Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jasmine Athiyya Wibowo
Abstrak :
ABSTRACT
Immunization has been proven to control and eliminate life-threatening infectious diseases. However, based on the data from Ministry of Health Central Data and Information Center, there is an decrease in DPT vaccine rates from 95% in 2014 to 93.1% in 2015, which is said to be linked to groups of parents that chose to not undergo DPT vaccine. A cross sectional survey of randomized sample of 250 mothers with children in the age of 2 - 5 years old were given questionnaires at early child education programs and pre-schools in North and South Jakarta. One-hundred and seventy nine participants had good knowledge of immunization regardless of their level of education, this showed an insignificant result. This proved to be the same in the relationship of level of education with knowledge on DPT vaccine. As for knowledge on immunization and practice to do immunization was significant. However, this was different in relationship of knowledge on DPT vaccine with practice to do DPT vaccine. The relationship of attitude on practice to do DPT vaccine was also insignificant. While the relationship of factors such as residence and number of children to practice to do DPT vaccine was also insignificant. Parental knowledge is an important factor in parents' decision to immunize their child, but this is not reflected in the parental knowledge relating to DPT vaccine against the practice of parents in choosing DPT vaccine.
ABSTRACT
Imunisasi telah dibuktikan untuk terbuksi bisa mengendalikan dan menghapuskan penyakit menular. Namun, berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, ada penurunan tingkat vaksin DPT dari 95% di tahun 2014 menjadi 93.1% di tahun 2015, yang dikatakan terkait dengan kelompok orang tua yang memilih untuk tidak menjalani imunisasi DPT. Survei cross sectional terhadap sampel random dari 250 ibu dengan anak-anak di usia 2 - 5 tahun diberi kuesioner pada Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan TK di Utara dan Selatan Jakarta. Seratus tujuh puluh sembilan peserta memiliki pengetahuan tentang imunisasi baik terlepas dari tingkat pendidikan mereka, hal ini menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hal ini terbukti sama dalam hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan tentang pengetahuan vaksin DPT. Adapun pengetahuan tentang immunisasi dan praktik untuk melakukan immunisasi sangat signifikan. Namun, hal ini berbeda dalam hubungan pengetahuan tentang edukasi vaksin DPT dengan praktik melakukan pengetahuan vaksin DPT. Hubungan sikap dalam praktik melakukan vaksin DPT juga tidak signifikan. Sedangkan hubungan faktor-faktor seperti tempat tinggal dan jumlah anak yang melakukan praktik vaksin DPT juga tidak signifikan.Pengetahuan orang tua merupakan faktor penting dalam keputusan orang tua untuk memberikan imunisasi kepada anak mereka, namun hal ini tidak tercermin dalam hubungan pengetahuan orang tua tentang vaksin DPT terhadap praktik orang tua untuk memilih melakukan vkaksin DPT
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Agung Ari Wiweka Nanda
Abstrak :
ABSTRACT
Latar Belakang: Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas GPPH merupakan kelainan kronis yang ditandai dengan ketidakmampuan berkonsentrasi, hiperaktivitas, dan impulsif. Prevalensi GPPH pada siswa SD di Jakarta tahun 2004 sebesar 26,2 dan diduga berhubungan dengan dengan perolehan prestasi akademis siswa di sekolah. Tujuan: Mengetahui hubungan antara GPPH dengan prestasi akademis siswa sekolah dasar. Metode: Studi case control dilakukan terhadap 372 siswa SD Kenari 01,03, dan 05 pada periode tahun ajaran 2015-2016. Hasil: Berdasarkan analisis data, didapatkan 107 28,8 siswa SD mengalami GPPH dan sebanyak 265 70,2 tidak mengalami GPPH. Terdapat 188 49,5 siswa mendapatkan nilai dibawah rata-rata dan 186 50,5 siswa mendapatkan nilai diatas rata-rata. Pada uji chi square, terdapat hubungan bermakna antara GPPH dan prestasi akademis dengan nilai signifikansi.
