Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
G.M. Yudi Prasetia Adhiguna
"Skleroderma adalah penyakit autoimun yang melibatkan jaringan ikat. Salah satu gejala klinis skleroderma adalah Fenomena Raynaud dengan perubahan 3 warna pada kulit. Pemeriksaan marker seperti C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) digunakan untuk memeriksa tingkat inflamasi terkait Fenomena Raynaud.
Tujuan penelitian adalah menelusuri hubungan kemaknaan antara CRP maupun LED dengan Fenomena Raynaud pada pasien skleroderma. Desain penelitian adalah desain potong lintang dan non-probability sampling. Jumlah sampel adalah 73 (30 memiliki Fenomena Raynaud, 43 tidak memiliki Fenomena Raynaud). Analisis data menggunakan uji chi square (diganti menjadi uji Fisher) untuk mengetahui apakah data yang diperoleh bermakna secara statistik dan klinis. Data bermakna secara statistik jika nilai p < α. Data bermakna secara klinis jika nilai besar efek penelitian > besar efek minimal.
Hasil penelitian memperoleh, pasien skleroderma terbanyak adalah 26, 38, dan 47 tahun (masing-masing 6,8%), rentang usia 20-73 tahun, mayoritas wanita (87,7%). Hasil yang diperoleh, tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik maupun klinis antara CRP dengan Fenomena Raynaud, maupun antara LED wanita dengan Fenomena Raynaud. Hubungan antara LED pria dengan Fenomena Raynaud diperoleh tidak bermakna secara statistik, namun dianggap bermakna secara klinis.

Scleroderma is an autoimmune disease that involves connective tissue. One of the clinical symptoms is Raynaud's Phenomenon with 3 colors change on the skin. Marker inflammations, such as C-reactive protein (CRP) and erythrocyte sedimentation rate (ESR) can be used for investigating inflammation level in establishing Raynaud's Phenomenon.
The aim was to investigate whether there was a significant relationship between CRP and ESR level with Raynaud's Phenomenon on scleroderma patients. This research use cross sectional design and non-probability samplingTotal sample used was 73 (30 with Raynaud's Phenomenon, 43 did not have). The test used was chi square (then change into Fisher Test) to determine whether the data obtained were statistically and clinically significant. Data is considered statistically significant if the value of p < α. Data is considered clinically significant if value of research effect size > minimal effect size.
The results showed that most of scleroderma patients were 26, 38, and 47 years old (6,8% respectively) with range 20-73 years old, the majority was women (87,7%). The results obtained were no statistically or clinically significant relationship between CRP and Raynaud's Phenomenon, nor between female's ESR and Raynaud's Phenomenon. The relationship between male's ESR and Raynaud's Phenomenon was not statistically significant, but was considered clinically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Meningkatnya usia harapan hidup berdampak bertambahnya insideris penyakit muskuloskeletal. Diantara berbagai macam penyakit muskuloskeletal yang paling sering dijumpai yaitu osteoartritis (OA), artritis rematoid (RA), osteoporosis dan low back pani. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraselular. Kelainan utama pada osteoartritis adalah hilangnya rawan sendi secara progresif yang disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral. sendi yang paling banyak terkena OA adalah lutut, panggul, lumbal dan servikal.
Insidens dan prevalensi OA bervariasi antar negara dan jumlahnya rneningkat sesuai bertambahnya usia. Menurut data WHO diperkirakan 10% penduduk dunia berusia lebih atau sama 60 tahun menderita OA. Insidens OA pada perempuan lebih tinggi yaitu 2,95 per 1000 populasi dibandingkan laki-laki yaitu 1,71 per 1000 populasi. Faktor gender pada OA diduga berkaitan dengan hormon estrogen.
