Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armin
Abstrak :
Di penghujung abad ke dua puluh Indonesia di landa oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah. Hal itu berimplikasi pada perubahan pola hubungan pusat daerah. Adanya perubahan dalam hubungan pusat daerah mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh. Studi hubungan pusat dan daerah berfokus pada masalah kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat. Suasana kebebasan di satu sisi dan adanya kontrol pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di sisi lain memicu konflik kepentingan antara tingkatan pemerintahan. Di samping itu konflik kepentingan di provinsi kalimantan timur juga disebabkan oleh perebutan sumber daya oleh semua tingkatan pemerintah, baik pemerinta pusat dengan pemerintah daerah provinsi maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada 5 aspek. Pertama, tipe penelitian eksplanatif. Kedua, pendekatan penelitian yang digunakan adalah struktural. Ketiga, konteks penelitiannya transisi. Keempat, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi terbatas. Kelima, teknik analisisnya kualitatif. Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini akan dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah provinsi kalimantan timur memiliki kebebasan untuk berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Batas-batas kewenangan itu ditentukan oleh pemerintah pusat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kedua, ada dua upaya pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan menciptakan sumber pendapatan baru bagi daerahnya. Pertama, intensifikasi pendapatan asli daerahnya. Kedua, ekstensifikasi pendapatan asli daerahnya. Ketiga, kontrol pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah ada dua macam. Pertama, pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan peraturn daerah dan atau keputusan kepala daerah. Kedua pengendalian pemerintah pusat dilakukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang selanjutnya dijadikan pedoman dan acuan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Keempat, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur terjadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, ketidakadilan dalam bagi hasil minyak dan gas. Pasalnya provinsi papua dan NAD diberikan bagi hasil minyak dan gas sebanyak 70%, sedangkan provinsi kalimantan timur dan riau hanya diberikan sebanyak 15%. kedua, konflik dalam penentuan Dana Alokasi Umum, konflik itu berawal dari simulasi DAU yang dilakukan oleh departemen keuangan pertengahan tahun 2001. Simulasi itu merugikan daerah penghasil termasuk provinsi kalimantan timur. Oleh karena itu daerah penghasil bersatu membentuk Kaukus Pekan Baru dan Kaukus jakarta. Kedua kaukus itu menuntut kepada panitia anggaran DPR RI agar kebijakan formulasi DAU yang disimulasikan ditinjau kembali. Panitia anggaran DPR RI berpendapat bahwa mereka tidak terikat dengan simulasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. atas dasar itu dalma Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan disimpulkan bahwa tidak ada Daerah yang menerima DAU lebih rendah dari 2001. Kelima, konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kota samarinda bersumber dari pencabutan peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 tentang ketentuan pengusahaan pertambangan umum dalam wilayah kota samarinda. Pencabutan peraturan daerah itu didasarkan atas dua faktr. Pertama, peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 bertentangan dengan kontrak karya (KK) yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pengusaha batubara. Kedua, peraturan daerah tersebut bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa teori yang diginakan dan mengkonstruksi teori baru tentang nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat, menunjukkan relevansi dengan teori Otonimi Daerah menurut Abdul Muttalib dan Mohd Ali Khan. Teori yang dikemukakan oleh Mack dan Snyder dan Maswadi Rauf tentang konflik menunjukkan relevansinya. Di samping relevansi teoritis juga dikemukakan konstruksi teoritis mengenai tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, masyarakat tidak frustasi terhadap pemerintah-baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah-. Hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masyarakat tidak mendapat tekanan dari pemerintah. Kedua, masyarakat masing-masing memiliki kesibukan sehingga kurang waktu untuk memikirkan masalah pemerintahan apalagi melakukan gerakan separatis. kedua, heterogenitas masyarakat kalimantan timur. Tingginya heterogenitas masyarakat sehingga tidak ada suku yang mayoritas. Ketiga, masyarakat dan elite beranggapan bahwa melakukan gerakan separatis kerugiannya lebih banyak dari pada manfaatnya. Kerugian bagi elite jika terjadi gerakan separatis atau semacamnya adalah mereka sendiri akan terlempar dari struktur kekuasaan. Sedangkan kerugian bagi masyarakat adalah kalau terjadi kekacauan maka iklim untuk berusaha juga akan terganggu. Oleh karena itu elite politik Kalimantan Timur memegang prinsip bahwa bekerjasama dengan pemerintah Pusat lebih banyak manfaatnya dari pada melawannya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D475
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zen Zanibar M.Z.
