Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardita Puspitadewi
Abstrak :
Latar Belakang. Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan global. Prevalens obesitas berbeda di setiap negara dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pola hidup dan aktivitas fisik. Resistensi insulin (RI) sebagai dasar utama kelainan metabolik pada obesitas merupakan dasar terjadinya sindrom metabolik (SM) serta komplikasi jangka panjang seperti diabetes melitus (DM) tipe 2 dan penyakit kardiovaskular (PKV). Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya RI seperti jenis kelamin dan riwayat penyakit dalam keluarga, serta petanda akantosis nigrikan (AN) yang merupakan faktor prediktor RI. Tujuan. Mengetahui prevalens RI pada remaja obes serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti jenis kelamin, AN, dan riwayat penyakit dalam keluarga. Selain itu juga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens dan karakteristik remaja dengan SM. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada remaja obes berusia 12-15 tahun di SMP di Jakarta Pusat selama periode Mei-Juni 2012. Dilakukan pemeriksaan darah berupa glukosa puasa, insulin puasa, serta profil lipid. Kriteria obesitas menggunakan IMT ≥P95 berdasarkan usia dan jenis kelamin, definisi RI berdasarkan indeks HOMA-IR ≥3,8 dan diagnosis SM berdasarkan kriteria IDF 2007. Hasil. Sebanyak 92 remaja obes diikutsertakan dalam penelitian. Resistensi insulin terjadi pada 38% subyek, dengan mayoritas perempuan (57,2%), mempunyai AN (71,4%), dan riwayat keluarga (82,8%), seperti obesitas, DM tipe 2, dan hipertensi. Sebanyak 8,6% remaja mengalami prediabetes, namun tidak ditemukan DM tipe 2. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin, riwayat keluarga, dan AN dengan RI (p>0,05). Angka kejadian SM ditemukan sebesar 19,6% dengan mayoritas perempuan (61,1%), serta adanya riwayat obesitas dalam keluarga. Prevalens komponen SM yaitu hipertensi 34,8%, obesitas sentral 78,3%, glukosa puasa terganggu 8,7%, rendahnya kadar HDL 22,8%, dan tingginya kadar trigliserida 21,7%. Ditemukan adanya korelasi positif antara RI dan glukosa puasa terganggu (p=0,04). Simpulan. Resistensi insulin pada remaja obes ditemukan sebesar 38%, dan tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin, AN, dan riwayat keluarga dengan RI. Sindrom metabolik terdapat pada 19,6% remaja dengan mayoritas perempuan, menderita hipertensi, serta adanya riwayat obesitas dalam keluarga.
Background. Childhood obesity is a global health problem. The prevalence of childhood obesity is differed in each country and this is affected by many factors, such as lifestyle and physical activity. Insulin resistance (IR) as a basic mechanism of several metabolic diseases in obesity, is also a basic of metabolic syndrome with its long term complications, such as type 2 diabetes mellitus (T2DM) and coronary heart disease (CHD). Several factors are known to be associated with IR, such as gender and family history of metabolic diseases, and the presence of acanthosis nigricans (AN)is known as a predicting factor of IR. Objectives. To know the prevalence of IR in obese adolescents and the affecting factors, such as gender, signs of AN, and family history of metabolic diseases. Moreover, to know the prevalence and characteristics of obese adolescents with metabolic syndrome (MetS). Methods. This was a cross-sectional study performed in obese adolescents, aged 12-15 years old, in several junior high schools in Central Jakarta, from May to June 2012. Blood examination was performed, including blood fasting glucose, blood fasting insulin, and lipid profile. Body mass index with the percentile ≥95 according to age and gender was used for obesity criteria; HOMA-IR ≥3.8 was used to define IR; and