Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Artanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit refluks gastroesofagus PRGE pada remaja sulit didiagnosis, karena gejala klinis tidak spesifik dan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Gastroesofageal reflux disease questionnaire GERD-Q dan pediatric gastroesophageal symptom and quality of life questionnaire PGSQ telah divalidasi dan dikembangkan untuk mengidentifikasi PRGE dan kualitas hidup. Penggunaan GERD-Q dan PGSQ pada populasi remaja sebagian besar tidak diketahui.Tujuan: Untuk memperoleh prevalens dugaan PRGE pada remaja menggunakan GERD-Q dan penilaian kualitas hidup pada remaja yang memiliki GERD-Q positif skor ge; 7 dengan menggunakan PGSQ.Metode: Remaja usia 12-18 tahun di evaluasi menggunakan kuesioner GERD-Q. Remaja yang memiliki skor GERD-Q positif dievaluasi kualitas hidupnya menggunakan PGSQ. Analisis mengenai faktor risiko dugaan PRGE juga dilakukan.Hasil: Pada 520 subjek, rasio laki-laki dan perempuan 1:1,3 dan usia median 13 tahun. Prevalens dugaan PRGE pada remaja menggunakan kuesioner GERD-Q adalah 32,9 . Mengkonsumsi minuman soda memiliki risiko 1,7 kali mengalami dugaan PRGE Interval kepercayaan 95 1,3-2,2, ABSTRACT
Background Gastroesophageal reflux disease in adolescent is difficult to diagnose due to nonspecific symptom and often lead to poor quality of life. Gastroesophageal reflux disease questionnaire GERD Q and pediatric gastroesophageal symptom and quality of life questionnaire PGSQ are validated questionnaire that was developed to help identify GERD patients and their quality of life respectively. The application of GERD Q and PGSQ in adolescent population is largely unknown.Aim To obtain suspected GERD prevalence in adolescent using GERD Q and quality of life score assessment in adolescent with GERD Q positive.Methods Adolescent age 12 18 years were evaluated using indonesian version of GERD Q. Adolescents with GERD Q positive were then evaluated their quality of life using Indonesian version of PGSQ. Suspected risk factors of having GERD, which would influence GERD Q result, were also analyzed.Result In 520 subjects, the male to female ratio was 1 1,3 and the median age was 13 years range 12 18 years . Prevalence of GERD in adolescent using GERD Q was 32,9 . Routine soda consumption was 1,7 times more likely to have GERD CI 95 1.3 2.2, p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fera Wahyuni
"

Latar belakang: Penggunaan aminofilin intravena masih merupakan terapi pilihan untuk mengatasi apnea of prematurity (AOP) pada bayi prematur di Indonesia karena obat tersebut lebih mudah diperoleh dan harganya lebih murah walaupun mempunyai jendela terapi yang sempit. Pemeriksaan kadar teofilin serum perlu dilakukan untuk menilai efektifitas dan keamanan obat tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas dan keamanan penggunaan aminofilin intravena pada bayi prematur dalam pengobatan apnea of prematurity di unit Neonatologi belum jelas. 

Tujuan: Mengetahui efektifitas dan keamanan penggunaan aminofilin sebagai terapi apnea of prematurity dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cohort prospektif. Subjek penelitian adalah 40 bayi prematur dengan usia gestasi kurang atau sama dengan 30 minggu di Unit Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta pada bulan April 2019 hingga Oktober 2019. Bayi tersebut mendapat terapi aminofilin intravena dosis rumatan sebanyak lima kali dan dilakukan pemeriksaan kadar teofilin serum dengan menggunakan metode reversed phase high performance liquid chromatography diode array detector (RP-HPLC-DAD). Selanjutkan dilakukan pemantauan efektifitas dan efek samping yang terjadi selama pemberian aminofilin intravena. Analisis data dengan uji Kai kuadrat dan regresi logistik, hasil signifikan bila nilai p < 0,05.

