Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irene Yuniar
Abstrak :
Anak yang dirawat di ICU cenderung mengalami malnutrisi sejak masuk atau selama perawatan yang dapat memperberat penyakit dasar, memperpanjang lama rawat serta meningkatkan mortalitas. Baik underfeeding atapun overfeeding dapat terjadi di ICU Anak selama perawatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, menggunakan data rekam medis. Selama 3 bulan penelitian. didapatkan 45 subjek penelitian. Dari 45 data pasien didapatkan 127 peresepan untuk menilai keseuaian peresepan dengan pemberian nutrisi pada pasien. Pemberian nutrisi pada pasien yang dirawat di ICU Anak merupakan hal yang sangat penting. Perlu perhitungan kebutuhan nutrisi yang cermat, pemberian nutrisi tepat yang sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi malnutrisi yang lebih berat lagi. ......Children admitted to the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) are at risk for poor and potentially worsening nutritional status, a factor that further increases comorbidities and complications, prolongs the hospital stay, increases cost and increases mortality. Both underfeeding and overfeeding are prevalent in PICU and may result in large energy imbalance. This was cross sectional study design, with 3 month consecutive sampling in PICU which met 45 patients as the subject and 127 prescription of nutrition. Nutrition support therapies in PICU is very important .Adequate nutrition therapy is essential to improve nutrition outcomes in critically ill children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Fajri Gustya
Abstrak :
Pendahuluan: Gastroenteritis atau diare merupakan penyebab utama mortalitas anak di bawah usia 5 tahun dengan mortalitas lebih tinggi pada gizi buruk. Namun, protokol WHO sebagai pedoman tata laksana justru menunjukkan dampak yang buruk pada pasien anak gizi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara status gizi dengan profil hemodinamik setelah terapi cairan pada gastroenteritis akut. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan data sekunder dari RSCM dan RS Pasar Rebo sejak Februari hingga Oktober 2020 meliputi pasien anak di bawah 5 tahun gastroenteritis akut dengan terapi cairan intravena. Pengukuran profil hemodinamik menggunakan USCOM pada sebelum dan sesudah terapi. Analisis data melalui SPSS versi 20 dengan uji t berpasangan dan uji t independen. Hasil: Nilai DO2 sebelum (318 ± 122,860 vs 169,4 ± 57,315 mL/min, p=0,021) dan sesudah (287 ± 66,338 vs 180,9 ± 30,284 mL/min, p=0,005) terapi cairan intravena pada pasien dengan status gizi buruk lebih rendah. Nilai CO juga berbeda secara bermakna sebelum terapi cairan (2,2 ± 0,63770 vs 1,4 ± 0,45222 L/min, p=0,041). Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan profil hemodinamik kedua kelompok status gizi. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada profil hemodinamik antara status gizi baik/kurang dengan gizi buruk. Protokol terapi cairan WHO tidak berdampak buruk pada gizi buruk. Namun, penelitian ini memiliki jumlah sampel yang sedikit. ......Background: Acute gastroenteritis or diarrhea is one of the main causes of death in children under 5 years, with higher mortality in children with severe malnutrition. However, WHO protocol of intravenous therapy had been associated with worse outcome in severe malnutrition. This study aims to explain the association between nutritional status and hemodynamic profile after intravenous fluid therapy in acute gastroenteritis. Methods: This study is a cross-sectional study from secondary data in RSCM and RS Pasar Rebo from February to October 2020 and included children under 5 years suffered from acute gastroenteritis with intravenous fluid therapy. Hemodynamic profile is measured using USCOM before and after intravenous fluid therapy. Data were analyzed using SPSS ver 20 with paired t-test and independent t-test. Results: Patients with severe malnutrition has lower DO2 before (318 ± 122,860 vs 169,4 ± 57,315 mL/min, p=0,021) and after (287 ± 66,338 vs 180,9 ± 30,284 mL/min, p=0,005) intravenous fluid therapy. The value of CO is also lower in severe malnutrition before intravenous fluid therapy (2,2 ± 0,63770 vs 1,4 ± 0,45222 L/min, p=0,041). However, our study did not find significant change in hemodynamic profile in both groups. Conclusion: There is no association between nutritional status and hemodynamic profile after rehydration therapy in pediatric gastroenteritis. WHO protocol of intravenous fluid therapy did not harm pediatric patients with severe malnutrition. However, our study included very small number of patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Veronika Prescillia Hartanuh
