Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aru Wisaksono Sudoyo
Abstrak :
Kanker usus besar atau kolorektal (KKR) termasuk dalam penyakit keganasan urutan 10 tersering di dunia, termasuk di Indonesia. Dihubungkan dengan lingkungan dan gaya hidup (lifestyle), KKR lebih banyak didapatkan di negara-negara maju. Di negara-negara tersebut, KKR mempunyai angka kejadian yang meningkat tajam setelah usia 50 tahun - untuk usia muda di bawah 40 tahun hanya sebesar 3%, dan sebagian besar memenuhi kriteria Amsterdam/modifikasi Bethesda untuk HNPCC atau hereditary nonpolyposis colon cancer dengan karakteristik khas yaitu 1) lokasi di sebelah kanan;2) stadium patologik Iebih rendah; 3) tidak cenderung bermetastasis; dan 4) mempunyai prognosis yang Iebih baik. Selain itu, menurut jalur kejadian terjadinya kanker (karsinogenesis) - kanker kolorektal adalah jenis kanker yang paling banyak dipelajari dan digunakan sebagai model karsinogenesis dengan sekuens adenoma-karsinomanya - KKR usia muda mengikuti jalur instabilitas miktrosateiit, dan KKR sporadik terutama mengikuti jalur instabilitas kromosom. Di Indonesia didapatkan angka yang berbeda. Untuk usia di bawah 40 tahun di Bagian Patologi Anatomik FKUI dari tahun 1996 hingga 1999 didapatkan angka 35.265% dan laporan Departemen Kesehatan dari empat kota Jakarta, Bandung, Makassar dan Padang mendapatkan angka untuk usia di bawah 45 tahun sebagai berikut: Jakarta 47,85% (1494i3122), Makassar 54,5% (390/715), Padang 44,3% (375l846), dan Bandung 48,2% (706/1464). Pembedahan merupakan modalitas pengobatan utama pada KKR, namun banyak pasien-pasien sudah datang dalam tahapan penyakit yang memerlukan kemoterapi dan radioterapi (untuk kanker rektum). Selain angka mudausia yang lebih tinggi dari laporan di negara maju, pasien-pasien KKR usia muda di Indonesia juga datang dengan penyakit yang lebih cepat berkembang dan seringkali tidak responsif terhadap kemoterapi. Hai ini akan berdampak besar terhadap produktivitas dan keuangan keluarga, mengingat usia mereka yang masih muda. Karena itu dianggap perlu untuk meneliti lebih jauh perangai dari KKR usia muda ini. Kanker kolorektal merupakan model karsinogenesis yang paling Iengkap, dengan pengetahuan yang sudah dicapai mengenai akumulasi berbagai kelainan genetik sehingga terjadi kanker dan dikenal dua jalur utama pembentukan KKR. Pentama, jalur instabilitas kromosom (CIN - chromosome! instability) dengan kelainan-kelainan berupa aneuploidi dan mencakup mutasi pada antara gen-gen APC, Ki-ras, DCC, Smad dan p53 jalur ini ditemukan pada 90% KKR sporadik (laporan negara maju). Jalur kedua adalah jalur instabilitas mikrosatelit (MIN - microsatellite instability) dengan komponen utamanya mutasi pada gen perbaikan ketidakcocokan atau mismatch repair genes yang diwakili oleh MSH2, MLH1, MSH3, MSH3, PMS1 dan PMS2. Di negara maju, jalur ini ditemukan pada sebagian besar KKR berusia muda, dan biasanya mempunyai prognosis baik. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah : Pertama, apakah pasien-pasien KKR Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun mempunyai karakteristik molekuler yang berbeda dengan pasien-pasien di negara-negara maju pada kelompok usia yang sama?. Kedua, apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan angka yang dilaporkan di negara-negara maju? Dan ketiga, Apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan pasien-pasien yang berusia 60 tahun atau Iebih? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian eksploratif dan analitik terhadap pasien-pasien bangsa Indonesia - dalam hal ini peneliti memilih kelompok etnik Jawa, Sunda, Makassar dan Minang atas dasar penelusuran studi-studi antropologik mengenai pola migrasi manusia modern ke kawasan kepulauan Indonesia serta data genetik dari penelitian mengenai Thalassemia di Indonesia. Peneliti menganggap penetapan kelompok penelitian ini penting untuk di masa depan, di mana pendekatan kanker tidak hanya pada opulasi melainkan akan berpindah pada profil genetik individual sebagai dasar penentuan strategi pencegahan, deteksi dini dan terapi kanker kolorektal. Penelitian dimulai dengan penelusuran data rekam medik pasien-pasien KKR berusia 40 tahun dan kurang serta mereka yang berumur 60 tahun atau Iebih termasuk alamat rumah mereka. Data dengan menelusuri arsip spesimen KKR di Bagian-bagian Patologi Anatomik fakultas-fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Universitas Hasanuddin. Setelah itu pasien-pasien atau keluarganya (bila pasien sudah meninggai) diwawancara mengenai kelompok etniknya dan apakah mereka termasuk KKR herediter yang memenuhi kriteria Amsterdam/Bethesda. Spesimen tumor pasien-pasien tersebut menjalani pemeriksaan histopatologik ulang