Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanggoro Laka Bunawan
Abstrak :
Pendahuluan: Tukak lambung merupakan salah satu penyakit tersering pada saluran pencernaan yang mempunyai angka kekambuhan yang cukup tinggi. Penanganan tukak lambung seringkali sulit dan membutuhkan biaya mahal. Terapi farmakologi memiliki banyak efek samping. Akupunktur sebagai salah satu terapi non-farmakologi telah menunjukkan hasil yang baik dalam terapi dan sebagai protektif terhadap tukak lambung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efek protektif elektroakupunktur dengan akupunktur tanam benang terhadap indeks ulkus lambung dan kadar serum Malondialdehyde (MDA) pada tukak lambung. Metode: Penelitian dilakukan pada bulan November - Desember 2021 di Puslitbangkes Biomedik, Kementerian kesehatan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Desain penelitian adalah studi eksperimental dengan Randomized posttest design. 30 hewan coba tikus dibagi menjadi 5 kelompok: kelompok normal, kontrol tukak lambung (TL), omeprazole (OME), elektroakupunktur (EA) dan akupunktur tanam benang (ATB). Kelompok OME diberikan omeprazole oral 20 mg/kg dan EA pada ST36 Zusanli dan CV12 Zhongwan dengan frekuensi 2 Hz, intervensi pada OME dan EA dilakukan setiap 2 hari sekali selama 12 hari. Kelompok ATB 1 kali intervensi di hari pertama. Skor indeks ulkus lambung dan kadar serum MDA diukur setelah induksi tukak lambung dilakukan pasca 12 hari perlakuan. Semua hasil data diolah menggunakan SPSS versi 20. Hasil: Skor indeks ulkus tidak berbeda bermakna antara kelompok EA dengan ATB (uji Mann Whitney, p = 0,523), namun skor indeks ulkus kelompok EA dan ATB lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok TL (uji Mann Whitney, p < 0,05). Kadar serum MDA lebih rendah bermakna pada kelompok EA versus TL (uji post-hoc, p < 0,001) dan pada kelompok ATB versus TL (uji post-hoc, p < 0,05). Kelompok EA versus ATB, kadar MDA tidak berbeda bermakna (uji post-hoc, p = 1,000). Kesimpulan: Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang memiliki efek protektif terhadap tukak lambung yang sama baiknya terhadap skor indeks ulkus lambung dan kadar serum MDA. Akan tetapi akupunktur tanam benang memiliki efisiensi waktu [sw1] dibandingkan dengan elektroakupunktur. ......
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robin Martilo Djajadi
Abstrak :
Pendahuluan: Peningkatan kadar kolesterol didalam plasma darah atau hiperlipidemia merupakan faktor predisposisi terjadinya aterosklerosis. Faktor risiko diet tinggi lemak amat mempengaruhi tingginya kadar kolesterol darah. Permasalahan kepatuhan dalam perubahan diet dan efek samping obat penurun kolesterol menjadi alasan perlunya terapi pilihan lain yang aman dan efektif. Penelitian menunjukkan bahwa elektroakupunktur pada titik ST40 Fenglong dapat digunakan sebagai terapi untuk memperbaiki kadar kolesterol darah. Salah satu modalitas akupunktur yang sedang berkembang adalah laser akupunktur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas laser akupunktur dibandingkan dengan elektroakupunktur pada titik ST40 Fenglong dalam memperbaiki kadar kolesterol otal, indeks aterogenik, dan berat lemak dinding abdomen pada tikus model diet tinggi lemak. Metode: Desain studi ini adalah studi eksperimental dengan randomised control group posttest only. Dua puluh empat tikus Wistar jantan, usia 10 minggu dengan berat badan 200–250 gram dibagi menjadi 4 kelompok yaitu: kelompok diet normal, kelompok diet tinggi lemak tanpa perlakuan akupunktur, kelompok diet tinggi lemak dengan elektroakupunktur dan kelompok diet tinggi lemak dengan laser akupunktur. Elektroakupunktur dan laser akupunktur dilakukan 3 kali seminggu dengan total 12 sesi. Dilakukan pengukuran kadar kolesterol total, indeks aterogenik, dan berat lemak dinding abdomen setelah 12 sesi. Hasil: Rerata kadar kolesterol total, indeks aterogenik, dan berat lemak dinding abdomen pada kelompok tikus model diet tinggi lemak yang mendapat laser akupunktur lebih rendah dibandingkan pada kelompok tikus model diet tinggi lemak yang mendapat elektroakupunktur, namun