Abstrak :
Latar Belakang: Delirium adalah perubahan status mental berupa gangguan atensi, kesadaran, dan kognisi yang akut dan fluktuatif. Referensi standar mendiagnosis delirium pada anak dan dewasa menggunakan kriteria DSM-5 atau ICD-10. Populasi anak memiliki tahap perkembangan dan gambaran gejala delirium yang berbeda dibandingkan dewasa sehingga diagnosis delirium anak mengalami keterbatasan dan membutuhkan kemampuan klinis dan kompetensi. Telah dikembangkan instrumen pCAM-ICU untuk membantu diagnosis delirium anak usia minimal lima tahun yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Saat ini pelayanan kesehatan anak di Indonesia belum memiliki instrumen membantu diagnosis delirium dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena tingginya kebutuhan pelayanan, maka dilakukan validitas isi dan reliabilitas konsistensi internal instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia Metode: Dilakukan proses forward translation dan back translation hingga didapatkan instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia. Uji validitas isi pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia melibatkan 10 orang ahli di Ilmu Kesehatan Jiwa dan Ilmu Kesehatan Anak yang pernah menangani kasus delirium pada anak dan remaja. Uji reliabilitas konsistensi internal dilakukan pada 30 pasien anak yang berusia 5 – 17 tahun di layanan RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan membandingkan pemeriksaan pCAM-ICU dengan kriteria DSM-5. Hasil: Instrumen pCAM-ICU versi bahasa Indonesia memiliki nilai I-CVI dan S-CVI sebesar 1,00 pada uji validitas isi dan Cronbach’s alpha keseluruhan 0,959 pada uji reliabilitas konsistensi internal. Instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia memiliki nilai sensitivitas 85% (95% CI, 68-100%) dan spesifisitas 96% (95% CI, 86-100%) Simpulan: Instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia dinilai valid dan reliabel dalam membantu penegakkan diagnosis delirium pada anak minimal usia lima tahun. ......Background: Delirium is defined as an acute and fluctuating altered mental status in the form disruption of attention, consciousness, and cognition. DSM-5 and ICD-10 criteria are used as a standardized reference to diagnose delirium. Pediatric population has a different developmental stage and clinical manifestation compared to adult population, hence diagnosing delirium in pediatric population is limited and requires further clinical skill and competence. pCAM-ICU has been developed to help diagnosing delirium for children at least 5 years old with high sensitivity and specificity. Pediatric healthcare service in Indonesia does not have an instrument to help diagnosing delirium in Bahasa Indonesia. Due to the need of such instruments, content validation and internal consistency reliability test for Indonesian version of pCAM-ICU is carried out. Methods: Forward translation and back translation is carried out to obtain the Indonesian version of pCAM-ICU. Content validity of Indonesian pCAM-ICU involves 10 experts in Psychiatry and Pediatric who have managed delirium cases in children and adolescent. Internal consistency reliability test is done to 30 pediatric populations from the age of 5-17 years old in RSCM. This research is a cross sectional research which compares pCAM-ICU with DSM-5 criteria. Results: Indonesian version of pCAM-ICU has I-CVI and S-CVI score of 1,00 at content validity test and overall Cronbach’s alpha of 0,959 for internal consistency reliability test. Indonesian version of pCAM-ICU has 85% (95% CI, 68-100%) sensitivity and 96% (95% CI, 86-100%) specificity. Conclusion: Indonesian version of pCAM-ICU is considered valid and reliable to held diagnosing delirium in children of at least 5 years old.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rastra Rantos
Abstrak :
ABSTRAK