dengan menetapkan jenis histopatologi dan grade tumornya. Kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap ekspresi protein MLH1 dan MSH2 sebagai gen mismatch repair yang paling dominan, serta terhadap ekspresi protein SMAD4 untuk rekonfirmasi membedakan antara jalur MIN dan CIN. MSH2 positif; jika ditemukan ekspresi protein MSH2 Iebih dari 20%. NILH1 positif: jika ditemukan ekspresi protein MLH1 Iebih dari 20%. Kriteria interpretasi di atas juga berlaku untuk interpretasi hasit puiasan Smad4. Tujuannya terutama adalah untuk membuktikan apakah jaringan tumor dari KKR usia muda mengikuti jalur MIN seperti pada KKR usia muda di kepustakaan negara maju. Telah berhasil berhasil dikumpulkan 121 kasus secara konsekutif dari lima rumah sakit (RS) di Indonesia, yaitu 20 kasus dari RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 18 kasus dari RS Kanker Dharmais (Jakarta), 3 kasus dari RSPAD Gatot Subroto (Jakarta), 56 kasus dari RSUD Hasan Sadikin (Bandung), dan 24 kasus dari RSUD Dr. Wahidin (Makassar). Kelompok etnik penderita terdiri dari 64 (52,9%) orang suku Sunda, 28 (23,1%) orang suku Jawa, 25 (20,7%) orang suku Bugis/ Makassar, serta 4 (3,3%) orang suku Minang. Dari 118 data histopatologi yang tersedia, adenokarsinoma merupakan tipe histopatologi terbanyak dan sebagian besar memiliki grade 1 Selanjutnya jika penderita dikelompokkan menurut usia, tampak bahwa karsinoma sel cincin dan adenokarsinoma musinosum secara bermakna (p=0,000) lebih banyak pada kelompok penderita usia muda dibandingkan usia tua. Terdapat perbedaan grade yang bermakna (p=0,001) di antara penderita usia muda dan usia tua; kanker Grade 3 Iebih banyak ditemui pada penderita usia muda dibandingkan dengan usia tua. Dari 121 data penderita yang berhasil dikumpulkan, pulasan imunohistokimia untuk protein MSH2 berhasil dilakukan pada 92 spesimen, sedangkan untuk protein MLH1 berhasil dilakukan pada 97 spesimen. Lebih dari 50% kasus memperlihatkan ekspresi protein MSH2 (positif), namun ekspresi MLH negatif pada 83,5% spesimen_ Terdapat 88 spesimen yang berhasil dilakukan pulasan anti-MSH2 dan anti-MLH1 secara serempak. Pola ekspresi MLH1 tampak tidak paralel dengan pola ekspresi MSH2. Sebanyak 55% (41 dari 74) kasus dengan ekspresi MLH1 negatif memiiiki ekspresi MSH2 yang normal. Ekspresi MSH2 dan MLH1 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara Iokasi tumor di kolon kanan dan kolon kiri. Namun ada kecenderungan bahwa proporsi spesimen yang menghasilkan ekspresi MSH2 negatif lebih banyak pada kolon kanan. Ekspresi MLH1 di kolon kanan bahkan tidak muncul sama sekali. Tidak adanya perbedaan ekspresi MSH2 dan MLH1 pada lokasi kolon juga tidak tampak bila penderita dikelompokkan berdasarkan usia, walaupun ada kecenderungan Iebih banyak penderita usia muda yang tidak mengekspresikan MSH2 dan MLH1. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi MSH2 dan MLH1 dengan pentahapan (grading) tumor. Ini berarti pada penderita yang diteliti tidak terdapat hubungan antara instabilitas mikrosatelit dengan grade tumor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Penderita kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak memperlihatkan perbedaan pola ekspresi protein MSH2 dan MLH1 dibandingkan dengan penderita kanker kolorektal usia tua. 2) Kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak ada yang dapat dikelompokkan dalam kanker kolorektal herediter berdasarkan hasil wawancara yang menggunakan perangkat kriteria Amsterdam sehingga dapat dimasukkan dalam kategori kanker kolorektal sporadik. 3) Ekspresi MLH1 dan MSH2 secara imunohislokimia saja tidak bisa digunakan untuk mendeteksi instabilitas mikrosatelit pada KKR usia muda pada etnik Jawa, Sunda, Makassar, Minang; dan 4) Kriteria Amsterdam dan modifikasi Bethesda masih merupakan Cara paling efektif untuk menentukan sporadisitas KKR. Pola hasil yang didapat menunjukkan bahwa amat mungkin KKR usia muda pada populasi ini merupakan jenis yang lain dari KKR di negara maju bahkan diluar jalur MIN dan CIN. Apakah ?manusia Indonesia" menua lebih cepat sehingga ditemukan KKR pada usia yang lebih muda? Penelusuran kepustakaan terhadap terjadinya penuaan biologik menunjukkan bahwa pada proses penuaan (aging) secara almiah tidak terdapat perbedaan - namun didapat beberapa pengaruh Iinternal dan eksternal dalam lingkungan yang berpengaruh terhadap karsinogenesis KKR. Secara internal pada karsinogenesis KKR berperan interaksi antara stres oksidatif, yang mempengaruhi mitokondria. Pada proses menua terjadi disfungsi mitokondria yang menghasilkan stres oksidatif dan mempengaruhi berbagai penentu karsinogenesis seperti penghambatan apoptosis, aktivasi onkogen, peningkatan fenotip mutator dan inaktivasi