Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salmarezka Dewiputri
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.
ABSTRACT The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane, measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively. At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yusuf Amran
Abstrak :
Pendahuluan : Perkembangan dalam bidang industri saat ini, telah merubah pola penyakit yang ada. Penyakit paru yang dahulu di dominasi oleh penyakit infeksi, saat ini juga dipengaruhi penyakit bukan infeksi, seperti pajanan debu udara dan juga dipengaruhi oleh penyakit metabolik yang diderita oleh individu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan diabetes melitus terhadap laju penurunan fungsi paru dengan adanya riwayat pajanan debu Metode : Desain penelitian adalah comparative cross sectional menggunakan 494 data pemeriksaan kesehatan berkala tahun 2012 dan 2013. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan berkala periode tahun 2012 dan 2013. Hasil dan Kesimpulan : Rerata selisih penurunan nilai KVP dan VEP1 tahun 2012 dan 2013 secara berturut-turut pada subyek dengan status tetap DM (499 ml & 553 ml), normal menjadi DM (192 ml & 253 ml), DM terkontrol (102 ml & 190 ml), dan tetap normal (143 ml & 213 ml). Hasil uji statistik didapatkan nilai p<0,0001, berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan ada perbedaan penurunan laju fungsi paru pada rerata nilai KVP dan VEP1 pada semua status diabetes subyek penelitian Saran : Perlu dilakukan pengendalian terhadap pekerja yang menderita diabetes, dengan melakukan pengobatan secara tepat dan mencegah terjadinya komplikasi. Melakukan kegiatan promotif dan preventif untuk mencegah pekerja dari diabetes. ......Introduction: Developments in the industry today, has changed the pattern of existing disease. Pulmonary disease who formerly dominated by infectious diseases, today the influenced is not just an infectious diseases, such as exposure to airborne dust and is also affected by metabolic diseases suffered by the individual. The purpose of this study was to determine the role of diabetes mellitus on the rate of decline in lung function with a history of dust exposure Methods: The study design was cross- sectional comparative use of data 494 periodic health examinations in 2012 and 2013. The data was collected using secondary data from periodic health examination period in 2012 and 2013. Results and Conclusions: The mean difference between FVC and FEV1 impairment in 2012 and 2013 respectively in subjects with permanent status in DM (499 ml & 553 ml), normal to DM (192 ml & 253 ml), controlled DM (102 ml & 190 ml), and remained normal (143 ml & 213 ml) . The results of the statistical test p value < 0.0001 , significant at the 5 % alpha can be concluded thera is difference in the rate of lung function decline in the average value of FVC and FEV1 diabetes status on all study subjects. Suggestion: There needs to be control over the workers who suffer from diabetes, by making appropriate treatment and prevent complications. Promotive and preventive activities to prevent workers from diabetes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Rizqy Fadhillah
Abstrak :
Kanker serviks merupakan salah satu kanker tersering yang diidap oleh populasi wanita di dunia. Modalitas utama terapi kanker serviks adalah kemoradioterapi dan pembedahan. Namun, keberhasilan terapi yang bervariasi dan efek samping yang beragam masih menjadi masalah. Untuk menjawab masalah tersebut, ekstrak etanol daun kenikir (EEDK) dan ekstrak etil asetat daun kenikir (EADK) memiliki potensi sebagai antikanker. Penelitian ini terdiri dari uji kualitatif dan uji kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan analisis fitokimia. Uji kuantitatif dikerjakan dengan MTT assay yang menggunakan delapan variasi dosis EEDK dan EADK terhadap sel HeLa. Hasil yang diperoleh adalah ekstrak etanol dan etil asetat mengandung flavonoid, tanin, steroid, alkaloid, dan glikosida. MTT assay menunjukan IC 50 pada EEDK dan EADK sebesar 17,46 ppm dan 6,31 ppm, berturut-turut. Pada masing-masing ekstrak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada antar varian konsentrasi (p ≤ 0,05). ...... Cervical cancer is one of the most frequent cancer that occur among reproductive women in the world. The main modality of treatment is chemoradiotherapy and surgery. But, its wide-ranged success therapy and various side effects are still remain the issues. To solve this problems, kenikir leaves ethanol extract (KLEE) and kenikir leaves ethyl acetate extract (KLAE) have been thought to contain various substrate that could promote anticancer activities. This study comprised qualitative and quantitative test. Qualitative test consist of thin layer chromatography (TLC) and phytochemistry analysis while the quantitative test, MTT assay was used. MTT assay has done by using eight variety of doses of KLEE and KLAE on HeLa cells. Qualitative test showed that KLAE and KLEE has at least 5 compounds, which are flavonoid, tanin, steroid, alkaloid, dan glycoside. MTT assay revealed that KLEE and KLAE has strong cytotoxicity activity with IC50 17,46 ppm dan 6,31 ppm, respectively. In addition, each extracts exhibited significant difference in some variants of doses (p ≤ 0,05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Erlangga Putra Harimurti