ABSTRACT
Background Attention deficit hyperactivity disorder is a chronic disorder ADHD characterized by inability to concentrate, hyperactivity, and impulsivity. Prevalence ADHD on elementary students in Jakarta in 2004 is about 26.2 and related to academic achievement in school. Aim To find relation between ADHD with academic achievement in elementary students. Methods Case control study was done involving 372 elementary students in SD Kenari 01, 03, 05 on school year 2015 ndash 2016. Results According to data analyzing, there were 107 28.8 elementary school students have ADHD and 265 70.2 of elementary school students did not have ADHD. There were 188 49.5 students get academic underachievement and other 186 50.5 students got higher academic achievement. By using chi square test, there was correlation statistically between ADHD and academic achievement with significance point p 0.001. Conclusion ADHD is related with academic achievement on elementary students with odds ratio 2,1.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70338
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Hardianti Gunardi
Abstrak :
Latar belakang: Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas GPPH disebabkan oleh berbagai faktor, seperti genetik dan lingkungan. Zat besi berperan sebagai kofaktor enzim tirosin-hidroksilase dalam proses modulasi produksi dopamin dan epinefrin, yang berpengaruh pada kontrol perilaku motorik normal. Tujuan: Mengetahui hubungan antara risiko tinggi defisiensi besi dengan GPPH. Metode: Studi kasus kontrol menggunakan kuesioner untuk uji tapis pertama GPPH dan defisiensi besi, melibatkan 376 siswa SD 01, 03, dan 05 Kenari, Jakarta periode 2015/2016. Hasil: Melalui uji Chi-square, ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara risiko tinggi defisiensi besi dengan GPPH pada siswa dengan odds ratio 2,447 1,354 ndash; 4,422, IK 95 , p = 0,002. Kesimpulan: Risiko tinggi defisiensi zat besi merupakan salah satu faktor risiko GPPH pada siswa sekolah dasar di Jakarta. Kecukupan asupan zat besi pada anak perlu dijaga sejak dini. ...... Background: Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADHD is caused by many factors, including genetics and environmental factor, e.g. iron. Iron acts as a cofactor in the modulation of dopamine and epinephrine production, affecting control in motoric behavior. Aim: of study To find the association between the high risk of iron deficiency and ADHD. Method: A case control study using questionnaire to screen ADHD and iron deficiency in 376 elementary students in SD Kenari Jakarta. Results: Positive correlation between the high risk of iron deficiency and ADHD, using Chi square method with odds ratio 2.447 1.354 ndash 4.422, IK 95 , p 0.002. Conclusion: High risk of iron deficiency is a risk factor of ADHD in elementary school students in Jakarta. Children should maintain adequate iron intake since early hood.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Deasy Irwanto
Abstrak :
Latar belakang: Masa anak dan remaja merupakan masa tumbuh kembang yang membutuhkan gizi seimbang. Air sebagai bagian terbesar dalam tubuh manusia, kemungkinan berhubungan dengan asupan energi dan status gizi seseorang. Tujuan: Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara asupan energi, cairnn total, dan status gizi dengan status hidrasi pad a anak dan remaja untuk menurunkan risiko dehidrasi dan malnutrisi. Metode: Penelitian ini dilakukan terhadap 116 subjek anak dan remaja dari empat sekolah yang didapat secara random dengan menggunakan desain studi potong lintang. HasH: Dari penelitian diperoleh hasil rerata berat jenis urin sebagai indikator status hidrasi pada subjek adalah 1,0197 ± 0,007 dengan jurnlah subjek yang mengalami dehidrasi adalah 50%. Hampir 50% dari subjek juga mengalami malnutrisi. Pada subjek, tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara asupan energi (r=-0,110, p=0,239), air (r=-0,043, p=0,656), dan cairan total (r=0,042, p=0,656), namun subjek dengan status nutrlsi normal menunjukkan status hidrasi yang lebih baik daripada subjek dengan gizi berlebih (p=O,046). Kesimpulan: Pada subjek tidak ditemukan korelasi asupan energi dan cairan total yang bermakna dengan status hidrasi, namun terdapat perbedaan status hidrasi yang bermakna antara subjek dengan status gizi normal dan gizi lebih. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi asupan energi dan cairan total dan status hidrasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Indah Prameswari