Regurgitasi merupakan suatu kejadian keluarnya isi lambung ke arah farings dan mulut tanpat adanya usaha paksa dari bayi. Keadaan ini sering ditemukan pada tahun pertama kehidupan dan umumnya disebabkanm oleh refluks gastroesofagus (RGE) akibat imaturitas mekanisme anti-refluks pada sfinger esofagus bagian bawah (SEB). Data di negara maju melaporkan sekitar 50% bayi sehat berumur 0-3 bulan mengalami regurgitasi paling sedikit 1 kali setiap harina dan meningkat 70% pada usia 6 bulan, hingga menurun secara bertahap hingga 10% pada umur 12 bulan dan 5% pada umur 12-18 bulan. Tata laksana yang adekuat sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya masalah klinis akibat regurgitasi yang berlanjut, antara lain esofagitis, striktur esofagus, mainutrisi, atau problem respiratorik. Langkah pertama tatla laksana regurgitasi adalah parental reassurance dan dilanjutkan dengan pemberian thickening milk sebagai susu anti regurgitasi, sedangkan terapi posisi seiain seringkoli membuat bayi tidak nyaman,hanya diberikan pada kasus tertentu mengingat meningkatnya kejadian sudden infant death syndrome (SIDS)." Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendapatkan efek thickening pada susu. Di negara maju telah tersedia thickening milk komersil dan terbukti dapat menurunkan fiekuensi regurgitasi. Locust bean gum merupakan salah satu bahan yang dikandung dalam thickening milk komersil dan mempunyai fek thickening. Locust &can gum tidak dipecah oleh enzim amilase kelenjar liar dan asam lambung sehingga tetap dapat mempertahankan efek thickeningnya. Jenis susu tersebut masih terbatas pada negara berkembang dan harganyapun relatif mahal. Dengan mempertimbangkan efek positif dari thickening milk, maka telah dilakukan modifikasi thickening milk dengan cara menambahkan 1 sendok takar (5 g) tepung beras ke dalam 100 cc larutan susu. Dari beberapa laporan, cara ini juga memperlihatkan hasil yang positif dalam menurunkan frekuensi regurgitasi, meskipun tidak sebesar thickening milk kontersil. Beberapa kendala ditemukan pada thickening milk modifikasi, antara lain pemberian susu memerlukan lobang dot lebih besar, densitas kalori lebih tinggi sehingga komposisi nutrisi yang dikandungnya tidak sesuai dengan komposisi nutrisi yang dianjurkan. Beberapa bayi dilaporkan mengalami konstipasi. Walaupun demikian, thickening milk modifikasi masih merupakan terapi alternatif pada regurgitasi terutama di negara berkembang, karena selain memperlihatkan efek positif, cara ini jauh lebih murah. Penggunaan kedua jenis thickening milk (komersil dan modifikasi) belurn pernah dilaporkan di Indonesia, sedangkan prevalens- regurgitasi pada bayi Indonesia cukup tinggi, oleh karena itu, cukup beralasan melakukan penelitian mengenai efektivitas thickening milk pada bayi Indonesia yang mengalami regurgitasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58751
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilda
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Penyakit jantung bawaan (PJB) asianotik pirau kiri ke kanan merupakan kelompok PJB yang sering ditemukan. Aliran pirau yang terjadi memengaruhi sistem respiratori, sehingga terjadi ventilasi perfusi mismatch dan menurunkan compliance paru yang memudahkan pasien untuk mengalami infeksi respiratori akut (IRA) berulang. Tujuan. Mengetahui kekerapan IRA pada anak dengan PJB asianotik pirau kiri ke kanan. Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) dan Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), selama bulan September 2012 hingga April 2013. Kelompok PJB adalah pasien PJB asianotik pirau kiri ke kanan berusia 3 bulan-5 tahun. Kelompok kontrol adalah anak yang tidak menderita PJB asianotik pirau kiri ke kanan yang diambil secara matching umur dan jenis kelamin. Data penelitian dianalisis dengan uji Kai kuadrat, t tidak berpasangan, dan Mann-Whitney menggunakan SPSS versi 19. Hasil. Penelitian dilakukan pada 100 subjek, 6 subjek mengalami drop out. Insidens IRA pada kelompok PJB asianotik pirau kiri ke kanan adalah 40-60%, kelompok kontrol 20-30% (P=0,027). Risiko relatif pasien PJB mengalami IRA adalah 2,3 kali (IK 95% 1,2-4,3) dibanding kelompok kontrol (P=0,006). Jenis IRA terbanyak pada kelompok PJB dan kontrol adalah IRA atas (118 dan 66 kasus), IRA bawah pada kelompok PJB berjumlah 26 kasus, sementara kelompok kontrol 3 kasus. Rerata episode IRA pada kelompok PJB adalah 3 (SD 1,1), kelompok kontrol 1,5 (SD 0,9) dengan P<0,0001. Kejadian IRA berulang pada kelompok PJB lebih sering dibanding kelompok kontrol (P<0,0001). Median lama IRA pada kelompok PJB adalah 7 hari (4-14 hari), sementara kelompok kontrol 5 hari (2-12 hari) P<0,0001. Simpulan. Kejadian IRA berulang pada kelompok PJB asianotik pirau kiri ke kanan lebih sering dibandingkan kelompok kontrol.
