Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Napitupulu, Laresi Indah Sonata BR
Abstrak :
Latar belakang: Salah satu masalah perempuan dengan epilepsi (PDE) saat ini adalah infertilitas. Prevalensinya sendiri mencapai sepertiga dari PDE. Penelitian ini bertujuan untuk mengentahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kejadian infertilitas, khususnya pada populasi PDE di RS Cipto Manungkusumo (RSCM). Metode Penelitian: Studi potong lintang pada pasien PDE rawat jalan di poli epilepsi, dilakukan telusur rekam mendis dan pengisian kuesioner. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik. Hasil: Prevalensi PDE yang mengalami infertilitas di RSCM ada 51,1% dengan usia rata-rata 35,57 ± 5,53 tahun. Disfungsi seksual (p=0,020), gangguan orgasme (p=0,042) dan gangguan nyeri seksual (p=0,005) berhubungan dengan kejadian infertilitas pada PDE. Pada analisis multivariat regresi logistik, tidak didapatkan adanya faktor independen yang memengaruhi kejadian infertilitas pada PDE. Kesimpulan: Prevalensi infertilitas pada PDE di RSCM cukup besar yakni 51,1%. Faktor yang memengaruhinya adalah disfungsi seksual, gangguan orgasme dan nyeri seksual. Oleh karena itu, penting bagi klinis untuk mendeteksi dini faktor-faktor tersebut pada PDE untuk mencegah dampak lebih lanjut yang dapat ditimbulkan. ......Background: Infertility is one of the issues facing women with epilepsy (WWE) today. Its prevalence alone reaches one-third of WWE. The purpose of this study is ti determine what variables affect the prevalence of infertility, particularly in the group of WWE at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Method: Outpatient WWE at epilepsy clinic were the subject of this cross-sectional study. A questionnaire was completed and medical records were searched. Chi square and Mann Whitney tests were employed in bivariate analysis before multivariate logistic regression analysis. Results: In our study, the prevalence of WWE with infertility is 51,1%, and their average age is 35,57 ± 5,53 years old. Sexual dysfunction, orgasmic disorders and sexual pain disorders are associated with infertility in WWE. There were no independent factors affecting the infertility in WWE in multivariate logistic regression study. Conclusion: 51,1% of WWE at RSCM are infertile, which is a significant prevalence. Sexual dysfunction, orgasmic disorders, and sexual pain are all factors that might affect it. In order to limit any negative effects such as infertility, it is crucial for clinicians to detect these factors early in WWE.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyani
Abstrak :
Latar Belakang. Pemberian obat anti epilepsi (OAE) generasi pertama dalam jangka waktu lama sering menimbulkan efek samping seperti perubahan kadar lipid plasma yang akan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. OAE ini banyak digunakan di poli neurologi RSCM. Diharapkan dengan diketahuinya gambaran kadar lipid plasma pada penggunaan OAE generasi pertama tunggal dan prevalensi dislipidemia, dapat dilakukan penapisan dini dan preventif timbulnya penyakit kardio dan serebrovaskular. Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional). Subyek penelitian adalah orang dengan epilepsi yang mendapat karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat tunggal minimal 6 bulan. Subyek diperoleh secara konsekutif, kemudian dilakukan wawancara data medis, recall makanan, pemeriksaan fisik dan kadar lipid darah. Pemeriksaan kadar lipid dilakukan setelah puasa minimal 8 jam. Hasil. Diperoleh 59 subyek, 27 karbamazepin, 16 fenitoin, 10 fenobarbital dan 6 valproat. Prevalensi dislipidemia sebesar 20.3%. Rerata kadar kolesterol total 193.5 ± 31.9; LDL 115.3 ± 23.9; HDL 59.5 ± 18.8 dan trigliserida 117.0 ± 63.6. Rerata kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida fenitoin lebih tinggi dari OAE lain. Rerata HDL terendah ditemukan pada valproat. Didapat perbedaan bermakna secara statistik rerata kolesterol total, LDL dan trigliseria berdasarkan jenis OAE. Didapat hubungan bermakna secara stastistik antara durasi penggunaan OAE dengan tingginya kadar HDL pada karbamazepin dan fenobabital. Kesimpulan. Rerata kadar lipid dibawah rerata kadar lipid populasi. Dislipidemia lebih