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Proses industri banyak menghasilkan limbah industri yang pada akhirnya dapat berdampak terhadap kesehatan, salah satunya adalah polusi udara yang berdampak terhadap kesehatan respirasi. Industri pengolah besi banyak dihubungkan dengan penyakit paru. Banyak komponen dari pengolahan besi yang dapat berpotensi mempengaruhi paru meskipun setiap individu akan merespons secara berbeda bila terkena debu dan gas. Salah satu cara untuk menilai dampak respirasi yaitu dengan menilai keluhan dan faal paru khususnya kelainan obstruksi dari para pekerja pabrik tersebut. Sehingga diperlukan data mengenai profil keluhan respirasi dan kelainan obstruksi saluran napas pada pekerja pabrik besi baja serta mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai keluhan respirasi dan kelainan obstruksi saluran napas pada pekerja pabrik besi baja di PT. X Cilegon serta faktor- faktor yang mempengaruhi.Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dilakukan di Medical Check Up RS. Krakatau Medika, Cilegon. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling pada pekerja yang telah bekerja ge; 5 tahun di bagian produksi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berdasarkan Epidemiology Standardization Project American Thoracic Society ATS selanjutnya dilakukan pemeriksaan spirometri.Hasil: Dari 112 subjek, hanya 107 subjek yang masuk kriteria inklusi. Berdasarkan wawancara terhadap subjek serta pengisian kuisioner didapatkan subjek yang mengalami keluhan respirasi sebanyak 22 subjek 20,6 meliputi batuk kronik 5 subjek, berdahak kronik 1 subjek, sesak napas 15 subjek serta berdahak kronik dan sesak napas 1 subjek. Berdasarkan pemeriksaan faal paru dengan spirometri pada subjek didapatkan kelainan pada 30 subjek 28,1 . Kelainan obstruksi berupa obstruksi ringan ada 2 subjek 1,9 .Kesimpulan: Keluhan respirasi terbanyak adalah sesak napas tanpa disertai mengi dan hal tersebut berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mendapatkan data bahwa batuk kronik dan berdahak merupakan keluhan respirasi yang terbanyak. Penelitian ini mendapatkan ada hubungan bermakna antara usia, status gizi dan masa kerja dengan keluhan respirasi. Kelainan obstruksi hanya didapatkan pada 2 subjek. Karena prevalens obstruksi hanya sedikit pada penelitian ini sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut.Kata kunci: faal paru, obstruksi, besi baja "
" "ABSTRACT
" Introduction Industry process produces a lot of industry waste which eventually affect human health, for example the air pollution that affecting respiratory health. Steel manufacturing industry is correlated with lung diseases. Many components in steel manufacturing have potency affecting lungs although every individual responding to dusts and gasses is different. One of the methods to evaluate respiratory effect is evaluating symptoms and lung function especially airway obstruction disorders from those company workers. Many data of respiratory symptoms and airway obstruction disorders in iron steel company workers and factors affecting them are needed.Objective This study aims to get information about respiratory symptoms and airway obstruction disorders in X workers of the iron steel company workers in Cilegon as well as factors that affecting them.Method This study uses cross sectional study in Medical Check Up Krakatau Medika Hospital Cilegon. Samples obtained using consecutive sampling method in workers who have worked ge 5 years in production section. Sample collection uses interview based on Epidemiology Standardization Project American Thoracic Society ATS and continued by spirometry measurement.Result From total 112 subjects, only 107 subjects included in inclusion criteria. Based on interview and questionnaire on subjects, there are 22 subjects 20.6 having respiratory symptoms including chronic cough in 5 subjects, chronic sputum production in 1 subject, dyspnea in 15 subjects and having chronic sputum production and dyspnea in 1 subject. Based on lung function measurement with spirometry, there are 30 subjects 28.1 having airway disorders. There are mild airways obstruction in 2 subjects 1.9 .Conclusion The highest respiratory symptoms are dyspnea without wheezing and this finding is different than the previous studies with the result of chronic cough and chronic sputum production as highest respiratory symptoms. This study results in significant relationship among age, nutrition status and working period with respiratory symptoms. Airway obstruction disorders only obtained in 2 subjects. Because of low airway obstruction prevalence in this study, this finding could not be evaluated further.Keywords lung function, airway obstruction, iron steel
2016
T55582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Hanisa
Abstrak :
ABSTRAK
Edukasi tentang hidrasi penting untuk meningkatkan asupan air dan memperbaiki status hidrasi. Kami bertujuan untuk melihat perbedaan pada skor Pengetahuan,Sikap dan Perilaku PSP pengasuh, total asupan air dan status hidrasi anak prasekolah setelah 4 minggu intervensi. Penelitian acak kelompok terkontrol membandingkan kelompok edukasi gizi dasar kontrol,N=47 , edukasi hidrasi pada guru dan orang tua P1,N=44 , dan pada guru P2,N=52 . Total asupan air diukur menggunakan repeated 24h-Recall, PSP diidentifikasi dengan kuesioner terstruktur dan status hidrasi ditentukan melalui berat jenis urin. Setelah intervensi, skor pengetahuan dan total PSP pengasuh memiliki perbedaan yang signifikan antar kelompok kontrol dan P1; dan kelompok kontrol dan P2.