tidak berbeda bermakna secara statistik (p > 0,05). Kesimpulan: Laser akupunktur memiliki kecenderungan lebih baik dalam mencegah peningkatan kolesterol total, indeks aterogenik, dan peningkatan berat lemak dinding abdomen akibat konsumsi diet tinggi lemak dibandingkan dengan elektroakupunktur Introduction: Hyperlipidemia is an increased concentration of fat in blood plasma and is a predisposing factor for atherosclerosis. Risk factor such as high-fat diet greatly affect blood cholesterol levels. The problem of adherence to diet changes and cholesterol medication side effects are reasons to look for other alternative therapies that are safe and effective. Research shows that electroacupuncture at the ST40 Fenglong point can be used as a therapy to improve blood cholesterol levels. One of the acupuncture modalities is laser acupuncture. The purpose of this study was to determine the effectiveness of laser acupuncture compared to electroacupuncture at the ST40 Fenglong point for improving total cholesterol levels, atherogenic index, and abdominal wall fat weight in high fat diet model rats. Methods: This study was an experimental study with posttest only randomized control group. Twenty-four male Wistar rats, aged 10 weeks with a body weight of 200–250 grams were divided into 4 groups: the normal diet group, the high-fat diet without acupuncture treatment group, the high-fat diet with electroacupuncture group and the high-fat diet with laser acupuncture group. Electroacupuncture and laser acupuncture treatments were performed 3 times a week for a total of 12 sessions. Total cholesterol levels, atherogenic index, and abdominal wall fat weight were measured after 12 sessions. Results: The mean total cholesterol levels, atherogenic index, and weight of abdominal wall fat in the high-fat diet model group which received laser acupuncture treatment was lower than that in the high-fat diet group which received electroacupuncture group, but did not significantly differ (p> 0.05). Conclusion: Compared to electroacupuncture, laser acupuncture has a better tendency at preventing increases in total cholesterol level, atherogenic index, and abdominal wall fat weight due to high-fat diet consumption.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deby
Abstrak :
Karsinoma hepatoselular memiliki prognosis yang buruk akibat keterbatasan terapi seperti terlambat diagnosis, kurangnya biomarker spesifik, dan ketidakpekaan terhadap agen tumor ini. Imunoterapi berbasis sel NK autologus dengan stimulasi eksosom menjadi modalitas pengembangan imunoterapi berbasis sel NK untuk pasien karsinoma hepatoseluler. Sel NK pasien karsinoma hepatoseluler diisolasi dari darah vena perifer dan eksosom diisolasi dari serum darah donor sehat. Karakterisasi eksosom dengan particle size analyzer dan flow cytometry. Stimulasi eksosom ke sel NK selama 24 jam kemudian evaluasi ekspresi reseptor NKp44, NKp46, NKp30, NKG2D, KIR2D, dan NKG2A serta ekspresi perforin dan granzyme B. Visualisasi interaksi sel NK dengan fraksi sel mononuklear lainnya (CD4, CD8, CD11c, dan CD19) dengan imunofluorens. Ukuran partikel < 100 nm, muatan listrik negatif dan CD63+CD81+ (positif ganda) hasil isolasi eksosom. Terjadi peningkatan ekspresi reseptor NKp44, NKp46, NKp30, NKG2D, penurunan ekspresi NKG2A, serta peningkatan ekspresi perforin dan granzyme B pada sel NK terinduksi eksosom. Tidak ada interaksi sel berupa sinapsis imun antara sel NK terstimulasi eksosom dengan fraksi sel mononuklear lain pasien karsinoma hepatoseluler. Stimulasi eksosom ke sel NK pasien karsinoma hepatoseluler memulihkan kemampuan sitotoksik sel NK. ......Hepatocellular carcinoma has a poor prognosis due to limitations of therapy such as late diagnosis, lack of specific biomarkers, and insensitivity to this tumor agent. Autologous NK cell-based immunotherapy with exosome stimulation is a modality for developing NK cell-based immunotherapy for hepatocellular carcinoma patients. NK cells from hepatocellular carcinoma patients were isolated from peripheral venous blood, and exosomes were isolated from the blood serum of