Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanny Harjulianti
Abstrak :
Latar belakang: Para tenaga kerja yang terpajan debu kaca mempunyai risiko menderita gangguan fungsi paru restriktif. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang mempertinggi maupun yang memperkecil risiko gangguan fungsi paru restriktif yang terjadi di PT M. Metode: Penelitian dilakukan di PT M Cikarang terhadap 412 tenaga kerjanya yang datang pada 3 minggu pertama (10 April-28 April 2000) melakukan tes tahunan spirometri. Alat yang digunakan adalah spirometer Autospiro AS-505 merk Minato buatan Jepang. Karakteristik subyek yang diteliti adalah umur, bagian, lama kerja, riwayat penyakit, riwayat merokok, riwayat olah raga dan riwayat pajanan zat yang terdapat di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Hasil: Proporsi restriktif terbesar terdapat pada subyek yang bekerja di bagian cutting line (86,8%). Relatif terhadap subyek yang mempunyai indeks massa tubuh (EMT) yang normal, subyek yang mempunyai IMT kekurangan berat badan (BB) tingkat berat dan kekurangan BB tingkat ringan mempunyai risiko menderita gangguan fungsi paru restriktif masing-masing sebanyak 11,1 kali dan 2,2 kali lipat lebih besar (Rasio odds suaian 11,9; 95% CI: 3,12-45,70 dan rasio odds suaian 2,3; 95% CI: 1,16-4,86). Pada subyek dengan riwayat pajanan insektisida 1,7 kali lipat lebih besar (rasio odds suaian 1,7; 95% CI: 0,99-2,91; P- 0,050).Disamping itu subyek yang berpendidikan sekolah dasar dibandingkan subyek yang berpendidikan perguruan tinggi (PT) mempunyai risiko 8,3 kali lipat lebih besar namun tidak signifikan secara statistik. Kesimpulan: Subyek di bagian cutting line, yang berpendidikan sekolah dasar, yang masih batuk, mempunyai IMT kurang dan subyek dengan riwayat pajanan insektisida perlu mendapat perhatian khusus. ......Background: Workers who are highly exposed to glass dust in glass manufacturing company experienced high risk of suffering restrictive lung disorders. On that basis this study is conducted to identify risk factors that increase or decrease restrictive lung disorders occurrence. Methods: This study was performed at PT M on 412 employees who arrived in the first three weeks to undergo spirometry test. Equipment to run the test was Minato Autospiro AS-505 made in Japan. This research was designed based on employee?s criteria such as age, labor division, duration of work, experience of previous sickness, smoking and sport habits, chemical contaminated experience inside and outside the working environment. Results: The biggest proportion of restrictive lung disorders was among subjects working in the cutting line division (86,8%). Subjects who had body mass index (BMI) categorized as light and heavy grade of abnormality, had increased risk of 11, 1 and 2, 2 times than normal BMI subjects. Otherwise subjects who had primary school education facing restrictive lung disorders of 8, 3 times greater than those who had university education. Subjects exposed to insecticide had 1, 7 times increased risk of restrictive lung disorders. Conclusion: Subjects in cutting line division with primary school education, coughing and having BMI abnormality and who had insecticide exposure experience required to have serious attention in order to minimize the risk of restrictive lung disorders.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar Sukmawati
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Di Indonesia faktor yang mempengaruhi terkendalinya gejala putus opiat belum diketahui. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut dapat dipakai untuk prognostik terkendalinya gejala putus opiat, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian hal tersebut. METODE: Penelitian kohor historikal pasien ketergantungan opiat yang dirawat inap di RS Ketergantungan Obat 1 Januari 2000-31 Desmber 2001. Semua pasien wanita (60 orang) yang memenuhi kriteria inklusi diambil, dan pasien laki-laki diambil 130 secara sistematik dari 914 pasien laki-laki yang masuk kriteria inklusi. Analisis data dengan survival analysis menggunakan cox proportional hazard untuk mencari perhitungan pengendalian gejala putus opiat. HASIL: Waktu yang diperlukan untuk terkendalinya gejala putus opiat antara 3 - 16 hari dengan rata-rata 9 hari. Umur terbanyak 21-30 tahun dengan rata-rata 23 tahun. Umur termuda pertama kali menyalahgunakan opiat adalah 12 tahun, lama penyalahgunaan antara 6 bulan sampai 15 tahun, cara pakai sebagian besar (88,4%) menggunakan jarum suntik. Kebanyakan adalah pengangguran (54,2%). Faktor pemberian terapi tidak bermakna secara statistik dalam pengendalian gejala putus opiat. Gender laki-laki lebih mudah terkendali 1,71 kali dibanding gender perempuan (CI 95% 1,17; 2,49; p O,006). KESIMPULAN: Perempuan lebih susah dikendalikan gejala putus opiatnya, oleh karena itu memerlukan perhatian lebih banyak dibandingkan gender laki-laki.