ABSTRACT
Hydration education is important to increase water intake and improve hydration status. We aimed to assess the differences on caregiver rsquo s Knowledge,Attitude and Practice KAP , total water intake and hydration status of preschool children after 4 weeks. A cluster randomized controlled trial was conducted comparing basic nutrition education control,N 47 , hydration education to teacher and parents INT1,N 44 and to teachers INT2,N 52 groups. Total water intake was assessed by repeated 24h Recall, the KAP was identified by structured questionnaire and hydration status was determined by Urine Specific Gravity. After intervention, knowledge and total KAP scores were significantly different between control and INT1 and control and INT2 groups.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dneska Woro Andini
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan darah yang diturunkan secara autosomal resesif. Sampai saat ini thalassemia belum dapat disembuhkan. Biaya pengobatan yang tinggi serta komplikasi yang banyak pada penyakit ini menyebabkan pentingnya dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan insidens thalassemia. Tingkat pengetahuan serta sikap remaja yang baik terhadap thalassemia dapat membantu menurunkan insidens penyakit tersebut. Tujuan: 1 Mengetahui proporsi tingkat pengetahuan dan sikap siswa SMA terhadap thalassemia. 2 Menganalisis faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan pengetahuan dan sikap siswa SMA terhadap thalassemia pendidikan, pendapatan keluarga, pengalaman pribadi, media massa, akses informasi di pelayanan kesehatan, peran keluarga, peran agama . Metode: Penelitian potong lintang deskriptif analitik dilakukan terhadap siswa kelas 10,11,12 dari 2 SMA negeri dan 2 SMA swasta di Jakarta Pusat sejak Februari 2017 sampai Juni 2017. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner oleh masing-masing siswa. Hasil: Total subyek yang diteliti adalah 300 siswa SMA. Proporsi tingkat pengetahuan yang baik pada siswa SMA adalah 28,3 dan proporsi sikap positif siswa SMA terhadap thalassemia adalah 60 . Faktor yang memiliki hubungan terhadap pengetahuan yang baik adalah jurusan akademik p=0,019; IK95 1,138-4,166 , paparan media massa p.
ABSTRACT
Title Factors Related to High Scool Students Knowledge and Attitude of Thalassemia Background Thalassemia is a recessively inherited disorder of haemoglobin synthesis.This disease is not curable. The complications of the disease and the high cost of life long treatment make prevention strategies crucial in the reduction of thalassemia incidences. Good knowledge and positive attitude towards thalassemia can help in reduction the incidence. Objectives 1 to investigate proportion of high school students knowledge and attitudes towards thalassemia. 2 to identify factors related to high school students knowledge and attitudes towards thalassemia education, family income,mass media, information access in healthcare facilities, family and religion role Methods A cross sectional descriptive analitic study conducted on 10th,11th, 12th grade students of 2 public and 2 private high schools in Central Jakarta, since February to June 2017, using a self administered questionnaire. Results Total of study subjects are 300 students. Proportion of good thalassemia knowledge in high scool students is 28.3 and proportion of thalassemia positive attitude is 60 . Factors related to good level of knowledge are academic major p 0.019 CI95 1,138 4,166 , mass media influence p
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ismatullah
Abstrak :
Latar belakang: Penggunaan media digital, termasuk gawai, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak. Paparan media digital pada anak dikaitkan dengan risiko keterlambatan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan gawai dan keterlambatan perkembangan bahasa pada anak usia 2-3 tahun.

Metode: Penelitian kasus kontrol ini mengikutsertakan anak usia 2-3 tahun di Jakarta dan Bekasi yang diambil secara consecutive sampling. Kelompok kasus terdiri dari pasien rawat jalan dari klinik tumbuh kembang dengan diagnosis keterlambatan bahasa; tanpa adanya kelainan bawaan, keterlambatan global, gangguan neurologis, dan gangguan perilaku. Diagnosis ditegakkan oleh dokter anak konsultan tumbuh kembang yang dituliskan pada rekam medis. Kelompok kontrol adalah anak tanpa keterlambatan bahasa yang diambil di klinik vaksinasi. Berdasarkan wawancara orangtua, setiap kelompok diidentifikasi riwayat penggunaan gawai (onset penggunaan, durasi harian, dan pendampingan) dan dianalisis hubungannya dengan perkembangan bahasa anak dengan mempertimbangkan faktor perancu lainnya.

