methods consists of two stages. The first is transkulrural study and the second is diagnostic test. The total sample is 168 workers. The data collection done with an interview, answer Suarthana questionnaire, peak flow expiratory and the data analysis with SPSS Program.
Results
The value of validation test is r > 0,861 and the reliability test have Alpha Cronbach > 0,6 wich means the Suarthana questionnaire is valid and reliable. The diagnostic test of Suarthana questionnaire acquired value of sensitivity 81,81%, specificity 60,60%, positive predictive value 34,18%, negative predictive value 93,10%, positive likelihood ratio 2,10, negative likelihood ratio 0,29.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Rizkita I.
"Latar Belakang: Penilaian tingkat kewaspadaan pada Safety-Critical Worker, diantaranya adalah Perawat yang bekerja di Rumah Sakit penting untuk dapat dilakukan, namun ketersediaan PVT-192 sebagai gold standard alat ukur waktu reaksi untuk menilai tingkat kewaspadaan cukup terbatas dan dengan durasi waktu pengukuran yang lama. Medigta Reaction Time Test (Medigta RTT) diciptakan sebagai suatu alat ukur waktu reaksi untuk dapat menilai tingkat kewaspadaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian parameter hasil waktu reaksi Medigta RTT dibandingkan dengan PVT-192 sebagai gold standard
Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang pada 85 Perawat di RS X Tangerang Selatan. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif, dan pengambilan data dilakukan dengan melakukan pengukuran waktu reaksi menggunakan PVT-192 dan Medigta RTT pada tiap subjek penelitian.
Hasil: Nilai Intraclass Correlation Coefficient (ICC) dan Perbedaan rerata dari parameter hasil waktu reaksi Medigta RTT terhadap PVT-192 adalah sebesar 0.82 (95%CI: 0.71-0.88) dan 6.54ms (LOA: -36.57 – 49.64ms) untuk Mean RT, 0.77 (95%CI: 0.636-0.853) dan 6.71ms (LOA: -35.48ms–48.89ms) untuk Median RT, 0.78 (95%CI: 0.654-0.859) dan 0.09ms- (LOA: -0.68ms--0.5ms-) untuk Kecepatan Respon, 0.58 (95%CI: 0.339-0.731) dan 0.63 (LOA: tidak terbentuk) untuk Jumlah Lapses, 0.79 (95%CI: 0.669-0.860) dan 0.11% (LOA: 3.91%-4.12%) untuk Persentase Lapses.
Kesimpulan: Medigta RTT memiliki kesesuaian yang baik terhadap PVT-192 sebagai alat ukur waktu reaksi untuk menilai tingkat kewaspadaan, dengan parameter Mean RT, Medigta RTT, Kecepatan Respon, dan Persentase Lapses. Parameter Jumlah Lapses dari hasil pengukuran Medigta RTT memiliki kesesuaian yang sedang atau cukup terhadap PVT-192 sebagai alat ukur waktu reaksi untuk menilai tingkat kewaspadaan.

Background: It is important to assess vigilance of Safety-Critical Workers, including Nurses who work in the hospital, but the availability of PVT-192 as the gold standard for measuring reaction time to assess vigilance is quite limited and with a long measurement time. Medigta Reaction Time Test (Medigta RTT) was created as a reaction time measurement device to assess vigilance. This study aims to determine the agreement of the reaction time parameters of Medigta RTT compared to PVT-192 as the gold standard.
Method: The design of this study was cross-sectional of 85 Nurses at X Hospital Tangerang Selatan. Sampling was carried out consecutively, and data collection was carried out by measuring the reaction time using PVT-192 and Medigta RTT on each research subject.