healthy donors. Exosome characterization with a particle size analyzer and flow cytometry. Stimulation of exosomes on NK cells for 24 hours, then evaluation of expression of NKp44, NKp46, NKp30, NKG2D, KIR2D, and NKG2A receptors, as well as perforin and granzyme B expression. Visualization of interactions of NK cells with other mononuclear cell fractions (CD4, CD8, CD11c, and CD19) by immunofluorescence. Particle size < 100 nm, negative electric charge, and CD63+CD81+ (double positive) exosome isolated results. There was increased expression of receptors NKp44, NKp46, NKp30, NKG2D, decreased expression of NKG2A, and increased expression of perforin and granzyme B in exosome-induced NK cells. There was no cell interaction in the form of immune synapses between exosome-stimulated NK cells and other mononuclear cell fractions in hepatocellular carcinoma patients. Stimulation of exosomes into NK cells of hepatocellular carcinoma patients restores the cytotoxic ability of NK cells.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaniyyatul Khudri
Abstrak :
Air Susu Ibu tidak hanya mengandung nutrisi namun juga sel-sel imun untuk melindungi bayi dari patogen pada awal kehidupannya. Salah satu sel yang berperan penting adalah makrofag (CD14+ mononuclear cells), sebagai komponen dari sistem kekebalan bawaan bagi bayi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan populasi, viabilitas serta kemampuan fagositosis CD14+ mononuclear cells ASI dan darah tepi. Total 20 subjek dianalisis populasi CD14+ mononuclear cells, M1 (CD86) dan M2 (CD206) dengan flow cytometry. Viabilitas sel dianalisis dengan CCK assay dan kemampuan fagositosis dengan sheep red blood cell (SRBC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi CD14+ mononuclear cells ASI lebih tinggi 20% dibanding darah tepi (38,93 ± 5,29% versus 1,88 ± 0,55%, p=0.0005). Populasi CD14+ mononuclear cells ASI terbukti memiliki kemampuan polarisasi yang ditandai dengan ekspresi M1 (CD86) dan M2 (CD206). Ratio M1/M2 pada ASI adalah < 1, namun tidak memiliki perbedaan signifikan dengan darah tepi (p=0,238). Viabilitas dan kemampuan fagositosis CD14+ mononuclear cells ASI secara signifikan lebih tinggi dibandingkan darah tepi (viabilitas, p=0,0032; kemampuan fagositosis, p=0,0001). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa CD14+ mononuclear cells ASI mempunyai populasi yang lebih tinggi dengan polarisasi dominan M2, serta mempunyai viabilitas dan kemampuan fagosistosis yang lebih baik daripada CD14+ mononuclear cells yang berasal dari darah tepi. ......Breast milk contains nutrients and immune cells that protect infants from early-life pathogens. Macrophages (CD14+ mononuclear cells), play a crucial role as a component of the innate immune system in infants. This study compared the populations, viability, and phagocytic ability of CD14+ mononuclear cells derived from breast milk and peripheral blood in 20 subjects. The population of CD14+ mononuclear cells, M1 (CD86), and M2 (CD206) were analyzed using flow cytometry. Cell viability was assessed using the CCK assay, and phagocytic ability was measured with sheep red blood cells (SRBC). The results showed that the CD14+ mononuclear cell population in breast milk was 20% higher than in peripheral blood (38.93 ± 5.29% versus 1.88 ± 0.55%, p=0.0005. Breast milk CD14+ mononuclear cells exhibit M1 (CD86) and M2 (CD206) polarization, with an M1/M2 ratio <1, compared to peripheral blood (p=0.238). The viability and phagocytic ability of CD14+ mononuclear cells in breast milk were significantly higher compared to those in peripheral blood (viability, p=0.0032; phagocytic ability, p=0.0001). These findings indicate breast milk CD14+ mononuclear cells have a higher population with dominant M2 polarization, viability, and phagocytic ability compared to those from peripheral blood.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Puspitasari Winarno
Abstrak :