banyak ditemukan pada kelompok fenitoin. Durasi penggunaan OAE berhubungan dengan kadar HDL tinggi. ...... Background. Longterm therapy with first generation of antiepileptic drugs (AED) has been associated with adverse effects, such as serum lipid profile changes which can increase the risk of cardiovaskular and cerebrovascular disease. These AEDs are commonly used in outpatient clinic at Cipto Mangunkusumo hospital. The aim of this study is knowing lipid profile in first generation AEDs consumption. Method. This was cross sectional study. The subjects of this study were epilepsy patiets receiving carbamazepine, phenytoin, phenobarbital and valproate as monotheraphy for more than 6 months. This study used concecutive sampling. All subjects were interviewed, food recalled and underwent physical examination and measurements serum lipid profile. Blood samples for serum lipid profile were collected at least after 8 hours overnight fasting. Result. There were 59 patients, 27 with carbamazepine therapy, 16 phenytoin, 10 phenobarbital, 6 valproate. Prevalence of dyslipidemia is 20.3%. Mean of total cholesterol is 193.5 ± 31.9; LDL 115.3 ± 23.9; HDL 59.5 ± 18.8 and triglyseride 117.0 ± 63.6. Patients with phenytoin showed the highest mean of total cholesterol, LDL and triglyseride. Patients with valpoate showed the lowest mean of HDL. There was significant difference in mean of cholesterol total, LDL and triglyseride according to AEDs. The duration of AEDs therapy was significantly associated with higher HDL in patents with carbamazepine and Phenobarbital. Conclusion. Mean of lipid profile among people with epilepsy was lower than population. Dyslipidemia were more frequent in phenytoin. The duration of AEDs therapy was significantly associated with higher HDL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikry Syahrial
Abstrak :
Latar Belakang: Miastenia gravis MG merupakan penyakit autoimun kronik pada taut neuromuskular dengan gejala kelemahan fluktuatif. Kemajuan dalam diagnosis dan tatalaksana kasus MG akan meningkatkan angka harapan hidup pasien, sehingga evaluasi keberhasilan terapi tidak lagi hanya didasarkan pada mengatasi gejala , namun juga dalam mengevaluasi kualitas hidup pasien. The 15-item Myasthenia Gravis Quality of Life scale MG-QOL15 merupakan kuesioner yang digunakan saat ini untuk mengevaluasi kualitas hidup pada pasien MG. Tujuan: Mendapatkan instrumen MG-QOL15 versi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel. Metode: Empat puluh empat pasien penyakit MG di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pasien mengisi kuesioner MG-QOL15 sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 2 hari. Konsep yang digunakan untuk uji validitas MG-QOL15 INA adalah validasi lintas budaya menurut metode World Health Organization WHO . Uji reliabilitas dinilai menggunakan nilai alpha Cronbach. Hasil: MG-QOL15 INA telah melalui validasi lintas budaya menurut WHO dengan nilai koefisien korelasi Spearman berkisar antara 0,568-0,789 pada pemeriksaan pertama dan 0,574-0,763 pada retest. Nilai alpha Cronbach pada pemeriksaan pertama 0,917 dan 0,909 untuk retest. Kesimpulan: MG-QOL15 INA valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen dalam mengevaluasi kualitas hidup pada penyakit Miastenia Gravis
Introduction Myasthenia Gravis MG is a chronic autoimmune disease in the neuromuscular junction with fluctuating weakness symptoms. Progress in the diagnosis and management of MG cases will increase the patients life expectancy, so the evaluation of therapeutic success is no longer based solely on coping with the symptoms, but also in evaluating the quality of life of patients. The 15 item Myasthenia Gravis Quality of Life scale MG QOL15 is a questionnaire used today to evaluate the quality of life in MG patients. Aim To obtain valid and reliable Indonesian version of MG QOL15 instrument. Methods Forty four patients of MG disease at the Cipto Mangunkusumo Neurology Polyclinic who met the inclusion criteria were included in this cross sectional study. Patients fill out the MG QOL15 questionnaire as much as 2 times with a distance of 2 days. The concept used for the validity test of MG QOL15 INA is cross cultural validation according to World Health Organization WHO method. Reliabilty test is assessed using Cronbach alpha value. Results MG QOL15 INA has been through WHO cross cultural validation with Spearman correlation coefficient values ranging from 0,568 0,789 at the first examination and 0,574 0,763 at the retest. Cronbach rsquo s alpha value at the first examination was 0,917 and 0,909 for the retest. Conclusion MG QOL15 INA is valid and reliable to be used as an instrument in evaluating the quality of life in MG disease.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Mardhiani