IDF criteria 2007 for MetS diagnosis. Results. Of 92 obese adolescents in this study, IR was found in 38% subjects, with female predominant (57.2%), had signs of AN (71.4%), and a positive family history of metabolic diseases (82.8%), such as obesity, T2DM, and hypertension. Less than 10% adolescents suffered from prediabetes state as measured with impaired fasting glucose (IFG), but none type 2 DM. There was no statistical significant found between gender, family history, sign of AN and IR (p>0.05). The incidence of MetS was 19.6% with female predominant (61.1%), and had a family history of obesity. The prevalence of each components of MetS was 34.8% for hypertension, 78.3% for central obesity, 8.7% for IFG, 22.8% for low levels of HDL, and 21.7% for high triglyceride level. There was a strong correlation found between IR and IFG (p=0.04). Conclusion. Insulin resistance has a prevalence of 38% in obese adolescent in this study, with no association found between gender, AN, family history and IR. Metabolic syndrome is found in 19.6% with the majority are females, suffered from hypertension, and having obesity in family history.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirari Prasadajudio
Abstrak :
Indonesia memiliki insiden demam tifoid yang cukup tinggi khususnya kelompok usia anak. Namun terdapat keterbatasan penelitian yang mempelajari distribusi demam tifoid pada anak, sehingga perlu dilakukan penelitian karakteristik pasien demam tifoid yang terbukti dengan temuan isolat S.typhi, penanganannya, pola resistensi antibiotik dan serotipe S.typhi yang bersirkulasi di Indonesia. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien demam tifoid, diagnosis dan penanganannya, pola resistensi antibiotik dan serotipe S.typhi pada anak di beberapa daerah di Jakarta. Metodologi: Studi potong lintang dengan total 142 subjek. Evaluasi karakteristik dan uji resistensi antimikroba terhadap 22 subjek demam tifoid yang telah dikonfirmasi dengan kultur darah dan pemeriksaan penunjang Tubex ®TF ≥4, serta flagellin based-PCR pada 22 isolat S.typhi untuk analisis serotipe dengan gen fli-B, fli-C dan aro-C. Hasil: Subjek lelaki lebih banyak daripada perempuan, kelompok usia tertinggi 5-9 tahun dan lama demam sekitar 6-8 hari. Manifestasi klinis demam tifoid yang diamati bervariasi, paling sering diare, mual dan muntah, namun tidak berbeda bermakna dengan penyebab demam yang lain yang memiliki klinis gangguan digestif. Sebagian besar subjek penelitian telah mendapatkan pengobatan sebelumnya (61,3%) namun riwayat pemberian antibiotik tidak diketahui pasti, dengan kecenderungan pemberian terapi golongan sefalosporin lebih banyak daripada antibiotik lini pertama. Pemeriksaan penunjang dengan Tubex ®TF mendeteksi positif 67 subjek (47,2%) dengan sensitivitas 95,2%, spesifisitas 56,1%. Berdasar konfirmasi temuan isolat S.typhi pada kultur darah, hanya 22 subjek (15,5%) yang benar menderita demam tifoid dengan karakteristik pasien secara umum tidak berbeda bermakna dengan pasien bukan demam tifoid. Berdasarkan pemeriksaan Tubex ®TF dan kultur darah, demam tifoid lebih banyak didiagnosis dengan tepat di rumah sakit bila dibandingkan dengan puskesmas. Ditemukan 22 isolat positif gen aro-C, 20 isolat positif gen fli-C H:d, 2 fli-C H:j dan 2 isolat yang sama positif dengan gen fli-B. Serotipe S.typhi yang bersirkulasi, namun tidak ditemukan perbedaan manifestasi klinis, dan semua isolat masih sensitif terhadap kloramfenikol, ampisilin dan kotrimoksazol. Simpulan: Angka kejadian demam tifoid yang didiagnosis pasti dengan konfirmasi kultur darah jauh lebih rendah daripada diagnosis klinis. Penelitian ini menunjukkan bahwa kloramfenikol masih dapat diberikan karena serotipe S.typhi yang ditemukan masih sensitif terhadap semua antimikroba.