Pendahuluan: Nyeri miofasial yang ditandai dengan titik pemicu (TP) miofasial merupakan penyebab umum nyeri muskuloskeletal dan penyebab utama dari nyeri leher maupun bahu pada populasi pekerja, terutama pekerjaan kantor yang berhubungan dengan komputer berisiko lebih tinggi akibat gerakan berulang, postur tubuh statis, lamanya berada di depan komputer, serta peningkatan penggunaan perangkat genggam. Bila penanganan nyeri miofasial gagal dilakukan tepat waktu, maka dapat mengakibatkan disfungsi, kecacatan, dan kerugian finansial bagi pasien. Akupunktur tanam benang (ATB) merupakan modalitas akupunktur baru yang dapat memberikan stimulasi jangka panjang yang bertujuan memperpanjang efek terapeutik yang sama dengan akupunktur konvensional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek terapi ATB terhadap skor nyeri, Neck Disability Index (NDI), dan ambang nyeri tekan (ANT) pada nyeri miofasial otot upper trapezius. Metode: Desain penelitian pada penelitian ini adalah sebuah uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian ini diikuti oleh 44 orang subjek penelitian yang dibagi kedalam kelompok ATB (n=22) dan sham ATB (n=22). Pasien dengan nyeri miofasial otot upper trapezius TP laten di kedua kelompok akan menerima satu kali terapi ATB menggunakan benang polydioxanone monofilamen merk CARA ukuran 29G x 50 mm atau sham ATB (benang dibuang) pada satu titik pemicu di otot upper trapezius yang akan di follow up pada 3 hari, 1 minggu, 4 minggu, dan 8 minggu setelah terapi. Hasil: Kedua kelompok terdapat perbaikan intensitas nyeri, disabilitas, dan ANT yang bermakna pada 3 hari, 1 minggu, 4 minggu, maupun 8 minggu setelah terapi (p<0,001). Terapi ATB memiliki efektivitas yang lebih baik terhadap perbaikan intensitas nyeri pada 4 minggu (p=0,007) dan 8 minggu setelah terapi (p=0,004), penurunan skor NDI pada 8 minggu setelah terapi (p=0,004), dan peningkatan nilai ANT pada 4 minggu (p=0,04) dan 8 minggu setelah terapi (p=0,002) dibandingkan sham ATB. Kesimpulan: ATB memperbaiki intensitas nyeri, disabilitas, dan ANT pasien nyeri miofasial otot upper trapezius. ......Introduction: Myofascial pain characterized by myofascial trigger point (MTrP) is a common cause of musculoskeletal pain and the main cause of neck and shoulder pain in the working population, especially computer-related office work which is at higher risk due to repetitive movements, static body postures, and long periods in front of the computer, as well as increased use of handheld devices. If myofascial pain treatment fails to be carried out promptly, it can result in dysfunction, disability, and financial loss for the patient. Thread embedding acupuncture (TEA) is a new modality that can provide long-term stimulation to prolong the same therapeutic effect as conventional acupuncture. This study aimed to determine the effect of ATB therapy on pain scores, Neck Disability Index (NDI), and pressure pain threshold (PPT) in upper trapezius muscle myofascial pain. Method: The research design in this study was a double-blind, randomized clinical trial. This study was attended by 44 research subjects divided into TEA group (n=22) and sham TEA group (n=22). Patients with latent MTrP in the upper trapezius muscle in both groups will receive once TEA therapy using CARA brand monofilament polydioxanone thread 29G x 50 mm or TEA sham (thread removed) at one TrP in the upper trapezius muscle which will be followed up on 3 days, 1 week, 4 weeks, and 8 weeks after therapy. Results: Both groups experienced significant improvements in pain intensity, disability, and PPT at 3 days, 1 week, 4 weeks, and 8 weeks after therapy (p<0.001). TEA therapy had better effectiveness in improving pain intensity at 4 weeks (p=0.007) and 8 weeks after therapy (p=0.004), NDI scores at 8 weeks after therapy (p=0.004), and PPT at 4 weeks (p=0.04) and 8 weeks after therapy (p=0.002) compared to sham ATB. Conclusion: TEA improves pain intensity, disability, and PPT for patients with myofascial pain in the upper trapezius muscle.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irman
Abstrak :
