Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azrul Azwar
"Selama 29 bulan, terhitung sejak bulan Januari 1993 telah dilakukan penelitian dengan judul UPAYA MENINGKATKAN MUTU PELAYANAN METODA KONTRASEPSI JANGKA PANJANG DI RUMAH SAKIT di Jakarta. Tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian ini dibedakan atas empat macam. Pertama, untuk mengetahui sampai seberapa jauh prinsip-prinsip Program Menjaga Mutu telah dilaksanakan pada pelayanan metoda kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang diselenggarakan di Rumah Sakit (RS). Kedua, untuk mengetahui upaya apa yang harus dilakukan agar RS dapat menyelenggarakan Program Menjaga Mutu pada pelayanan MKJP. Ketiga, untuk mengetahui faktor-faktor apa yang hares diperhatikan jika ingin melaksanakan Program Menjaga Mutu pada pelayanan MKJP. Keempat, untuk mengetahui apa dampak dari penyelenggaraan Program Menjaga Mutu terhadap mutu pelayanan MKJP.
Diharapkan dengan dilaksanakannya penelitian ini, bukan saja mutu pelayanan MKJP akan dapat ditingkatkan, tetapi juga pengalaman serta hasil yang diperoleh akan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan Program Menjaga Mutu pada pelbagai pelayanan RS danlataupun di RS lain, yang pada saat ini dirasakan makin mendesak untuk segera dilakukan.
Karena penelitian bermaksud memperkenalkan sesuatu yang bare, yakni Program Menjaga Mutu, pada suatu kegiatan yang tidak mungkin dihentikan, yakni pelayanan MKIP, maka desain penelitian yang dipergunakan adalah penelitian operasional (operational re-search), yang pada pelaksanaannya dibedakan atas tiga tahap, yakni tahap analisis masalah (problem analysis), tahap penyusunan cara penyelesaian masalah (solution development) serta tahap validasi cara penyelesaian masalah (solution validation).
Tahap analisis masalah (problem analysis) dilaksanakan dalam bentuk survai diskriptif (descriptive study) di 23 RS yang menyelenggarakan pelayanan MKIP di Jakarta. Hasil yang diperoleh mencatat bahwa prinsip-prinsip Program Menjaga Mutu pada pelayanan MKJP belum banyak dilaksanakan oleh 23 RS yang diteliti. Hal ini dapat dilihat dari tidak ditemukannya RS yang telah memiliki satuan organisasi yang bertanggungjawab untuk peningkatan mutu pelayanan MKJP, tidak ditemukannya RS yang telah memiliki standar unsur-unsur pelayanan MKJP secara lengkap, tidak ditemukannya RS yang telah menyelenggarakan semua kegiatan Program Menjaga Mutu secara terns menerus dan berkesinambungan, serta masih banyak ditemukannya RS yang belum menerapkan sistem insentif danlatau disinsentif yang terkait dengan mutu pelayanan_ Sedangkan untuk keadaan dari masing-masing unsur pelayanan MKJP, sekalipun standar tertulis belum dimiliki, jika ditanyakan pendapat pimpinan RS, pada umumnya dinilai telah memenuhi persyaratan.
Kecuali itu, hasil interview terhadap 172 orang penyelenggara pelayanan MKJP di 23 RS yang diteliti menemukan pula bahwa pengetahuan dan perilaku penyelenggara pelayanan MKJP terhadap konsep, teknik dan kegiatan Program Menjaga Mutu pada umumnya belum memuaskan. Sedangkan untuk sikap, relatif telah cukup baik, kecuali untuk sikap terhadap penerapan sistem insentif danlatau disinsentif yang terkait dengan mute pelayanan.
Tahap penyusunan cara penyelesaian masalah (solution development) dilaksanakan dalam bentuk studi kepustakaan (literature review) dan kesepakatan pakar (expert meeting). Menyadari bahwa membentuk satuan organisasi khusus dan/ataupun menyusun standar tertulis unsur-unsur pelayanan, meskipun hanya untuk pelayanan MKJP, adalah tidak mudah, maka ditetapkan bahwa cara penyelesaian masalah yang disusun tidak diarahkan pada model Program Menjaga Mutu yang menuntut keberadaan kedua unsur pokok Program Menjaga Mutu tersebut.