Abstrak :
Fenitoin merupakan obat antibangkitan yang digunakan dalam pengobatan kejang dalam bentuk monoterapi maupun kombinasi dengan obat antibangkitan lainnya. Namun, fenitoin memiliki rentang indeks terapi yang sempit yaitu 10 – 20 μg/mL, sehingga untuk mencapai efek terapi yang optimal perlu dilakukan pemantauan kadar obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi preparasi sampel yang optimum untuk analisis fenitoin dalam VAMS, serta mendapatkan metode analisis tervalidasi untuk analisis fenitoin dalam VAMS dengan internal standard karbamazepin menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan mengaplikasikannya untuk pemantauan kadar fenitoin dalam darah pasien epilepsi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan rejimen dosis 2 x 100 mg dan 3 x 100 mg secara monoterapi maupun kombinasi. Kondisi optimasi preparasi sampel yang optimum diperoleh dengan menggunakan pelarut metanol, sonikasi selama 15 menit, dan vorteks selama 2 menit. Metode analisis yang dikembangkan dinyatakan valid sesuai dengan guideline dari FDA 2018 dengan nilai LLOQ yang didapatkan sebesar 0,1 μg/mL dengan rentang kurva kalibrasi 0,1 – 30,0 μg/mL dengan nilai r ≥ 0,9997. Aplikasi pemantauan kadar fenitoin dalam darah dilakukan terhadap 30 subyek pasien epilepsi diperoleh rentang kadar fenitoin dari 0,81 – 17,45 μg/mL, dimana hanya 9 subyek yang kadarnya berada dalam rentang terapi obat yang seharusnya. ......Phenytoin is an anticonvulsant drug that is used for treatment of seizures as monotherapy or combination with other anticonvulsant drugs. However, phenytoin has a narrow therapeutic index range of 10 – 20 μg/mL, so to achieve an optimal therapeutic effect it is necessary to monitor drug levels. The purpose of this study was to obtain the optimum sample preparation conditions for the analysis of phenytoin in VAMS, as well as to obtain a validated analytical method for the analysis of phenytoin in VAMS with the internal standard of carbamazepine using high performance liquid chromatography (HPLC) and apply it for monitoring blood levels of phenytoin in epilepsy patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo with a dosage regimen of 2 x 100 mg and 3 x 100 mg as monotherapy or in combination. Optimum conditions for sample preparation were obtained using methanol as solvent, sonicated for 15 minutes, and vortexed for 2 minutes. The analytical method developed was declared valid in accordance with the guidelines from the FDA 2018 with an LLOQ value of 0.1 μg/mL with a calibration curve range of 0.1 – 30.0 μg/mL with correlation coefficient r ≥ 0.9997. The application of monitoring blood levels of phenytoin was carried out on 30 subjects with epilepsy patients. The range of phenytoin levels was from 0.81 to 17.45 μg/mL, where only 9 subjects had levels within the range of proper drug therapy.
Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamia Aisha
Abstrak :

Latar belakang: Prevalensi wanita dengan epilepsi (WDE) usia reproduktif di Rumah Sakit Pusat Umum Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah 61,7% pada tahun 2019. Pada sebagian WDE, frekuensi bangkitan dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Fungsi reproduksi WDE di RSCM sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik gangguan fungsi reproduksi pada WDE di RSCM.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data primer. Kriteria inklusi adalah WDE berusia diatas 18 tahun, yang didiagnosis epilepsi oleh spesialis saraf, yang berobat di RSCM dari bulan September 2020 – November 2021. Ganguan fungsi reproduksi terdiri dari ganngguan siklus menstruasi, infertilitas, gangguan kehamilan atau gangguan persalinan.