Pendahuluan: COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2. Gejala klinis COVID-19 yang paling sering dialami adalah demam dan batuk. Infeksi SARS-CoV-2 ke dalam tubuh pejamu akan menimbulkan respon imun dari pejamu yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan berbagai penanda inflamasi, salah satunya adalah C-Reactive Protein (CRP). Saat ini belum ada terapi spesifik yang efektif untuk mengatasi COVID-19. Akupunktur yang merupakan modalitas terapi non-farmakologi yang telah terbukti dapat memberikan efek anti-inflamasi. Saat ini belum ada penelitian uji klinis akupunktur yang meneliti penanda inflamasi terhadap pasien COVID-19 yang telah dipublikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas akupunktur dalam menurunkan kadar CRP dan memperbaiki gejala batuk yang dialami pasien COVID-19 gejala ringan-sedang. Metode: Sebuah penelitian pilot dengan desain studi uji klinis acak tersamar tunggal. Dua puluh dua pasien COVID-19 terkonfirmasi melalui pemeriksaan RT-PCR yang memiliki gejala ringan-sedang yang sedang dirawat inap di rumah sakit dikelompokan dalam dua kelompok: kelompok perlakuan yang mendapat terapi standar dan intervensi akupunktur manual dan kelompok kontrol yang mendapat terapi standar. Intervensi akupunktir manual dilakukan setiap 2 hari dengan total 6 sesi terapi. Sebelum intervensi dilakukan pengukuran kadar CRP dan penentuan onset batuk dan setelah 6 sesi akupunktur dilakukan dilakukan pengukuran kadar CRP dan penentuan periode lama batuk. Hasil: Terjadi penurunan rerata kadar CRP pada kedua kelompok (p=0,397). Penurunan kadar CRP pada kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Gejala batuk lebih singkat pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p = 0,01). Kesimpulan: Kombinasi akupunktur manual dan terapi standar menurunkan kadar CRP dan penurunannya lebih besar dibandingkan dengan terapi standar. Namun, penurunan kadar CRP tidak bermakna secara statistik. Dan mempersingkat gejala batuk yang dialami pasien COVID-19 gejala ringan-sedang secara bermakna. ......Introduction: COVID-19 is a disease that caused by infection of SARS-CoV-2. The most common clinical symptoms of COVID-19 are fever and cough. SARS-CoV-2 infection into the host's body will cause an immune response which will cause systemic inflammation. This can be seen from the increase in various inflammatory markers, one of which is C-Reactive Protein (CRP). Currently there is no specific therapy that is effective for curing COVID-19. Acupuncture is a non-pharmacological therapeutic modality that has been shown to provide anti-inflammatory effects. Currently, there are no published studies of acupuncture clinical trials examining inflammatory markers in COVID-19 patients. The purpose of this study was to determine how effective acupuncture in reducing CRP levels and improving cough symptoms experienced by COVID-19 with mild-moderate symptoms patients. Methods: A pilot study with an experimental study design single blind randomized clinical trial. Twenty-two COVID-19 patients confirmed by RT-PCR examination who had mild-moderate symptoms who were being hospitalized were divided into two groups: the treatment group who received standard therapy and manual acupuncture intervention and the control group who received standard therapy. Manual acupuncture intervention was performed every 2 days for a total of 6 therapy sessions. Before the intervention, the CRP level was measured and the onset of the cough was determined and after 6 acupuncture sessions, the CRP level was measured and the period of cough was determined. Results: There was a decrease in the mean of CRP levels in both groups (p = 0.397). The decrease in CRP levels in the treatment group was greater than the control group. Cough symptoms were shorter in the treatment group than in the control group and this difference was statistically significant (p = 0.01). Conclusion: The combination of manual acupuncture and standard therapy reduced CRP levels and the decrease was greater than that of standard therapy. However, the reduction in CRP levels was not statistically significant. And shorten the cough symptoms experienced by mild-moderate COVID-19 patients significantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Handoko Triweda
Abstrak :