Disesuaikan dengan hasil studi kepustakaan dan juga dengan kemampuan yang dimiliki, cara penyelesaian masalah yang disusun lebih diarahkan pada model Program Menjaga Mutu yang menerapkan tiga prinsip pokok manajemen secara terpadu yakni prinsip kerja kelompok (team work), prinsip pengambilan keputusan dengan kesepakatan kelompok (group decision making) serta prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle).
Selanjutnya, disesuaikan pula dengan hasil penelitian tahap analisis masalah yang mencatat masih rendahnya tingkat pengetahuan serta belum memuaskannya perilaku penyelenggara pelayanan MKJP terhadap konsep, kegiatan serta teknik Program Menjaga Mutu, maka untuk dapat meningkatkan pengetahuan, perilaku dan sekaligus juga komitmen para penyelenggara pelayanan MKJP serta pimpinan RS, ditetapkan pula perlunya menyusun suatu program intervensi. Adapun program intervensi yang akan disusun tersebut berupa model program pelatihan yang terdiri dari tiga paket, yakni paket orientasi Program Menjaga Mutu untuk pimpinan RS/penanggungjawab pelayanan MKJP, paket pelatihan Program Menjaga Mutu untuk penyelenggara pelayanan MKJP yang akan diikusertakan sebagai anggota Tim Penjaga Mutu, serta paket orientasi Program Menjaga Mutu untuk penyelenggara pelayanan MKJP yang tidak diikutsertakan sebagai anggota Tim Penjaga Mutu.
Karena ditemukan kesulitan mengawasi pengaruh pelbagai faktor eksternal, maka desain penelitian yang dipergunakan pada tahap validasi cara penyelesaian masalah (solution validation) adalah penelitian eksperimen kuasi ((gasy experiment). Selanjutnya karena Program Menjaga Mutu yang akan diperkenalkan pada dasarnya mengikuti prinsip siklus pemecahan masalah yang keberhasilannya dihitung dari perbandingan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program, maka desain penelitian kuasi yang dipergunakan adalah desain pretes dan postes sate kelompok (one group pretest-postest design only).
Pelaksanaan tahap validasi cara penyelesaian masalah ini dimulai dengan melaksanakan program intervensi berupa orientasi model Program Menjaga Mutu kepada pimpinan RSlpenanggungjawab pelayanan MKJP, pelatihan model dan teknik Program Menjaga Mutu kepada anggota Tim Penjaga Mutu, serta seminar sehari tentang model Program Menjaga Mutu kepada penyelenggara pelayanan MKTP yang tidak ikut sebagai anggota Tim Penjaga Mutu. Karena keterbasan yang dimiliki, pelaksanaan program intervensi ini tidak dilakukan di 23 RS yang diteliti pada tahap analisis masalah, melainkan hanya di 12 RS terpilih saja.
Pengalaman menyelenggarakan Program Menjaga Mutu di 12 RS yang diteliti terse-but menemukan 9 dari 12 RS dapat menyelesaikan Program Menjaga Mutu. Dari 9 RS yang dapat menyelesaikan masalah mutu, 6 RS mendapat nilai tinggi, sedangkan 3 RS mendapat nilai rendah. Waktu rata-rata yang diperlukan oleh Tim Penjaga Mutu di 9 RS yang dapat menyelesaikan Program Menjaga Mutu untuk menyelenggarakan semua kegiatan Program Menjaga Mutu adalah 31,8 hari. Sedangkan biaya rata-rata yang diperlukan oleh tiap RS adalah Rp 2330.000, dengan perincian Rp 1.730.000 untuk biaya persiapan, serta Rp 600.000 untuk biaya pelaksanaan. Pada penelitian ini biaya penyelenggaraan cara penyelesaian masalah mutu tidak diperlukan, karena cara penyelesaian masalah mutu tersebut dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan rutin RS.