Hasil Penelitian: Dari 136 subjek penelitian yang didapatkan, 41,2% mengalami gangguan fungsi reproduksi. Gangguan siklus menstruasi didapatkan pada 31,6% subjek. Subjek yang sudah menikah sebanyak 34,6%, dengan gangguan fertilitas didapatkan pada 45,5% subjek. Dari subjek yang sudah menikah, 77,3% pernah hamil. Gangguan kehamilan didapatkan pada delapan (47,1%) subjek, berupa riwayat abortus sebanyak 23,5%. Perubahan frekuensi bangkitan selama kehamilan ditemukan pada 94,1% subjek, berupa frekuensi bangkitan meningkat (23,5%), frekuensi menurun (23,5%) dan bebas bangkitan (47,1%). Lima belas (68,2%) subjek pernah melahirkan, dan sebanyak 66,7% melahirkan dengan sectio sesaria. Dua subjek mengalami gangguan saat persalinan, berupa persalinan prematur dan kejang saat persalinan.

Kesimpulan: Gangguan fungsi reproduksi pada WDE didapatkan pada 41,2% subjek, dengan jenis gangguan terbanyak adalah gangguan siklus menstruasi dan gangguan fertilitas.

Kata Kunci: gangguan fertilitas, gangguan fungsi reproduksi, gangguan menstruasi, wanita dengan epilepsi.

 


Background: Women with epilepsy (WWE) in reproductive age prevalence at Cipto  Mangunkusumo Nasional Hospital (RSCM) is 61,7% in 2019. Seizure frequencies in WWE could be influenced by hormonal changes. Reproductive function of WWE in RSCM has not been exactly known until now. The purpose of this study is to know the characteristic of reproductive system disorder in WWE at RSCM.

Methods: A cross-sectional study using primary and secondary data. Inclusion criteria are WWE older than 18 years old and has been diagnosed with epilepsy by the doctors at RSCM from September 2020 until November 2021. Reproductive system disorder consist of menstrual cycle disorder, infertility, pregnancy problems or delivery problems.

Results: There were 136 subjects, 41,2% have reproductive system disorder. Menstrual cycle disorder found in 31,6% subjects. There were 34,6% married subjects, and 77,3% of them have pregnancy experience, while infertility found in 45,5% subjects. Eight (47,1%) subjects were having problem during their pregnancy. Spontaneous abortion found in 23,5%. Seizure frequency increased in 23,5% subjects, decreased in 23,5% subjects and 47,1% subjects. Seizure free during their pregnancy. Fifteen (68,2%) subjects have delivery experiences and 66,7% subjects were using C-section methods. Two subjects were having problem during their delivery. One subject has premature delivery while the other one was having seizure during delivery.

Conclusion: Reproductive system disorder found in 41,2% subjects. Menstrual cycle disorder and infertility are the greatest disorder found in this study.

Keyword: infertility, menstrual cycle disorder, reproductive system disorder, women with epilepsy

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liestyaningsih Dwi Wuryani
Abstrak :
Latar Belakang: Status epileptikus (SE) merupakan salah satu kedaruratan neurologis dengan mortalitas yang tinggi. SE dengan gejala motorik yang menonjol dan gangguan kesadaran disebut sebagai status epileptikus konvulsivus (SEK). Tujuan tatalaksana SEK adalah menghentikan bangkitan secara cepat dan efektif karena pada SEK yang berkepanjangan akan menyebabkan kerusakan neuron dan gangguan sistemik yang luas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tatalaksana farmakologis dan faktor-faktor yang mempengaruhi waktu terminasi SEK di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Desain penelitian dengan potong lintang pada 22 pasien SEK secara retrospektif. Data yang didapatkan merupakan data dari penelurusan rekam medik. Dilakukan pencatatan usia, jenis kelamin, komorbid, riwayat epilepsi, etiologi, bentuk kejang, kelainan metabolik, onset kejang, jenis, lini, dosis, dan jumlah obat anti kejang yang didapat. Kemudian dilakukan pencatatan waktu dari tatalaksana SEK hingga terminasi SEK. Hasil: Dari 22 subjek, 16 subjek dapat diterminasi <60 menit (72,7%). Kelompok terminasi <60 menit memiliki rerata usia lebih muda, memiliki riwayat epilepsi, dan sebagian besar tidak memiliki komorbid. Pada kedua kelompok terminasi etiologi tersering adalah etiologi akut. Seluruh subjek dengan semiologi SEK kejang konvulsif umum tonik klonik dan kejang umum tonik termasuk dalam kelompok terminasi <60 menit. Sedangkan bentuk kejang lainnya terdapat sebagian kecil subjek termasuk dalam kelompok terminasi >60 menit. Median onset kejang pada penelitian ini didapat lebih lama pada kelompok terminasi <60 menit. Kelainan metabolik hipoalbumin dan gangguan hepar didapatkan sedikit lebih banyak pada kelompok terminasi <60 menit. Sedangkan subjek dengan kelainan ginjal