Abstrak :
Desentralisasi telah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda (1903). Pengejawantannya di tingkat desa dimulai sejak diterbitkannya IGO 1906. Pengaturan periode tersebut bersifat pengakuan. Dalaml masa RI otonomi desa diakui secara konsitusional dalam Pasal 18. Dalam pekembangannya otonomi desa mengalami pasang surut. Hal itu disebabkan oleh berbagai pertimbangan, mulai dari desa sebagai titik berat otonomi dengan mengatur desa sebagai daerah otonom, Dati III, sampai akhirnya sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kahupaten. Pengaturan desa periodef RI dengan peraturan baru sehingga desa lebih sebagai bentukan baru. Persoalan utama dalam disertasi ini: bagaiména perbedaan pengaturan desa diakui dan desa dibentuk: ii. Apakah kedua desa tersebut memiliki kewenangan yang sama dalam pengeloaan SDA. Desa yang diakui atau marga di Sumatera Selatan diatur dengan IGOB. Upaya perubahan dengan UU baru selama periode RI tidak banyak merubah penyelenggaraan marga karena sebagai besar qagal, kecuali UU No. tahun 1979. Marga memiliki kewenangan mengelola SDA seperti pada masa berlakunya IGOB. IGOB terakhir dicabut oleh UU Desapraja tahun 1965. Tetapi karena UU ini ditunda pemberlakunnya, maka pengaturan marga kembali diselenggarakan menurut hukum adat yang sesungguhnya sama dengan IGOB. Karena itu sejak ditundanya pemberlakuan UU Desapraja pengaturan marga diatur dengan peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Mendagri, Perda, dan Keputusan Gubernur. Kewenangan dalam bidang SDA antara kedua desa tersebut sangat berbeda. Perbedaan dimaksud tercermin dari pengaturan otonomi desa yang diatur oleh IGOB, hukum adat dan UU bail: dalam UU Pemerintahan (di) Daerah maupun UU tetang pemerintahan Desa. Perbedaan pengaturan dan kewenangan tersebut ternyata dipengaruhi oleh konstelasi politik nasional. Upaya Pemerintah Pusat menerapkan desentralisasi ternyata mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut mengarahkan Pemerintah Pusat untuk menata penyelenggaraan negara lebih sentralistik. Pengaturan desentralisasi dan otonomi desa dalam berbagai UU dalam periode RI secara teoritis sejalan dengan teori desentralisasi statis, tetapi tidak sesuai dengan teori desentralisasi dinamis. Karena itu pengaturan tersebut sebagian besar relevan dengan teori desentralisasi statis Hans Kelsen tetapi tidak relevan dengan teori desentralisasi dinamis. Dari sisi kebijakan bentuk peraturan perundang-undangan desetralisasi relevan dengan teori kebijakan (policy process) tetapi dari tata cara pembentukannya tidak sejalan dengan teori hirarki perundang-undangan (stuféntheorie). Penggunaan istilah daerah otonom telah mengaburkan pengertian desentralisasi dan otonami secara teoritis . Konsep desentralisasi dinamis patut diterapkan dengan cara mengatur kewenangan propinsi, kabupaten/kota dan desa dalam satu undang-undang secara tegas sekaligus untuk menetralisir otonomi luas dalam rangka demokratisasi di tingkat lokal.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
D1061
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
Abstrak :
Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis. Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut. Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya. Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial. Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan. Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.
Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia. In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out. Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body. This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia. At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level. There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment. Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unifah Rosyidi
Abstrak :
Kecamatan merupakan struktur tertua dalam struktur pemerintahan subnasional. Sebelum lahir Undang-Undang (UU) Desentralisasi Tahun 1903, Belanda hanya membangun struktur pemerintahan subnasional menurut asas dekonsentrasi dengan kecamatan (onderdistrict) selaku struktur terbawah yang terus dipertahankan hingga jaman kemerdekaan. UU No. 5/1974 menentukan kecamatan tetap sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi yang dipimpin oleh camat sebagau Kepala Wilayah. Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengubah secara drastik struktur dan status kecamatan sebagai wilayah kerja Camat selaku perangkat daerah otonom kabupaten/kota. Perubahan drastik tersebut dipandang sebagai reformasi administrasi subnasional sehingga berbagai perubahan yang terjadi, konflik yang diakibatkan oleh reformasi tersebut, dan solusi pemerintah subnasional menarik dikaji.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatiif, unit analisis adalah kecamatan di kota Bogor. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, studi dokumentasi, wawancara mendalam, pengamatan dan diskusu terfokus. Key informan bersifat snow ball. Analisis dilakukan pada pemerintah Kota Boogor dan kecamatan. Data dianalisis melalui tahapan pengumpulan data mentah, transkip, koding, penyimpulan sementara, trianggulasi, dan kesimpulan akhir.

Temuan pada pemerintahan subnasional adalah: Pertama, struktur orga nisasi perangkat daera )OPD) cukup ramping, tetapi dengan dibentuknya 26 UPTD menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Pembentukan UPTD sarat konflik kepentingan elit lokal, dan dalam hal tertentu menjadi sumber konflik antar lembaga. Kedua, Pelimpahan wewenang dari walikota kepada camat merupakan aspek positif tetapi belum didukung oleh pelimpahan personil, peralatan dan pem biayaan (3P), yang memadai. Ketiga, Kewenangan yang diterima dipandang aparat kecamatan sebagai kewenangan setengah hari, dan kurang memberikan nilai ekonomis pada kecamatan.

Temuan pada tingkat kecamatan: Pertama, struktur kecamatan lebih ramping, lebih fleksibel dengan sistem, prosedur dan tata kerja pelayanan mengalami perbaikan, tidak berbelit-belit, dan lebih transparan tetapi disiplin dan kecepatan kerja masih rendah. Kecamatan memiliki anggaran berbasis kinerja tetapi sangat terbatas apalagi dengan dilikuidasinya cabang dinas membuat urusan kecamatan semakin banyak dengan kewenangan terbatas. Kepemimpinan Camat sangat strategis, ke atas menyampaikan aspirasi masyarakat ke bawah melaksanakan misi pembangunan. Camat harus dapat berperan ga da sebagai pemimpin masyarakat dan manager kantor kecamatan. Kedua, Perubahan struktur belum diikuti dengan perubahan kinerja individu secara signifikan. Kualifikasi pendidikan aparat masih rendah, tidak memiliki ketrampilan teknis memadai, dan training hampir tidak ada. Budaya kerja meningkat ke arah positif tetapi masih bersifat paternalistik. Cara pandang aparat mengalami perubahan, lebih melayani, lebih ramah, dan lebih bertanggung jawab tetapi penggunaan waktu belum efektif, kurang responsif dna kaku (rule driven).

Konflik yang teramati terjadi pada level individu, lembaga dan dengan masyarakat. Konflik individu sering terjadi pada Camat yang kekuasaannya berkurang signifikan, sehingga secara alamiah kurang responsif terhadap perubahan. Konflik antar lembaga terjadi karena adanya konlik kepentingan, ketidak jelasan dan tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, sikap curiga, dan koordinasi yang tidak berjalan baik. Konlik dengan masarkat disebabkan karena menguatnya posisi tawar masyarakat sebagai dampak dari berkembangnya demokrasi dan kesadaran terhadao HAM. Masarakat cenderung menjadi kelompok penekan (pressure groups).

Pemerintah subnasional dan kecamatan menyelesaikan konflik dengan musyawarah dialog, kesepakatan dan koinsesnsus untuk menciptakan situasi sama-sama menang atau sama-sama tidak dirugikan. Selanjutnya, sedang dikaji kewenangan lai yang akan didelegasikan pada kecamatan dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu, keberadaan UPTD juga akan dikaji karena cenderung memperpanjang birokrasi dan tidak efisien. Walikota memberikan diskresi kepada camat untuk menyelesaikan permaslahan secara otonom. Lebih jauh konflik diselesaika berdasarkan kasus per kasus. Belum ditemukan grand design dalam penyelesaian konflik dengan menggali akar permasalahan yang sesungguhnya.