Hasil interview terhadap 117 orang anggota Tim Penjaga Mutu pelayanan MKJP yang dilengkapi dengan catatan pengamatan selama menyelenggarakan Program Menjaga Mutu di 12 RS yang diteliti mencatat dari 12 faktor yang diduga mempengaruhi selesaitidaknya Program Menjaga Mutu, 7 diantaranya terbukti memiliki pengaruh tersebut. Ketujuh faktor yang dimaksud adalah peranan ketua Tim (p < 0,05; OR =4,92:1,87-13,8)), tanggungjawab anggota Tim (p <0,05), kerjasama anggota Tim (p < 0,05); OR=94,24; OR=22,16-456,78), minat anggota Tim (p < 0,05; OR=155,13: 27,80-1156,06), perhatian pimpinan (p < 0,05), frekuensi supervisi pimpinan (p < 0,05), serta kerjasama fasilitator (p < 0,05; OR=12,90: 1,37-304,01).
Apabila Program Menjaga Mutu dapat dilaksanakan akan besar peranannya dalam meningkatkan mutu pelayanan. Hasil uji t untuk besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan Program Menjaga Mutu mencatat perbedaan yang bermakna (p < 0,05).
Dengan hasil penelitian yang seperti ini, ada 7 saran yang dapat diajukan. Lima saran yang pertama terkait dengan teori yang dipergunakan, sedangkan dua saran yang kedua terkait dengan objek penelitian yang dilakukan, yang dalam hal ini adalah upaya meningkatkan mutu pelayanan MKJP di RS.

A study entitled "EFFORTS TO IMPROVE THE QUALITY OF HOSPITAL BASED LONG TERM CONTRACEPTIVE SERVICES" was conducted in Jakarta, starting in January, 1993 and running for 29 months.
The objectives of the study were (1) to investigate the basic principles of a quality assurance program that has already been implemented for long term contraceptive services in hospitals, (2) to determine the efforts that are necessary for the implementation of a quality assurance program in hospitals, (3) to identify the factors that must be considered in the implementation of quality assurance programs, and (4) to document the impact of a quality assurance program on the quality of long term contraceptive services in hospitals.
It is hope that the results of this study can contribure not only to the improvement of the quality of long term contraceptive services in hospitals but also can be used as a model for the development of a quality assurance program for other services within the hospitals studied or for other hospitals.
Since the intention of the study is to introduce a new program element, a quality assurance activity, to the on going long term contraceptive service program, it was decided to use the operational research study design. The implementation of this study design is divided into three phases, namely problem analysis, solution development, and solution validation.
The implementation of the problem analysis phase was carried out in the form of a descriptive study, undertaken in 23 hospitals located in Jakarta. It was determined that the implementation of the basic principle of quality asurance was still rare in the study hospitals. None of these hospitals had established a special organizational unit responsible for the quality of long term contraceptive services. Also, none of the hospitals had completed written standards of input, environment, process and output factors for long term contraceptive services. Furthermore, none of the hospitals had carried out any continous quality assurance activities and there are still many hospitals that do not implement an incentive andlor disincentive system that relates to the quality of services provided. This is the case with the study hospitals although the input, environment, process and output conditions for long term contraceptive servives are acceptable, according to the manager of the hospitals.
Furthermore, finding from interviews of 172 services providers at the 23 study hospitals indicated that the knowledge and the practice of the services providers concerning the basic concept and activities of a quality assurance program needed to he improved. The data indicated that the attitude of the services providers toward the basic concept and activities of the quality assurance program was positive, except towards the concept of an incentive and/or disincentive system for the provision of quality services.
The solution development phase was carried out in the form of a literature review and expert meeting. It is known that the establishment of a new organizational unit in a hospital and the formulation of complete long term contraceptive services standards are not easy. Therefore, it was decided that the solution was to develop a model quality assurance program that do not need a quality assurance organizational unit and standards. Based on the literature and also the existing experience and expertise, the plan was to develop a quality assurance program that has the involvement of services providers as a group as the implementors of the quality assurance program. This model would use a group decision making process, including special decision making techniques, and would follow the steps of a prescribed problem solving cycle to guide the implementation of the quality assurance activities.