Indonesia is known with high incidence of typhoid fever, however there are limited studies available to observe this disease burden in children. Thus a study to observe not only characteristic of patients, its clinical manifestation, diagnostic approach and management, but also thorough evaluation needed to evaluate its drug resistance pattern and Salmonella typhi serotypes circulating in Indonesia. Objective: To evaluate characteristics of children with typhoid fever, its diagnostics and management, antimicrobial resistance pattern and serotype S.typhi circulating amongst children in Jakarta. Methods: Descriptive study with 142 subjects clinically diagnosed with typhoid fever. Characterization of 22 subjects with confirmed case typhoid fever based on S.typhi isolate finding in blood culture and confirmation with Tubex®TF ≥4. Evaluation of antimicrobial resistance pattern and Flagellin based-PCR using fli-B, fli-C and aro-C genes to further analyze serotype S.typhi in children. Results: There were more male than female participants in the study. The highest rate age of group observed were 5to 9 years-old. Most subjects had fever between 6-8 days with clinical manifestations varied but mostly related to digestive system such as diarrhea, nausea and vomit, however there was not difference between typhoid and non typhoid in clinical manifestation. Majority of subjects had received antibiotics prior to diagnose (61,3%), however many were oblivious to the type of treatment received, yet many were prescribed Cephalosporine instead of firstline treatments. Tubex ®TF detected 67 cases of typhoid fever (47.2%), sensitivity 95.2%, specificity 56.1%. Only 22 subjects were confirmed case of typhoid fever (15.5%), however all patients yielded similar characteristics to patients in probable case. Based on laboratory assessment tools, doctors in tertiary hospital showed better accuracy in diagnosing patients with suspected typhoid if compared to primary health care one. Meanwhile all isolates showed positive results with aro-C gene controls, 20 showed positive with fli-C H:d genes whereas only 2 with H: j alleles, and 2 yielded positive results for fli-B. No differences were found in clinical manifestation and all serotypes were sensitive to all antimicrobials tested. Conclusions: Confirmed case of typhoid fever is lower in prevalence if compared to probable case in society. Chloramphenicol is still recommended as first drug of choice for typhoid fever since S.typhi isolated in this research did not reveal any resistancy towards first line antibiotics.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Dian Fatmawati
Abstrak :
Latar belakang. Cakupan imunisasi campak di Indonesia mencapai 80% namun prevalens campak di Indonesia masih tinggi, terutama pada anak usia 1-4 tahun. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi campak ke-2 pada tahun kedua kehidupan. Di Indonesia diberikan pada usia 15-18 bulan dalam kombinasi vaksin MMR. Sayangnya cakupan imunisasi MMR masih rendah sehingga Depkes merekomendasikan pemberian imunisasi campak ke-2 pada usia 2 tahun untuk meningkatkan imunitas seorang anak terhadap penyakit campak. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) proporsi anak usia 1-4 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak 1 kali yang memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif dan rerata kadar antibodinya, (2) proporsi anak usia 1-4 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak ≥ 2 kali yang memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif dan rerata kadar antibodinya, (3) hubungan antara usia saat diperiksa kadar antibodi campak, usia saat imunisasi, status gizi, kondisi kesehatan saat imunisasi campak terhadap antibodi campak, (4) hubungan antara pemberian imunisasi campak dosis ke-dua terhadap antibodi campak. Metode. Penelitian potong lintang di 6 posyandu di 5 wilayah DKI Jakarta pada bulan Juni hingga Agustus 2014. Anak yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa kadar IgG campak. Dari hasil pemeriksaan IgG campak, kemudian ditentukan apakah mencapai kadar protektif atau tidak dan rerata kadar antibodinya. Dicari apakah terdapat hubungan antara imunisasi campak dosis ke-dua dengan kadar antibodi campak. Hasil. Dari 145 subjek penelitian, 125 subjek (86,2%) memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif (≥ 120 mIU/ml) dan 20 subjek (13,8%) memiliki kadar antibodi campak yang tidak mencapai kadar protektif (< 120 mIU/ml). Median kadar antibodi campak pada kelompok protektif adalah 844 mIU/ml, dengan nilai minimum 129 mIU/ml dan nilai maksimum 5000 mIU/ml. Kelompok usia 3-4 tahun memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif terbanyak (91,8%) dibanding kelompok usia 2-3 tahun (88,2%) dan 1-2 tahun (72,7%). Tidak didapatkan hubungan antara usia saat mendapatkan imunisasi campak dan status gizi terhadap kadar antibodi campak. Simpulan. (1) Proporsi anak usia 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi campak 1 kali dan memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif sebesar 77% (54/70) dengan median kadar antibodinya adalah 733,5 mIU/ml, (2) Proporsi anak usia 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi campak ≥ 2 kali dan memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif sebesar 94,6% (71/75) dengan median kadar antibodinya adalah 885 mIU/ml. (3) Pemberian imunisasi campak ≥ 2 kali meningkatkan timbulnya antibodi campak yang mencapai kadar protektif sebesar 1,227 kali dibanding pemberian imunisasi campak 1 kali. ...... Background. Indonesia measles immunization coverage reach 80% but measles prevalence remains high especially in children 1-4 years old. WHO recommended second dose of measles containing vaccine at second year of age. In Indonesia, it has been done through MMR vaccine at 15-18 month. Unfortunately MMR immunization coverage still low and Ministry of Health recommended second dose of measles containing vaccine for all 2 years old children who have never been immunized with MMR vaccine at 15-18 month to increase the immunity against measles. Objectives. This study aimed to know: (1) proportion of children 1-4 years old who has been immunized one time measles vaccine and reach protective antibody level and mean of antibody, (2) proportion of children 1-4 years old who has been immunized twice or more measles vaccine and reach protective antibody level and mean of antibody, (3) association between age, age of immunization, nutritional status, and health status when being immunized with measles antibody level, (4) association between second dose of measles vaccine with measles antibody level. Methods. Cross-sectional study performed in 6 posyandu in 5 region of Jakarta since June until August 2014. Children who met the inclusion criteria were checked for measles IgG, identified for reaching protective level and mean of antibody. Association between second dose of measles vaccine with measles antibody level was also measured. Results. From 145 participants, 125 (86,2%) had protective measles antibody level (≥ 120 mIU/ml) and 20 (13,8%) had not reached protective level (< 120 mIU/ml). The median measles antibody level in protective group was 844 mIU/ml, with minimum point was 129 mIU/ml and maximum point was 5000 mIU/ml. Children in 3-4 years old group had highest percentage of protective measles antibody level (91,8%) compare to children in 