ABSTRACT
Background. Acyanotic left-to-right shunt congenital heart disease (CHD) is the most frequent CHD. The flow of the shunt may affect the respiratory tract, resulting in ventilation perfusion mismatch and decrease the lung compliance. This, in return, will cause patient suffer from recurrent acute respiratory tract infection (ARI). Objective. To describe the frequency of ARI in children with acyanotic left-toright shunt CHD Method. This was a prospective cohort study, done in Department of Child Health and Integrated Heart Service of Cipto Mangunkusumo Hospital from September 2012 to April 2013. Subjects were acyanotic left-to-right shunt CHD with consist of children age 3 month?5 years old. Control group was children with no CHD that was matched with age and sex. Data was analyzed using chi square, unpaired t test, and Mann-Whitney test. Result. Study was performed in 100 subjects, 6 subjects were dropped out. The incidence of ARI on the CHD group was 40-60%, whereas in the control group only 20-30% (P=0.027). The relative risk of CHD patients to have ARI is 2.3 (95% CI 1.2-4.3) compared to control group (P=0.006). The most frequent ARI in CHD and control groups were upper ARI (118 and 66 cases), followed by lower ARI (26 and 3 cases). The mean frequency of ARI episode in the CHD group was 3 (SD 1.1), whereas in the control group 1.5 (SD 0.9) (P<0.0001). The recurrent of ARI cases were also more frequently found in the CHD group compared to control group (P<0.0001). The median of ARI duration in the CHD group was 7 days (4-14 days), while in the control group was 5 days (2-12 days) (P<0.0001). Conclusion. Recurrent of ARI is more frequent in the acyanotic left-to-right shunt CHD children compared to the control group.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meida Tanukusumah
Abstrak :
ABSTRACT
Latar belakang. Prevalens alergi makanan meningkat dalam dekade terakhir, namun belum ada data prevalens alergi makanan di Indonesia. Alergi makanan paling banyak ditemukan pada anak berusia kurang dari 3 tahun. Perolehan data prevalens dapat dilakukan dengan survei berbasis web yang memiliki hasil sebaik survei langsung.

Tujuan. Mengetahui prevalens alergi makanan pada anak usia kurang dari 3 tahun di Jakarta berbasis survei dalam jaringan (daring). Mengetahui angka penegakan diagnosis alergi makanan dari terduga alergi makanan, manifestasi klinis keluhan orangtua yang menandakan anaknya alergi makanan, jenis makanan penyebab, dan sebaran alergi makanan berdasarkan gambaran pemberian makan dan kejadian alergi keluarga.

Metode. Studi ini adalah deskriptif potong lintang menggunakan survei daring selama Januari 2011-Oktober 2013. Orangtua anak usia <3 tahun di Jakarta yang mampu mengakses internet dengan keluhan kecurigaan alergi makanan pada anaknya, melakukan log masuk di www.alergianakku.com. Kuesioner daring yang terisi kemudian diseleksi sesuai inklusi. Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan menanyakan ulang informasi alergi, termasuk melalui pemanggilan dan pemeriksaan langsung.

Hasil. Sebanyak 286 subjek yang memenuhi kriteria inklusi; terdapat 100 subjek (35%) dengan terduga alergi makanan dan 30 subjek dari 100 subjek ditetapkan memiliki alergi makanan. Karakteristik subjek adalah mayoritas lelaki (60%) dan kelompok usia >12-36 bulan (48%). Pada kelompok alergi makanan, usia terbanyak >6-12 bulan (11/30). Gejala alergi makanan tersering adalah reaksi kulit (26/30). Makanan penyebab alergi tersering adalah susu sapi. Mayoritas subjek dengan alergi makanan mendapatkan ASI hingga usia 12 bulan (13/30); ASI eksklusif diberikan <6 bulan (23/30), dan makanan pendamping diberikan saat usia 2-4 bulan (13/30). Riwayat alergi pada keluarga (27/30) tersering adalah asma (12/30) dengan hubungan keluarga tersering ibu kandung (15/30).