Based on the findings of the problem analysis that the knowledge and practice of the services providers concerning the basic concept and activities of quality assurance program were still poor and in order to enhance the committment of the hospital directors and the health providers towards the quality assurance program, it was necessary to carry out intervention activities in the form of a training program. Three training packets were developed: 1) orientation on the quality assurance program for the hospital directors, 2) training on the quality assurance program for the hospital quality assurance team, and 3) a one day seminar on the quality assurance program for the entire staff of hospital.
Because of the difficulties to control the external factors, the solution validation design was quasi experiment. Furthermore, because the concept of the quality assurance program utilized a problem solving cycle, it was decided that the specific solution validation design should be a one group pretest-post test design only.
The solution validation phase was initiated with intervention activities, namely an orientation program for hospital manager on the quality assurance program, training for member of the hospital quality assurance team, and a one day seminar on the quality assurance program for the entire staff of the hospital. Because of limited resources, the solution validation phase activities could not be implemented in all 23 hospitals but in only 12 selected hospitals.
The lessons learned from the implementation of a quality assurance program in these 12 selected hospitals has demonstrated that nine out of the 12 hospitals were able to complete the quality assurance activities. Six out of the nine hospitals that completed the quality assurance activities were characterized as belonging to a high score group while the remainig three hospitals belong to a low score group. The average time needed to complete all quality assurance activities was 31.8 days, while the average direct cost of the quality assurance program was Rp 2.330.000, consist of Rp 1,730,000 for the preparation activities and Rp 600,000 for implementation activities of the quality assurance program. There are no cost for the implementation solution activities since this has already been integrated into the routine activities of the hospital.
Based on the results of the interviews with 117 members of the Quality Assurance Teams and the data collected through periodic observation, it was found that out of the 12 factors choosen as possible influences on the success of the quality assurance program, seven factors were shown to have actual influence on the success of the quality assurance effort. Those seven factors are: role of team leader (p < 0,05; OR=4.93: 1.87-13.8), responsibility of the team members (p < 0,05), team work of team members (p < 0,05; OR=94,24: 22.16-456.78), interest of the team members (p < 0,05; OR=155.13: 27,80 1156.06), the attention of the hospital manager (p < 0,05), amount of supervision by the manager (p < 0,05), and good cooperation with an outside facilitator (p < 0,05; OR=1290: 137-304.01).
Therefore, it can be concluded that when a quality assurance program is implemented properly, it can make a significant contribution to the improvement of the quality of services (p < 0,05).
Based on the finding above, seven suggestions have been formulated. The first five sugestions are related to the theoritical aspect of quality assurance program whereas the second two sugestions are related to the efforts to improve the quality of hospital family planning program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D41
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mochammad Bagus Qomaruddin
"Penelitian ini mengembangkan indikator pemberdayaan dan cara pengukurannya yang dapat dimanfaatkan dalam menentukan tingkat keberdayaan desa siaga. Penelitian ini menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian berupa instrumen yang sudah terbukti valid dan reliabel. Desa siaga yang memiliki skor tingkat keberdayaan 60 ke atas lebih dari 85%, namun yang memiliki skor 80 ke atas masih di bawah 25%. Tingkat keberdayaan desa siaga dapat meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, kenaikan berat badan balita (N/D) dan menurunkan jumlah balita gizi buruk. Disarankan agar instrumen ini diuji cobakan di tempat lain untuk mengetahui stabilitas dari indikator.