2-3 years old group (88,2%) and 1-2 years old group (72,7%). There were no association between age of immunization and nutritional status with measles antibody level. Conclusion. (1) Proportion of children 1-4 years old who has been immunized one time measles immunization and reach protective measles antibody level was 77% (54/70) with the median of measles antibody level was 733,5 mIU/ml, (2) Proportion of children 1-4 years old who has been immunized twice or more measles immunization and reach protective measles antibody level was 94,6% (71/75) with the median of measles antibody level was 885 mIU/ml, (3) Twice or more measles immunization will increase protective level of measles antibody 1,227 times compare to one time measles immunization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Molly Dumakuri Oktarina
Abstrak :
Latar belakang: Dermatitis atopik DA merupakan penyakit inflamasi kulit kronik tersering pada anak terutama pada bayi. Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah terjadinya defek pada sawar kulit. Pemakaian pelembab pada DA merupakan komponen kunci pada perawatan dasar kulit. Tujuan: Mengetahui efek pemakaian pelembab untuk mencegah terjadinya dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat penyakit alergi keluarga. Metode: Penelitian uji klinis terkontrol dengan alokasi random yang dilaksanakan di RSIA Budi Kemuliaan, Jakarta selama periode Mei 2015 ndash; Mei 2016. Hasil: Subyek terdiri dari 44 bayi kelompok perlakuan yang mendapat pelembab dan 35 bayi kelompok kontrol. Sebanyak 24 subjek lost to follow up selama pemantauan 6 bulan. Bayi kelompok kontrol lebih cepat mengalami DA dibanding kelompok perlakuan median waktu 2 bulan vs 4 bulan; hazard ratio 13,01; p=0,02 IK 95 = 1,50-112,94 . Analisis statistik perbedaan efek pelembab kelompok kontrol dan perlakuan adalah p=0,138; RR=2,26 0,83 ndash;6,14. Simpulan: Secara analisis statistik tidak ada perbedaan efek pelembab untuk mencegah dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat penyakit alergi keluarga di Jakarta, Indonesia antara kelompok yang tidak menggunakan pelembab dan kelompok yang menggunakan pelembab.Walaupun demikian, waktu kejadian dermatitis atopik pada kelompok yang tidak menggunakan pelembab lebih cepat dibanding kelompok yang menggunakan pelembab. Kata kunci: dermatitis atopik, bayi baru lahir, pelembab ......Background: Atopic dermatitis AD is the most common chronic inflammatory skin disease in children particularly in baby. Skin barrier deffect is one of the important factor in AD. Application of moisturizer is a key in basic skin treatment. Objective: To investigate the effect of moisturizer to prevent atopic dermatitis AD in high risk baby for AD history of AD in parent or siblings. Methods: We performed a clinical trial with allocation random in RSIA Budi Kemulian Jakarta on May 2015 May 2016. Result: Forty four babies were allocated in moisturizer group and 35 babies in control group. There were 24 subjects were lost to follow up in 6 months period. Subjects in control group developed AD earlier compared to those of in moisturizer group median time 2 months vs 4 months hazard ratio 13.01 p 0,02 95 CI 1.50 112.94 . Statistical analysis in incidence of AD between two groups is p 0.138 RR 2.26 0.83 ndash 6.14. Conclusion: There were no statistically difference in incidence of AD after 6 months follow up between moisturizer and control group but AD developed earlier in control group compared to moisturizer group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rhodia
Abstrak :
