Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadeth Trinita Laurencia
"Mekanisme persidangan in absentia dalam hukum acara pidana di Indonesia dirancang
untuk menjamin keberlangsungan proses hukum meskipun terdakwa tidak hadir di
persidangan. Skripsi ini mengkaji penerapan mekanisme in absentia terhadap tindak
pidana white collar crime dengan fokus pada tiga kasus, yakni Sherny Kojongian,
Hartawan Aluwi, dan Djoko Tjandra. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga
rumusan masalah: bagaimana pengaturan hukum terkait in absentia, bagaimana
penerapan mekanisme ini pada kasus-kasus white collar crime, serta apa saja kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan in absentia terhadap terdakwa yang
berstatus Interpol Red Notice. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Data dikumpulkan melalui
studi kepustakaan, termasuk peraturan perundang-undangan, dokumen kasus, dan
literatur yang relevan. Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis untuk mengevaluasi
pengaturan normatif, praktik penerapan, serta kendala dan solusi terkait mekanisme in
absentia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum acara pidana di
Indonesia telah mengakomodasi mekanisme in absentia untuk memberikan kepastian
hukum dalam penanganan kasus white collar crime. Mekanisme ini memungkinkan
pengadilan untuk menjatuhkan putusan tanpa kehadiran terdakwa, namun efektivitasnya
sangat bergantung pada koordinasi lintas negara melalui instrumen seperti Interpol Red
Notice. Kendala utama dalam eksekusi putusan meliputi kurangnya harmonisasi hukum
internasional, lemahnya penegakan Red Notice di negara pelarian terdakwa, serta
prosedur ekstradisi yang lambat. Sebagai simpulan, mekanisme in absentia dan Red
Notice memiliki peran strategis dalam penanganan white collar crime, namun
memerlukan penguatan koordinasi antarnegara. Rekomendasi penelitian ini mencakup
harmonisasi pengaturan in absentia dalam KUHAP dengan peraturan pelaksana,
optimalisasi perjanjian ekstradisi, penerapan Mutual Legal Assistance secara efektif, dan
peningkatan sinergi antara sistem hukum domestik dan internasional untuk meningkatkan
efektivitas eksekusi putusan.

The in absentia mechanism in the Indonesian legal system is designed to ensure the continuity of legal proceedings against absent defendants, particularly in white collar crime cases such as corruption and money laundering. This study analyses the application of in absentia in three cases-Sherny Kojongian, Hartawan Aluwi, and Djoko Tjandra-with a focus on its correlation with the issuance of Red Notice and its effect on the execution of verdicts and asset recovery. In all three cases, in absentia provides legal certainty to continue the judicial process without the presence of the defendant, while the Red Notice serves as an instrument to designate the defendant as an international fugitive. However, the correlation between the two suggests that the successful application of in absentia relies heavily on the effectiveness of the Red Notice in ensuring the defendant can be apprehended and extradited. Obstacles arise when the defendant's country of flight does not act on the Red Notice, as in the Sherny and Djoko cases, or when cross-border legal procedures slow down the extradition process, as in the Sherny and Djoko cases, or when cross-border legal procedures slow down the extradition process, as in the Hartawan case. In addition, delays in the implementation of in absentia or Red Notice also worsen the handling of cases because they prolong the escape of the accused and hinder the recovery of assets. This research confirms that although in absentia and Red Notice are important elements in international law enforcement, weaknesses in cross-border coordination and legal harmonisation remain key challenges. Therefore, strengthening extradition treaties, optimising Mutual Legal Assistance, and synergy between domestic and international systems are needed to support the effectiveness of both mechanisms. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narendra Dirgantara
"Penelitian ini membahas penerapan asas legalitas dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, khususnya melalui analisis terhadap Rancangan Undangan-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang dibahas dalam rapat DPR antara tahun 1979 hingga 1981 dan putusan praperadilan Angin Prayitno. Asas legalitas, yang berfungsi melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi fundamental dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disahkan pada tahun 1981. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal untuk menelusuri proses legislasi RUU HAP dan relevansinya dengan pemikiran hukum barat. Penelitian ini menyoroti asas legalitas dalam Pembahasan  RUU HAP yang sejatinya merupakan suatu asas yang membatasi aparat penegak hukum untuk melaksanakan hukum acara pidana untuk bertindak sesuai dengan undang-undang. Asas legalitas ini merupakan suatu pemenuhan unsur rule of law serta perancangan kodifikasi dan unifikasi hukum sebagai upaya pemenuhan HAM. Melalui studi kasus putusan praperadilan Angin Prayitno, ditemukan bahwa hakim gagal menerapkan asas legalitas secara tepat dalam menentukan status pemohon. Dalam putusan Nomor 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel yang penulis teliti, Hakim tidak memberikan dasar hukum apapun dalam menentukan status Angin Prayitno sebagai Aparat Penegak Hukum yang mana tidak sesuai dengan konsep asas legalitas. Hakim juga tidak tepat dalam melakukan perluasan maka Penyelenggara Negara yang mana dalam Undang-Undang sejatinya sudah dibatasi.  Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan asas legalitas dalam KUHAP masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam praktik peradilan. Penulis merekomendasikan perlunya peningkatan pemahaman agar penerapan asas legalitas dapat dilaksanakan dengan baik untuk memastikan perlindungan HAM dan keadilan dalam sistem hukum pidana di Indonesia serta tercapainya cita-cita Rule of Law