Result: Intraclass Correlation Coefficient (ICC) value and Mean Difference of Medigta RTT’s reaction time parameter to PVT-192’s are 0.82 (95%CI: 0.71-0.88) and 6.54ms (LOA: -36.57 – 49.64ms) for Mean RT, 0.77 (95%CI: 0.636-0.853) and 6.71ms (LOA: -35.48ms–48.89ms) for Median RT, 0.78 (95%CI: 0.654-0.859) and 0.09ms- (LOA: -0.68ms--0.5ms-) for Respon Speed, 0.58 (95%CI: 0.339-0.731) and 0.63 (LOA: not formed) for Number of Lapses, 0.79 (95%CI: 0.669-0.860) and 0.11% (LOA: 3.91%-4.12%) for Percentage of Lapses.
Conclusion: Medigta RTT has a good agreement to PVT-192 as a reaction time measurement device to assess vigilance by Mean RT, Median RT, Respon Speed, and Percentage of Lapses parameter. Medigta RTT’s Number of Lapses Parameter has a moderate agreement to PVT-192 as reaction time measurement device to assess vigilance.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolla Permata
"Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perubahan kadar trigliserida (TG) serum postprandial setelah 2 jam dan 4 jam pemberian konsumsi satu butir telur omega-3 dibandingkan dengan telur ayam biasa. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over, alokasi acak, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap individu sehat berusia 19-24 tahun di FKUI Jakarta, bulan September 2013. Berdasarkan kriteria penelitian, didapat 24 orang subyek yang dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 12 orang. Data yang diperoleh meliputi sebaran dan karakteristik subyek, asupan lemak, karbohidrat, kolesterol dan polyunsaturated fatty acid (PUFA), serta kadar TG serum awal, 2 jam dan 4 jam postprandial. Analisis data menggunakan uji t berpasangan dan Wilcoxon. Median usia subyek penelitian adalah 21 tahun dan sebagian besar subyek penelitian ini adalah laki-laki yaitu 15 orang dari total 24 orang. Rerata IMT subyek termasuk ke dalam kategori normal untuk Asia Pasifik. Asupan karbohidrat antar kedua kelompok pada periode run in tidak berbeda bermakna (p = 0,30) begitupun pada periode wash out (p = 0,44). Asupan lemak subyek kedua kelompok pada periode run in tidak berbeda bermakna (p = 0,74) dan pada periode wash out juga tidak berbeda bermakna (p = 0,85). Asupan kolesterol pada subyek melebihi jumlah anjuran dan jumlah asupan PUFA di bawah nilai anjuran. Perubahan kadar TG serum 2 jam postprandial pada kelompok perlakuan telur omega-3 yaitu -2,79±13,86 mg/dL sedangkan pada kelompok kontrol telur ayam biasa 4,38±10,07 mg/dL. Terdapat perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok (p = 0,03). Perubahan kadar TG serum 4 jam postprandial antar kedua kelompok juga terdapat perbedaan bermakna (p = 0,04) yaitu pada kelompok perlakuan 0,00(-38-57) mg/dL dan pada kelompok kontrol 6,00±13,25 mg/dL. Dari penelitian ini disimpulkan pengaruh konsumsi satu butir telur omega-3 lebih baik dibandingkan satu butir telur ayam biasa terhadap kadar TG serum postprandial.