Latar Belakang: Kerusakan ginjal dapat berkembang ke arah penyakit ginjal kronik PGK dan gagal ginjal terminal. Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan tingginya angka mortalitas dan pembiayaan yang dibutuhkan. Data mengenai PGK pada anak di dunia masih terbatas terutama di negara berkembang. Belum adanya data secara nasional yang dapat menggambarkan karakteristik penyakit ginjal pada anak di Indonesia menjadi alasan dilakukannya studi ini dengan mengolah data yang didapatkan dari Riskesdas 2013, sebuah riset kesehatan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI . Tujuan: Mengetahui karakteristik penyakit ginjal pada anak usia 15-18 tahun di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013. Metode: Studi potong lintang dengan mengolah data sekunder yang didapatkan dari Riskesdas 2013. Terdapat dua kelompok data berdasarkan pencatatan di lapangan. Kelompok data 1 meliputi subjek yang diikutkan pada pengumpulan data kuesioner berupa riwayat batu ginjal, gagal ginjal kronik, riwayat hipertensi, dan minum obat antihipertensi, serta pemeriksaan fisis berupa pengukuran tekanan darah TD . Kelompok data 2 juga diikutkan pada pencatatan data kuesioner dan pemeriksaan fisis, namun disertai data laboratorium kadar hemoglobin Hb dan kreatinin serum. Setelah itu dilakukan pengklasifikasian data sesuai status nutrisi, estimasi LFG, TD, dan kadar Hb. Hasil: Sejumlah 52.454 subjek diikutkan pada kelompok data 1, didapatkan hasil 20.537 subjek dengan penyakit ginjal, dengan karakteristik sebagian besar perempuan dan status nutrisi gizi baik. Terdapat riwayat batu ginjal 0,2 , gagal ginjal kronik 0,1 , riwayat hipertensi 0,6 , minum obat antihipertensi 0,1 , serta pra-hipertensi dan hipertensi berdasarkan pemeriksaan fisis sejumlah 51,4 dan 48,3 . Pada kelompok data 2 didapatkan hasil subjek dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 1,4 . Simpulan: Angka hipertensi dan pra-hipertensi pada remaja 15-18 tahun di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menyebabkan upaya pemeriksaan TD secara teratur perlu digiatkan kembali sebagai upaya deteksi dini, mencari etiologi dan tata laksana mencegah berkembangnya penyakit. Kata kunci: penyakit ginjal, hipertensi, gagal ginjal, batu ginjal, remaja, Riskesdas.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freggy Spicano Joprang
Abstrak :
Beberapa penelitian menyatakan bahwa infeksi cacing usus dapat menekan atopi tetapi hal ini masih menjadi kontroversi. Pada infeksi cacing respon imun mengarah ke Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) serta aktivasi Treg (IL-10 dan TGF-B) yang merupakan mediator anti-inilamasi. Respon imun Th2 juga texjadi terhadap atopi. Adanya infeksi cacing kronis akan meningkatkan kadar IL-10 yang akan menekan aktivasi Th2 sehingga menekan atopi. Penelitian ini merupakan analytical cross-sectional study yang bertujuan mengetahui respon IL-10 terhadap kejadian atopi pada anak-anak dengan kecacingan. Penelitian ini melibatkan 308 anak sekolah dasar yang berasal dari daerah Ende, Nangapanda dan Anaranda, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 207 subyek diperiksa tinja secara mikroskopis untuk rnengetahui status infeksi cacing, 308 subyek dilakukan uji tusuk kulit (SPT) untuk rnengctahui status atopi, 197 subyek diambil darahnya dan dikultur (PHA, Ascaris, kontrol) lalu diperiksa dcngan Luminex untuk mcngetahui kadar IL-IO. Diperoleh hasil bahwa subyek pada daerah rural (Nangapanda, Anaranda) memiliki infeksi cacing usus lebih Linggi (Chi_squa.re test=l7,31; p=0,000) dibanding daerah urban (Ende). Subyek pada daerah urban memiliki prevalcnsi atopi lebih tinggi (OR=2,3 (95% CI=l,]2-4,78),p=0,02) dibanding subyek di rural. Kadar IL-10 terhadap PHA pada subyek dengan atopi kacang lebih tinggi (OR=0,27 (95% CI=0,09-0,82);p=0,02)) dibanding subyck tanpa atopi.