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten merupakan kondisi hipoksia akibat menurunnya tekanan parsial oksigen dalam darah yang terjadi secara berulang yang dapat dinyatakan sebagai preconditioning hypoxia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hipoksia intermiten dapat menyebabkan adaptasi fisiologis pada berbagai jaringan dan organ tubuh, salah satunya adalah neovaskularisasi. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi otot jantung dengan fokus pada pertambahan jumlah vaskularisasinya yang dilakukan pada ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit dalam interval 7 hari.Metode: Penelitian eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Kelompok pertama dimasukkan ke dalam chamber hipobarik 1 kali saja. Kelompok kedua dimasukkan 2 kali dalam interval 7 hari, kelompok ketiga 3 kali dalam interval 7 hari dan keleompok keempat 4 kali dalam interval yang sama selama lima menit setiap paparan. Sementara kelompok lima tidak dimasukkan ke dalam chamber sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya jantung semua tikus diambil sebagai sampel untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Parameter yang dievaluasi adalah pertambahan jumlah vaskularisasi pada otot jantung.Hasil: Pada perlakuan hipoksia hipobarik akut 1 kali paparan terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah 1,2 kali dari kontrol dengan nilai p yang tidak bermakna 0,476. Selanjutnya peningkatan bermakna terjadi pada paparan 2 kali hingga mencapai maksimal pada paparan 3 kali dengan peningkatan sebasar 2 kali dari kontrol dengan nilai p yang bermakna 0,001 dan tidak mengalami pertambahan lagi setelah paparan 4 kali. Kesimpulan: Terdapat peningkatan jumlah pembuluh darah otot jantung pada hewan coba tikus Wistar yang mengalami hipoksia hipobarik baik akut maupun intermiten pada ketinggian 25.000 kaki di atas permukaan laut. Peningkatan bermakna terjadi mulai dari paparan 2 kali atau lebih dan pertambahan maksimal terjadi pada paparan 3 kali. Kata kunci: Hipoksia hipobarik intermiten; hypobaric chamber; neovaskularisasi ......Background: Intermittent hypobaric hypoxia is a hypoxic condition caused by decreased oxygen partial pressure in blood which occurs repetitively and can be stated as preconditioning hypoxia. Several studies showed that intermittent hypoxia can cause physiological adaptation in various tissues and organs, one of which is neovascularization. This study was conducted to prove the effect of intermittent hypobaric hypoxia on histological changes of cardiac muscles that focused on the increase of vascularization amount which was conducted at 25,000 feet high for 5 minutes in 7 days interval. Methods: In vitro experimental study was conducted on 25 male Wistar rats Rattus norvegicus aged 40-60 days, weighing more than 220 grams that were divided into 5 groups, each group contained 5 rats. First group was placed into hypobaric chamber only once, second group was placed twice with 7 days interval, third group was placed 3 times with 7 days interval, and fourth group was placed 4 times with the same interval for 5 minutes for every exposure. Meanwhile, the fifth group was not placed into the chamber as control group. Afterwards, the hearts of every rats were taken as samples and histological examination was performed under light microscope. The parameter evaluated was increase vascularization of cardiac muscle. Results: There was an increase of blood vessels number on acute hypobaric hypoxia treatment one exposure as many as 1.2 times compared to control with insignificant p value of 0.063. Significant increase occurred on second exposure until it reached maximum on third exposure with 2 times increased compared to control with significant p value of 0.001 and no further increase was observed after 4 times exposure. Conclusion: There was an increase of cardiac muscle blood vessels in Wistar rats animal models that experienced both acute and intermittent hypobaric hypoxia at 25,000 feet above sea level. Significant increase occurred from two or more exposure and maximum increase occurred on third exposure. Keywords: Intermittent hypobaric hypoxia; hypobaric chamber; neovascularization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Kokohana Arisutawan