didapat persentase yang sama. Sebagian besar subjek cukup mendapat lini I, diazepam IV, dan 1 jumlah obat anti kejang dalam terminasi SEK. Pada subjek kelompok terminasi >60 menit mendapat dosis diazepam IV dan fenitoin IV lebih besar. Pada subjek yang mendapat levetiracetam oral dan midazolam IV seluruhnya terdapat dalam kelompok terminasi >60 menit. Kesimpulan: Tatalaksana farmakologis SEK di RSCM sesuai dengan alogaritme SE dan sebagian besar dapat diterminasi <60 menit. Distribusi demografis dan klinis subjek penelitian seperti usia muda, riwayat epilepsi, dan tidak adanya komorbid serta kelainan metabolik hipoalbumin dan kelainan hepar distribusinya lebih banyak pada kelompok terminasi <60 menit. ......Background: Status epilepticus (SE) is one of the neurological emergencies with high mortality. SE with prominent motor symptoms and impaired consciousness is called a convulsive status epilepticus (CSE). The goal of treatment for CSE is to stop seizures quickly and effectively because prolonged CSE will cause extensive neuronal damage and systemic disturbances. The purpose of this study was to determine the description of pharmacological management and the factors that influence the termination of CSE in Cipto Mangunkusumo Hospital. Method: It was a retrospective cross-sectional study design in 22 CSE patients. The data was retrieved from medical records including age, sex, comorbid, history of epilepsy, etiology, form and onset of seizures, metabolic disorders, type, line, dose and amount of anti-seizure drugs were carried out. The duration from time-point of CSE management up to the CSE termination was recorded. Result: Among 22 subjects, there were 16 subjects who had CSE termination <60 minutes (72.7%). The <60 minutes termination group had a younger age, had a history of epilepsy and most of them had no comorbidities. All three subjects with a history of epilepsy were also included in the <60 minutes termination group. In both groups the most common etiology of termination was acute. All subjects with the semiology convulsive generalized tonic-clonic seizures and generalized tonic seizures were included in the <60 minutes termination group. While other forms of semiology, a small proportion of subjects were included in the group termination >60 minutes. Median seizure onset in this study was longer in the termination group <60 minutes. Hypoalbumin metabolic and hepatic disorders were slightly more in the <60 minutes termination group. Among <60 minutes termination group, the most common anti-convulsant was first line drug which was Diazepam IV, wherease the most common one in >60 minutes termination group was second line drug which was Phenytoin IV. Subjects in the group terminated> 60 minutes received larger doses of IV diazepam and IV phenytoin. Subjects receiving oral levetiracetam and IV midazolam were all in the> 60 minutes termination group. Conclusion: CSE management in Cipto Mangunkusumo Hospital was already in accordance with the SE management algorithm. Demographic and clinical distribution of study subjects such as younger age, history of epilepsy, absence of co-morbids and metabolic disorders of hypoalbumin and liver disorders were common in the <60 minutes termination group.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadila Asmaniar
Abstrak :
Latar Belakang. Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis yang bermanifestasi sebagai kelemahan otot di berbagai lokasi dengan insiden yang meningkat sejak beberapa dekade terakhir. Kualitas hidup merupakan aspek yang perlu dinilai dalam penatalaksanaan MG. Berbagai faktor telah diketahui berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien MG, tetapi saat ini di Indonesia belum ada studi yang meneliti gambaran kualitas hidup pasien MG. Studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran secara umum kualitas hidup pasien MG serta faktor-faktor yang memengaruhinya di RSUPN Cipto Mangunkusumo, DKI Jakarta yang merupakan rumah sakit rujukan nasional. Metode. Studi potong lintang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, DKI Jakarta pada bulan Februari hingga April 2023. Pasien yang telah didiagnosis miastenia gravis dan mendapatkan terapi baik terapi simtomatik maupun imunospresan minimal 6 bulan direkrut ke dalam penelitian. Subjek dilakukan wawancara menggunakan kuisioner dan pencatatan data rekam medik sesuai variabel yang diteliti. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Hasil. Sebanyak 80 subjek memenuhi kriteria inklusi penelitian. Rerata usia subjek adalah 44,73 ± 13,09 tahun. Mayoritas subjek adalah perempuan (68,8%), sudah menikah (65%), memiliki riwayat pendidikan menengah (42,5%), pekerjaan blue collar (76,2%), dan tidak latihan fisik (73,8%). Median IMT subjek adalah 24,86 kg/m2 (16,77–128,57 kg/m2). Median durasi penyakit subjek adalah 60 bulan (9–504 bulan). Rerata usia saat terdiagnosis adalah 38,73 ± 14,24 tahun. Mayoritas subjek memiliki awitan gejala EOMG (73,8%), gejala MG generalisata (72,5%). Sebanyak 38,8% pasien memiliki riwayat timoma. Dari 31 subjek dengan timoma, 83,9% subjek dilakukan timektomi. Kebanyakan subjek tidak diperiksakan status antibodinya (63,8%). Sebanyak 37,5% subjek memiliki status MGFA normal dan median MGCS 1,59 (0–13). Mayoritas subjek memiliki gejala yang stabil (78,7%) dan mendapatkan azathioprine (50%). Sebanyak 33,8% subjek menggunakan steroid dengan median dosis 16 mg (2–64 mg) dan 29,6% subjek memiliki tampilan cushingoid. Kebanyakan subjek tidak mengalami depresi (48,8%) maupun ansietas (71,2%). Median skor support sosial subjek adalah 70 (12–84). Median skor MG-QOL15 INA adalah 21 (2–56). Berdasarkan analisis bivariat, variabel yang berhubungan bermakna dengan kualitas hidup pasien MG adalah status antibodi, konsumsi steroid, depresi, dan ansietas. Berdasarkan analisis multivariat, variabel yang berhubungan bermakna dengan kualitas hidup pasien MG adalah latihan fisik dan depresi. Kesimpulan. Latihan fisik dan depresi merupakan faktor penting yang memengaruhi kualitas hidup pasien MG secara bermakna ......Backgrounds. Myasthenia gravis (MG) is a chronic autoimmune disease that manifests as muscle weakness in various locations, which its incidence has been increasing over the past few decades. Quality of life is an essential aspect in the management of MG. Several factors have been known to influence the quality of life in MG patients. This study aimed to provide a general overview of the quality of life of MG patients and the associated factors at the national referral hospital, Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. Methods. A cross-sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo National General Hospital from February to April 2023. Myasthenia gravis patients in therapy, both symptomatic and immunosuppressant, for at least 6 months were recruited for the research. Subjects were interviewed using a questionnaire, and medical record data were recorded based on the variables under investigation. Bivariate and multivariate analyses were performed to examine the relationships between the independent and dependent variables. Results. A total of 80 subjects met the inclusion criteria for the study. The mean age of the subjects was 44.73 ± 13.09 years. The majority of the subjects were female (68.8%), married (65%), had secondary education (42.5%), had blue-collar jobs (76.2%), and did not engage in physical exercise (73.8%). The median BMI (Body Mass Index) of the subjects was 24.86 kg/m2 (16.77-128.57 kg/m2). The median duration of the disease for the subjects was 60 months (9-504 months). The mean age at diagnosis was 38.73 ± 14.24 years. Most subjects had early-onset myasthenia gravis (EOMG) (73.8%) and generalized MG symptoms (72.5%). About 38.8% of the patients had a history of thymoma. Out of the 31 subjects (83.9%) with thymoma, underwent thymectomy. The majority of the subjects did not have their antibody status checked (63.8%). About 37.5% of the subjects had a normal MGFA (Myasthenia Gravis Foundation of America) status, and the median MGCS (Myasthenia Gravis Composite) score was 1.59 (0-13). Most subjects had stable symptoms (78.7%). Around 33.8% of the subjects used steroids with a median dose of 16 mg (2-64 mg). There were 29.6% of the subjects with steroid exhibited Cushingoid features. There were 50% of the subjects received azathioprine. The majority of the subjects did not experience depression (48.8%) or anxiety (71.2%). The median score for social support was 70 (ranging from 12 to 84), and the median score for MG-QOL15 INA (Myasthenia Gravis Quality of Life 15 Indonesia) was 21 (ranging from 2 to 56). Based on bivariate analysis, variables significantly associated with the quality of life of MG patients were antibody status, steroid usage, depression, and anxiety. Based on multivariate analysis, variables significantly associated with the quality of life of MG patients were physical exercise and depression. Discussions. Physical exercise and depression independently affected the quality of life of MG patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Dewina Pratiwi
Abstrak :