The objective of this study was to evaluate the change of 2 and 4 hours postprandial triglycerides serum after given an omega-3 egg compared with an ordinary egg in healthy young adult. This is an experimental, randomized, single blind, cross over study on healthy young adult 19-24 years of age in FKUI Jakarta, September. By study criteria, 24 subjects were randomly allocated to one of two groups, 12 subjects for each group. Data collected in this study consist of subject distribution and characteristic, intake of carbohydrate, fat, cholesterol, polyunsaturated fatty acids (PUFA) and triglycerides serum, that were assessed before treatment, 2 hours and 4 hours after. The statistical analyses used dependent t-test and Wilcoxon. Median of age in subject is 21 years and 15 subjects of the study are male . BMI of study subjecst is in normal category for Asia Pacific. The carbohydrate intakes between both groups in 'run in period' are not significantly different (p = 0.30) and also in 'wash out period' (p = 0,44). Intakes of fat between both groups are also not significantly different in 'run in period' (p = 0,74) and 'wash out period' (p = 0,85). Cholesterol intake in both groups was higher than recommendation, and PUFA lower than recommendation. Changes of 2 hours postprandial triglycerides serum in omega-3 group (treatment) is -2,79±13,86 mg/dL and in ordinary egg group (control) is 4,38±10,07 mg/dL. There is significantly different in both groups (p = 0,03). Changes of 4 hours postprandial triglycerides serum in both groups is also significantly different (p = 0,04) which is in treatment group is 0,00(-38-57) mg/dL and in control group is 6,00±13,25 mg/dL. The conclusion from this study is the effect of an omega-3 egg consumption is better than an ordinary egg consumption on postprandial TG serum."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus Radhitio Gunawan Wibosono
"ABSTRAK
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomer satu di dunia,faktor risiko kardiovaskular mempunyai efek terhadap seluruh populasi global termasuk kelompok pekerja khusus seperti polisi. Pekerjaan sebagai polisi merupakan pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi, beberapa penelitian telah melaporkan prevalensi yang tinggi dari penyakit penyakit yang berhubungan dengan stres seperti hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular diantara anggota polisi. Hasil pemeriksaan kesehatan tahunan anggota BRIMOB pada tahun 2014, menunjukkan dari 1690 anggota didapatkan 20,8 dengan hipertensi, 54,76 dengan dislipidemia, 46,33 dengan obesitas, dan 2,18 dengan diabetes.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jenis pekerjaan pada satuan tugas terhadap faktor risiko kardiovaskular pada anggota Brimob.
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang komparatif comparative cross sectional study dengan menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan kesehatan tahunan tahun 2015,pada anggota Brimob di Kelapa Dua Depok. Dari 200 subyek penelitian didapatkan jenis pekerjaan tidak berpengaruh terhadap prevalensi hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia dan overweight/obesitas. Mayoritas anggota brimob memiliki 2 atau lebih faktor risiko kardiovaskular, sebanyak 48,5 anggota brimob memiliki 2 faktor risiko kardiovaskular, 33 memiliki 3 faktor risiko dan 11,5 memiliki >3 faktor risiko. Umur berpengaruh terhadap prevalensi hipertensi, diabetes mellitus dan dislipidemia p=0,014, p=0,001, p=0,004 . Anggota brimob berumur >37 tahun memiliki risiko 3,5 kali lebih besar mengalami hipertensi dan 6,5 kali lebih besar mengalami diabetes dibandingkan kelompok umur 30-37 tahun p=0,047; OR 3,509; dan p = 0,014; OR 6,539 . Kelompok umur > 39 tahun memiliki risiko mengalami dislipidemia 3 kali lebih besar dibandingkan kelompok umur 30-39 tahun. p= 0,007; OR 3,188 . Sedangkan pangkat berpengaruh terhadap prevalensi diabetes mellitus p=0,003.
Dengan hasil ini, maka disarankan untuk lebih memperhatikan faktor risiko kardiovaskular pada anggota berumur diatas 37 tahun.

ABSTRACT
The cardiovascular desease is the number one cause of death in the world, cardiovascular risk factor has the effect to all global populations including specific occupation such as police officers. The police officers occupation is considered as a high stress level of occupation, some researches have revealed the high prevalence from the deases related to stress such as hypertension, diabetes and cardiovascular deseases among police officers. The result of annual medical check up applied for Mobile Brigade members in 2014 showed that from the total of 1690 members of the Mobile Brigade, 20,8 of them suffered from hypertension, 54,76 suffered from dysclipidemia, 46,33 suffered from obesity and 2,18 suffered from diabetes.
The objective of this research is to understand the influence of the type of occupation at a task force to the cardiovascular risk factor at Mobile Brigade members.