Berdasarkan analisis hasil penelitian, keberadaan kecamatan masih sangat dibutuhkan sebagai pusat pelayanan yang paling dekat dengan masyarakt. Kecamatan perlu lebih diberikan kewenangan riil, diskresi dan dukungan personil, fasilitas dan dana yang memadai. Di atas semuanya adalah political will, komitmen dan konsistensi pemerintah subnasional dalam menjadikan kecamatan sebagai lini terdepan pelayanan. Implikasi teoritik penelitian ini adalah pengembangan model=model pelayanan kecamatan apakah sebagi single atau multi ouroose agency yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Sub-distnct (kecamatan) is the oldest structure in sub-national/local govemment structure. Before Law of Decentralization in 1903 issued, Dutch only developed the structure in line with deconcentration principle in which sub-district (onderailstricb remained the lowest structure till the independence. Law No. 5/1974 determined that sub-district was still as an administrative region in the context of deconcentration, led by Camat as head of the sub-district. The introduction of Law No. 22/1999 and Law No. 32/2004 as the bases of transforming centralistic system to decentralistic one with the implication of shifting sub-district structure from administrative region to the working area of Camat; and the status of Camat as central apparatus to be the local apparatus. The drastic change is considered as a sub-national administrative reform so that any changes occurred, conflicts as the result of the reform, and the solution of sub-national govemment are interesting to study.

This study used qualitative method with sub-districts in Bogor municipality as the analysis unit. Data was collected by observation technique, document studv, intensive interview, observation, and focused discussion. Key informants were snow ball. The analysis was conducted at the government of Bogor Municipality and sub-districts. Data was analyzed through collecting raw data, transcribing, coding, interim concluding, triangulating, and final concluding.

Findings at sub-national government are: Firstly, local instrument body (LIB) is slim enough, however, the establishment of 26 UPTDs (local technical service unit) makes LIB ineffective and inefficient. The establishment of 26 UPTDs is full conflict of interest of local elites, and, in any cases, becomes the source of conflict among bodies and agencies. Secondly, the delegation of authority from the Mayor to Camat is a positive aspect, but has not been supported yet by the appropriate delegation ofpersonnel, facilities, and budge. Thirdly, the accepted authority is considered by the sub-district apparatus as the half hearted, and gives less economic value for the sub-district.

Findings at sub-district level: Hrslin the sub-district structure is simpler, more flexible where the system and procedure of services have changed. The services are not complicated and more transparent, whereas the discipline and the working velocity are still low. Sub-district has very limited performance-based budget. Moreover, by the liquidation of sub-agency (cabang dinas), it makes sub-district get more and more duties with the restricted authority. The role of Camat is very strategic-delivering the community?s aspiration to the local govemment and conducting the development mission to the community- thus require Camat to function as a community leader and a sub-district manager. Secandig the structure change has not been followed significantly by the change of individual perfonnance. The education qualification of apparatus is still low. They dont have enough technical skills, and hardly take part of in trainings. Working culture improves positively, although it is soil paternalistrc. The apparatus? point of view changes as well. They are more helpful, friendlier and more responsible, but they still spend the times ineffectively, less responsive and rule driven.

The observed conflicts occurred in the individual, institutional and community levels. The individual conflict happened frequently to Camat whose authority decreases significantly so that he/she becomes, naturally, less responsive toward any changes. Conflicts between institutions occurred due to the conflict of interest, me ambiguous and overlapping duties and responsibilities, the skeptical atdtude, and the bad running cardination. Conliict with the community is caused by the better bargaining sition of the community- as the consequences of the development of democracy and gf time awaren s of human rights. The community tends to be the pressure groups.

Sub-national govemment and sub-district make conliict resolution through discussion, dialog, agreement, and consensus rn order to create the win-win solution. Concerning me auighgfiry, the local government is going to review the other authorities given to me sob district with any parties. Besides, the existence of UPTDS is also going to be Fewiewed doe to the fact that UPTDS tend to lengthen bureaucracy and be inefficient. The Mayor gives Camat discretion to solve the problems autonomously. Above all, the local government has not yet developed grand design to resolve the conflict and to make the sub district become a service center.