Several studies reported that intestinal helminth infection suppressed the atopy, but there were still many controversial. Immune responses from intestinal helminth infection have been known skewing towards Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) and Treg activation (IL-10 dan TGF-B). Immune response to atopy is also induced Th2 response imune. The elevation of IL-10 due to chronic intestinal helminth infection will suppress Th2 activation and reduced atopy. This study is an anabutical cross-sectional study. The aim of the study is to determine IL-I0 response in atopy manifestation dom helminth infected children. A total of 310 children from elementary school at Ende (urban area), Nangapanda dan Anaranda (nual areas), Ende district, Nusa Tenggara Timur, participated in this study. Of this, 207 children were eligible for stool examination, 308 children were for skin-prick test (SPT) to determine their atopy status, 197 children were eligible for blood cultur examination (PHA, Ascaris, control) with Luminex to detennine their IL-10 titer status. The results show that children who live in the rural area (Nangapanda, Anaranda) have higher prevalence of intestinal helminth infections (Chi-square test=l7,3l; p=0,000) than children living in the urban area ( Ende). The prevalence of atopy is also higher in children living in urban (OR=2,3 (95% CI=l,l2»4,78; p=0,02) than children in rural area. IL-10 response to PHA from children who are peanut SPT positive is higher (0R=G,27 (95% CI=0,09-0,82; p=0,02) than children without peanut atopy.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T32292
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Takumansang, Raynald Oktafianus
Abstrak :
Background The prevalence of allergic disease to be increasing across the world. More than 20 of the population worldwide suffer from diseases which mediated by immunoglobulin E, such as asthma, rhinoconjunctivitis, atopic dermatitis or eczema. There is no data about allergen sensitization of allergic disease in Manado. Objective The purpose of this study is to know the allergen sensitization in children with allergic diseases atopic dermatitis, allergic rhinitis, asthma . Children were divided into group less than and more than or equal to 3 years old, which was evidenced by skin prick test or IgE Atopy test in Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital Manado. Methods This study was a descriptive cross sectional study, conducted from June until August 2016. Results A total of 95 children were included in the study, of which 77 children were ge 3 years old and 18 children were 3 years old. Seventy five children underwent skin prick test and 20 children underwent IgEAtopy test. In 3 years old children, there were 14 children diagnosed with atopic dermatitis and 4 children diagnosed with atopic dermatitis and asthma. In ge 3 years old children, the most common diagnosis was allergic rhinitis, as many as 21 children. Allergen sensitization found in 3 years old children with atopic dermatitis and atopic dermatitis asthma was cow rsquo s milk, house dust mites and egg white. Sensitization to house dust mites most commonly found in patients with atopic dermatitis. The most common allergen sensitization in ge 3 years old children was house dust mites, egg white, potatoes, dog fur, cow 39 s milk, wheat flour and soya formula. Conclusion The most common allergen sensitization in 3 years old children with atopic dermatitis is cow 39 s milk, while in children with asthma and atopic dermatitis is house dust mites, whereas in ge 3 years old children with atopic dermatitis, allergic rhinitis, asthma, or combination of the disease is house dust mites.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55684
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isman Jafar
Abstrak :
Latar belakang: Dampak Dermatitis Atopik DA terhadap kualitas hidup seorang anak di Amerika dan Negara-negara eropa relatif telah dikenal dengan baik, namun belum pernah di evaluasi di Indonesia. Terlebih lagi hubungan antara derajat dermatitis atopik dan biaya obat belum pernah diteliti, walaupun beberapa penelitian mendeteksi perburukan dan biaya pengobatan yang lebih tinggi pada bayi/anak yang lebih muda dengan DA. Tujuan: Mengetahui kualitas hidup dan biaya pengobatan pada bayi/anak dermatitis atopik DA . Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross sectional pada 60 bayi/anak berusia 0 ndash; 4 tahun menjalani pemeriksaan objective SCORAD dan orang tua mereka diwawancara dengan kuesioner kualitas hidup dermatologis bayi dan biaya pengobatan. Hasil: Terdapat korelasi sedang antara keparahan SCORAD obyektif dengan IDQOL r = 0,431, p = 0,001 , sedangkan korelasi sedang juga terjadi antara SCORAD obyektif dan biaya pengobatan r = 0,367, P = 0,004 . Setelah diklasifikasikan menjadi dermatitis ringan, sedang, dan berat , hubungan antara beratnya DA dan rendahnya kualitas hidup serta tingginya biaya obat juga berkorelasi sedang r = 0,545, P = 0,01 . Kesimpulan: Terdapat korelasi sedang antara keparahan DA dengan gangguan kualitas hidup, sesuai dengan yang ditampakkan oleh banyak literatur internasional dan terdapat korelasi sedang antara derajat dermatitis dengan biaya pengobatan dalam manajemen DA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
Abstrak :
Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi. Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur. Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik. Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik. Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library