Simpulan. Prevalens alergi makanan pada anak usia kurang dari 3 tahun di Jakarta berbasis survei daring adalah 10,5%. Diagnosis alergi makanan dari terduga alergi makanan adalah 30%. Keluhan tersering yang menandakan alergi makanan adalah reaksi kulit. Jenis makanan tersering penyebab alergi adalah susu sapi. Mayoritas subjek dengan alergi makanan mendapatkan ASI hingga usia 12 bulan, ASI eksklusif diberikan kurang dari 6 bulan, diberikan makanan pendamping dini, dan sebagian besar memiliki riwayat alergi keluarga dengan hubungan tersering ibu kandung dan penyakit alergi keluarga tersering adalah asma.
ABSTRACT
Background. Prevalence of food allergy is increasing in last decade; however there is no data from Indonesia yet. Food allergy is mostly found in children below 3 years of age. Web-based surveys can be used for obtaining prevalence data as well as direct surveys.

Objectives. To know the prevalence of food allergy in children less than 3 years old in Jakarta based on online survey. To know the confirmed food allergy diagnosis from suspected food allergy, clinical manifestation of childhood food allergy based on the parent’s complaint, food etiology, and food allergy distribution based on feeding model and family allergic history.

Methods. A cross-sectional descriptive study with online survey during January 2011-October 2013. Parents, who have children <3 years old in Jakarta with suspected food allergy complaint and have access to internet, log in to www.alergianakku.com. The filled online questionnaire was selected by inclusion criteria. Confirmation of diagnosis was made by convincing allergic history, asking the subject to come and by direct examination.

Results. Total 286 subjects fulfilled the inclusion criteria; 100 subjects (35%) were suspected food allergy, and 30 out of 100 were diagnosed food allergy. The majority characteristics of subjects were male (60%) and >12-36 months age group (48%). The majority of food allergy subjects were >6-12 months age group (11/30). The most frequent food allergy symptom was skin reaction (26/30). The most frequent food etiology was cow’s milk. The food allergy subjects were breastfed until the age of 12 months (13/30); were given exclusive breastfeeding less than 6 months (23/30) and complementary food at age 2-4 months (13/30). Most of them had family allergic history (27/30), with asthma (12/30) as the most frequent disease, and the most frequent relationship was mother (15/30).

Conclusions. Prevalence of food allergy in children less than 3 years old in Jakarta based on online survey is 10.5%. The confirmed food allergy diagnosis from suspected food allergy is 30%. The most frequent clinical manifestation of childhood food allergy is skin reaction. The most frequent food etiology is cow’s milk. The food allergy subjects were breastfed until the age of 12 months; were given exclusive breastfeeding less than 6 months and complementary food at age 2-4 months. Most of them have family allergic history, the disease is asthma, and the relationship is mother
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Distyayu Sukarja
Abstrak :
Latar belakang: Acinetobacter baumannii Acb merupakan salah satu organisme penyebab infeksi neonatal di ruang rawat perinatologi. Kemampuan Acb menyebabkan resistensi antibiotik dan mampu mempertahankan diri dari desikasi serta desinfeksi berpotensi mengakibatkan kejadian luar biasa infeksi rumah sakit. Infeksi Acb terutama galur resisten dapat memengaruhi keberhasilan terapi, meningkatkan waktu dan biaya perawatan, serta angka mortalitas. Informasi mengenai Acb di Indonesia sangat terbatas. Tujuan: 1 Mengetahui prevalens infeksi Acb. 2 Mengetahui karakteristik neonatus terinfeksi Acb. 3 Mengetahui pola sensitivitas dan resistensi Acb terhadap antibiotik 4 Mengetahui proporsi luaran neonatus terinfeksi Acb. 5 Mengetahui faktor risiko infeksi Acb pada neonatus di perawatan Unit Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM. Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan pengambilan data rekam medis pasien neonatus yang dirawat di Unit Perinatologi RSCM sejak 1 Januari 2012 hingga 30 Juni 2016 dengan diagnosis sepsis neonatal awitan lambat. Faktor- faktor yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil: Pada periode 1 Januari 2012-30 Juni 2016, didapatkan 540 subyek dengan diagnosis sepsis neonatal awitan lambat. Hampir seluruh subyek merupakan bayi prematur. Prevalens infeksi Acb didapatkan sebanyak 35,4 dengan infeksi Acb galur resisten sebanyak 94,8. Mortalitas akibat Acb adalah 65,4. Sensitivitas antibiotik paling baik yaitu polimiksin dan kolistin sebanyak 26,1 dan 20,6. Resistensi antibiotik paling tinggi ditemukan pada golongan sefalosporin 93 dan karbapenem 82 . Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu penggunaan karbapenem sebelum terinfeksi Acb p