Based on the result of the study, the existence of sub-district as the closest service centre to the community is still needed in the future. Sub-district also needs more real authority, discretion and the support of personnel, facility and budget. The most important thing is that the local government has good political will, commitment, and consistency to develop sub-district. The theoretical implication of this study is the development of sub-district service models whether it is as a single or as a multi purpose agency. Those models are interested to study further.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D728
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salomo, Roy Valiant
Abstrak :
Reformasi administrasi pemerintah subnasional merupakan hal yang tak dapat ditunda-tunda. Persoalannya adalah bagaimana melakukannya. Bagaimana strateginya. Dengan latar belakang lingkungan lokal, nasional, regional, serta internasional yang tidak menentu. Disertasi ini memakai pendekatan scenario planning dalam membangun strategi reformasi administrasi pemerintah subnasional. Untuk itu dibutuhkan tiga tahapan penelitian yang sekaligus dicerminkan oleh tiga pokok permasalahan. Masing-masing adalah: pertama, bagaimanakah potret administrasi publik pemerintah subnasional di Indonesia saat ini? Kedua, bagaimanakah deskripsi skenario lingkungan administrasi publik (aspek sosial-politik dan ekonomi) pemerintah subnasional pada tahun 2025? Ketiga, bagaimanakah grand strategy reformasi administrasi publik pemerintah subnasional sampai tahun 2025?
Administrative Reform at the subnational level is very urgent business to be done. The questions are how to implement it and what is the strategy to implement it. With the local, national, regional and international uncertainty this dissertation, using scenario planning, try to develop strategy for administrative reform at the subnational level in indonesia. This has been done through three stages of research which is reflected by three main research problems. First, what are the pictures of the subnational public administration in indonesia now? Second, what are the scenarios of the environment (social aspect, political aspect and economic aspect) of public administration at the subnational level at the year 2025? Third, what is the administrative reform grand strategy of the public administration at the subnational level in Indonesia until the year 2025?
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D723
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mujibur Rahman Khairul Muluk
Abstrak :
Implementasi kebijakan desentralisasi untuk meningkalkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah tidak segera mencapai tujuannya karena menghadapi berbagaj persoalan kompleks. Kompleksitas persoalan ini terajut dari adanya dominasi elit lokal, lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menjamin partisipasi, belum lcuamya organisasi lokal, dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi. Unluk mencapai pemerintahan daerah yang partisipatif diperlukan upaya yang serius untuk menyusun altematif kebijakan yang tepat. Upaya ini seyogyanya dilandaskan pada kajian akademis yang memadai dan komprehensif. Penelitian tentang panisipasi masyarakar lelah banyalc dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Namun penelitian mengenai partigipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah yang berada dalam koridor disiplin administrasi publik masih tergolong langka apalagi penclitian mengglmakan pendckatan berpikir sistem. Dengan mempenimbangkan lalar belakang rersebut maka penelitian ini diawali dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana gambaran aktual partisipasi masyarakat dalam pemcrlntahan daerah dewasa ini? Bagaimanakah derajat efektivitas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah? Bagaimanakah model berbasis berpikir sistem bagi panisipasi masyarakat dalam pemerimahan daerah ? Bagaimanakah altematif percepatan partisipasi yang dapar dilakukan ? Pendekatan berpildr sislem digunakan dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, adanya kesadaran bahwa partjsipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah berada dalam situasi kompleksilas dinamis. Kedua, penelitian ini berupaya memahami akar permasalahan yang