gen supresor tumor. Kejadian tersebut dipercepat oleh faktor eksternal yang penting - yaitu status sosioekonomi - yang dapat menyebabkan terjadinya instabilitas genetik, antara lain 1) infeksi dan infiamasi ; dan 2) diet serta nutrisi. Saran yang muncul dari penelitian ini adalah, dalam paradigma pendekatan terhadap kanker yang saat ini sudah muiai bergeser ke motekuler/individu dan bukan umum / empirik lagi, diterapkan penelitian-penelitian epidemiologi molekuler terhadap populasi pasien kanker di Indonesia. Pengobatan kanker di masa yang akan datang akan mengacu pada profil genetik seseorang atau sekelompok populasi - dan pengetahuan yang didapat pada penelitian ini diharapkan menjadi landasan berpijak. ......Colorectal cancer (CRC) ranks among the 10 omost common cancers in the world, including indonesia. Related to environment and lifestyle, CRC has been to more common the developed countries. In developed countries, the incidence of CRC increases sharply after the age of 50 years - whereas only 3% are found among those below 40 years, most complying with the Amsterdam / Bethesda modification criteria for HNPCC (hereditary nonpolyposis colon cancer) characterized by : 1) right-sided location; 2) a lower pathologic stage; 3) less tendency to metastasis; and 4) a good prognosos. Colorectal cancer is the most studied of cancers, and the adenome- carcinoma sequence of its carcinogenesis is used as a model for othercancers. There are two main pathways of carcinogenesis in CRC, i,e., the chromosomal instability (CIN) pathway - mainly found in sporadic CRC, and the microsatellite instability (MIN) -found in the majority of hereditary CRC. In Indonesia a different pattern emerged from hospitals. Data at the Department of Anatomic Pahtology from 1996 to 1999 revealed that there were 35.2% CRC cases under 40 years old. From the Ministry of Health it was found that, in 4 major cities of Indonesia, i.e., Jakarta, Bandung, makassar and Padang, CRC cases under 45 years old were, 47.85%, 54.5%, 44.3 and 48.2%, respectively. Surgery is the main treatment modality for CRC, but many patients present themselves in an advanced state such that chemotherapy and radiotherapy (for rectal cancer) have to be used. Aside form the higher incidence compared to developed countries, the tumors of young CRC patients in Indonesia are more progressive and do not repond well to cancer anticytostatics, impacting on health facilities and economics as they are in a productive age. lt is thus deemed necessary to investigate further the charactelstics of the tumors. Previously, colorectal cancer is regarded as the model for carcinogenesis. The cancer is known to be the result of an accumulation of gene mutations and it is now known to follw 2 main pathways. The first, the chromosomal instability (CIN) pathway, is based on aneuploidy and consists of mutations of severla genes, among others SAPC, Ki-ras, DCC, Smad and p53 - it is found in more than 90% of sporadic CRC. The second pathay involves microsatellite instability (MIN) and involves mutations of the mismatch repair genes, i.e., MLH1, MLH2, MSH2, MSH3, MSH6, PM1 and PMS2. In devolped countries, MIN is found in the majority of young CRC patients, usually having a better prognosis. The question is thus, Firstly, whether young (40 years and younger) Indonesian CRC patients have a different molecular patter than their counterparts in developed countries? Secondly, is MIN in young Indonesian CRC patients less in incidence than in developed countries. Thirdly, is MIN among young Inodnesian CRC paitents found less than among the elderly (60 years and older)? In order to be able to answer the abovementioned questions, we conducted an explorative and analytic study on native lndonesians - represented by the four ethnic groups i.e., Javanese, Sundanese, Makarasses and Minang. The choice of the ethnic groups was based on anthropological (the pattern of migration of modern humans into Southeast Asia) and genetic (based on studies on Thalassemia in Indonesia). We regard the initial categorization of ethnic choice to be important, as in the future the approach to cancer will be based on the shifting paradigm in which the individual genetic profile is the base for strategy planning in cancer prevention, early detection, and treatment. The study was started with the perusal of medical records form designated hospitals for data of young (40 years and younger) and old (60 years and older) CRC patients including their home addresses. Data was obtained from the archives of the Anatomic Pathology departments of the University of Indonesia, Padjadjaran University, and Hasanuddin University. The patients or their relatives were subsquently