Background Acinetobacter baumannii Acb attributes as pathogen for serious nosocomial infections in Neonatal units. The way it accumulates mechanisms of antimicrobial and desiccation resistance may cause nosocomial outbreaks. It represents a challenge as therapeutic options are limited and associated with an increased length of hospital stay and high mortality. Informations about Acb are not well established in Indonesia. Aim 1 To determine the prevalence of Acb infection. 2 To described the clinical characteristics of acb infections. 3 To identify antimicrobial susceptibility of Acb. 4 To determine the mortality rate of Acb infection. 5 To determine the risk factors associated with Acb infection in Perinatology Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital. Method A retrospective, cohort study was conducted in Neonatal Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital by reviewing medical records of neonates diagnosed as late onset sepsis from 1st January 2012 to 30th June 2016. Risk factors of infection were compared in multivariable analysis. Result From 1st January 2012 to 30th June 2016, 540 cases of late onset sepsis were indentified. Preterm was noted in most cases. The prevalence of Acb infection were 35.4. Antibiotic resistant Acb was the most predominant strain accounting for 94.8 of cases of Acb infection. Overall mortality was 65.4. Isolates were resistant to cephalosporins 93 and carbapenems 82 , while susceptible to polymyxins 26.1 and colistin 20.6. Statistically significant risk factors were neonates exposed to carbapenems before infection odds ratio OR 1.989 p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melita Adiwidjaja
Abstrak :
Defisiensi besi adalah defisiensi mikronutrien yang paling sering ditemui. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan anemia defisiensi besi dan gangguan kognitif, terutama pada anak usia sekolah, yang ireversibel. Diagnosis defisiensi besi rumit, tidak praktis, dan mahal. Organisasi AAP merekomendasikan RET-He sebagai pemeriksaan laboratorium untuk skrining defisiensi besi. Tujuan penelitian adalah untuk mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi pada anak usia 6 – 18 tahun. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 207 anak sehat usia 6 - 18 tahun di Indonesia. Penelitian ini mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi, kemudian dibandingkan dengan hemoglobin, mean corpuscular volume, feritin, dan saturasi transferin. Kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batasan RET-He untuk skrining status besi dengan menggunakan IBM SPSS versi 22. Pemeriksaan RET-He mendapatkan nilai batasan ≤ 30,3 pg (sensitivitas 100%, spesifisitas 19,7%, NDN 100%, NDP 5,4%) untuk skrining deplesi besi; nilai batasan RET-He ≤ 28,9 pg (sensitivitas 78,9%, spesifisitas 56,2%, NDN 92,2%, dan NDP 28,9%) untuk defisiensi besi; dan nilai batasan RET-He ≤ 27 pg (sensitivitas 75%, spesifisitas 80%, NDN 98,1%, dan NDP 18,7%) untuk anemia defisiensi besi. Peneliti menarik kesimpulan bahwa RET-He dapat digunakan sebagai parameter skrining defisiensi besi dengan nilai batasan ≤ 28,9 pg. Skrining untuk anemia defisiensi besi dapat menggunakan RET-He dengan nilai batasan ≤ 27 pg, namun harus dilakukan dengan parameter lain, seperti Hb. Pemeriksaan RET-He dengan nilai batasan ≤ 30,3 pg tidak dapat digunakan untuk skrining deplesi besi. ......Iron deficiency (ID) is the most common micronutrient deficiency in the world. Left untreated, ID will lead to iron deficiency anemia (IDA) and other irreversible consequences. Screening iron deficiency is complex, impractical, and expensive. The AAP recommended RET-He as an alternative laboratory examination to screen ID. The objective is to find RET-He cut-off value to screen for iron status in healthy children, aged 6 – 18 years old. This study is a cross-sectional study of 207 children aged 6 – 18 years old in Indonesia. RET-He was compared with hemoglobin, mean corpuscular volume, ferritin to assess iron