mendera partisipasi masyamkat melalui deteksi atas stmktur sistem daripada sekedar melihat kejadian-kejadian yang kasat mam Ketiga, adanya kehendak mendorong tindakan antisipatif Serta mencari solusi 3135 persoalan kegagalan pencapaian partisipasi masyarakat dalam pemedmahan daerah. Metode sistem dinamis dengan pendekatan lima tahap dari Coyle dipilih dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, sistcm dinamis merupakan bagigm dari hard system yang Iebih tepat digunakan dalam suatu aktivilas yang berupaya untuk mencapai tujuan tertentu. Kedua, analisis ini lebih tepat jika digunakan unruk mencari rekomendasi alas solusi dari sualu masalah. Ketiga, analisis ini mampu mengembangkan sistem berdasarkan komhinasi data kualitatif dan kuantitatif. Partisipasi masyarakal dalam pemedmahan daerah mengalami peningkatan berpola Kurva S di em reformasi. Mekanisme partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah juga telah berkembang. Mekanisme partisipasi dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama adalah mekanisme partisipasi yang disediakan berdasarkan ketentuan daerah yang ada. Mekanisme ini menoakup Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Masa Reses DPRD, Rapat Terbuka DPRD, Rukun Tetangga &. Rukun Warga (RT & RW), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Keluraban (LPMK), Kontak Publik via Situs Intemet Pemkot Malang, Kunjungan Kezja Anggota DPRD, dan Konsultasi Publik.Kedua adalah mekanisme yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tidak diatur sebagai mekanisme resmi panisipasi masyarakat. Mekanisme ini terdiri dari suara publik yang disalurkan lewal media massa baik cetak maupun elektrondcdan unjuk rasa. Dengan membandingkan mekanisme partisipasi masyarakat tersebut dengan teori ladder of citizen ernpowermem dari Burns, Hambleton, & Hogget maka disimpulkan bahwa mekanisme partisipasi yang ada telah mencapai demjat partisipasi warga namun belum mencapai derajat ideal, yakni citizen control. Dalam derajat partisipasi warga berarli masyarakat Kota Malang telah dapat memasukkan berbagai aspirasi dan kepenlingannya sepanjang tidak mengubah pakem kebijakan yang telah disusun oleh penyeienggara pemerintahan daerah. Kondisi ini telah dianggap efektif oleh Pejabat Pemerinlah Daerah dan Anggota DPRD namun dianggap tidak efektif oleh anggota masyarakal dan pegiat organisasi Iokal. Kesesuaian antara mekanisme panisipasi yang tersedia dengan pencapaian subslansi pemberdayaan pada derajat partisipasi menunjukkan adanya pembuktian atas teori ladder of citizen empowerment dari Bums, Hambleton, & Hogget. Adanya harapan sebagian slakehofder pemerintahan daerah terhadap mekanisme dan derajat partisipasi yang lebih tinggi juga membuktikan saran preskziptifdari teori di atas. Analisis sistem dinamis rnenunjukkan bahwa pengungkit dalam sistem partisipasi masyarakat dalam pemerinrahan daerah adalah peran clit lokal. Sebagai pengungkit (leverage) bennakna bahwa peran elit Iokal mempakan variabel paling sensitif bagi kinerja sislem partisipasi masyarakat. Dengan melakukan penyederhanaan terhadap sistem partisipasi yang tergambar dalam diagram simpal kausal maka diperoleh pola dasar sistem, yakni batas-batas pertumbuhan. Melalui pola dasar ini dapat dipahami bahwa dukungan pemerintah pusat mempakan limiting faktor bagi sistem ini. Melalui pemahaman alas pola dasar batas pertumbuhan maka dapat dipastikan bahwa solusi atas peningkatan kinerja sistem partisipasi dapal diiakukan melalui dua alternatifi Pertama, pcmbebasan faktor pembatas, yakni dengan meningkatkan dukungan pemerintah pusat terhadap panisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dukmmgan ini dapat dilakukan dengan menycdiakan pemturan pemndang-undangan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpanisipasi pada derajat panisipasi yang tertinggi. Dukungan tersebut juga dapat dilakukan dengan melakukan supervisi terhadap kualitas partisipasi dari kebijakan daerah. Kedua, intervensi melalui pengungkit yakni dengan mengurangi pengamh clit lokal dalam proses kebijakan daerah sehinggn dukungan penyelenggara daerah terhadap partisipasi masyarakat akan meningkat. Mengurangi pengamh elit lokal dapat dilakukan dengan menjamin adanya pmses partisipasi dan transparansi dalam pembualan dan implementasi kebijakan daerah.