Patogenesis OA pada awalnya dianggap hanya akibat proses degenerasi, tetapi kelainan yang ditemukan seperti efusi sendi, kekakuan sendi, dan nodes makin menguatkan adanya proses inflamasi. Proses biomekanik pada sendi penumpu berat badan seperti pada OA lutut tidak bisa menjelaskan kejadian OA pada sendi jari tangan yang bukan sendi penumpu barat badan. Berbagai tanda molekular baik serum maupun cairan sendi dapat digunakan untuk mendiagnosis, menilai progresivitas, dan prognosis penyakit OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Seri Mei Maya Ulina
"Latar Belakang: Osteoartritis (OA) lutut merupakan OA simptomatik yang paling banyak diderita dan menimbulkan hendaya. Tujuan tatalaksana penyakit kronis seperti OA lutut adalah tercapainya kualitas hidup terkait kesehatan yang baik. kibat prevalensi OA lutut yang meningkat sejalan dengan usia, maka komorbiditas sangat umum ditemukan pada penderitanya. Komorbiditas diduga sebagai faktor yang mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien OA lutut.
Tujuan: Mengetahui hubungan indeks komorbiditas dengan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien OA lutut simptomatik.
Metode: Desain penelitian adalah studi potong lintang dan dilakukan di Poliklinik Rematologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kualitas hidup terkait kesehatan diukur menggunakan instrumen generik Medical Outcome 36- Items Short Form (SF-36) Health Status Survey yang diisi secara subjektif oleh subjek. Indeks komorbiditas dinilai oleh peneliti menggunakan instrumen Cumulative Illness Rating Scale (CIRS). Analisis hubungan dilakukan dengan uji Chi-square dan alternatifnya, yaitu uji Fisher Exact.
Hasil: Mayoritas subjek penelitan adalah wanita dengan rerata usia 62,62 tahun (SD8,02). Faktor risiko terbanyak OA lutut adalah berat badan lebih atau obes. Rerata IMT subjek adalah 27,54 kg/m2 (SD 4,44). Sebanyak 86,1% subjek memiliki ringkasan komponen fisik kualitas kehidupan terkait kesehatan yang buruk. Sedangkan 72,2% subjek memiliki ringkasan komponen mental kualitas hidup terkait kesehatan baik. Sebanyak 98,7% memiliki >1 komorbid. Tiga sistem komorbiditas terbanyak adalah endokrin- metabolik, vaskuler, serta muskuloskeletal dan integumen. Nilai median indeks komorbiditas CIRS adalah 1,68 (0-2,33) dengan kategori terbanyak adalah indeks komorbiditas sedang. Dalam analisis bivariat, tidak ditemukan hubungan indeks komorbiditas dengan ringkasan komponen fisik kualitas hidup terkait kesehatan (RO= 1,11; IK95%= 0,26-4,75), maupun dengan ringkasan komponen mental kualitas hidup terkait kesehatan (RO=1,21; IK95%= 0,41-3,61).
Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara indeks komorbiditas dengan komponen kualitas hidup terkait kesehatan, baik komponen fisik maupun mental pada pasien OA lutut simptomatik. Kondisi komorbiditas dan kualitas hidup yang homogen pada populasi studi ini mungkin berkontribusi terhadap hal ini.

Background: Knee osteoarthritis (OA) is the most prevalent symptomatic OA among adults and is the leading cause of disability. The ultimate treatment goal in such chronic disease is to achieve a good health related quality of life (HRQoL). Since knee OA prevalence is increasing throughout age, comorbidity become common condition. Comorbidity is presumed as contributing factor unto health related quality of life in knee OA patient.
Objective: To evaluate the relation between comorbidity index and health related quality of life in symptomatic knee OA patient.
Methods: This was a cross-sectional study conducted in Rheumatology Policlinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. HRQol was measured with a selfassesment generic instrument Medical Outcome 36- Items Short Form (SF-36) Health Status Survey. Comorbidity index was measured by researcher with Cumulative Illness Rating Scale (CIRS). Bivariate analysis was performed by using Chi-square test and its alternative Fisher Exact Test.