This research discusses the application of the principle of legality in the context of criminal procedure law in Indonesia, specifically through an analysis of the Draft Law on Criminal Procedure (RUU HAP) discussed in DPR meetings between 1979 and 1981 and the pretrial decision of Angin Prayitno. The principle of legality, which serves to protect human rights, became fundamental in the Criminal Procedure Code (KUHAP) passed in 1981. This research uses a doctrinal method to trace the legislative process of the Criminal Procedure Bill and its relevance to western legal thought. This research highlights the principle of legality in the discussion of the Draft Law on Criminal Procedure, which is actually a principle that limits law enforcement officials to implement criminal procedure law to act in accordance with the law. This principle of legality is a fulfillment of the elements of the rule of law and the design of legal codification and unification as an effort to fulfill human rights. Through a case study of Angin Prayitno's pretrial decision, it was found that the judge failed to properly apply the principle of legality in determining the status of the applicant. In the decision Number 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel that enuilt researched, the judge did not provide any legal basis in determining Angin Prayitno's status as a law enforcement officer, which is not in accordance with the concept of the principle of legality. The judge is also incorrect in expanding the State Organizer which in the Act has actually been limited.  The conclusion of this research shows that the application of the principle of legality in KUHAP still faces various challenges, especially in judicial practice. The author recommends the need for increased understanding so that the application of the principle of legality can be implemented properly to ensure the protection of human rights and justice in the criminal law system in Indonesia and the achievement of the ideals of the Rule of Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narendra Dirgantara
"Penelitian ini membahas penerapan asas legalitas dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, khususnya melalui analisis terhadap Rancangan Undangan-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang dibahas dalam rapat DPR antara tahun 1979 hingga 1981 dan putusan praperadilan Angin Prayitno. Asas legalitas, yang berfungsi melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi fundamental dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disahkan pada tahun 1981. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal untuk menelusuri proses legislasi RUU HAP dan relevansinya dengan pemikiran hukum barat. Penelitian ini menyoroti asas legalitas dalam Pembahasan  RUU HAP yang sejatinya merupakan suatu asas yang membatasi aparat penegak hukum untuk melaksanakan hukum acara pidana untuk bertindak sesuai dengan undang-undang. Asas legalitas ini merupakan suatu pemenuhan unsur rule of law serta perancangan kodifikasi dan unifikasi hukum sebagai upaya pemenuhan HAM. Melalui studi kasus putusan praperadilan Angin Prayitno, ditemukan bahwa hakim gagal menerapkan asas legalitas secara tepat dalam menentukan status pemohon. Dalam putusan Nomor 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel yang penulis teliti, Hakim tidak memberikan dasar hukum apapun dalam menentukan status Angin Prayitno sebagai Aparat Penegak Hukum yang mana tidak sesuai dengan konsep asas legalitas. Hakim juga tidak tepat dalam melakukan perluasan maka Penyelenggara Negara yang mana dalam Undang-Undang sejatinya sudah dibatasi.  Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan asas legalitas dalam KUHAP masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam praktik peradilan. Penulis merekomendasikan perlunya peningkatan pemahaman agar penerapan asas legalitas dapat dilaksanakan dengan baik untuk memastikan perlindungan HAM dan keadilan dalam sistem hukum pidana di Indonesia serta tercapainya cita-cita Rule of Law