Hasil: Pemberian aminofilin intravena 67,5% efektif sebagai terapi AOP pada bayi usia gestasi kurang dari 30 minggu. Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas penggunaan aminofilin intravena sebagai terapi AOP adalah berat lahir dan kadar teofilin serum dengan nilai p = 0,006 dan 0,022. Efek samping yang ditemukan pada pemberian aminofilin intravena adalah takikardi (37,5%) dan peningkatan diuresis (27,5%) pada kadar teofilin serum lebih dari 12 mg/mL. Faktor yang memengaruhi keamanan penggunaan terapi aminofilin intravena pada bayi prematur adalah kadar teofilin serum dengan nilai p < 0,001. 

Simpulan: Pemberian aminofilin intravena sebagai terapi AOP pada bayi prematur dengan usia kurang dari 30 minggu efektif dan aman. Namun perlu dilakukan pemantauan kadar teofilin serum mengingat pemberian aminofilin intravena sering menimbulkan efek samping.

 

Keywords: apnea of prematurity, aminofilin, efektifitas dan keamanan


Background: Intravenous aminophylline still plays the role as the therapy of choice for apnea of prematurity (AOP) in Indonesia because the drug is easier
to obtain and the price is cheaper despite having a narrow window of therapy. An examination of serum theophylline levels needs to be performed to assess the effectiveness and safety of the drug. Factors that influence the effectiveness and safety in the treatment of apnea of prematurity in the Neonatology Unit remain unclear.
Aim: To determine the effectiveness and safety of using aminophylline as apnea of prematurity therapy and their influencing factors.
Methods: This research is an analytical study with a prospective cohort design. Subjects were 40 premature infants with gestational age less than or equal to 30 weeks in the Neonatology Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in Jakarta from April 2019 to Oktober 2019. The infants received intravenous
aminophylline maintenance dosages five times and the levels of serum theophylline were examined using the reversed phase high performance liquid chromatography diode array detector (RP-HPLC-DAD) method. The follow up was set to monitor the effectiveness and side effects that occur during intravenous aminophylline administration. Data were analyzed using the Chi-square test and logistic regression. The results were considered significant if the p-value < 0,05.
Results: The administration of intravenous aminophylline 67.5% was effective as AOP therapy in infants of less than 30 weeks gestation. Factors that
influence the effective use of intravenous aminophylline as AOP therapy are birth weight and serum theophylline levels with p = 0,006 and 0,022. Side effects that occurred were tachycardia (37.5%) and increased diuresis (27.5%) in serum theophylline levels of more than 12 mcg/mL. Factors that influence the safety of the use of intravenous aminophylline therapy in preterm infants are serum theophylline levels with p < 0,001.
Conclusion: Administration of intravenous aminophylline as AOP therapy in premature infants less than 30 weeks of age is effective and safe. However, it is necessary to monitor serum theophylline levels due to its frequent side
effects occurence.

 

Keywords: apnea of prematurity, aminophylline, effectiveness and safety
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Caesaria Lestari
"Latar belakang
Kemampuan meminta (mand) dan menyebut (tact) adalah kemampuan yang perlu ditingkatkan pada awal terapi verbal behavior pada anak autisme. Metode telehealth oleh orangtua dapat memberikan terapi dini. Tujuan penelitian untuk melihat efektivitas pelatihan yang dilakukan orangtua terhadap peningkatan kemampuan komunikasi awal anak GSA dalam meminta (mand) dan menyebut (tact).
Metode
Uji klinis acak terkontrol terhadap anak autisme berusia 2-5 tahun. Penilaian kemampuan anak menggunakan instrumen verbal behavior milestones assessment and placement program. Orangtua kelompok perlakuan mendapat modul video pelatihan dan bimbingan dari terapis, sebelum memulai terapi selama 3 bulan pada anak. Penilaian kemampuan ulang dilakukan pada kedua kelompok di akhir periode.
Hasil
Terdapat 40 subyek yang masuk ke dalam level 1 VBMAPP. Skor VB MAPP sesudah pemberian intervensi meningkat dari 13,83 menjadi 24,43. Peningkatan median skor mand 1 menjadi 2 dan median skor tact 1 menjadi 3 (p<0,001). Perbandingan peningkatan median skor mand antara kedua kelompok menunjukkan hasil bermakna (p=0,003). Kenaikan proporsi skor mand dan tact tampak lebih tinggi pada kelompok perlakuan.
Simpulan
Pelatihan mand dan tact oleh orangtua pada anak autisme dengan menggunakan metode telehealth efektif dalam meningkatkan kemampuan anak meminta, dan bermakna secara klinis dalam meningkatkan kemampuan anak menyebut. Metode telehealth dapat diterima oleh orangtua.