The objective of this research was to develop empowerment indicators in measuring empowerment level of alert villages. Qualitative and quantitative approaches were used in this research. The research found out that indicators instrument was valid and reliable. Less then 25% of alert villages had score of empowerment level was 80 or more and more then 85% of alert villages had score was 60 or more. The empowerment level of alert villages was able to increase coverage of delivery assisted by health personnel, weight gain (N/D) and decrease the amount of under five children malnutrition. It is recommended to retested the indicators instrument in other places to know stability of the indicators."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D1385
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Senewe, Felly Philipus
"Di daerah tertinggal dengan segala keterbatasannya masih dijumpai anak baduta yang tidak menderita diare. Karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor sistem penunjang yang ada terhadap kejadian tersebut. Penelitian menggunakan data Riskesdas 2007 dengan sampel 6450 baduta.
Penelitian ini menemukan proporsi kejadian tidak diare satu bulan terakhir sebesar 77%. Penelitian ini juga menemukan, faktor sistem penunjang pada tingkat individu adalah tidak adanya gizi buruk kurang (OR: 4,02) dengan kontribusi sebesar 32%, dan tidak adanya penyakit lain (OR: 10,2) dengan kontribusi sebesar 37%. Faktor pada tingkat rumah tangga adalah tidak langsung minum air (IOR: 11,8-310), adanya wadah air (IOR: 15,6-234), dan imunisasi lengkap (IOR: 12,4-293). Faktor pada tingkat Kabupaten adalah tersedianya sarana kesehatan (IOR: 1,4-17,1).
Penelitian ini menyarankan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih/sehat, menyediakan air bersih, imunisasi lengkap pada bayi, dan menyediakan sarana kesehatan.

In remote places, where people face a lot constraints and barriers in order to obtain health services, we still found children under two years old without suffering from diarrhea. The objective of this research was to explore the relationships between the supporting factors and the above mentioned event. As many as 6,450 children under 2 years old from the Riskesdas 2007 were taken as samples for this research.
The study found that the proportion of those without diarrhea less than one month was 77%. We found that, the role of supporting factors at individual level were the absence of malnutrition (OR: 4.02) contributed to 32%, and the absence of diseases (OR: 10.2) contributed to 37%. The factor influenced at household level were: not directly drink potable water (IOR: 11.8-310), having water container (IOR: 15.6-234), and completed immunization (IOR: 12.4-293). The factor at district level was the availability of health facilities (IOR: 1.4-17.1).
This research recommended the following: promoting healthy behavior, providing clean water, completely immunize the children, and ensuring adequate availability of health facility.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D1443
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekorini Listiowati
"Patient engagement (PE) belum dimulai secara memadai untuk mencapai perawatan kesehatan yang aman di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perspektif tenaga kesehatan dan penerima layanan (pasien dan caretaker) tentang PE dan bagaimana potensi untuk menerapkannya, serta merumuskan model yang dapat mendukung perawat untuk melibatkan pasien dalam upaya-upaya keselamatan pasien. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus pada bangsal penyakit kronis RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu: (1) assessment berupa 4 diskusi kelompok terfokus pada 46 profesional kesehatan (perawat dan dokter) dan diikuti dengan 16 wawancara mendalam, serta wawancara mendalam dengan 14 pasien dan 15 caretaker; (2) tahap perumusan model. Tahap perumusan model dilakukan dengan penyusunan model awal, validasi model yang melibatkan pemilik RS, direksi, manajer, dan profesional kesehatan dan penyusunan model akhir. Transkrip verbatim dilakukan dan dilanjutkan dengan analisis tematik. Pada penelitian ini, didapatkan bahwa PE merupakan strategi untuk mencapai perawatan kesehatan yang aman. Selain itu, telah teridentifikasi peran penerima layanan, perawat, dan organisasi RS yang dapat dikembangkan untuk mewujudkan keselamatan pasien dengan menerapkan PE. Terdapat faktor-faktor pemungkin yang mempengaruhi pelaksanaan PE termasuk penilaian dan harapan penerima layanan  kesehatan, maupun hambatan yang berasal dari aspek budaya, perilaku, kapasitas sumber daya manusia, dan sistem penyelenggaraan layanan kesehatan. Model yang terbentuk menggambarkan kebutuhan langkah-langkah komprehensif untuk mengoptimalkan PE. Kesimpulannya, PE sangat penting untuk keselamatan pasien. Pendekatan ini berpotensi untuk ditingkatkan dengan memperkuat dukungan organisasi, mengintegrasikan ke dalam sistem perawatan kesehatan, meningkatkan kapasitas profesional kesehatan, dan memberdayakan pasien untuk mengatasi hambatan potensial.