This research discusses the application of the principle of legality in the context of criminal procedure law in Indonesia, specifically through an analysis of the Draft Law on Criminal Procedure (RUU HAP) discussed in DPR meetings between 1979 and 1981 and the pretrial decision of Angin Prayitno. The principle of legality, which serves to protect human rights, became fundamental in the Criminal Procedure Code (KUHAP) passed in 1981. This research uses a doctrinal method to trace the legislative process of the Criminal Procedure Bill and its relevance to western legal thought. This research highlights the principle of legality in the discussion of the Draft Law on Criminal Procedure, which is actually a principle that limits law enforcement officials to implement criminal procedure law to act in accordance with the law. This principle of legality is a fulfillment of the elements of the rule of law and the design of legal codification and unification as an effort to fulfill human rights. Through a case study of Angin Prayitno's pretrial decision, it was found that the judge failed to properly apply the principle of legality in determining the status of the applicant. In the decision Number 68/Pid.Pra/2021/PN Jkt.Sel that enuilt researched, the judge did not provide any legal basis in determining Angin Prayitno's status as a law enforcement officer, which is not in accordance with the concept of the principle of legality. The judge is also incorrect in expanding the State Organizer which in the Act has actually been limited.  The conclusion of this research shows that the application of the principle of legality in KUHAP still faces various challenges, especially in judicial practice. The author recommends the need for increased understanding so that the application of the principle of legality can be implemented properly to ensure the protection of human rights and justice in the criminal law system in Indonesia and the achievement of the ideals of the Rule of Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mazumah
"Tulisan ini membahas tentang konsep restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual sebelum dan sesudah peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh korban kekerasan seksual yang kerap kali menjadi korban kembali dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual, terutama restitusi, dalam sistem hukum di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui metode penelitian yang bersifat sosiolegal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan tentang restitusi berdasarkan penerapannya sebagaimana disampaikan dalam wawancara pendamping dari Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara itu, analisisnya menggunakan teori restoratif dan teori hukum feminis.
Hambatan penelitian ini adalah Penulis tidak banyak menemukan praktik restitusi bagi korban kekerasan seksual baik sebelum atau setelah UU TPKS disahkan pada 2022 lalu. Kelemahan penerapan restitusi sebagai pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun masih terjadi. Dalam implementasinya, restitusi masih belum menjadi hak korban yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Sebagai hak, korban juga memiliki kewenangan menolak atau menerima dengan beragam alasan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual belum optimal, khususnya restitusi. Kemudian terdapat tantangan pula berupa perspektif Aparat Penegak Hukum yang masih beragam dalam implementasi restitusi sebagai hak korban sehingga dibutuhkan layanan terpadu antar pihak agar restitusi menjadi hak bagi korban dalam upaya pemenuhan pemulihan akibat dari kasus yang dialami.

This paper discusses the concept of restitution for victims of sexual violence before and after the regulation of the Law Number 12 of 2022 on the Crime of Sexual Violence. The Crime of Sexual Violence Law is present in order to provide guarantees of prevention, protection, access to justice, and recovery, as well as the comprehensive fulfillment of victims' rights that have never been obtained by victims of sexual violence who often become victims again in the legal system in Indonesia. This research wants to find out how the fulfillment of the rights of victims of sexual violence, especially restitution, in the legal system in Indonesia. Data used in this paper was obtained through sociolegal research method. This is done by analyzing the implementation of laws and regulations on restitution based on its implementation as conveyed in an accompanying interview from the Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang and the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). Meanwhile, the analysis uses restorative theory and feminist legal theory.
The obstacle for this research is that the author did not find many restitution practices for victims of sexual violence both before and after the Crime of Sexual Violence Law was passed in 2022. The weak application of restitution as the main punishment for perpetrators of sexual violence who are sentenced to 4 (four) years imprisonment still occurs. In its implementation, restitution is still not a victim's right that must be fulfilled by the perpetrator of the crime. As a right, victims also have the authority to refuse or accepts for various reasons. The results of this study conclude that the fulfillment of the rights of victims of sexual violence has not been optimal, especially restitution. Then there are also challenges in the form of perspectives of law enforcement officials that are still diverse in the implementation of restitution as a victim's right, hence integrated services are needed between parties so that restitution becomes a right for victims in an effort to fulfill recovery from the cases they experience.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library