Background
Mand and tact is a skill in verbal behavior therapy that needs to be improved initially. The telehealth method are helpful for those in rural area. This study aim was to assess effectiveness of telehealth mand and tact training by parents on increasing the child’s mand and tact skill.
Methods
A randomized controlled clinical trial of 2-5 years old children with ASD. Assessment of children's milestones using verbal behavior milestones assessment and placement program. Parents in the intervention group received video modelling and guidance from a therapist before giving therapy for 3 months. Re-assessment was done in both groups at the end of the period.
Results
A total of 40 subjects with ASD in level 1 VBMAPP meet criteria. A significant increase in the VB MAPP score after the intervention, namely 13.83 to 24.43. Mand median score increased from 1 to 2, and the tact, 1 to 3 with p<0.001. Comparison of the increase in the median mand score between the two groups showed significant results (p = 0.003). The increase in the proportion of mand and tact scores was higher in intervention group.
Conclusion
Telehealth mand and tact training by parents for children with ASD effective in improving mand, and clinically meaningful in improving tact. The telehealth method can be accepted by parents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Mattarungan
"Latar belakang: Tuberkulosis (TBC) merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi untuk anak dan remaja dari segala usia di seluruh dunia. TBC pada remaja menunjukkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda. Penyebab yang sering menyebabkan hal ini adalah keterlambatan diagnosis, gaya hidup dan masalah psikososial. Hingga saat ini data mengenai angka kejadian dan prediktor mortalitas TBC pada remaja masih sangat terbatas, terutama di Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan prevalens TBC yang tinggi.

Metode: Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien usia 10-18 tahun dengan penyakit TBC di RSUPN Dr.  Cipto Mangunkusumo. Data berasal dari penelusuran rekam medis dan sistem pencatatan khsusus pasien TBC nasional (SITB) yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode 1 Januari 2019 hingga 1 Juni 2023

Hasil: Total jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan adalah 319 pasien, dengan 50 pasien (15,6%) meninggal dan 269 (84,3%) pasien hidup. Prediktor mortalitas yang bermakna pada penelitian ini adalah status gizi buruk (HR 4,5; P<0,001) dan kepatuhan berobat (HR 4,8; P<0,001). Kesintasan pasien remaja TBC sensitif obat sebesar 92% pada bulan pertama dan 87% pada bulan kedua kemudian menurun hingga akhir pemantauan menjadi 83% pada bulan kelima belas.

Kesimpulan : Angka mortalitas pada remaja dengan TBC cukup tinggi terutama pada dua bulan pertama pengobatan dan dipengaruhi oleh berbagai prediktor. Intervensi perlu berfokus pada peningkatan status gizi dan kepatuhan berobat yang dapat membantu mengurangi risiko kematian.


Background: Tuberculosis (TBC) is the leading cause of death from infectious diseases for children and adolescents of all ages worldwide. TBC in adolescents shows a higher mortality rate compared to younger age groups.Common causes include delayed diagnosis, lifestyle factors, and psychosocial issues. Currently, data on TB mortality predictors in adolescents is limited especially in Indonesia, one of the countries with a high TBC prevalence.

Methods: This retrospective cohort study involved patients aged 10-18 years with TBC at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were derived from medical records, interviews, and the national specialized TB patient recording system that met inclusion and exclusion criteria for the period from January 1st, 2019 to January 1st, 2023.

Results:  Total of 319 patients were included in the study, with 50 patients (14.7%) died and 269 (84,3%) survived. Significant mortality predictors factors in this study were poor nutritional status (HR 4.5; P<0.001) and medication adherence (HR 4,8; P<0.001). The survival rate of adolescent patients with drug-sensitive TB was 92% in the first month and 87% in the second month, then decreased to 83% by the end of the monitoring period in the fifteenth month.