Results: Most subjects were woman with mean age of 62,62 years (SD8,02). The most prevalent risk factor was overwight or obesity. Mean value for body mass index in this study was 27,54 kg/m2 (SD 4,44). Eighty six percent of subjects were having poor physical component summary (PCS) of HRQoL. Whereas 72,2% of subjects waere having good mental component summary (MCS) of HRQoL. Ninety eight point seven percent subjects were having >1 comorbidity(ies). The three top positive comorbidity system were endocrine- metabolic, vascular, and musculosceletal and integument. The median value of comorbidity index was 1,68 (0-2,33) which is resembled moderate comorbidity index. There was no relation has been found in bivariate analysis between comorbidity index and PCS (OR= 1,11; CI95%= 0,26-4,75), neither with MCS (OR=1,21; CI95%= 0,41-3,61).
Conclusion: There is no relation between comobidity index and HRQoL, both physically and mentally component in symptomatic knee OA patients. The homogenicity of comorbidity condition and HRQoL in subjects may contributed to the result.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Carles
"Pendahuluan. Glukosamin, Kondroitin sulfat dan Methylsufonylmethane (MSM) merupakan suplemen yang sering diberikan pada pasien osteoarhritis (OA) derajat I dan II. Organisasi kedokteran seperti AAOS, OARSI, EULAR memberikan rekomendasi yang berbeda tentang penggunaannya. Studi ini bertujuan untuk menilai efektivitas Glukosamin-Kondroitin sulfat (GK) dan GKM terhadap perbaikan klinis pasien OA sendi lutut.
Bahan dan Cara Kerja. Studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda pada 147 pasien dengan OA lutut derajat Kellgren-Lawrence I atau II. Subjek dipilih dengan metode randomisasi dengan blok permutasi ke tiga kelompok yaitu GK (n=49), GKM (n=50) dan plasebo (n=48). Obat-obatan ini diberikan sekali sehari selama 3 bulan berturut-turut. Skor VAS dan WOMAC dinilai sebelum pemberian suplemen, kemudian minggu ke 4, 8, dan 12.
Hasil. Rata-rata usia pasien adalah 61 tahun, dimana 67,3% pasien adalah perempuan. Bila dibandingkan terhadap Skor WOMAC pada kelompok Plasebo, kelompok GKM menurunkan skor WOMAC secara signifikan (perbedaan rerata 7.15, IK 12.06-2.23, p=0.005). Kelompok GK menurunkan Skor WOMAC secara signifikan (perbedaan rerata 8.17, IK 13.49-2.84, p=0.003). Sementara itu pada penilaian Skor VAS, kelompok GKM menurunkan skor secara signifikan terhadap dua kelompok lain, yaitu terhadap kelompok GK secara signifikan (perbedaan rerata 0.68, IK 1.18-0.19, p=0.007), dan Plasebo (perbedaan rerata 0.86, IK 1.37-0.35, p=0.001).
Simpulan. Kombinasi suplemen GKM lebih efektif dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan fungsi pada pasien OA sendi lutut derajat I dan II dibandingkan dengan GK dan plasebo. Sedangkan suplemen GK secara keseluruhan tidak lebih baik dibandingkan dengan plasebo dalam memberikan perbaikan klinis pada pasien OA sendi lutut derajat Kellgren Lawrence I-II.

Introduction. Glucosamine-Chondroitin sulfate-Methylsufonylmethane (MSM) as combination are the most popular supplements for patients with knee osteoarthritis (OA). There are emerging controversies and also different recomendation from many medical associations such as AAOS, OARSI, and EULAR regarding the effectiveness of these supplements. This current study evaluated the efficacy of Glucosamine-Chondroitin sulfate (GC), Glucosamine-Chondroitin-MSM (GCM), and placebo on clinical improvement of patients with knee OA Kellgren Lawrence gr I-II.
Material and Methods. This study was a double blind, randomized controlled clinical trial on 147 patients with knee OA Kellgren-Lawrence grade I-II. Subjects were allocated by permuted block randomization to three groups, either GC (n=49), or GCM (n=50), or placebo (n=48). VAS and WOMAC score were measured before treatment, then at 4 th, 8 th and 12th week after treatment.