status in children. Receiver operating curve was performed to determine the optimal cut-off value for RET-He using IBM SPSS 22. Reticulocyte hemoglobin equivalent with cut-off value ≤ 30.3 pg was established to screen iron depletion (100% sensitivity, 19.7% specificity, 100% NPV, 5.4% PPV); meanwhile RET-He ≤ 28.9 pg to screen iron deficiency (78.9% sensitivity, 56.2% specificity, 92.2% NPV, 28.9% PPV); and RET-He ≤ 27 pg to screen IDA (75% sensitivity, 80% specificity, 98.1% NPV, 18.7% PPV). The researcher concluded that RET-He can be used as an iron deficiency screening parameter with a cut-off value ≤ 28.9 pg. Screening for IDA with RET-He ≤ 27 pg need to be done with other parameters, such as Hb. RET-He ≤ 30.3 pg cannot be used for iron depletion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59203
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Esther Iriani
Abstrak :
Latar Belakang: Morbiditas dan mortalitas akibat renjatan pada anak di seluruh dunia dilaporkan masih tinggi. Pengenalan dini dan tatalaksana yang tepat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat renjatan. Indikator penting untuk mendeteksi hipoksia jaringan global adalah pengukuran saturasi oksigen mixed vein (SmvO2) dari kateter arteri pulmonal atau vena sentral namun kedua pemeriksaan ini sulit dan invasif sehingga tidak rutin dilakukan. Near infrared spectroscopy (NIRS) merupakan alternatif pemeriksaan non invasif, real time, kontinu dan praktis untuk mengukur saturasi oksigen regional sekaligus menggambarkan saturasi oksigen vena global. Tujuan: Mengetahui kenaikan nilai NIRS serebral pascarenjatan teratasi serta korelasinya dengan perubahan parameter hemodinamik non invasif.

Metoda: Penelitian potong lintang pada anak usia 1 bulan-18 tahun yang mengalami renjatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan pada bulan Maret-Juni 2019. Terhadap subjek yang mengalami renjatan dilakukan pengukuran NIRS serebral, MAP, serta pengukuran non invasif Cardiac Index (CI), Systemic Vascular Resistance Index (SVRI), Delivery Oxygen (DO2), Inotrophy Index (INO), Stroke Volume Index (SVI) menggunakan Ultrasonic Cardiac Output Monitoring (USCOM) pada saat renjatan dan diulang ketika renjatan teratasi. Uji korelasi dilakukan untuk menilai hubungan antara perubahan nilai NIRS serebral dan parameter hemodinamik non invasif. Hasil: Dari 32 subjek yang diteliti ditemukan peningkatan nilai NIRS serebral sebesar 27,7% pascarenjatan teratasi. Parameter hemodinamik, kecuali untuk SVRI, juga mengalami peningkatan pasca renjatan namun tidak berkorelasi dengan peningkatan nilai NIRS.

Simpulan: Hasil pengukuran NIRS serebral menggambarkan perfusi dan oksigenasi ke jaringan perifer namun tidak berkorelasi dengan parameter hemodinamik non invasif pada penelitian ini. Kata kunci: Near infrared spectroscopy; parameter hemodinamik non invasif; renjatan; USCOM


Background: Pediatric shock accounts for significant morbidity and mortality worldwide. Early recognition and timely intervention are critical for successful treatment of pediatric shock. A strong indicator of global tissue hypoxia by measuring mixed venous oxygen saturation from pulmonary artery catheter (PAC) or central vein catheter (CVC) is rarely used due to its highly invasive character. Near infrared spectroscopy (NIRS) is a noninvasive, real time, continuous and practical modality is a safe alternative for regional and global oxygen saturation measurement. Objective: To evaluate the increment of cerebral NIRS post-resuscitation in pediatric shock and its correlation with noninvasive hemodynamic measurements. Methods: This cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Pasar Rebo Hospital and Tarakan Hospital between March and June 2019. Children whose age ranged from1 month to 18 years admitted to Emergency Department (ED) or Pediatric Intensive Care Unit (PICU) due to shock were included. Measurement of cerebral NIRS, MAP, as well as Cardiac Index (CI), Systemic Vascular Resistance Index (SVRI), Delivery Oxygen (DO2), Inotrophy Index (INO), Stroke Volume Index (SVI) using Ultrasonic Cardiac Output Monitoring (USCOM) were performed on admission and after resuscitation when the shock has resolved and the patients were stable. Correlation between cerebral NIRS and other noninvasive hemodynamic parameters were then analysed. Results: There were 32 subjects participated in this research. Following resuscitation, cerebral NIRS measurements showed an increment of 27,7% compared to cerebral NIRS in shock state. All non invasive hemodynamic parameters, except for SVRI, were also increased after resuscitation but no correlation observed between these parameters to cerebral NIRS (p>0,005). Conclusion: Cerebral NIRS is a sensitive parameter of peripheral perfusion but showed not correlation with hemodynamic parameters in this research.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pustika Efar