Hasil: Sebanyak 43 subjek kelompok kasus dan 104 subjek kelompok kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun (adjusted OR 6,899; IK 95% 1,655 – 28,757; p 0,008). Onset penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak, dengan atau tanpa mempertimbangkan pendidikan ibu dan pengasuh utama anak (OR 2,162; IK 95% 0,961 – 4,867; p 0,063). Pendampingan penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak secara signifikan, dan terdapat peranan pengasuh utama dalam hubungan tersebut (adjusted OR 1,972; IK 95% 0,631 – 6,162; p 0,243). Pada variabel perancu, pengasuh utama anak memiliki peranan penting dalam hubungan antara durasi harian dan pendampingan penggunaan gawai terhadap keterlambatan bahasa anak, sedangkan pendidikan ibu tidak berperan dalam hubungan tersebut.

Kesimpulan: Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun. ......Background: The use of digital media, including gadgets, has become an important part of children's daily lives. Exposure to digital media in children is associated with the risk of developmental delays. The aim of this research is to explore the relationship between gadget use and delayed language development in children aged 2-3 years.

Methods: This case control study included children aged 2-3 years in Jakarta and Bekasi using consecutive sampling. The case group consists of outpatients from growth and developmental clinic with diagnosis of language delay; in the absence of congenital abnormalities, global delays, neurological disorders, and behavioral disorders. The diagnosis was made by a growth and development consultant pediatrician and written in the medical record. The control group was children without language delays taken at vaccination clinic. Through parent interviews, each group's history of device use has been identified (onset of use, daily duration, and parental supervision) and its relationship with children's language development has been analyzed by considering other confounding factors.

Results: A total of 43 case group subjects and 104 control group subjects were included in this study. The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years (adjusted OR 6.899; 95% CI 1.655 – 28.757; p 0.008). The onset of gadget use does not increase the risk of child language delay, regardless of whether maternal education and primary caregiver are considered (OR 2.162; 95% CI 0.961 – 4.867; p 0.063). Parental supervision of gadget use does not significantly increase the risk of language delay in children, and the primary caregiver plays a role in this relationship (adjusted OR 1.972; 95% CI 0.631 – 6.162; p 0.243). In terms of confounding variables, the primary caregiver plays an important role in the relationship between duration of daily gadget use and parental supervision regarding child language delay, while maternal education does not influence this association.

Conclusion: The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Indriyani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun pada anak yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Salah satu faktor risiko yang diduga berdampak terhadap morbiditas pasien LES yakni penggunaan kortikosteroid dalam waktu lama. Anak dan remaja dengan LES merupakan populasi dengan risiko lebih besar terhadap morbiditas muskuloskeletal, dalam hal ini rendahnya densitas mineral tulang dan osteoporosis.Tujuan: 1 Mengetahui gambaran densitas mineral tulang pada pasien LES anak dan remaja usia 5-18 tahun yang mendapatkan terapi glukokortikoid dan 2 Mengetahui gambaran karakteristik dosis kumulatif dan harian kortikosteroid, IMT, SLEDAI dan asupan kalsium dan vitamin D pada pasien LES anak, serta 3 Mengetahui gambaran parameter laboratorium yang menggambarkan metabolisme tulang seperti kadar kalsium, vitamin D, alkali fosfatase, fosfor dan kortisol pada pasien LES anak dengan terapi kortikosteroid.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif dengan mengikutsertakan 16 pasien LES yang berobat di poliklinik anak RSCM selama November-Desember 2016 dengan diagnosis LES. Pengambilan data dilakukan dengan melihat data rekam medis, penilaian skor SLEDAI Systemic lupus erythematosus Disease Activity Index , asupan kalsium dan vitamin D, serta parameter laboratorium. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry DEXA dengan melihat skor Z.Hasil: Densitas mineral tulang yang rendah skor-Z
ABSTRACT
Background Systemic lupus erythematosus SLE is an autoimune disease affecting children with significant numbers of morbidity and mortality. One of risk factors for morbidity is chronic corticosteroid use. Child and adolescent with SLE are susceptible population for musculosceletal morbidity especially low bone mineral density and osteoporosis. Aim 1 To determine the occurence of low bone mineral density among children with SLE, 2 to describe the characteristics, incuding cumulative and daily doses of corticosteroid, body mass index, SLEDAI, and calcium and vitamin D intake among children with SLE, and 3 to describe bone metabolism laboratory paramaters including serum calcium, vitamin D, ALP, phosphorus, and cortisol among children with SLE receiving corticosteroid. Method A descriptive cross sectional study involving 16 children with SLE attending child and adolescent outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital during November December 2016. Data were recorded from patients rsquo medical records, scoring SLEDAI, performing laboratory examinations, and measuring calcium and vitamin D intakes. Bone mineral density was measured using DEXA and reported using Z score. Result Low bone mineral density accured among 7 16 patients. The mean total bone mineral density was 0,885 0,09 g cm2. Children with SLE receiving corticosteroid had low calcium 8,69 0,50 mg dL , vitamin D 19,3 5,4 mg dL , ALP 79,50 43,00 164,00 U L , morning cortisol level 1,20 0,0 10,21 ug dL , and calcium 587,58 213,29 mg d and vitamin D 2,9 0 31,8 mcg d intake. Patients with low bone mineral density tend to had higher cumulative doses of corticosteroid with longer treatment duration. Conclusion The occurence of low bone mineral density was observed among children with SLE receiving corticosteroid treatment. Low bone mineral density tend to occur among patients with higher cumulative doses and longer duration of corticosteroid treatment.