Conclusion: The mortality rate among adolescents with TB is relatively high, especially in the first two months of treatment, and is influenced by various risk factors. Interventions need to focus on improving nutritional status and medication adherence, which may help in reducing the risk of death."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Agatha Febrina Christie
"Latar belakang: Deteksi dini masalah perkembangan anak pada tiga tahun pertama merupakan hal yang penting untuk dilakukan agar dapat segera diberikan intervensi sehingga anak dapat mencapai kemampuan optimalnya. Uji penapisan yang terstandardisasi diperlukan untuk meningkatkan deteksi gangguan perkembangan. ASQ-3 merupakan kuesioner berbasis orangtua yang sudah terbukti memiliki nilai psikometri yang baik. Kesahihan dan keandalan ASQ-3 belum teruji di Indonesia sehingga ASQ-3 belum digunakan secara luas sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak.
Tujuan: Mengetahui kesahihan dan keandalan ASQ-3 bahasa Indonesia sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 12-24 bulan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Kuesioner ASQ-3 diterjemahkan dan dilakukan adaptasi transkultural untuk menghasilkan kuesioner ASQ-3 bahasa Indonesia. Kuesioner ASQ-3 bahasa Indonesia kemudian diujikan kepada 5 kelompok usia (14, 16, 18, 20, dan 22 bulan) dengan masing-masing berjumlah 35 orang. Uji kesahihan dinilai dengan menggunakan koefisien korelasi, uji keandalan dengan konsistensi internal dan test retest reliability.
Hasil: Kesahihan ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok usia 14,16, 18, 20, dan 22 bulan antara total masing-masing domain dengan total skor memiliki korelasi sedang hingga sangat kuat (r = 0,454 – 0,881), kecuali pada domain komunikasi usia 14 bulan yang memiliki korelasi lemah (r = 0,349). Keandalan ASQ-3 dengan penilaian konsistensi internal (Cronbach’s alpha) masing-masing domain berdasarkan kelompok usia menunjukkan keandalan yang baik hingga sangat baik (0,693 – 0,818), sedangkan penilaian dengan metode test retest didapatkan intraclass correlation coefficient (ICC) pada kelompok usia 16, 18, 20, dan 22 bulan didapatkan nilai cukup hingga sangat baik (0,646 – 0,965), namun pada empat domain di kelompok usia 14 bulan didapatkan nilai ICC kurang baik.
Simpulan: ASQ-3 bahasa Indonesia sahih dan andal sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak usia 12-24 bulan.

Background: Early identification and detection of developmental problems in the first three years is important for facilitating to an early intervention services and maximizing child’s optimal ability. Standardized developmental screening tools are known to improve detection of developmental problems compared to surveillance or clinical judgment alone. Ages and Stages Questionnaires Third Edition (ASQ-3) is a parent-based questionnaire that has been proven to be a valid and reliable screening test. This test has not been validated and standardized before in Indonesia.
Aim: To provide the validity and reliability Indonesian version of Ages and Stages Questionnaires as an appropriate developmental screening tool for children aged 12-24 months.
Method: This cross-sectional study divided into two parts. First, we perform translation and transcultural adaptation to produce the Indonesian version. The final form of Indonesian ASQ-3 then was tested to parents in 5 age groups (14, 16, 18, 20, and 22 months old). Validity of ASQ-3 was assessed using correlation coefficient, meanwhile the reliability was assessed using internal consistency and test-retest reliability.
Results: The validity between domain score and overall score has moderate to very strong correlation (r = 0,454 – 0,881), except the communication domain that has low correlation (r = 0,349). The questionnaire is reliable with Cronbach alpha of 0,693-0,818. The test retest reliability was good (ICC 0,646 - 0,965) in all domain across all groups with exception in 4 domains in 14 months age groups.
Conclusions: The Indonesian version of ASQ has appropriate validity and reliability to screen developmental delay in 12-24 months children in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wardatus Sholihah
"Nyeri saat pemasangan intravena kateter masih menjadi salah satu aspek yang paling membuat stres selama rawat inap pada anak. Penggunaan terapi non farmakologis membantu untuk mengurangi nyeri saat pemasangan intravena kateter pada anak sehingga dapat menurunkan tingkat nyeri pada anak, meningkatkan pelayanan diruang rawat inap. Teori kenyamanan Kolcaba membantu perawat untuk memberikan asuhan keperawatan secara holistik melalui pengkajian fisik, psikospiritual, sosiokultural dan lingkungan dengan mengevaluasi menggunakan tiga taksonomi yaitu relief, ease dan transcendence. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir spesialis ini adalah memberikan gambaran mengenai aplikasi teori kenyamanan Kolcaba dalam pemenuhan kebutuhan nyeri dan kenyamanan pada anak dirawat di ruang infeksi. Berdasarkan hasil pengkajian pada lima anak dengan gangguan nyeri saat pemasangan intravena kateter didapatkan hasil bahwa terdapat penurunan skoring nyeri pada anak. Penerapan quality improvement project dengan pemberian ice gel untuk menurunkan nyeri pada saat pemasngan intravena kateter terbukti efektif yang menunjukkan bahwa terdapat penurunan tingkat nyeri pada anak setelah pemberian ice gel pada saat pemasangan intravena kateter (venapunture) dengan p value < 0.005 (p= 0.001). Kesimpulan aplikasi teori kenyamanan Kolcaba dapat diterapkan pada anak dengan gangguan nyeri dan kenyamanan di ruang rawat infeksi.