Gender and Risk That Can Handle Opiate Withdrawal Syndrome for Opiate DependencyBACKGROUND: Factors can influence opiate withdrawal syndrome in Indonesia there is no detail data. With the most important factor, could be better to manage them especially when they are being hospitalized. METHODS: Cohort historical study about opiate dependence patients who are being hospitalized in Drug Dependence Hospital Jakarta from January 1st 2000 to December 31st 2001. All the women include in criteria as a sample (60 patients), and 130 male patients as a sample with systematic sampling from 914 patients can include in criteria. Data analysis with the survival analysis, using cox proportional hazard to find number of controlled opiate withdrawal syndrome. RESULTS: The opiate withdrawal syndrome can be controlled in 3 - 16 days and 9 days in average. The range of age is 2151 to 30 years old and 23 years old in average. The youngest age using opiate is 12 years old. The length of abuse is between 6 month to 15 years, using needle is 88,4 %, mostly is jobless (54,2%). Treatment factor is not significant statistically. Men is easier to control, it's about 1,71 times than women (CI 95 % 1,71;2,49, p = 0,006) CONCLUSIONS: Women need more attention to get at the best results opiate withdrawal syndrome.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Winarti
Abstrak :
Latar belakang. Gedung-gedung perkantoran bertingkat umumnya dilengkapi dengan sistim sirkulasi udara/pendingin secara buatan (air conditioning/AC) untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman. Penurunan kualitas udara di dalam gedung, akan menimbulkan gejala-gejala Sindrom Gedung Sakit (SGS). Nyeri kepala SGS (NK SGS) adalah salah satu dari gejala-gejala SGS. Oleh karena itu perlu dikaji mengapa masih terdapat faktor-faktor risiko terhadap timbulnya NK SGS. Metode. Desain penelitian adalah studi kasus kontrol yang dilakukan di perkantoran PT "D" di Jakarta. Kasus adalah subjek dengan NK SGS, dan kontrol adalah subjek tanpa keluhan NK SGS. Kasus dan kontrol diidentifikasi melalui survei terhadap saluruh pekerja PT "D" pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2002. Hasil. Subjek penelitian berjumlah 240 orang, dan yang menderita NK SGS sebanyak 36 orang (prevalensi NK SGS sebesar 15%). Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya NK SGS adalah kecepatan gerakan udara, gender, dan kebiasaan kadang-kadang sarapan. Bila dibandingkan dengan kecepatan gerakan udara yang normal, maka kecepatan gerakan udara yang cepat memperkecil risiko timbulnya NK SGS sebesar 0,43 kali (OR suaian = 0,43; 95% CI: 0,19-0,95). Bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki, pekerja perempuan mempunyai risiko NK SGS hampir 3 kali lipat lebih besar (OR suaian = 2,96; 95% CI: 1,29-6,75). Pekerja dengan kebiasaan kadang-kadang sarapan, mempunyai risiko terkena NK SGS lebih kecil dibandingkan dengan yang biasa sarapan (OR suaian = 0,27; 95%C1: 0,10-0,96). Faktor suhu, kelembaban dan kebiasaan merokok, tidak terbukti berkaitan dengan NK SGS. Kesimpulan. Kecepatan gerakan udara yang lambat dan gender perempuan memperbesar risiko NK SGS. Oleh karena itu perlu menambah kecepatan gerakan udara untuk mengurangi risiko timbulnya NK SGS, mengganti/memperbaiki sistim ventilasi/AC-sentral, memasang inhaust/exhaust fan, dan atau kipas angin langit-langit, terutama terhadap tempat kerja perempuan.