Latar belakang: Status Epilepticus Severity Score (STESS) merupakan instrumen untuk memprediksi luaran pasien status epileptikus (SE) sebelum dilakukan tata laksana. Status Epilepticus Severity Score sudah divalidasi sebelumnya di Swiss dengan nilai cut-off > 4. Instrumen ini adalah instrumen sederhana, dan dapat digunakan dengan cepat, pada pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang perawatan intensif. Tujuan utama penelitian ini untuk menilai validitas dan reliabilitas STESS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tujuan tambahan adalah untuk melihat hubungan antara nilai STESS dengan luaran pada 24 jam, 48 jam, hari ke 7, hari ke 30, dan akhir perawatan pasca-SE ditegakan. Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Juni 2020 hingga November 2020. Penelitian ini menggunakan disain potong-lintang prospektif dan dilakukan penilaian secara serial untuk melihat luaran pada 24 dan 48 jam pertama, hari ke-7, 30 dan akhir perawatan. Luaran yang dinilai adalah hidup dan mati. Kriteria inklusi adalah pasien SE konvulsivus yang belum mendapatkan tata laksana kejang. Kuesioner STESS telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas STESS Bahasa Indonesia (STESS-INA). Selanjutnya ditentukan nilai titik potong STESS dengan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dan menilai Area Under Curve (AUC) terhadap titik potong yang ditentukan. Setelah itu dilakukan analisa statistik berdasarkan titik potong tersebut terhadap luaran pasien pada 24 dan 48 jam, hari ke-7 dan 30, serta akhir perawatan. Luaran yang dinilai dalam bentuk pasien hidup atau meninggal. Hasil: Didapatkan 17 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil uji validitas interna STESS-INA untuk tiap item didapatkan koefisien korelasi 0,484 hingga 0,702 dengan nilai Cronbach’s Alpha 0,71. Pada studi ini didapatkan mortalitas adalah sebesar 23%. Berdasarkan kurva ROC, didapatkan nilai titik potong 4. Nilai AUC STESS-INA pada akhir perawatan 96,2% dengan menggunakan nilai titik potong STESS > 4. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna dengan luaran kematian pada akhir perawatan (p=0,006). Kesimpulan: STESS-INA merupakan instrumen valid dan reliabel. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna terhadap luaran kematian pada akhir perawatan. ......Background: STESS in an instrument to predict the outcome of a status epilepticus (SE) patient before being managed. STESS has been validated before in Swiss with a cut-off point of ≥4. This simple instrument can be used quickly for patients in the ER and ICU. The goal of this research is to assess the validity, reliability of STESS Indonesia version (STESS-INA) and to evaluate the association of score of STESS-INA and outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization. Method: Research was being done at RSUPN Cipto Mangunkusumo on June 2020 to November 2020. STESS was translated to Indonesia version (STESS-INA) followed by validity and reliability evaluation. STESS-INA was assessed when patient is being diagnosed with SE before being managed, then being observed on the first 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day and the last day of hospitalization. Predictive value of STESS-INA was being assessed by Receiver Operating Character (ROC) with the cut-off point at the most optimal sensitivity and specificity followed by assess the correlation between STESS-INA cut-off point and the outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization. The outcome was live/deceased. Result: There were 17 patients in this study. The results of the internal validity test obtained a correlation coefficient of STESS-INA was 0.484 to 0.702. Internal consistency reliability test with Cronbach’s Alpha was 0.71. The mortality rate of these study was 23%. The AUC value of STESS-INA at the end of hospitalization was 96.2 with cut-off point >4. In this study, STESS-INA with cut-off point 4 has significantly associated with outcome at the last day of hospitalization (p = 0.006). Conclusion: STESS-INA is a valid and reliable instrument in predicting outcome at the end of hospitalazation. STESS with a cut-off >4 was associated with mortality at the last day of hospitalization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aprida
Abstrak :