Pain during intravenous catheter insertion is still one of the most stressful aspects of hospitalization in children. The use of non-pharmacological therapy helps to reduce pain when installing an intravenous catheter in children so that it can reduce the level of pain in children, improve services in inpatient rooms. Kolcaba's comfort theory helps nurses to provide holistic nursing care through physical, psychospiritual, sociocultural and environmental assessments by evaluating using three taxonomies, namely relief, ease and transcendence. The aim of writing this final specialist scientific paper is to provide an overview of the application of Kolcaba's comfort theory in meeting the pain and comfort needs of children treated in the infection room. Based on the results of a study on five children with pain disorders during intravenous catheter, it was found that there was a decrease in pain scoring in children. The implementation of the quality improvement project by administering ice gel to reduce pain during intravenous catheter has proven to be effective, showing that there is a reduction in the level of pain in children after giving ice gel when installing an intravenous catheter (venapuncture) with a p value < 0.005 (p= 0.001). Conclusion: The application of Kolcaba's comfort theory can be applied to children with pain and comfort disorders in the infection ward."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rondonuwu, Cherry Alisa Lidya
"ABSTRAK
Kejang pada neonatus merupakan gejala yang paling sering ditemukan dari gangguan neurologis pada periode neonatus. Kejang pada neonatus dapat terjadi sebagai akibat dari etiologi yang beragam dan ini sering menandakan adanya kerusakan atau malfungsi dari sistem saraf pusat yang belum berkembang sempurna. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil dan luaran kejang pada neonatus serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Studi retrospektif dari data sekunder rekam medis Unit Perinatologi RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada periode Januari 2015 sampai Juni 2019. Semua neonatus di RSCM dengan usia kronologis ≤ 28 hari pada neonatus aterm atau ≤ 44 minggu sejak konsepsi pada neonatus prematur, dengan riwayat kejang atau mengalami kejang minimal satu kali selama perawatan, diikutkan dalam penelitian ini. Subjek dieksklusi bila terdapat kecurigaan kelainan bawaan dan rekam medis tidak lengkap. Pencatatan terhadap subjek meliputi riwayat antenatal, gejala klinis, hasil EEG dan neuroimaging, serta luaran. Studi dilakukan terhadap 108 subjek dan didapatkan jenis kelamin lelaki sebesar 59,3%, usia gestasi aterm sebesar 55,6%, serta berat lahir normal sebesar 52,8%. Kematian terjadi pada 38 (35,2%) subjek. Insidens kejang pada neonatus di Unit Perinatologi RSCM sebesar 3,3%. Karakteristik neonatus yang mengalami kejang adalah jenis kelamin lelaki, aterm, persalinan dengan bedah kaisar, riwayat resusitasi aktif, dan respons dengan pemberian obat anti kejang tunggal. Luaran meninggal pada penelitian ini sebesar 35,2% dengan faktor-faktor yang memengaruhinya yaitu usia gestasi, berat lahir, frekuensi kejang, dan penyakit penyerta sepsis.