Result. Mean age of patients was 61 years, and 67,3% were woman. As compared with Placebo group, WOMAC score in GCM group was significantly lower (MD 7.15, CI 12.06-2.23, p=0.005), and in GC group WOMAC Score was also lower (mean difference 8.17, CI 13.49-2.84, p=0.003). Whereas VAS score in GCM group was significantly lower compared to that in GC group (MD 0.18, CI 1.18-0.19, p=0.007) and also compared with Placebo group (MD 0.86, CI 1.37-0.35, p=0.001).
Conclusions. Combinations of GCM made a clinical improvement in patients with knee OA Kellgren Lawrence gr I-II compared with GC and Placebo. GC did not make clinical improvement in overall groups of patients with knee OA Kellgren Lawrence gr I-II.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilfi Radifan Pandia
"Latar belakang - Skleroderma merupakan kelainan jaringan ikat yang ditandai dengan keterlibatan multisistem organ, bersifat kronik dan progresif, dan memiliki tingkat mortalitas serta disabilitas yang tinggi. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien skleroderma.
Tujuan - Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara laju endap darah dan kadar protein reaktif C dengan kejadian hipertensi pulmonal pada pasien skleroderma.
Metode - Desain studi pada penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari 115 pasien skleroderma di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Hasil - Dari 115 pasien, hanya 46 subjek yang memenuhi syarat. Hipertensi pulmonal terdeteksi pada 4 pasien berdasarkan hasil ekokardiografi. Tidak ada perbedaan rerata laju endap darah yang bermakna antara kelompok yang mengalami hipertensi pulmonal dengan yang tidak (p = 0,154; perbedaan rerata = 22,58; IK95%:  -8,80 – 53,97). Rerata kadar protein reaktif C juga tidak berbeda bermakna antara kelompok hipertensi pulmonal dengan yang tidak (p = 0,748; perbedaan rerata 0,80; IK95%: 0,19 – 3,29).
Simpulan - Dari penelitian ini, tidak ada hubungan antara laju endap darah dan kadar Protein reaktif C terhadap kejadian hipertensi pulmonal pada pasien skleroderma. Walaupun demikian, laju endap darah dan kadar protein reaktif C cenderung lebih tinggi pada kelompok yang tidak mengalami hipertensi pulmonal.

Background - Scleroderma is connective tissue disease characterized by multisystem organ involvement, chronic and progressive course, and high mortality and disability rate.
Objectives - This study aimed to determine the association between erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein level to the occurrence of pulmonary hypertension in scleroderma patients.
Methods - This study design was cross-sectional. One-hundred-and-fifteen medical records of scleroderma patient in Cipto Mangunkusumo National Hospital were reviewed.
Results - From 115 patients, only 46 subject eligible in this study. Pulmonary hypertension was detected in 4 patients by echocardiography. There was no significant erythrocyte sedimentation rate mean  difference between the group with pulmonary hypertension and those without (p = 0,154; mean difference = 22,58; CI95%:  -8,80 – 53,97). Mean C-reactive protein level was not significantly different between those with pulmonary hypertension and those without (p = 0,748; mean difference = 0,80; CI95%: 0,19 – 3,29).
Conclusions - From this study, there was no significant association between erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein level to the occurrence of pulmonary hypertension in scleroderma patients. Nevertheless, erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein tend to be higher in those without pulmonary hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdillah Yasir Wicaksono
"ABSTRACT
Skleroderma (sklerosis sistemik) merupakan penyakit autoimun dengan ciri fibrosis kulit dan organ viseral. Skleroderma menurunkan kualitas hidup penderitanya dan menyebabkan kematian, yang dapat diakibatkan oleh penyakit paru interstisial (ILD) sebagai manifestasi fibrotik pada skleroderma. Pemantauan ILD pada skleroderma memerlukan penilaian penanda inflamasi, termasuk di antaranya adalah laju endap darah (LED) dan kadar protein c-reaktif (CRP) darah, serta penilaian fungsi paru dengan menilai kapasitas vital paksa (KVP). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara LED dan CRP dengan KVP pada pasien skleroderma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian potong lintang dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medis pasien tahun 2013-2015. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara LED dengan KVP (r=0,209; p=0,287) dan CRP dengan KVP (r=0,261; p=0,241).