Patient engagement (PE) has not been initiated adequately to achieve safe health care in Indonesia. This study aims to explore the perspectives of healthcare professinals and patients and caretakers about PE and how it has the potential to implement it, and to formulate a model that can support nurses to involve patients in patient safety efforts. The method used in this research is a case study in the chronic disease ward of PKU Muhammadiyah Gamping Hospital, Sleman, Yogyakarta Special Region. The research was conducted in 2 stages, namely: (1) assessment in the form of 4 focus group discussions on 46 healthcare professionals (nurses and doctors) followed by 16 in-depth interviews, as well as in-depth interviews with 14 patients and 15 caretakers; (2) the model formulation stage. The model formulation stage was carried out by developing the initial model, model validation involving hospital owners, directors, managers, and health professionals and develop the final model. Verbatim transcripts were carried out and continued with thematic analysis. In this study, it was found that PE is a strategy to achieve safe healthcare. In addition, the roles of patients and caretakers, nurses, and hospital organizations have been identified that can be developed to achieve patient safety by implementing PE. There are enabling factors that influence the implementation of PE including the assessment and expectations of health service recipients, as well as obstacles originating from aspects of culture, behavior, human resource capacity, and health service delivery systems. The model formed illustrates the need for comprehensive measures to optimize PE. In conclusion, PE is very important for patient safety. This approach has the potential to be scaled up by strengthening organizational support, integrating it into the health care system, increasing the capacity of healthcare professionals, and empowering patients to overcome potential barriers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Marsaulina Olivia
"Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional mendapatkan berbagai tantangan salah satunya adalah peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan yang berakibat tingginya beban biaya pelayanan kesehatan. Tren persalinan dengan metode bedah caesar mengalami peningkatan setiap tahunnya. Disertasi ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan dan menyusun suatu usulan kebijakan untuk pengendalian utilisasi tindakan bedah caesar dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional. Jenis penelitian adalah analitik dengan mixed method melalui analisis data kuantitatif dan data kualitatif, analisis kebijakan menggunakan Eugene Bardach’s eightfold framework yang dimodifikasi oleh Collins. Penelitian kuantitif melalui analisis data rekam medis tahun 2019 pada pasien bedah caesar di tiga rumah sakit dengan aspek bisnis yang berbeda di Provinsi Jakarta. Penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Proporsi persalinan caesar dibanding normal di RSSP Y 99,3% di RSSK Z 63,66%, dan di RSUD X 13,42%. Tidak terdapat perbedaan karakteristik sosial dan karakteristik medis pasien bedah caesar di ketiga rumah sakit. Tidak terdapat perbedaan upaya pengendalian utilisasi operasi bedah caesar di ketiga rumah sakit. Bekas SC 1x memiliki persentase tertinggi sebagai indikasi SC dengan persentase 41,67% di RSUD X, di RSSK Z 39,48% dan di RSSP Y 24,11%. Terdapat hubungan antara usia, adanya komplikasi dalam kehamilan, malposisi janin, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dengan metode persalinan ibu secara caesar. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan belum terdapat metode/tools khusus untuk pengendalian utilisasi caesar. Berdasarkan analisis kebijakan menggunakan Bardach’s eightfold framework yang dimodifikasi oleh Collins terdapat skenario/alternatif kebijakan pengendalian utilisasi bedah caesar diantaranya penyusunan program promotive preventif yang melibatkan organisasi-organisasi profesi terkait (seperti: Kebidanan Kandungan, Penyakit Dalam, Gizi, Penyakit Jantung) dengan sasaran wanita usia subur yang merencanakan kehamilan dan ibu hamil, yang khususnya berfokus untuk meminimalisir adanya penyulit kehamilan seperti: Hipertensi, Diabetes mellitus, obesitas, penyakit jantung. Hal ini penting dalam upaya menekan penyulit kehamilan yang dapat berpotensi meningkatkan angka utiliasi bedah caesar.