ABSTRACT
Neonatal seizures are the most common manifestation of neurological disorders in the newborn period. Neonatal seizures may arise as a result of diverse etiologies and these events frequently signify serious damage or malfunction of the immature developing central nervous system. The study is aimed to determine neonatal seizures profile and factors that influence its outcome. This was a retrospective cohort study from secondary medical record data at Neonatology Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH) between January 2015-Juni 2019. All neonates in CMGH with a chronological age of ≤ 28 days in a term infant or ≤ 44 weeks from conception in a preterm infant, with seizure or history of seizure were included in the study. Subjects were excluded if they were suspected of having congenital disorders or incomplete medical records. Data collected from the subjects include antenatal history, clinical symptoms, EEG findings, neuroimaging results, and outcome at discharge. A total of 108 subjects were included in the study and among neonates with seizures, 59,3% were male, 55,6% were born term, and 52,8 % had normal birth weight. Death occurred in 38 cases (35,2%). Incidens of neonatal seizure in Neonatology Unit of CMGH was 3,3%. Neonates who developed seizure characterized by male gender, term birth, delivered by section cesarean, history of active resuscitation, and respons to single antiepileptic drug. The mortality rate in this study was 35,2% with gestational age, birth weight, frequency of seizure, and sepsis being the factors that influence the outcome."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amiruddin L.
"ABSTRAK
Latar Belakang. Infeksi respiratori akut IRA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak terutama balita di negara bekembang.Bronkiolitis dan pneumonia merupakan IRA yang paling sering menyebabkan kematian.Seng zinc berperan utama pada system imunitas tubuh manusia, baik imunitas non-spesifik maupun spesifik, serta selular dan humoral.Dengan demikian, pemberian suplementasi seng sebagai pencegahan profilaksis diperkirakan dapat menurunkan insidens, frekuensi episode dan durasi episode IRA pada anak. Tujuan. Mengetahui peranan pemberian seng profilaksis terhadap insidens, frekuensi episode, durasi lama episode dan rerata durasi episode IRA pada balita. Metode. Dilakukan penelitian uji klinis acak terkontrol randomized controlled trial = RCT , dengan acak tersamar ganda double blind randomized kepada 160 orang balita dari Desember 2016 hingga April 2017 di Rumah Sakit Dr. WahidinSudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan. Subyek terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok seng dan plasebo, dengan subyek pada kelompok seng diberikan suplemen seng 10 mg/hari selama 2 minggu, kemudian di pantau tanda dan atau gejala IRA selama 4 bulan. Hasil. Sebanyak 160 orang subyek berpartisipasi dalam penelitian ini, terbagi dalam kelompok seng 79 subyek 49.4 dan plasebo 81 subyek 50.6 . Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada insidens IRA antara kelompok seng dengan plasebo, 38.8 vs 44.4 . p= 0.406 , demikian juga pada frekuensi episode IRA tidak terdapat perbedaan bermakna yaitu rerata 1.20 kali episode pada kelompok seng, dan rerata 1.19 kali episode pada kelompok plasebo. Pemberian seng secara bermakna berhubungan dengan rerata durasi episode IRA pada kelompok seng dan plasebo 5,28 hari vs 6,28 hari, p= 0.05 . Pemberian seng berhubungan bermakna dengan durasi IRA kurang dari 5 hari yaitu 63.3 pada kelompok seng dan 38.9 pada kelompok plasebo. p= 0.04 . Kesimpulan. Suplemen seng secara bermakna berhubungan dengan durasi lama episode dan rerata episode IRA yang lebih singkat, namun tidak berhubungan dengan insidens dan frekuensi episode IRA ABSTRACT Background. Acute respiratory infection ARI is a major cause of morbidity and mortality in children, particularly under 5 years old, in developing countries. Bronchiolitis and pneumonia are the most common cause of death.Zinc has a major role in the human immune system, both in non specific and specific immunities, cellular and humoral immunity.Administration of zinc as prophylacticmay decrease incidence, episode frequency, duration and average durationof ARI in children.Objectives. To determine the role of prophylactic zinc for incidence, episode frequency, duration and average duration episodes of ARI in children under 5 years old. Methods. A randomized controlled trial RCT , double blind randomizedstudy was performed in 160 infants, from December 2016 to April 2017 in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital. Makassar, South Sulawesi. Subject ware classified into two groups, zinc group and placebo group.In zinc group, subjects were given 10 mg day zinc for 2 weeks then being followed up forsign and symptoms of ARI for four mounts. Results. One hundred and sixty infants participatedin the study and were divided into zinc group 79 subjects and placebogroup 81 subjects . There was no statistically significant difference in incidence of ARI between both groups. 38.8 in zinc group and 44.4 in placebo group , p 0.406 . Therewas also no significant difference in frequencyepisodes of ARI between both groups 1.2 episodes inzinc group and 1.19 episodes in placebo group . While, average of durationofARI, in zinc and placebo group was statistically significant5,28 and 6,28 day,respectively. p 0.05 . Administration of zinc was also significantly related to shorter duration of ARI less than 5 days 63.3 in zinc group and 38.9 in placebo group , p 0.04 .Conclusion. Zinc as prophylactic is significantly correlated duration and averageduration of ARI. On the other hand, no signification correlation is found between zinc prophylactic and incidence and frequency episode of ARI also frequency episodes. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Putri Azizah
"Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia nutrisional yang menjadi penyebab anemia tersering. Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap pertumbuhan, perkembangan kognitif, gangguan perilaku, serta gangguan sistem imun pada anak. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah perkotaan  dengan prevalens anemia pada remaja putri cukup tinggi yaitu 35,32%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan, mengetahui profil anak dengan ADB, dan mengetahui rerata Hb dan Ret-He pada populasi tersebut. Penelitian potong lintang ini menggunakan metode pengambilan sampel cluster random sampling. ADB ditegakkan apabila kadar Hb <11 g/dl disertai Ret-He ≤27,65 pg, dan defisiensi besi apabila Ret-He ≤27,65 pg tanpa anemia. Hasil penelitian, jumlah subjek adalah 91 anak, terdiri dari 44 lelaki (48%) dan 47 perempuan (52%), median usia 45 bulan (24-59). Prevalens ADB adalah 13,2% (12 dari 91) didominasi usia 48-59 bulan, jenis kelamin perempuan, status gizi baik, penghasilan orangtua cukup, pendidikan orangtua sedang, lahir cukup bulan, mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat suplementasi zat besi, mendapat obat cacing dalam 6 bulan terakhir, dan sedang dalam kondisi infeksi akut. Rerata Hb anak usia 24-59 bulan adalah 11,84 ± 1,03 g/dl, median Ret-He untuk anak usia 24-59 bulan adalah 28,9 (18,2-32,8) pg. Rerata Hb pada anak yang mengalami ADB adalah 10,13 ± 0,38 g/dl, median Ret-He pada anak yang mengalami ADB adalah 23,30 (18,2-27,6) pg. Sebagai kesimpulan, prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan masih cukup tinggi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya ADB pada anak.