Abstrak :
Obesitas, yang saat ini prevalensi dunianya semakin meningkat, termasuk di kalangan remaja, dapat menyebabkan banyak komplikasi di masa yang akan datang. Model transteoritik Prochaska merupakan salah satu model yang digunakan untuk menilai tahap dan proses perubahan perilaku, termasuk untuk masalah obesitas yang berhubungan dengan dua proses perilaku pada model tersebut yaitu proses supporting relationships (SR) dan weight management actions (WMA). Penelitian cross-sectional komparatif ini mempelajari faktor - faktor yang berhubungan dengan proses - proses perubahan yang telah disebutkan dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dengan kuesioner yang sudah ditranslasi dan divalidasi ke dalam Bahasa Indonesia. Terdapat 116 sampel yang terdiri dari 59 murid SMA dan 57 mahasiswa tahun pertama dengan rentang umur 15 sampai 21 tahun telah mengikuti penelitian ini, 71,6% dari total masuk ke grup obesitas tipe I dan 28,4% termasuk ke tipe II. Kebanyakan dari mereka ada di tahap aksi (31,9%), diikuti oleh kontemplasi (31%). Hasil analisis multivariat tidak menunjukkan hubungan statistik yang signifikan antara tingkatan pendidikan dan kedua proses, tetapi, ada hubungan yang signifikan antara status gizi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) dengan skor SR (p = 0,02) dan skor WMA (p = 0,012). Dibandingkan dengan studi yang dibuat oleh Ana Andres dkk., hasil kami menunjukkan rerata skor lebih tinggi untuk kedua proses perubahan di semua tahapan perubahan dengan perbedaan demografis sampel. Bagaimanapun juga, dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai model transteoritikal yang memiliki potensi untuk dapat menjadi dasar pembuatan program intervensi serta edukasi berdasarkan tahap serta proses perubahan perilaku untuk remaja dengan obesitas. ......Obesity, with an ever-increasing worldwide prevalence including in adolescents, might lead to further complications in the future. Prochaska’s transtheoretical model could be put in use for evaluating stages and processes of behavioural change for obesity that is related to two processes, which are supporting relationships (SR) and weight management actions (WMA). This comparative cross-sectional research studies the relationship between several factors and the two processes of change which used secondary data collected by an Indonesian-translated questionnaire in which was validated beforehand. There were 116 samples comprised of 59 high school students and 57 university freshmen aged 15 to 21 years old with 71,6% of them having type I obesity and the other 28,4% were type II obese. Most of the students were in action stage (31,9%) followed by contemplation (31%). The multivariate analysis did not show a significant relationship between educational level and both scores, instead, a significant relationship was established between nutritional status represented by body mass index (BMI) and both supporting relationships (p = 0,02) and weight management actions scores (p = 0,012. Compared to the initial study by Ana Andres et al., our results show higher mean scores of both processes in all stages of change, along with the demographic differences. Regardless, further investigation is needed since the transtheoretical model holds many potentials to be a base for the creation of interventional and educational program according to stages and processes of change for adolescents with obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rizqi Putra
Abstrak :
Latar belakang: Swamedikasi merupakan penggunaan obat-obatan atas inisiatif diri sendiri salah satunya dengan menggunakan obat tradisional. Swamedikasi obat tradisional dilakukan oleh berbagai kalangan termasuk mahasiswa dan kemungkinan penggunaannya mengalami peningkatan selama masa pandemi COVID-19 . Salah satu faktor yang mempengaruhi swamedikasi obat tradisional yaitu persepsi individu mengenai kondisi kesehatannya. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan mengenai hubungan persepsi sehat individu dengan perilaku swamedikasi menggunakan obat tradisional pada mahasiswa. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode studi potong lintang pada mahasiswa di Universitas Indonesia. Kuesioner SF-36 digunakan untuk mengukur persepsi sehat individu dan kuesioner perilaku swamedikasi obat tradisional disebarkan ke mahasiswa program pendidikan sarjana di Universitas Indonesia. Selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan SPSS versi 25. Hasil: Diperoleh data dari 152 responden mahasiswa di Universitas Indonesia. Secara umum mahasiswa Universitas Indonesia memiliki skor persepsi sehat yang baik. Proporsi penggunaan obat tradisional selama masa pandemi COVID-19 yaitu 62,5%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi sehat dengan perilaku swamedikasi di masa pandemi COVID-19 pada mahasiswa Universitas Indonesia. Kesimpulan: Proporsi penggunaan obat tradisional pada mahasiswa Universitas Indonesia cukup tinggi, namun tidak berhubungan dengan persepsi sehat pada individu. ......Introduction: Self-medication is the use of medicines on one's own initiative, one of which is using traditional medicine. Self-medication of traditional medicines is carried out by various groups including students and the possibility of their use has increased during the COVID-19 pandemic. One of the factors that influence self-medication of traditional medicine is the individual's perception of his health condition. Therefore, this study is aimed at explaining the relationship between individual health perceptions and self-medication behavior using traditional medicine in students. Method: The research was conducted using a cross-sectional study method on students at the University of Indonesia. The SF-36 questionnaire was used to measure the individual's health perception and the traditional medicine self-medication behavior questionnaire was distributed to students of undergraduate education programs at the University of Indonesia. Furthermore, the data is processed and analyzed with SPSS version 25. Result: Data were obtained from 152 student respondents at the University of Indonesia. In general, University of Indonesia students have a good health perception score. The proportion of traditional medicine use during the COVID-19 pandemic is 62.5%. There is no significant relationship between health perceptions and self-medication behavior during the COVID-19 pandemic in University of Indonesia students. Conclusion: The proportion of using traditional medicine among University of Indonesia students is quite high, but it is not related to the perception of health in individuals.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
Abstrak :
Hipertensi, salah satu contoh penyakit degeneratif, patut diwaspadai di Indonesia karena adanya transisi epidemiologis penyebab kematian utama, yakni dari penyakit infeksi menjadi degeneratif. Hipertensi memiliki berbagai akibat yang membahayakan, salah satunya adalah peningkatan leptin yang nantinya dapat memengaruhi pulsasi GnRH. Ketika pulsasi GnRH terganggu, maka dapat memengaruhi sekresi Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang apabila terganggu, dapat menyebabkan gangguan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kadar FSH berdasarkan hipertensi pada perempuan usia subur, terutama pada perempuan dengan gangguan menstruasi. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional analitik dengan melibatkan 75 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik'. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan menggunakan analisis bivariat uji T-Independen. Variabel bebas yang diuji adalah usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, status hipertensi, serta status SOPK. Berdasarkan analisis, didapatkan bahwa kadar FSH pada perempuan dengan hipertensi memiliki median yang lebih rendah (3,50: 1,70 - 4,80) dibandingkan dengan perempuan tanpa hipertensi (4,90: 1,20 - 33,40). Secara statistik, perbedaan tersebut bermakna dengan p = 0,025. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH pada usia, aktivitas fisik, status gizi, gejala mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peran hipertensi dalam perbedaan kadar FSH pada perempuan dengan gangguan menstruasi. ...... Hypertension, as one of the degenerative disease, should be one of the main issue in Indonesia because of the epidemiologic transition of the main cause of death, which is from infection diseases to degenerative diseases. Hypertension could lead to many dangerous complications. One of which is increased level of plasma leptin. Increased level of plasma leptin could disturb the GnRH pulsatility. When the pulsatility of GnRH is disturbed, it could influence the secretion of Follicle Stimulating Hormone (FSH), which when disturbed could lead into an abnormal menstrual cycle. This analytical cross-sectional study was conducted to compare the FSH level in abnormal cycling reproductive women according to their hypertension status, using secondary laboratory and SCL-90 questionnaire data from the 'Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik' research that was conducted since year 2009 to 2011. In this study, 75 samples were used and analyzed with SPSS for Windows 17.0 version program using the bivariate T-independent analysis. Independent variables in this study included age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, hypertension status, and PCOS status. The analysis showed that FSH levels in hypertensive women is lower (3,50: 1,70 - 4,80) than non-hypertensive women (4,90: 1,20 - 33,40) with a statistically significant difference (p = 0,025). However, other variables such as age, physical activity, nutritional status, mental and emotional symptoms, and PCOS status did not have significant different FSH levels. It can be concluded that hypertension could be associated with FSH level in abnormal cycling women.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dheeva Noorshintaningsih