ABSTRACT
Scleroderma (systemic sclerosis) is an autoimmune disease characterized by the fibrosis of skin and visceral organs. Scleroderma affects the quality of life and cause mortality, which may be caused by interstitial lung disease (ILD) as the fibrotic manifestation of scleroderma. Monitoring of ILD in scleroderma requires the evaluation of markers of inflammation, including erythrocyte sedimentation rate (ESR) and CRP level, and also evaluation of lung function by measuring forced vital capacity (FVC). The objective of this study is to determine the correlation of ESR and CRP to FVC in scleroderma patients of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. A cross-sectional study was done by gathering data from medical records of patients from year 2013-2015. The study showed that there is no significant correlation between ESR and FVC (r=0,209; p=0,287 and between CRP and FVC (r=0,261; p=0,241)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Fitriani
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejadian aterosklerosis, dilaporkan lebih sering pada pasien lupus eritematosus sitemik (LES) dibandingkan individu tanpa LES, salah satunya adalah penyakit arteri perifer (PAP). Klorokuin diduga memiliki efek protektif terhadap kejadian PAP melalui penekanan kadar sitokin proinflamasi dan efek menurunkan kadar kolesterol, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa klorokuin meningkatkan kadar sitokin proinflamasi. Hingga saat ini, penelitian mengenai pengaruh klorokuin belum pernah dilakukan pada populasi pasien LES di Indonesia.
Tujuan Penelitian. Mengetahui pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah.
Metode Penelitian. Studi kasus kontrol dilakukan terhadap pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah di RS Cipto Mangunkusumo selama Juni-Agustus 2012 yang tidak menderita diabetes melitus ataupun hipertensi sebelum diagnosis LES ditegakkan. Pasien dengan penyakit autoimun selain LES dan gagal ginjal kronik dieksklusi dari penelitian. Pengaruh klorokuin terhadap PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR). Peran variabel perancu dinilai pada analisis regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan adjusted OR.
Hasil Penelitian. Dari 18 subjek yang menderita PAP (kelompok kasus), sebanyak 8 (44,4 %) menggunakan klorokuin dan dari 72 subjek yang tidak menderita PAP (kelompok kontrol), 20 (27,8 %) di antaranya menggunakan klorokuin. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu (usia, lama menderita sakit, dislipidemia, dan aktivitas penyakit), tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara penggunaaan klorokuin dengan kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia di bawah 40 tahun (adjusted OR 2,44; IK95 % 0,76 sampai 7,87).
Simpulan. Pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah belum dapat disimpulkan pada penelitian ini.

ABSTRACT
Background. Atherosclerosis is enhanced in systemic lupus erythematosus (SLE) compared to general population, one of which is peripheral arterial disease (PAD). Chloroquine has protective effects in peripheral arterial disease through the suppression of proinflamatory cytokine levels and lipid lowering effect, although other studies have shown the increasing of cytokine levels by chloroquine. To date, no studies have ever been performed to investigate the effect of chloroquine on peripheral arterial disease in Indonesian lupus patients.
Aims. To investigate the effects of chloroquine on peripheral arterial disease in patients with systemic lupus erythematosus aged forty-year-old and below.
Methods. A case control study including female lupus patients aged forty year-old and younger in Cipto Mangunkusumo Hospital between June-August 2012, who do not suffer from diabetes mellitus and/or hypertension before the diagnosis of lupus is confirmed. Patients with other autoimmune disease than lupus and/or with chronic kidney disease were excluded from the study. Effect of chloroquine on peripheral arterial disease in lupus patients is expressed in odds ratio (OR). The role of confounding factors analyzed with multiple logistic regression to estimate the adjusted OR.
Results. Eight (44.4 %) of the total 18 subjects contracting PAD (case group) and 20 (27.8 %) of the total 72 subjects without PAD (control group) were using chloroquine. After adjustments towards confounding factors (age, disease duration, dyslipidemia, and disease activity) were completed, the results showed there was no considerable relation between the use of chloroquine and PAD case in female SLE patients aged below forty-year-old (adjusted OR 2.44; 95 % CI 0.76 to 7.87).