Abstrak :
Latar belakang: Penentuan kebutuhan nutrisi secara tepat pada anak sakit kritis perlu dilakukan untuk menghindari underfeeding dan overfeeding. Rumus estimasi menjadi dasar perkiraan kebutuhan energi jika kalorimetri indirek sebagai baku emas tidak tersedia. Akurasi rumus pada studi terdahulu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh karakteristik populasi setempat, sehingga akurasinya perlu diuji pada populasi Indonesia. Tujuan: Mengevaluasi akurasi rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO dibandingkan kalorimetri indirek, serta mengevaluasi dampak penambahan faktor stres terhadap akurasi. Metode: Penelitian deskriptif analitik potong lintang ini mengikutsertakan pasien anak yang menggunakan ventilasi mekanik Mei sampai Juli 2019. Analisis kesesuaian dilakukan dengan membandingkan perhitungan rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO, dengan dan tanpa faktor stres terhadap pengukuran kalorimetri indirek. Hasil: Penelitian mengikutsertakan 52 subjek pada hari perawatan 1-5 di PICU dengan median usia 5 tahun (1 bulan 10 hari hingga 17 tahun 9 bulan). Kebutuhan energi yang diukur kalorimetri indirek adalah 60,7 ± 23,5 Kkal/kg/hari. Estimasi rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO lebih rendah dari hasil pengukuran tersebut dengan %bias berturut-turut -13 ± 19, -15 ± 20, dan -16 ± 21. Nilai estimasi dan hasil pengukuran kalorimetri indirek berkorelasi kuat (intraclass correlation coefficient r > 0,9) namun interval kesesuaian (limit of agreement) dari %bias sangat lebar. Hanya 12 (23%) subjek yang memiliki nilai estimasi akurat sesuai dengan kalorimetri indirek. Pada populasi penelitian ini faktor stres meningkatkan akurasi rumus estimasi. Simpulan: Rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO tidak akurat sebagai estimasi kebutuhan energi anak sakit kritis. Hasil prediksi rumus tersebut lebih rendah dari kebutuhan aktual jika faktor stres tidak digunakan.
Background: Accurate estimation of energy expenditure in critically ill children is important to avoid underfeeding and overfeeding. Prediction formula helps to estimate energy expenditure when the gold standard indirect calorimetry is not available. Previous study on estimation accuracy yielded variable result in different population characteristics, therefore the accuracy of prediction formula in Indonesian population needs to be evaluated. Objective: To assess the accuracy of Schofield WH, Schofield W, and WHO formula compared to indirect calorimetry. To evaluate the impact of additional stress factor on the accuracy of prediction formula. Methods: This is a descriptive analytic cross-sectional study on mechanically ventilated critically ill children held in May-July 2019. We analyze the agreement of measured energy expenditure using indirect calorimetry and estimated energy expenditure calculated by Schofield WH, Schofield W, and WHO formula, with and without additional stress factor. Results: This study included 52 subjects with median age 5 years old (1 month 10 days -17 years 9 months) on day 0-5 after they were admitted to PICU. Mean measured energy expenditure was 60,7 ± 23,5 Kcal/kg/day. All estimated energy expenditure by Schofield WH, Schofield W, and WHO were lower than measured energy expenditure with % bias of -13 ± 19, -15 ± 20, and -16 ± 21, respectively. Estimated and measured value have strong correlation (intraclass correlation coefficient r > 0.9) but the limit of agreement interval is too wide. Only 12 (23%) subjects have accurate estimation of energy expenditure. In this population stress factor improves the accuracy of prediction formulas. Conclusion: Schofield WH, Schofield W, and WHO formula have poor accuracy in estimating energy expenditure in critically ill children. Without additional stress factor, the estimated value were lower than actual/measured energy expenditure
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>