Influence of Air Movement, Gender, and Breakfast Habit toward the Risk of Sick Building Syndrome Headache among PT "D" Employees in JakartaBackground. High-rise office buildings are usually equipped with ventilation system/air conditioning to create a comfortable working environment, yet there is still incidence of Sick Building Syndrome (SBS) headache. The decrease of air quality inside the building will cause the symptoms of SBS. One of the SBS symptoms is SBS headache. Therefore, it is needed to identify risk factors of the SBS headache. Method. The research design was a case control study at PT "D" office building in Jakarta. The case was subject who had symptom of SBS headache, and control was subject without SBS headache symptom. Case and control were identified through a survey toward all of PT "D" employees during May to August 2002. Results. Subjects of this survey were 240 employees, and 36 of them have suffered from SBS headache (prevalence of SBS headache is 15%). The risk factors that affected the occurrence of SBS headache were air movement, gender, and breakfast habit. More fast air movement compared to the normal one decreased the risk of SBS headache for about 0.43 times (adjusted OR = 0.43; 95% CI: 0.19-0.95). Female employees compared to the males, have higher risk of getting SBS headache for almost 3 times (adjusted OR = 2.96; 95% CI: 1.29-6.75). Those employees who had breakfast irregularly, had a lower risk to SBS headache compared to those who had breakfast regularly (adjusted OR=0.31; 95%Cl: 0.09-0.84). The other factors such as temperature, humidity and smoking habit, are not proven to have correlation to SBS headache. Conclusion. Slower air movement and female gender have proven increased the risk of SBS headache. Therefore it is recommended to increase the air movement to reduce the risk of SBS headache incidence, fixing the ventilation system centralized air-conditioning such as installing inhaust/exhaust fan and or ceiling in particular for women workplace.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T9757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gathmyr
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Terbang dengan menggunakan pesawat yang memiliki kecepatan tinggi melebihi kecepatan suara (high performance air craft), yang mampu menghasilkan akselerasi +5Gz sampai +9Gz bahkan lebih terutama pada saat melakukan manuver, merupakan suatu tantangan tersendiri yang membutuhkan kepaiawaian dan sikap profesional. Banyak faktor yang mempengaruhi relaxed +Gz force tolerance seperti mean arterial pressure, hasil puncak ekspirasi dan posisi tubuh. METODE: Desain penelitian adalah studi korelasi, yang dilakukan di Lakespra Saryanto Jakarta. Dengan menggunakan populasi semua bakal calon penerbang TNI AU dan subyek dipilih secara random sederhana, semua yang memenuhi kriteria inklusi diambil. Sampel yang diambil sebanyak 31 orang, data yang dikumpulkan berasal dari kuesioner, pencatatan human centrifuge. Hasil penelitian kemudian dilakukan uji statistik berupa analisis regresi inner untnk melihat pengaruh arus puncak ekspirasi terhadap relaxed+Gz force tolerance serta faktor faal yang berpengaruh. HASIL: Rata-rata relaxed +G, -force tolerance 7,51 ± 0,71 G, selanjutnya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap relaxed +Gr force tolerance antara lain arus puncak ekspirasi: koefisien regresi sebesar -0,358 dan kemaknaan p = 0,073; mean arterial pressure: koefisien regresi sebesar 0,047 dan kemaknaan p = 0,065, serta forced expiratory in 1 second: koefisien regresi sebesar 1,246 dan kemaknaan p = 0,012) dan yang paling dominan adalah-forced expiratory in l second. KESIMPULAN: Relaxed ±Gz force tolerance dipengaruhi oleh arus puncak ekspirasi. Di samping itu relaxed G tolerance berkaitan pula dengan mean arterial pressure dan FEV1.