Conclusion. The effect of chloroquine usage on PAD case in female SLE patients aged forty-year-old and below can not be concluded from this study."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjiang, Margaret Merlyn
"ABSTRAK
Latar belakang. Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan komplikasi lanjut yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pasien lupus eritematosus sistemik (LES) namun diluar negeri belum banyak penelitian yang mempelajari hubungan lama sakit dengan kejadian PAP pada pasien LES dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan. Mengetahui peningkatan kejadian penyakit arteri perifer pada pasien LES wanita dewasa muda dengan lama sakit 5 tahun atau lebih dibandingkan kurang dari 5 tahun. Metode. Studi kasus kontrol yang dilakukan selama periode Juni-Agustus 2012 di RSUPN Cipto-Mangunkusumo, Jakarta. Subjek penelitian adalah pasien LES wanita berusia 40 tahun atau kurang yang mengunjungi poliklinik rematologi dan alergi-imunologi. Subjek dibagi dalam dua kelompok, kasus dan kontrol kemudian dilakukan penelusuran secara retrospektif melalui wawancara dan data rekam medis. Hubungan lama sakit dan kejadian PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR) dan peran variabel perancu di analisis dengan regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan fully adjusted OR. Hasil. Sebanyak 90 subjek direkrut, 18 subjek termasuk dalam kelompok kasus dan 72 subjek dalam kelompok kontrol. Karakteristik faktor risiko tradisional tidak jauh berbeda diantara dua kelompok. Pada analisis multivariat didapatkan fully adjusted OR hubungan lama sakit 5 tahun atau lebih dengan kejadian PAP 1,9 (IK 95% 0,575-6,543). Peningkatan usia dan lama mendapatkan terapi steroid merupakan faktor perancu. Simpulan. Terdapat peningkatan kejadian penyakit arteri perifer pada pasien LES wanita yang berusia 40 tahun atau kurang dengan lama sakit lima tahun atau lebih dibandingkan lama sakit kurang dari lima tahun, namun peningkatan risiko ini tidak bermakna secara statistik.

ABSTRACT
Background. Peripheral arterial disease is a chronic complication that affect morbidity and mortality in SLE patient, however researches studying the relationship of disease duration and peripheral arterial disease event is only a few in overseas and never been studied in Indonesia. Objectives. To obtain information about the increased event of peripheral arterial disease on young woman with SLE with disease duration five years or longer compared with less than five years. Methods. This was a case control study conducted between June-August 2012 at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta. Subject were SLE women aged 40 years or younger who visited Rheumatolgy and Allergy-Immunlogy outpatients clinics. Subjects were assigned to case and control group and were trace retrospectively by interview and medical record. The relationship between disease duration and peripheral arterial disease was stated using OR and the role of confouding factors was analyse using logistic regression one by one, result in fully adjusted OR. Results. A total of 90 subjects were recruited, 18 subjects in case group and 72 subjects in control group. Traditional risk factor were similiar in both group. In multivariat analysis, there is a relation between disease duration 5 years or longer with peripheral arterial disease with fully adjusted OR 1,9 (95%CI 0,575-6,543). Older age and steroid therapy is the confounding factors. Conclusion. There is an increase event of peripheral arterial disease in SLE woman aged 40 or younger with disease duration five years or longer compared with less than five years, but this increasing was not statistically significant. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia
"Latar Belakang: Proktitis radiasi merupakan komplikasi yang sering dijumpai akibat terapi radiasi pada pasien keganasan pelvis. Berbeda dengan proktitis radiasi akut yang umumnya self-limiting, proktitis radiasi kronik (PRK) dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan meningkatnya biaya kesehatan, morbiditas, dan bahkan mortalitas pasien.
Tujuan: Mengevaluasi insidens dan faktor-faktor risiko terjadinya PRK pada pasien kanker leher rahim (KLR) yang mendapatkan terapi radiasi.