Iron deficiency anemia (IDA) is  nutritional anemia and the most prevalent cause of anemia. It has longterm impact on growth, cognitive development, behavioral disorders, and immune disorders in children. Tangerang Selatan is an urban area with high prevalence of anemia in female adolescence, about 35.32%. The aims of this study is to know the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschools in urban areas, to know the profile of children with IDA, and to know the mean Hb and Ret-He in this population. This is a cross-sectional study with cluster random sampling methods. IDA is defined if Hb value <11 g/dl with Ret-He ≤27.65 pg, iron deficiency if Ret-He ≤27.65 pg without anemia. Results of this study, the total subjects was 91 children, consist of 44 male (48%) and 47 female (52%), the median age was 45 months (24-59). The prevalence of IDA was 13.2% (12 of 91), dominated by age 48-59 months, female gender, normal nutritional status, good parental income, moderate parental education, full term birth, exclusively breastfeeding, not receiving iron supplements, received deworming within last 6 months, and in state of acute infection. The mean Hb for children aged 24-59 months was 11.84 ± 1,03 g/dl, the median Ret-He was 28.9 (18,2-32,8) pg. The mean Hb in children with IDA was 10.13 ± 0,38 g/dl, the median Ret-He was 23.30 (18,2-27,6) pg. Conclusions, the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschool in urban area is quite high. Further research is needed to determine the etiology and risk factors of IDA in children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
William Stephenson Tjeng
"Latar belakang : Infeksi daerah operasi (IDO) merupakan salah satu infeksi terkait perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan di rumah sakit. IDO pasca operasi jantung masih merupakan masalah serius. Prevalensi IDO pasca operasi jantung berkisar 0,25 sampai 6%. Banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian IDO. Baik faktor risiko pre-operatif, peri-operatif, intra-operatif maupun pasca-operatif. Faktor usia, status nutrisi, tindakan transfusi, lama rawat inap sebelum dilakukan tindakan dan ketepatan pemberian antibiotik profilaksis dapat menjadi faktor risiko yang memengaruhi kejadian IDO paska operasi jantung.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor risiko yang meningkatkan kejadian IDO operasi jantung anak dan kesintasan pada anak.
Metode : Penelitian kohort retrospektif dengan rancangan penelitian potong lintang yang mengalami IDO pada operasi jantung di RSCM. Data penelitian diambil dari rekam medis. Data yang dikumpulkan adalah usia, status nutrisi, tindakan transfusi, lama rawat inap pasien sebelum dilakukan tindakan operasi dan ketepatan pemberian antibiotik profilaksis terhadap kejadian IDO pasca operasi jantung. Data tersebut kemudian dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dan analisis multivariat.
Hasil : Jumlah subyek yang direkrut sebesar 360 subyek, prevalensi IDO sebesar 13,8%. Faktor risiko usia tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p=0,178 RR 0,54(0,217-1,327) pada kelompok umur 0-1 tahun, p=0,415 RR 0,72(0,331 – 1,578) pada kelompok usia 1-5 tahun dan p=0,205 RR 0,27(0,035 – 2,052) pada kelompok usia 5 – 10 tahun. Status nutrisi tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p= 0,287 RR0,75(0,436-1,278). Lama rawat inap sebelum tindakan operasi tidak memengaruhi kejadian IDO dengan p=0,324 RR 0,772 (0,662-1,292). Ketepatan pemberian antibiotik profilaksis tidak memengaruhi kejadian IDO p=0,819 RR 1,011(0,918-1,114).
Simpulan : Faktor risiko usia, status nutrisi, lama rawat inap sebelum tindakan, ketepatan antibiotik profilaksis tidak memengaruhi kejadian IDO pada operasi jantung anak.