Abstrak :
Usia subur merupakan usia yang paling penting dalam reproduksi perempuan. Usia subur berkisar 15 tahun hingga 46 tahun. Usia memiliki pengaruh terhadap sekresi GnRH, pada saat perempuan menempuh dekade ketiga dan keempat folikel akan mengalami penurunan sehingga sekresi GnRH juga akan terpengaruh, namun menjelang menopause sekresi GnRH akan meningkat karena folikel sudah tidak ada lagi dan tidak akan yang memberikan umpan balik negatif kepada GnRH, maka itu sekresi GnRH pada orang menopause tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar LH berdasarkan perempuan dengan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik, dalam penelitian ini terdapat 74 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi yang terlibat. Data pada penelitian didapatkan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan analisis chi-square. Berdasarkan analisis, didapatkan hasil bahwa proporsi usia dibawah 30 tahun yang memiliki kadar LH yang tergolong normal lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi usia dibawah 30 tahun yang mempunyai kadar LH abnormal yaitu masing-masing nilainya 60,9% dan 39,1%. Perbedaan proporsi tersebut secara statistic bermakna dengan P sama dengan 0,009. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LH pada aktivitas fisik, status gizi, gejala gangguan mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memiliki peran dalam perbedaan kadar LH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.
Reproductive age is the most important phase in women?s reproductive cycle. In most women the reproductive age is around 15-46 years old. Age has influence on GnRH secretion, when women take the third and fourth decades of follicles will decrease so the secretion of GnRH may also be affected, but the menopause GnRH secretion will increase as the follicle is no longer there and that will not give negative feedback to GnRH, the GnRH secretion was higher in the menopause. This study aimed to compare the levels of LH by women of reproductive age, especially in women with menstrual disorders. The study design is cross-sectional analytic involving 74 women of childbearing age (15-45 years) who experience menstrual disorders. The study was conducted using secondary data derived from the results of laboratory tests and the SCL-90 questionnaire of study titled "The Role of Adiponection to polycystic ovary syndrome (PCOS) and Its Relationship to Genetic Factors, Endocrine and Metabolic". Data analysis was performed with SPSS for Windows version 17.0 using chi-square analysis. Based on the analysis, showed that the proportion aged under 30 years who have a relatively normal LH levels higher than the proportion aged under 30 years who have abnormal levels of LH values ​​respectively 60.9% and 39.1%. The difference was statistically significant proportion of the P equals 0.009. Meanwhile, there were no significant differences in the levels of LH in physical activity, nutritional status, symptoms of mental, emotional, as well as the status of PCOS women with menstrual disorders. It can be concluded that there are differences in the role of age in LH levels in women with menstrual disorders.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Gemiana
Abstrak :
Pada usia subur terjadi banyak perubahan hormon salah satunya adalah prolaktin. Kadar prolaktin dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah estadiol. Estradiol meningkatkan kadar prolaktin dengan memengaruhi transkripsi gen prolaktin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan kadar prolaktin berdasarkan kadar estradiol pada perempuan usia subur, yang mengalami gangguan menstruasi. Metode penelitian dengan cross-sectional analitik dengan subjek sebanyak 80 orang perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian merupakan subanalisis penelitian "Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik". Analisis data dilakukan dengan SPSS for Windows versi 18.0 dengan menggunakan analisis bivariat uji Mann-Whittney. Berdasarkan analisis, didapatkan bahwa kadar prolaktin pada perempuan dengan kadar estradiol abnormal memiliki median yang lebih tinggi 9,30 (7,8; 25,3) dibandingkan perempuan dengan kadar estradiol normal 7,55 (3,2; 23,8). Perbedaan tersebut bermakna secara statistic dengan nilai p = 0,023. Sementara tidak terdapat perbedaan bermakna kadar prolaktin dengan usia, aktivitas fisik, status gizi, dan gejala mental emosional pada perempuan yang mengalami gangguan menstruasi. Dapat disimpulkan ,terdapat peran kadar estradiol dalam perbedaan kadar prolaktin pada perempuan yang mengalami gangguan menstruasi.