The Influence of Peak Expiratory Flow Rate to Relaxed +Gz Force Tolerance at Human Centrifuge Training in Pilot Candidates of Indonesian Air Force 2002BACK GROUND: Flying high performance fighter aircraft is a challenging and demanding profession which regularly imposes significant acceleration force on pilot, particularly during air combat maneuvering, in which +Gz level of +5 to ±9 G or more are frequently experienced. Relaxed +Gz force tolerance is influenced by mean arterial pressure, peak expiratory flow rate and body position. METHODS: Correlation study design was chosen for this research in Lakespra Saryanto. Simple random sampling is used to choose the subject from all pilot candidates in the population. Thirty one subjects were selected consecutively according to inclusion criteria. Data collected from questionnaire, human centrifuge records. The results were analyzed by linear regression analysis to evaluate the influence of peak expiratory flow rate and relaxed +Gz tolerance, and other physiological factors which might influence the relaxed +Gz tolerance. RESULTS: The mean value of relaxed +Crz tolerance was 7,51 ± 0,71G. Several factors that influence of relaxed +Gz tolerance was peak expiratory rate (regression coefficient - 0,358, p = 0,073); mean arterial pressure (regression coefficient =0,047, p = 0,065); forced expiratory volume in 1 second (regression coefficient 1,246, p = 0,012). The most dominant was forced expiratory volume in 1 second. CONCLUSIONS: Relaxed +Gz force tolerance was influenced by peak expiratory flow rate, forced expiratory volume in 1 second and mean arterial pressure.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T11435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Priadarsini
Abstrak :
Latar belakang: Pada ban berjalan terdapat gerakan tangan berulang dorso-antelaterofleksi. Gerakan berulang akan menimbulkan gejala tenosinovitis pergelangan tangan. Oleh karena, itu perlu diidentifikasi dari faktor-faktor risiko terhadap tenosinovitis. Metode: Desain penelitian adalah studi kasus-kontrol. Kasus adalah subyek dengan gejala tenosinovitis antara lain nyeri pergelangan dan tes Finkelstein positif, dan kontrol adalah subyek tanpa gejala tenosinovitis. Suyek adalah semua karyawan bagian produksi PT M di Cikarang. Penelitian dilakukan bulan Februari- Maret 2003. Hasil: Subyek penelitian terdiri dari 329 orang pekerja dan ditemukan 89 orang menderita tenosinovitis. Faktor risiko yang mempengaruhi tenosinovitis adalah gerakan berulang, lama kerja dan riwayat pekerjaan. Bila dibandingkan dengan yang tidak melakukan gerakan berulang maka gerakan berulang meningkatkan risiko tenosinovitis 3 kali lipat ( Odds ratio (OR) suaian-3,15; 95% Confiden interval (CI)-1,60-6,17). Bila dibandingkan dengan masa kerja kurang dart 3 tahun, masa kerja lebih dart 3 tahun meningkatkan risiko tenosinovitis 2,3 kali lipat (OR suaian=2,31; 95% CI=1,29-4,l2). Bila dibandingkan dengan pekerja yang belum pernah bekerja, yang pernah bekerja di bagian asembling meningkatkan risiko tenosinovitis 2 kali lipat (OR suaian=2,04; 95% CIM1,13-3,69). Sedangkan indeks masa tubuh, jabatan, jenis pekerjaan, posisi tangan, jenis gerakan Langan tidak terbukti mempengaruhi tenosinovitis. Kesimpulan: Gerakan berulang, masa kerja dan riwayat pekerjaan meningkatkan risiko tenosinovitis. Untuk menurunkan risiko tenosinovitis perlu melakukan rotasi kerja sebelum masa kerja melebihi 3 tahun dan tidak menempatkan pekerja di bagian gerakan berulang bagi yang penah bekerja di bagian asembling. Repetitive Dorso-Ante-Lateroflexal Hand Movement, Period Of Work, And History Of Work Toward Risk Of The Wrist Tenosynovitis Among Women Employees In Video Cassette Factory At PT M in Cikarang