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Berlian Kusuma
Abstrak :
Latar belakang. Lupus eritematosus sistemik (LES) dan artritis idiopatikjuvenil (AIJ) adalah penyakit reumatologi tersering pada anak. Penyakit ini memerlukan terapi dan tatalaksana yang cukup lama. Kualitas hidup adalah salah satu bagian penting dalam tatalaksana pasien anak dengan penyakit reumatologi. Hingga saat ini masih belum ada data kualitas hidup pasien remaja dengan penyakit reumatologi di Indonesia. Tujuan. Mengetahui kualitas hidup remaja dengan penyakit reumatologi, hubungan kualitas hidup dengan aktivitas penyakit dan lama sakit. Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien remaja di Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mengunkusumo sesuai dengan kriteria inklusi. Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner PedsQL-RM. Pengambilan data menggunakan kuesioener yang dibagikan secara daring. Hasil. Didapatkan subyek pada penelitian ini 82 remaja dengan penyakit LES sebanyak 91,4% dan AIJ 8,6%. Sebanyak 65,9% pasien reumatologi memiliki kualitas hidup baik dengan 69,3% pasien LES memiliki kualitas hidup yang baik dan 47% memiliki aktivitas penyakit rendah-sedang. Sedangkan hanya 2/7 pasien AIJ memiliki kualitas hidup baik dan sebagian besar memiliki aktivitas penyakit tinggi (4/7 pasien). Tidak terbukti adanya hubungan antara aktivitas penyakit reumatologi terhadap kualitas hidup dari penilaian anak secara keseluruhan (p= 0,883). Aspek kekhawatiran dan komunikasi cukup rendah pada remaja dengan penyakit reumatologi. Durasi penyakit juga tidak memengaruhi kualitas hidup dari penilaian anak (p= 0,392). Kesimpulan. Kualitas hidup remaja dengan penyakit reumatologi (LES dan AIJ) baik. Tidak ditemukan hubungan antara aktivitas dan lama penyakit terhadap kualitas hidup menggunakan kuesioner PedsQL-RM. ......Background. Systemic lupus erythematosus (SLE) and juvenile idiopathic arthritis (JIA) is the most reumatology diseases in children. These are chronic disease that needed prolonged treatment. Quality of life is the most important factor in treatment of rheumatology disease. Until now, there was no data of quality of life in rheumatology disease in adolescent in Indonesia. Objectives: To assess the quality of life of adolescent with rheumatology disease and association with disease activity and duration. Methods. A cross-sectional design was conducted on patients and parents/caregivers diagnosed SLE or JIA during August-November 2021 in Allergy and Immunology Policlinic Child Health Departement Cipto Mangunkusumo Hospital according to inclusion criteria. The quality of life were assess by PedsQL-RM questionnaire. Data were obtained from an online questionnaire. Result. The subjects in this study were 82 adolescents with SLE is the most common in rheumatology disease (91.4%) and 8.6% were JIA. A total of 65.9% of rheumatology disease have a good quality of life that consist of 69.3% of SLE patients have a good quality of life and 47% have low-moderate disease activity. Meanwhile, only 2/7 of JIA patients have good quality of life and most of them have high disease activity (4/7 patients). There was no significant relationship between disease activity on quality of life from the overall assessment of children (p= 0.883). Worriness and communication aspects are quite low in adolescents with rheumatology disease. Illness duration did not affect the quality of life in children assessment (p= 0.392).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library