Abstrak :
Latar belakang: Keadaan hipoksia hipobarik intermiten menyebabkan penurunan tekanan atmosfer sehingga terjadi penurunan tekanan partial oksigen. Salah satu respon fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoksia adalah melakukan angiogenesis. Penelitian ini untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi jumlah pembuluh darah otot rangka. Metode: Penelitian ini adalah eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus), jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Setiap kelompok mendapat perlukan berbeda-beda yaitu dimasukkan ke chamber hipobarik sebanyak 1x, 2x, 3x 4x dan kelompok kontrol. Pajanan 1 kali merupakan pajanan hipoksia akut. Pajanan hipobarik dilakukan selama 5 menit dengan interval tujuh hari. Selanjutnya otot rangka semua tikus diambil sebagai untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Variabel yang dievaluasi adalah jumlah pembuluh darah otot rangka pada masing-masing kelompok coba. Hasil: Keadaan hipoksia dicapai pada setiap kelompok uji. Saturasi dalam setiap ujicoba dibawah 60%. Perubahan perilaku akibat hipoksia di temukan pada semua uji coba. Rerata jumlah pembuluh darah otot rangka kelompok kontrol adalah 45,60 ± 7,96. Jumlah pembuluh darah pada kelompok satu dan dua dibawah kelompok kontrol (38,60 ± 3,44 dan 41,00 ± 6,44). Pada kelompok yang mendapat pajanan 3 dan 4 kali, jumlah pembuluh darah di atas kelompok kontrol (48,00 ± 5,87, dan 46,20 ± 8,29). Pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI terjadi peningkatan dibandingkan hipoksia akut. Pada uji Anova, tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik terhadap perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada semua kelompok. Simpulan: Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI dibandingkan dengan hipoksia akut. Terdapat perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada hewan coba tikus Wistar, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.
Background: Hypoxia hypobaric intermittent condition may cause a decrease of atmospheric pressure that leads to a decrease in partial oxygen pressure. One of the body physiologic response to hypoxia are angiogenesis. This research aims to prove the effect of intermittent hypoxia hypobaric on histological changes of skeletal muscle Methods: This research is an experimental in vivo study on 25 Wistar rats (Rattus norvegicus), male aged 40-60 days, with body weight of 220 grams that is divided into 5 groups, each group has 5 mice. Each of the group got different treatment : once, twice, thrice and four time exposed into hypobaric chamber and control group. Once time exposed is acute hypoxia. Hypobaric exposure were given for 5 minutes with interval of 7 days. Skeletal muscle of the mouse were taken to do histological examination beneath light microscopy Variable that should be evaluated are number of blood vessels in the skeletal muscle in each of the group. Results: Hypoxia condition can be achieved in test group. Saturation in the test group are beneath 60%. Changes in behavior in hypoxic condition can be found in all test group. The average of all skeletal muscle in control groups are 45,60 ± 7,956. The number of skeletal muscle in group 1, 2 are beneath control group (38,60 ± 3,435 dan 41,00 ± 6,442). In the group that has been exposed three or four times, the number are higher compared to control groups (48,00 ± 5,874, dan 46,20 ± 8,289). Skeletal muscle vassels that have HHI occour increase compared to acute hypoxia. In ANOVA test group, we cannot find any statistically significant difference between the number of skeletal muscle between all groups. Conclusion: An increasing in the number of skeletal muscle vessels that are experiencing HHI compared with acute hypoxia. There was a change in the number of skeletal muscle vessels in Wistar rats, but not statistically significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library