The implementation of the National Health Insurance Program faces various challenges, one of which is the increase in the utilization of health services which results in high health service costs. The trend of childbirth by Caesarean section method has increased every year. This dissertation aims to analyze the policy and prepare a policy proposal for controlling the utilization of Caesarean section procedures in the implementation of the National Health Insurance program. The type of research is analytical with a mixed method through quantitative and qualitative data analysis, policy analysis using Eugene Bardach's eightfold framework modified by Collins. Quantitative research through analysis of medical record data in 2019 on caesarean section patients in three hospitals with different business aspects in Jakarta Province. Qualitative research was conducted through in-depth interviews with stakeholders. The results showed that the proportion of caesarean deliveries compared to normal in RSSP Y was 99.3% in RSSK Z 63.66%, and in RSUD X 13.42%. There were no differences in the social characteristics and medical characteristics of caesarean section patients in the three hospitals. There were no differences in efforts to control the utilization of caesarean section operations in the three hospitals. Former 1x CS has the highest percentage as an indication for CS with a percentage of 41.67% in RSUD X, in RSSK Z 39.48% and in RSSP Y 24.11%. There is a significant influence between age, complications in pregnancy, fetal malposition, hypertension, diabetes mellitus, heart disease, and the method of maternal delivery by caesarean section. The results of qualitative research indicate that there are no specific methods/tools for controlling caesarean section utilization. Based on policy analysis using Bardach's eightfold framework modified by Collins, there are scenarios/alternative policies for controlling caesarean section utilization including the preparation of promotive preventive programs involving related professional organizations (such as: Obstetrics and Gynecology, Internal Medicine, Nutrition, Heart Disease) targeting women of childbearing age who are planning pregnancy and pregnant women, which specifically focus on minimizing pregnancy complications such as: Hypertension, Diabetes mellitus, obesity, heart disease. This is important in an effort to reduce pregnancy complications that can potentially increase the rate of caesarean section utilization."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisna Budy Widjayanti
"

Analisis Pemanfaatan Clinical Pathway Sectio Caesaria Di Rumah Sakit Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi dan klinis ibu melahirkan Sectio Caesaria (SC) di Rumah Sakit (RS) dengan pemanfaatan Clinical Pathway (CP), outcome klinis serta pembayaran klaim. Studi desain Cross Sectional pada unit analisis 1155 data rekam medis ibu melahirkan SC periode 1 Januar-31 Desember 2018 di 3 RS. Hasil penelitian menunjukan pemanfaatan CP peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu sebanyak 939 Ibu melahirkan SC proporsinya sebesar 43.1% masih menunjukkan pemanfaatan yang kurang baik. Pemanfaatan CP terkait penyimpanan dokumen Clinical Pathway ibu melahirkan SC peserta JKN sebanyak 71.8% tidak tersimpan di Rekam Medis, 72.6% tidak lengkap pengisiannya dan 64.6% kondisi klinis Ibu melahirkan SC tidak sesuai dengan PPK RS. RS Pemda memiliki Proporsi tertinggi skor pemanfaatan CP yang kurang baik sebesar 76.8%, kemudian diikuti RSP (36.8%). RSNP menunjukkan proporsi skor pemanfaatan CP baik. Jenis RS (p=0.000), Kelas rawat (p=0.014) dan Rujukan (p=0.008), jenis SC (p=0.005), Usia Ibu (p=0.053), Paritas (p=0.016), Riwayat ANC (p=0.000), Kondisi Panggul p=0.000), kondisi plasenta (p=0.001), penyakit penyerta (p=0.000) dan riwayat SC (p=0.000) menunjukkan berhubungan secara signifikan dengan pemanfaatan CP (p<0.05). Pemanfaatan CP ibu melahirkan SC peserta JKN menunjukan adanya hubungan yang signifikan dengan Outcome klinis (p=0.002). Outcome Klinis ibu melahirkan SC menunjukkan sebesar 67.5% bermasalah