The purpose of decentralization to promote public participation in local govemment is failed because of complex problems. These are the dominance of local elite, the lack of govemmenfs political will to support public participation, the lack of local organization?s capacity, and lack of the public awareness to participate. Realizing participatory local government needs robust policy based on comprehensive research. Many scholars in many disciplinm had conducted the research of public participation. but there is scarcity of public participation's research in local govemment especially using system thinking approach. According to that reason, the research problem statements are: what is the description of public participation in local govemment ? how effective is the degree of public participation? what is the system thinking based model for public participation in local govemment? how are the policy altematives for promoting public participation in local government? The using of system thinking in this research based on several reasons. First, public participation in local government is under dynamic complexity situation. Second, this research would understand root of the problem by systemic structure rather than event. Third, this research tries to anticipate the lirture problem by fomiulating the robust policy. The analysis of system dynamic of Coyle is selected for this research based on several researches. First, system dynamic is part of hard system, which prefer to attain delined goal. Second, this analysis produces model and recommendation in order to provide solution of the complex problem. Third, Coyle?s Analysis of system dynamic describing the system through both qualitative and quantitative data. The progress of public participation in local govemment in era of refonn is in S-curve type. There .are extended mechanism of public participation, which are divided into two types, i-e. regulated and altemative mechanisms. Local govemment Regulated mechanisms comprise of development planning meeting (musyawarah perencanaan pembangiman), sitting in council meeting, neighborhood association Rukun Tetangga & Rukun Warga) public consultation, community empowerment Institution (Lembaga Pemberdayaan lvlasyarakat Kelurahan), public contact via intemet. Altemative mechanisms initiated by community themselves and are not regulated by local government. These mechanisms comprise of public voices channeled by mass media and demonstration. Effectiveness of public participation mechanisms is in citizen participation level according to Bums, Hambleton, & Hogget's ladder of empowerment. This level is under the top of the ladder, i.e citizen control level. In this level, citizen could influence both in policy making and implementing but do not have decision power in the policy process- This level perceived as effective by local authorities but as not effective by citizens and local organization?s activists. This research proves that participation mechanisms match with the degree of participation level in ladder of empowerment theory. Citizen?s hope for better degree of participation in the top ladder proves that prescriptive suggestion in the ladder ofempowerment comes true. System dynamic analysis indicated that the leverage of public participation in local government is local elite?s role. It means that local elite?s role is the most sensitive parameter in the system. Simplification of the influence diagram of public participation system shows that archetype ofthe system is limits to growth Through this archetype, it could be concluded that limiting factor for the system is central govemment support. According to system thinking approach, the altemative solutions for improving public participation are releasing the limiting factor or pushing the leverage. Releasing the limiting factor means that central government increases it?s support for public participation in local govemment. Central govemment suppon could be operated through providing regulation increasing the level of public participation in local govemment. This support includes central govemment supervision for quality of participatory local government. Pushing the leverage means that local elite?s role in public policy process is limited so that local govemment support for public participation increases. Limitation could be operated by providing regulation for public participation and providing regulation for transparency in public policy process.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D829
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jamal Muhammad Gawi
Abstrak :
Penelitian ini menjelaskan dampak proses globalisasi dan otonomi khusus yang terjadi secara bersamaan pada pengelolaan huitan berkelanjutan di Provinsi Aceh. Dengan menggunakan pendekatan kualiitatif, tiga aspek diteliti: respons kebijakan dan institusi oleh pemerintah Aceh dan dampaknya pada keberlanjutan dua ekosistem penting, Leuser dan Ulu Masen. Teori proses kebijakan dan ekologi politik digunakan untuk menjelaskan narasi, aktor dan jaringan, serta kepentingan yang mempengaruhi pembuatan dan hasil kebijakan. Indeks Tata Kelola Hutan yang Baik dengan menggunakan teknik Multi Dimentional Scaling digunakan untuk mengukur kinerja lembaga yang mengurus konservasi yang dibentuk Pascatsunami di Aceh. Teknik yang sama digunakan untuk mengukur keberlanjutan kawasan hutan dengan melibatkan lima dimensi pengelolaan hutan di Aceh. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat narasi dengan berbagai aktor dan kepentingan terlibat dalam proses kebijakan kehutanan/konservasi di Aceh. Kebijakan dan lembaga yang dibentuk pascatsunami memiliki kinerja kurang baik dan status keberlanjutan kawasan hutan juga kurang berkelanjutan. Berdasarkan temuan ini, sebuah model kemitraan pemerintah-swata diusulkan untuk mengelola kawasan hutan Aceh secara berkelanjutan di masa mendatang. ......This research explains the impact of parallel processes of asymmetric decentralization in the form of special autonomy and globalization through REDD+ on sustainable forest management in Aceh Province, Indonesia. Using qualitative approach, three key aspects are studied: the policy and institutional responses of the government of Aceh and the sustainability of forest management for two important ecosystems: Leuser and Ulu Masen. Political ecology and policy process theories are used to explain the narratives behind a policy, the actors involved, and the political interests influencing the policy making and outputs. Good Forest Governance index by using Multi Dimensional Scaling (MDS) technique is used to measure the performance of conservation institutions formed during the post tsunami Aceh. Similar MDS technique is used to develop sustainability index by looking at five dimensions of sustainable forest management in Aceh. The results show that four main narratives with different actors and political interests involved in influencing forest conservation arena in Aceh. The conservation policy and institutions formed in post-tsunami Aceh have not performed well and the sustainability status for the two ecosystems studied are less sustainable. Based on these results, a model of public-private partnership is developed to manage future forest conservation in Aceh.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Supriyono
Abstrak :
Local Govemment Institution Development has continuously been performed in line with the changes of decentralization policy. A basic question interesting to study is ?Can institution development which has continuously been performed created tl1e ability of local government institution to carry out government autonomy regions? This question is relevant to propose knowing that there have still been complex problems for an institution ability to cany out local government. Realizing that the complex problems, his research is aimed to describe and analyze the ability of local govemment institution in carrying out the provision of urban infrastructures based on three dimensions of institutional development. Firstly, the effectiveness of local government institution in carrying out the functions of planning and performing. Secondly, the direction changes of local government institution in response to decentralization policy. Thirdly, institutionalizations process in local government institution. The other aim of this research is constructing models of the systems of local government institution to solve the three problems mentioned above. Based on the above aims, approaches of qualitative and system thinking are used to carry out this research. The usage of qualitative approach was needed to examine the capability of local government institution in implementing the function of providing urban infrastructures through understanding of understanding process, while the system approach was used to analyze the relationship among the phenomenon systemically and as an effort to solve the institution development problems which was also faced systemically. The system approach used is Sof? System Methodology (SSM). The working principles of this methodology are examining phenomenon in the real world based on understanding of understanding to the phenomenon and then building a system model of solving problems through learning process based on the Same of system thinking. Referring to the analysis results and their relevance to the research aims, some conclusions could be drawn. Firstly, the development of the structure and function of local government institution in Malang Regency in implementing the function of providing urban infrastructures shows that there are local institutions having double Emotion and post. It is indicated by the existance of conflict configuration in implementing those two functions. Secondly, based on some standardization indicators of either planning process or working implementation, local govemment institution in implementing the limction of providing urban infrastructures proves ineffective. Thirdly, in giving response to decentralization policy local government tends to choose dynamic conservatism strategy and the model of local government performed by Malang Regency is traditional bureaucratic authority model. Fourthly, institutionalization within local government institution either in the institutional level or in the perspectives of inter-actor relationship in implementing the function of providing urban infrastructures is not yet optimal. Fiithly, based on using soft system analyses, it can be constructed four models of development systems of local government institution oriented on solving problems. The four models are: the effectivity system models of local government institution in performing the function of planning and of implementing, the direction system model of local government changes, and the institutionalization system model within local govemment institution. This research gives tive recommendations. Firstly, the development of local government institution to increase the quality of urban infrastructure provision should be based on definite standardization conforming to the authority and function implemented by local institutions. The usage of the standardization should be directed to the efforts of overcoming the conflict happens in the unit of local government institution in carrying out its function. Secondly, local government institution should, in implementing the function of urban structure provision, involve private and commtmity participation. The institution involvement refers to the implementation of local government using either community enabling authority or marker enabling authority model, its implementation should be conformed with the social structure of local community. Thirdly, government institution needs to increase its institutionalization process in carrying out the function of urban infrastructure provision by building shared value in terms of bringing the balance between high and low formalization, independence and interdependence, and also the transformation balance between top-down and bottom-up actor behavior. Fourthly, local government institution needs to construct local government institution model system to implement the function of urban infrastructure provision along with monitor and control subsystem whose function is to control the function. The monitor and control subsystem should be formulated by stakeholders using clear performance measurement and its implementation is performed by an institution having an authority in its field.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D804
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library