Metode: Dilakukan analisis retrospektif pada pasien-pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi di Departemen Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama kurun waktu 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010. Data mengenai pasien, faktor yang berhubungan dengan terapi radiasi, dan PRK akibat komplikasi lanjut dari terapi radiasi dikumpulkan dari catatan medik pasien.
Hasil: Selama periode tersebut, terdapat 234 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Dengan median follow-up selama 30 bulan, didapatkan 12 pasien [5,1% (IK 95% 2,28-7,92%)] mengalami PRK (6 proktitis, 6 proktosigmoiditis). PRK terjadi pada 7-29 bulan setelah terapi radiasi selesai (median 14,5 bulan) dan 87% dari seluruh PRK terjadi dalam 24 bulan pertama setelah terapi radiasi. Dengan analisis multivariat Cox regresi, didapatkan hubungan bermakna antara dosis total radiasi yang diterima rektum >65 Gy (HR 7,96; IK 95% 2,30-27,50; p=0,001) dan usia ≥60 tahun (HR 5,42; IK 95% 1,65-17,86; p=0,005) dengan terjadinya PRK. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara teknik radiasi 2 dimensional external radiation therapy (2D-XRT) (HR 1,36; IK 95% 0,41-4,51; p=0,616), riwayat histerektomi (HR 1,14; IK 95% 0,34-3,79; p=0,83), dan indeks massa tubuh (IMT) <18,5 kg/m2 (HR 2,34; IK 95% 0,51-10,70; p=0,265) dengan terjadinya PRK.
Simpulan: Insidens kumulatif PRK selama 3 tahun pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi adalah 5,1% (IK 95% 2,28-7,92%). Dosis total radiasi yang diterima rektum >65 Gy dan usia ≥60 tahun merupakan faktor risiko potensial terjadinya PRK pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi. Teknik radiasi 2D-XRT, riwayat histerektomi, dan IMT <18,5 kg/m2 belum dapat dibuktikan sebagai faktor risiko terjadinya PRK pada pasien KLR yang mendapatkan terapi radiasi.

Background: Radiation proctitis is frequently occured as a complication of radiotherapy for pelvic malignancies. Unlike acute radiation proctitis that is usually self-limiting, chronic radiation proctitis (CRP) can impact on quality of life and increase health cost, morbidity, and even mortality of the patients.
Aims: To evaluate the incidence and risk factors of CRP after radiotherapy in patients with cervical cancer (CC).
Methods: A detailed retrospective analysis was performed on CC patients who had radiotherapy at the Department of Radiotherapy Faculty of Medicine, The University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from 1st January to 31st December 2010. Data on patient, treatment-related factors, as well as CRP as late complication of radiotherapy were collected from patients’ medical records.
Results: During that period of time, 234 patients met the criteria for this study. With a median follow-up of 30 months, 12 patients [5,1% (CI 95% 2,28-7,92%)] developed CRP (6 proctitis, 6 proctosigmoiditis). CRP occured 7-29 months after completion of radiotherapy (median 14,5 months) and 87% of all CRP occured within 24 months after radiotherapy. Multivariate Cox regression analysis demonstrated significant association between the total rectal-received dose >65 Gy (HR 7,96; CI 95% 2,30-27,50; p=0,001) and age ≥60 years (HR 5,42; CI 95% 1,65-17,86; p=0,005) and the occurrence of CRP. There was no significant association between 2 dimensional external radiation therapy (2D-XRT) technique (HR 1,36; CI 95% 0,41-4,51; p=0,616), history of hysterectomy (HR 1,14; CI 95% 0,34-3,79; p=0,83), and body mass index (BMI) <18,5 kg/m2 (HR 2,34; CI 95% 0,51-10,70; p=0,265) and the occurrence of CRP.
Conclusions: The 3 years cumulative incidence of CRP after radiotherapy in patients with CC is 5,1% (CI 95% 2,28-7,92%). The total rectal-received dose >65 Gy and age ≥60 years are the potential risk factors of CRP after radiotherapy in CC patients. The 2D-XRT technique, history of hysterectomy, and BMI <18,5 kg/m2 have not been proven as the risk factors of CRP after radiotherapy in CC patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>