Background : Surgical site infection (SSI) is one of the hospital associated infections, and increases morbidity, mortality and hospital care costs. SSI Post cardiac surgery is still a serious problem. The prevalence of SSI post cardiac surgery ranges from 0.25 to 6%. Many risk faktors can increase the incidence of IDO. Faktors such as age, nutritional status, transfusion , length of hospitalization before surgery and accuracy of prophylactic antibiotik administration can be risk faktors that affect the incidence of IDO after cardiac surgery.
Aime : to investigate the risk faktors in pediatric cardiac surgery that will increase the incidence of SSI and to improve the survival of the child after cardiac surgery.
Method : Retrospective cohort study with cross-sectional research design that undergoes Surgical site infection in cardiac surgery at RSCM. The research data is taken from medical records. The data collected are age, nutritional status, transfusion procedure, length of hospitalization of the patient before surgery and accuracy of prophylactic antibiotik administration against the incidence of postoperative SSI cardiac surgery. The data were then analyzed by univariate, bivariate and multivariate analysis.Result : The number of subjects recruited was 360 subjects, the prevalence of SSI was 13.8%. Age risk factors did not affect the incidence of SSI with p=0.178 RR 0.54(0.217-1.327) in the age group 0-1 years, p=0.415 RR 0.72(0.331 – 1.578) in the age group 1-5 years and p=0.205 RR 0.27(0.035 – 2.052) in the age group 5 – 10 years. Nutrient status does not affect the incidence of SSI with p= 0.287 RR0.75(0.436-1.278). The length of hospitalization prior to surgery did not affect the incidence of SSI with p=0.324 RR 0.772 (0.662-1.292). The accuracy of prophylactic antibiotik administration did not affect the incidence of IDO p=0.819 RR 1.011(0.918-1.114).
Conclusion : risk faktors such as Age, nutritional status, length of hospitalization before treatment, accuracy of prophylactic antibiotiks do not affect the incidence of IDO in pediatric cardiac surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>