Background: Repetitive dorso-ante-lateroflexal wrist movement usually occurred at assembly line jobs. It may cause symptoms of wrist tenosynovitis Therefore; it is needed to identify the risk factors related to wrist tenosynovitis. Method: The research design was a case-control study. The case those who had symptoms of tenosynovitis (pain of wrist and Finkelstein 's test positive), and control was subject without tenosynovitis symptom. Case and control were identified through a survey toward all of PT M in Cikarang employees during February to March 2003. Result: There were 329 employees and 89 of them suffered from wrist tenosynovitis. The risk factors that related to the occurrence of tenosynovitis were repetitive movement, period of work more than 2 years, and history of in assembly line. Compared with those who did not have repetitive movement, those with repetitive movement had an increased risk of tenosynovitis for 3 times (adjusted odds ratio (OR) =3.15; 95% Confident Interval (Cl) =1.60-6.17). Compared with those who had working period less than 3 years, they were who worked, for more than 3 years had higher risk of tenosynovitis for 2.3 times (adjusted OR=2.31; 95% CI=1.29-4.12). Compared with those who had never worked before, those with ever-worked in assembly line had an increased risk of tenosynovitis for 2 limes (adjusted OR=2.04; 95% C1=1.13-3.69). The other factors such as body mass index, types of work, profession, position of hand, types of movement, and rested of hand were not proven to be correlated with tenosynovitis. Conclusion: Repetitive movement, period of work, history of working at assembly line an increased the risk of tenosynovitis. Therefore, it is recommended to arrange jobs among workers by rotating them after 3 years working and not to replace workers with history assembly jobs for jobs with repetitive hand movement.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2003
T11286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Samara
Abstrak :
Latar belakang : Nyeri pinggang bawah (NPB) karena gangguan muskulo-skletal akibat kerja paling sering ditemukan. Faktor-faktor risiko yang dapat berkaitan dengan NPB antara lain lama duduk statis, relaksasi, indeks masa tubuh, dan factor-faktor lain. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor risiko yang turut berperan menimbulkan NPB. Metode : Desain penelitian adalah studi kasus-kontrol di pabrik percetakan pembuatan pita kaset video VHS PT M Cikarang. Kasus adalah subyek yang pernah atau sedang menderita NPB intermitten karena bekerja 3 bulan terakhir, nyeri tekan lokal, dan tes Laseque negatif. Kontrol adalah subyek yang tidak NPB sesuai dengan kriteria kasus. Kasus dan kontrol diidentifikasi melalui survei terhadap seluruh karyawan bagian produksi PT M pada bulan Februari-Maret 2003. Hasil : Subyek penelitian berjumlah 298 orang, yang menderita NPB 82 orang. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya NPB adalah lama duduk statis, relaksasi, dan indeks masa tubuh. Bila dibandingkan dengan lama duduk statis 5-90 menit, maka lama duduk statis 91-300 menit berisiko NPB 2,35 kali lipat lebih besar {OR suaian (OR)=2,35; 95% Confidence Interval (CI)=1.35-4,11). Subyek yang tidak berkesempatan merelakskan badan selama kerja (OR=2,39; 95% CI=1,00-5,70) dan indeks masa tubuh kurus (OR=2,20, 95% CI=1,21-4,00) terbukti meningkatkan risiko NPB. Faktor umur, paritas, olahraga, pekerjaan, dan sikap duduk tidak terbukti berkaitan dengan NPB. Kesimpulan : Lama duduk statis 91-300 menit, tidak relaksasi selama bekerja, dan indeks masa tubuh kurus terbukti memperbesar risiko NPB. Oleh karena itu perlu ada waktu relaksasi, pengurangan lama duduk, dan meningkatkan berat badan ke arah normal.