This research uses the comparative cross sectional study method using the secondary data from the result of 2015 medical check up held for Mobile Brigade members at Kelapa Dua Depok. From the 200 research subjects it is found out that the type of occupation does not have any influence to the prevalence of hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia and obesity. The majority of the Mobile Brigade members has 2 or more cardiovascular risk factors with the elaboration as follows 48,5 of them has 2 cardiovascular risk factors, 33 of them has 3 risk factors and 11,5 of them has more than 3 risk factors. The age has an influence to the prevalence to hypertension, diabetes mellitus and dyslipidemia p 0,014, p 0,001, p 0,004 . The Mobile Brigade members aged more than 37 years old have the risk of 3,5 times of suffering the hypertension and have the risk of 6,5 times suffering from diabetes compare to the age group of 30 ndash 37 years old p 0,047 OR 3,509 and p 0,014 OR 6,539 . The age group of more than 39 years old has the risk of suffering from dyslipidemia 3 times higher than the age group of 30 ndash 39 years old p 0,007 OR 3,188 . Meanwhile the rank has the influence to the diabetes mellitus prevalence p 0,003.
Seeing this result, it is recommended that the cardiovascular risk of the Mobile Brigade members should be paid attention to at the age of above 37 years old.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dance Dita Pranajaya
"Latar Belakang: Sudah diketahui bahwa peningkatan indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator peningkatan profil lipid. Dengan adanya penelitian terbaru dari Ashwell yang menyatakannya bahwa Rasio lingkar perut tinggi badan (RLP-TB) lebih sensitif terhadap kasus dislipidemia dari pada indeks massa tubuh. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui korelasi rasio lingkar perut tinggi badan dan indeks massa tubuh terhadap profil lipid pada pekerja di PT.E yang bergerak di Industri Migas.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi korelasi, menggunakan data sekunder hasil medical check-up pekerja tahun 2013 dan 2014. Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi didapatkan data sebanyak 130 orang untuk tahun 2013 dan 69 orang untuk tahun 2014.
Hasil Penelitian: Dari total 199 subyek, didapatkan RLP-TB (r: 0.186 dan r: 0.334) memiliki nilai koefisien korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan IMT (r: 0.180 dan r: 0.319) pada parameter metabolik kolesterol dan trigliserid, namun pada HDL, IMT memiliki nilai koefisien korelasi lebih baik (r: -0.328) daripada Rasio Lingkar Perut dan Tinggi Badan (r: -0.291). Namun perbedaan koefisien korelasi tersebut relatif tidak besar sehingga dapat dikatakan Rasio Lingkar Perut-Tinggi Badan tidak lebih baik sebagai prediktor profil lipid dibandingkan dengan Indeks Massa Tubuh.

Background: It is already known that increasing Body Mass Index is an indicator of increasing lipid profile. The latest research from Ashwell has revealed that the Waist circumference – height ratio is more sensitive than body mass index on dyslipidemia. Therefore, the researchers wanted to determine the correlation of Waist circumference – height ratio and body mass index to lipid profile on PT. E workers who running the business in oil and gas.
Methodology: This is a correlation study used secondary data from employee medical check-up data on years 2013 and 2014. Based on the inclusion and exclusion criteria, obtain a 130 subject for year 2013 and 69 subject for year 2013.
Research result: From the 199 subject, obtain a Waist circumference – height ratio (r: 0.186 and r: 0.334) has relative high correlation coefficient to cholesterol and triglyceride compared by Body mass index (r: 0.180 and r: 0.319), but body mass index has good correlation coefficient (r:-0.328) with HDL rather than Waist circumference – height ratio (r: -0.291). But, the differentiation of correlation coefficient between Body Mass Index and Waist Circumference-Height ration is not significant. The conclusion is Waist Circumference-Height Ratio is not better than Body Mass Index as a profile lipid predictor
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library