In reproductive age, there are many hormonal changes, one of which is prolactin. Prolactin level influenced by many factors, on of which is estradiol. Estradiol increases prolactin levels by affecting prolactin gene transcription. The purpose of this study to compare the levels of prolactin according to levels of estradiol in reproductive age women, especially those with abnormal cycle menstruation. Research methods with crioss-sectional analytic subject in 80 women in reproductive age who have menstrual problem. The study use secondary laboratory data and SCL-90 questionnaire from ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik? research that was conducted since year 2009 to 2011. Data analysis was performed with SPSS for Windows vesion 18.0 using bivariat analysis of Mann Whittney. The analysis showed that prolactin levels in women with abnormal estradiol leves is higher 9,30 (7,8; 25,3) than women with normal estradiol levels 7,55 (3,2; 23,8) with a statistically significant difference (p = 0,023). However, other variables such as age, physical activity, nutritional status, and mental emotional symptomps did no have significant different prolactin levels. It can be concluded that estradiol level could be associated with prolactin level in abnormal cycling women.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davrina Rianda
Abstrak :
Pada usia subur, wanita akan mengalami berbagai perubahan hormonal, baik yang bersifat fisiologis ataupun patologis. Perubahan ini berpengaruh terhadap kesiapan organ reproduksi untuk memasuki menstruasi, implantasi, kehamilan, dan paskapersalinan. Perubahan kadar hormon yang bersifat patologis, misalnya pada hormon testosteron yang berfungsi sebagai prekursor langsung estradiol, dapat bermanifestasi sebagai gangguan menstruasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar hormon testosteron berdasarkan usia pada perempuan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini merupakan studi comparative cross-sectional analitik yang melibatkan 80 perempuan usia subur (15 - 45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Data merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan di Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2009 hingga 2011. Data pada penelitian ini diambil dari data sekunder hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data dianalisis dengan analisis bivariat uji Mann-Whitney. Penelitian menunjukkan kadar hormon testosteron pada usia kurang dari 35 tahun lebih tinggi dengan median 26,67 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; maks. 133,2 ng/dl) dibandingkan kadar hormon testosteron pada usia lebih dari atau sama dengan 35 tahun dengan median 16,19 ng/dl (min. 5,59 ng/dl; maks. 58,13 ng/dl) yang secara statistik bermakna (p=0,049). Hasil lain didapatkan kadar hormon testosteron pada subyek dengan kadar insulin puasa normal lebih tinggi dengan median 30,96 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; maks. 133,2 ng/dl) dibandingkan kadar hormon testosteron pada subyek dengan kadar insulin puasa abnormal dengan median 20,06 ng/dl (min. 5,6 ng/dl; maks. 61,08 ng/dl) yang secara statistik bermakna (p=0,018). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar testosteron berdasarkan jenis pekerjaan, gizi, dan gejala mental emosional. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peran usia dan kadar insulin puasa terhadap kadar hormon testosteron.