Back ground : Low back pain (LBP) being caused by muscle-skeletal disorder is the most events in workers. Risk factors which contribute to LBP are such as long static silting, relaxation, body mass index, and other factors. Therefore it is needed to identify risk factors of low back pain. Methods : The research design was a case-control study at video cassette VHS PT M Cikarang. The case was subject who had story of intermittent LBP by working in last 3 months with local pain, and Laseque test negative. Control was subject without LBP as criteria as the case. Case and control were identified through as survey toward all production employees at PT M Cikarang during February to March 2003. Results : Subjects of this survey were 298 employees, 82 of them had LBP. The risk factors being related with LBP were static sitting, relaxation, and body mass index. Static sitting 5-90 minutes compared to 91-300 minutes, had higher risk of getting LBP for 2.35 times (Adjusted Odds Ratio (OR)=2.35; 95% Confidence Interval (CI)= 1.35-4.1). Those employees who had no relaxation while working (OR-2.39, 95% CI=1.00-5.70) and underweight (OR=2.20; 95% C1=0.05-0.97) also were identified as risk factors contributed to LBP. The other factors such as ages, parities, exercise, jobs, and posture of sitting were not proven to be correlation with LBP. Conclusion : Long static sitting 91-300 minutes, no relaxation during working, and underweight has been proven to increase the risk of LBP. It is recommended to have relaxation during working and decrease long static sitting, and also trying to make normal weight of employees.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11308
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Widiwanto
Abstrak :
LATAR BELAKANG. Kondisi hipoksia menyebabkan peningkatan sistem simpatis yang membuat produksi air mata meningkat, sedangkan pada orang dengan tingkat kesamaptaan jasmani (VO2max) yang baik terjadi peningkatan sistem parasimpatis yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi air mata. Penelitian ini untuk menentukan rentang VO2max agar produksi air mata optimum pada awak pesawat TNI AU. METODE. Desain penelitian adalah studi korelasi, yang dilakukan di Lakespra Saryanto Jakarta. Dengan menggunakan populasi sernua awak pesawat yang melaksanakan ILAIMedek selama bulan Januari-Mei 2003. Semua yang memenuhi kriteria inklusi diambil, Sampel yang didapat sebanyak 35 orang. Data penelitian didapat dari rekam medis dan pencatatan di RUBR. Hasil penelitian kemudian dilakukan uji statistik berupa analisis regresi linear untuk melihat hubungan VO,max terhadap produksi air mata. Model akhir yang didapat digunakan untuk menentukan nilai minimum dan maksimum VO2max. HASIL. Rata-rata produksi air mata 23mm f 4,17mm. Dari beberapa faktor faali yang berhubungan terhadap produksi air mata ternyata hanya VO2max yang bermakna dengan koofesien regresi sebesar - 0,434 dan kemaknaan p = 0,000. Rentang VO2max yang didapat 34,9 ml/mnt/kgbb sampai 57,9 ml/mnt/kgbb agar produksi air mata optimum. KESIMPULAN. Produksi air mata berhubungan dengan VO2max. Rentang V02max yang didapat 34,9 ml/mnt/kgbb sampai 57,9 ml/mnt/kgbb agar produksi air mata optimum.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T12361
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aleida Nugraha
Abstrak :
Latar Belakang: Walaupun pesawat terbang telah dilengkapi dengan perangkat oksigen dan kabin bertekanan, kemungkinan hipoksia masih ada apabila terjadi kegagalan dari kedua sistem tersebut. Pengetahuan mengenai rentang waktu terjadinya hipoksia awal dan faktor-faktor kardiorespirasi yang berkorelasi dengan rentang waktu hipoksia awal perlu diketahui dan diteliti. Metodologi: Studi eksperimental dilakukan pada 130 calon siswa Sekolah Penerbang TNI AU berusia 21-26 tahun; pada keadaan permukaan bumi diukur kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi faali kardiorespirasi dan kadar gula darah. Dalam ruang udara bertekanan rendah subyek dipajankan pada kondisi hipobarik dengan ketinggian setara 18.000 kaki. Diukur rentang waktu mulai saat pemajanan sampai terjadi saturasi oksigen 85 % dengan alat pulse oksimeter. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan rerata waktu terjadinya hipoksia awal 199,65 detik ; (95 % CI:192,64 - 206,66 detik). Faktor-faktor yang berkorelasi positif secara bermakna adalah kadar hemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) dan kadar gula darah (r = 0,4108 p = 0,000). Sedangkan frekuensi denyut nadi mempunyai korelasi negatif kuat (r = -0,4324 ; p=0,000). Model regresi yang sesuai untuk prediksi rentang waktu hipoksia awal terdiri dari faktor-faktor kadar hemoglobin frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah. Kesimpulan: Dengan mengetahui kadar hemoglobin, frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah dapat diprediksi rentang waktu terjadinya hipoksia awal.