antara lain terkait LOS yang tidak sesuai Panduan Praktek Klinis (PPK) RS, Ibu memiliki komplikasi klinis paska SC atau kondisi bayi saat dilahirkan tidak normal. Pemanfaatan CP berhubungan secara signifikan dengan pembayaran klaim (p=0.000). Pembayaran klaim ibu melahirkan SC peserta JKN bermasalah sebesar 39.3% terkait jangka waktu pembayaran klaim dari BPJSK ke pihak RS. Pembayaran klaim yang tidak bermasalah pada pemanfaatan CP yang kurang baik lebih banyak. Monitoring dan evaluasi yang komprehensif pada pemanfaatan CP, outcome klinis dan proses pembayaran klaim sebagai kendali mutu pelayanan ibu melahirkan SC dalam JKN oleh RS, Organisasi Profesi dan Pemerintah. Pemerintah harus membuat payung hukum yang bersifat operasional pada pemanfaatan CP Ibu melahirkan SC di RS dalam program JKN, sehingga kendali mutu dan kendali biaya pelayanan ibu melahirkan SC menjadi efektif dan efisien. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran perlu segera diterbitkan dan disosialisikan ke Rumah Sakit. Kata kunci: SC, Sosial-ekonomi dan Klinis, Pemanfaatan Clinical Pathway, Outcome Klinis, Klaim Pembayaran


Analysis of Sectio Caesarea Clinical Pathway Utilization in Hospital Under National Health Insurance This study aims to analyze the relationship between socioeconomic and clinical factors of women giving birth to Sectio Caesaria (SC) in Hospitals (RS) with the utilization of Clinical Pathway (CP), clinical outcomes and claim payment. Cross Sectional design study in the 1155 unit of analysis of medical records of women giving birth to SC for the period January 1 to December 31, 2018 in 3 hospitals. The results showed that the utilization of CP for mothers giving birth to SC (939) participants of the National Health Insurance (JKN) from the 3 research study hospitals, the proportion of 43.1%, still showed poor utilization. Utilization of CP related to document keeping of mother who gave birth SC to JKN participants as much as 71.8% were not kept in the Medical Record, 72.6% were incomplete filling and 64.6% of clinical conditions of mother who gave birth to SC were not in accordance with PPK RS. Regional Government Hospital has the highest proportion of poor CP utilization scores of 76.8%, followed by RSP (36.8%). RSNP shows the proportion of good CP utilization scores. Type of hospital (p = 0.000), nursing class (p = 0.014) and type of referral (p = 0.008), type of SC (p = 0.005), maternal age (p = 0.053), parity (p = 0.016), ANC history (p = 0.000), Pelvic Conditions (p = 0.000), placental conditions (p = 0.001), comorbidities (p = 0,000) and history of SC (p = 0,000) showed significant correlation with CP utilization (p <0.05). Utilization of CP for mothers giving birth to SC JKN participants showed a significant relationship with clinical outcome (p = 0.002). Clinical Outcomes of mothers giving birth to SC showed that 67.5% had problems, among others related to LOS that was not in accordance with the Clinical Practice Guidelines (PPK) of the Hospital. CP utilization was significantly related to claim payment (p = 0,000). Claim Payment of mothers with SC under JKN participants was 39.3% related to the period of payment of claims from BPJSK to the hospital. The utilization of CP which were under score mean seems not having administration problem and paid by JKN earlier and without any problem. Comprehensive monitoring and evaluation of the utilization of CP , clinical outcomes and the process of claim as a quality control service for SC mothers in JKN by hospitals, professional organizations and the government. The government must make an operational legal policy on the utilization of CP for women giving birth to SC in hospitals under the JKN program, so that quality control and cost control of maternal care services for SC become effective and efficient. National Guidelines for Medical Services need to be immediately published and disseminated to hospitals. Keywords: SC, Socio-economic and Clinical, Clinical Pathway Utilization, Clinical Outcome, Payment Claims

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library