In reproductive age, women will experience various hormonal changes, which happen physiologically or pathologically. These changes affect the preparation of reproductive organ in order to undergo menstruation, implantation, pregnancy, and postpregnancy. The pathologic changes of hormone level, such as testosterone as the direct precursor of estradiol, could be manifested as menstrual disorders. The purpose of this study is to compare testosterone level by age in women of reproductive age with menstrual disoders. This is an analytic comparative cross-sectional study which included 80 women of reproductive age (15 ? 45 years old) with menstrual disorders. The data used on this study was collected from Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo from 2009 until 2011. This study used secondary data which was resulted from laboratory examination and SCL-90 questionnaire from the research ?Role of Adiponectin on Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) Related to Genetics, Endocrine, and Metabolic Factors?. Data is analyzed with Mann-Whitney test bivariat analytic. This study suggested that testosterone level in women under 35 years old is higher with median 26,67 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; max. 133,2 ng/dl), compared to testosterone level in women aged 35 years old or above with median 16,19 ng/dl (min. 5,59 ng/dl; max. 58,13 ng/dl), which is statistically significant (p=0,049). Another result is that the testosterone level in group with normal level of fasting insulin is higher with median 30,96 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; max. 133,2 ng/dl), compared to testosterone level in subject with abnormal fasting insulin level with median 20,06 ng/dl (min. 5,6 ng/dl; max. 61,08 ng/dl) which is statistically significant (p=0,018). There is no significant difference in testosterone level by occupational status, nutritional status, and mental emotional symptoms. In conclusion, age and fasting insulin level have roles for testosterone level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanu Reztaputra
Abstrak :
Tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan besar di dunia, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2010, diperkirakan sekitar 8.8 juta orang di dunia mengalami sakit tuberkulosis dan 1.4 juta di antaranya meninggal dunia. Sekitar 95 persen kasus tuberkulosis terjadi di negara berkembang atau kurang berkembang, di antaranya termasuk Indonesia. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis mengalami sakit tuberkulosis. Dalam perjalanan dari terinfeksi menjadi sakit dipengaruhi oleh berbagai faktor endogen dan eksogen. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPNCM/RSCM) karena diharapkan statusnya sebagai pusat rujukan nasional dapat menggambarkan kondisi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional. Sumber data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu rekam medis poliklinik RSUPNCM. Secara keseluruhan penelitian dilakukan dilaksanakan sepanjang Januari 2011-Mei 2012. Setelah pengambilan data dan pengolahan data dilakukan, didapatkan prevalensi tuberkulosis paru merupakan peringkat keenam tertinggi pada sampel(4,0 persen). Berdasarkan uji hipotesis didapatkan nilai p pada masing-masing variabel yaitu: usia 0,452; jenis kelamin 0,406; status pernikahan 0,363; pekejaan 0,531; status pembiayaan 0,259; tingkat pendidikan 0,436; status gizi 0,001; merokok 0,561; konsumsi alkohol 0,513; dan diabetes mellitus 0,521. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa variabel yang memiliki hubungan bermakna terhadap prevalensi tuberkulosis adalah status gizi.
Pulmonary tuberculosis is still become a major health problem in the world, including Indonesia. In 2010, 8,8 million people in the world was predicted have pulmonary tuberculosis and 1,4 million of them died. Approximately 95 percent of pulmonary tuberculosis cases in the world is located in developing or underdeveloping nations, which included Indonesia. Not all people who have being infected by Mycobacterium tuberculosis also get pulmonary tuberculosis. The pathogenesis from infected to being sick is being affected by numerous endogenous and exogenous factors. This research was conducted in Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPNCM) because from its status of national hospital will show Indonesian population generally. This research design is cross sectional. This research is using secondary data, that is RSUPNCM polyclinic medical records. This research was being carried out in January 2011 to Mei 2012. After data retrieval and analysis, we know that pulmonary tuberculosis is sixth highest case in sample. After hypotesis test, p value of each variable are: age 0,452; gender 0,406; marrital status 0,363; occupation 0,531; payment choice 0,259; education level 0,436; nutrition status 0,001; smoking 0,561; alcohol consumtion 0,513; diabetes mellitus 0,521. It is concluded that the only variable which have significant relationship with pulmonary tuberculosis prevalence is nutrition status.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>