Elapsed Time To Early Hypoxia At Simulated Altitude 18.000 Feet In Hypobaric Chamber Indicated By 85% Oxyhaemoglobin Saturation And Its Influencing Factors Among Indonesian Air Force Flight Cadets.Background. Although aeroplanes are equipped with oxygen equipment and cabin pressurization, possibilities of hypoxia incidence still exists if there are system's failure. Information on elapsed time to early hypoxia should be available, and its correlation with cardiorespiratory factors should be investigated. Methods. An experimental study on 130 Indonesian Air Force Flight Cadets age 21-26 years was conducted. Haemoglobin, oxyhaemoglobin saturation, cardiorespiratory function and blood sugar at ground level was measured In hypobaric chamber subjects were exposed to simulated altitude 18.000 feet environment. Elapsed time between the beginning of hypobaric exposure to early sign of hypoxia indicated by 85% oxyhaemoglobin satin-lion was measured. Result. Average elapsed time to early hypoxia was 199, 65 seconds; (95 % CI:192,64 - 206,66 seconds). Significant positive correlation was found to haemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) and blood sugar levels (r = 0,4108 ; p = 0,000). Pulse rate showed negative correlation with elapsed time to early hypoxia (r = -0,4324 ; p = 0,000). The suitable regression model for estimating elapsed time to early hypoxia include haemoglobin,pulse rate, and blood sugar levels. Conclusion. Predicted elapsed time to early hypoxia could be estimated by using haemoglobin, pulse rate, and blood sugar levels.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hastuti
Abstrak :
Studi kasus dilakukan di industri mebel informal yang selama ini masih kurang mendapat perhatian dalam hal usaha kesehatan dan keselamatan kerja. Tujuan studi kasus untuk mendapat informasi tentang sarana dan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja, pajanan di tempat kerja, keluhan akibat pajanan debu kayu, gangguan saluran napas pada tenaga kerja, faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi terjadinya penyakit, usulan alternatif pemecahan masalah serta hasilnya. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran lingkungan kerja serta sarana kesehatan dan keselamatan kerja; pada tenaga kerja dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan uji faal paru. Hasil studi kasus didapatkan sarana kesehatan dan keselamatan kerja masih kurang antara lain ventilasi, penerangan (75 luks), kadar pajanan debu kayu masih di bawah nilai ambang batas (1-5mg/m3), keluhan akibat pajanan debu kayu sudah dirasakan antara lain bersin-bersin dua orang, gatal di mata dan kulit dua orang, batuk-batuk dua orang dan satu kasus asma tanpa disertai penurunan uji faal paru. Faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kasus adalah merokok dan atopi, asma yang diderita mungkin berhubungan dengan pekerjaan. Hasil perbaikan yang dicapai antara lain perbaikan ventilasi, pencahayaan dan kebersihan lingkungan kerja, terhadap kasus pembatasan waktu kerja dan mengurangi merokok. ...... This case study was conducted, considering that informal furniture industries usually do not on work health and safety. The objective of this study was to obtain information on facilities and its health and safety, exposure on work environment, complaints caused by exposure to wooden dust, disorders of respiratory tract in the workers, other factors that seems to contribute the illness, to propose of alternative problem solving and the result of it's. Data for this case study have been collected from observation and measurements of the work environment, observation of the facilities and health safety, interview, physical examination, laboratory examination and lung function test to the workers. The results of this case study indicates that work health and safety is not adequate, such as minimal ventilation and light (75 lux). Although exposure to wooden dust is still below the permitted limit (1-5 mg/m3), are complaints caused by exposure to wooden dust such as sneezing, irritation of eyes and skin, cough each other two workers; and one special case asthma without decrease of the lung function. Other factors that may contribute to the effect are cigarettes and individuals atopi, asthma probably work related diseases. The improvements of this case study are ventilation, lighting and environment; one special case asthma have suggested to reduce the working hours and cigarettes.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
Abstrak :
Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya. Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer. Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087). Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah. ...... Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor. Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation. Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087). Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>