Pendahuluan: Jumlah penyandang epilepsi semakin meningkat, namun tidak disertai dengan edukasi sehingga masih terdapat stigma dan diskriminasi yang dapat menurunkan kualitas hidup orang dengan epilepsi (ODE). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian sikap mahasiswa kedokteran preinternship, peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) dan perawat karena mereka merupakan sumber penting pengetahuan tentang epilepsi dan dapat memberikan contoh bagi masyarakat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dari Juni 2020 hingga Januari 2021. Sampel penelitian yaitu mahasiswa kedokteran preintership, peserta PPDS dan perawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan kuesioner Public Attitude Toward Epilepsy (PATE) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi. Hasil: Mahasiswa kedokteran preinternship, peserta PPDS dan perawat memberikan sikap positif pada pertanyaan yang bersifat umum, namun hal sebaliknya didapatkan sikap negatif pada pertanyaan yang bersifat pribadi yakni berkencan, menikah ataupun memberikan saran kepada keluarga untuk menikah dengan ODE. Faktor sosiodemografi tidak mempengaruhi sikap terhadap epilepsi. Kesimpulan: Mahasiswa kedokteran preinternship, peserta PPDS dan perawat memberikan sikap yang negatif dalam hal berkencan maupun menikah dengan ODE. ......Background: The number of people with epilepsy is increasing, but this not followed by education so that there is still stigma and discrimination that can reduce the quality of life of people with epilepsy (PWE). Thus, it is necessary to conduct research on the attitudes of preintership medical students, residents and nurses because they are an important source of knowledge about epilepsy and can provide an example for the community. Method: This study used a cross sectional design from June 2020 until Januari 2021. The research sample were preintership medical students, residents and nurses at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted using a validated Indonesian version of the PATE questionnaire. Results: Preintership medical students, residents and nurses gave a positive attitude to general questions, but on the contrary, a negative attitude was found on questions related to personalities, namely dating, getting married or giving advice to families to marry people with epilepsy. Sociodemographic factors did not influence attitude towards epilepsy. Conclusion: Preintership medical students, residents and nurses give negative attitudes in dating and marrying PWE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Visual Evoked Potentials VEP digunakan untuk menilai jaras visual dari nervus optikus hingga korteks visual. Respon VEP normal terhadap stimulus adalah munculnya gelombang defleksi positif pada latensi sekitar 100 milidetik. Gelombang VEP dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiologis dan non-fisiologis yang sebagian dapat dikontrol sebagian lagi tidak, sehingga diperlukan referensi nilai normal latensi dan amplitudo gelombang VEP untuk di setiap laboratorium.Metode. Studi ini dilakukan secara potong lintang pada 110 subyek sehat yang terdiri dari 55 subyek laki-laki dan 55 subyek perempuan berusia antara 18 hingga 55 tahun.Hasil. Pada perekaman dengan ukuran kotak 32 rsquo;, nilai batas atas latensi gelombang P100 pada adalah 117 milidetik pada laki-laki dan 119 milidetik pada perempuan. Nilai batas atas perbedaan latensi interokular pada perekaman dengan ukuran kotak yang sama adalah 10,96 milidetik untuk laki-laki dan 10,2 milidetik untuk perempuan. Tidak ada perbedaan bermakna antara latensi gelombang P100 pada kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi terdapat perbedaan amplitudo P100 yang bermakna antara kelompok laki-laki dan perempuan.Kesimpulan. Pada penelitian ini, jenis kelamin mempengaruhi amplitudo gelombang P100 tetapi tidak mempengaruhi latensi. Kata kunci: Visual Evoked Potentials, P100, latensi, amplitudo
ABSTRACT
Background. Visual Evoked Potentials VEP are used to assess the visual pathways through the optic nerves and brain. A normal VEP response to a stimulus is a positive occipital peak that occurs at a mean latency of 100 ms. The value of VEP parameters can be affected by physiological and non physiological factors that some can be controlled, some others not. Thus, every laboratory need its own normative values.Methods. The study was a cross sectional study involving 110 normal healthy subjects consist of 55 males and 55 females which age ranging from 18 to 55.Results. Upper normal limit of P100 latencies values in recording at checker size of 32 rsquo are 117 ms in male and 119 ms in female. Upper normal limit of interocular latencies difference values in recording at checker size of 32 rsquo are 10,96 ms in male and 10,2 ms in female. No significant differences of P100 latencies between male and female but there is significant differences in amplitudes.Conclusions. In our population, gender is an important factor affecting P100 amplitudes but not P100 latencies. Keywords Visual Evoked Potensials, P100, latency, amplitude
2016
T55591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>