interviewed for ethnicity and compliance with the Amsterdam / Bethesda criteria for hereditary CRC. Tumor specimens underwent evaluation for histopathology and grading. immunohistochemistry (IHC) was done for expression of MLH1 and MSH2 proteins to detect MIN and for the SMAD4 protein to reconfirrn that the specimens were not of MIN origin. The IHC test was regarded as positive if expression was found to be 20% or more - aforementioned criteria to be used for all IHC tests. The aim was mainly to prove whether the tumor specimens of young CRC patients foiled the MIN pathway as reported for cases in devolped countries. One hundred and twenty cases were consecutively compiled from 5 hospitals in Indonesia, i.e., the Cipto mangnkusumo hospital (20 cases), Dharmais Cancer Hospital (18 cases), Gatot Subroto Army Hospital (3 cases), all in Jakarta, the Hasan Sadikin Hospital in Bandung (56 cases) and Dr Wahidin hospital in Makassar (24 cases)- They comprise the ethnic groups : 64 Sundanese (52.9%), 28 Javanese (23.1%), 25 Buginese / Makassarese (20.7%) and 4 Minang (3.3%). From 118 available specimens, adenocarcinoma was the most dominant histopathology, and most were grade 1. categorized based on age, signet tring cell and mucinous adenocarcinoma were statistically significant (p=0.000) found more among the young CRC group. There was a statistically significantly difference in grade between the young and old patients, in which grade 3 is found more among the young patients. From 121 specimens, IHC for the MSH2 protein was done on 92 specimens, whereas MHL1 in 97. more than 50% of cases showed expressions for MSH2, but MLH1 was negative in 83-5 specimens. Done simultaneously in 88 specimens, it was shown that there was no parallel between MLH1 and MSH2. Efty tive percent (41 out of 74) with negative MLH1 expression were positive for MSH2. there was no statistically significant difference in expressions between the right and left colon. There was, however, a tendency for the proportions of specimens which had negative MSH2 expression to be located in the right colon. The MLH1 was negative for all right-sided specimens. There lack of difference in expressions of MLH1 and MSH2 was also found when the specimens were compared based on patient age, althoughthere were more of the young patients whi had negative expressions for both MLH1 and MSH2. there was no significant difference between the expressions of MLH1 and NMSH2 regarding tumor grading -this is interpreted as no correlation between MLH1 expression and tumor grade. The results of the study revealed that 1 1) CRC in young patients of Javanese, Sundanese, Makassarese and lvlinang ethnic groups did not show any difference with regard to expressions of MLH1 and MSH2 compred to old patients; 2) young CRC patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups cannot be categorized as hereditary CRC based on interviews using the Amsterdam fBethesda criteria and are henceforth regarded as sporadic. 3) the expression of MLH1 and MSH2 by IHC cannot be used to detect microsatellite instability among patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups; and 4) use of the Amsterdam I Bethesda criteria for HNPCC is still the most reliable method to determine sporadicity of CRC patients among patients of Javanese, Sundanese, Malcassarese and Minang ethnic groups. The pattern of results also brings to light the possibilty that CRC among young patiens do not follow either MIN nor CIN pathways. Does an Indonesian age faster, therefore CRC found at a younger age? Study of the literature on the aging process revealed that natural aging per se is no different from other populations - but other factors from the environment is thought to enter and influence the biological aging of cells and speed up carcinogenesis. Internally, carcinogenesis of CRC is influenced by the interaction between oxidative stress involving the mitochondria, in which mitochondrial dysfunction resulted in the production of oxidative stress affecxting various components of carcinogenesis i.e., inhibition of apoptosis, activation of oncogenes, increase in mutator phenotype and inactivation of tumor suppression genes. The events are accelerated by important external factors - namely soscioeconomic status - causing the cell to be genetically unstable, a prerequisite for cancer formation, among these involving 1) infection and inflammation; and 2) diet and nutrition. It is recommended that from this study that, in the shifting paradigm of cancer, moving from empirical tpo molecular oncology - further research be implemented with molecular epidemiology techiques on cancer populations in Indonesia. The approach of cancer in Indonesia in the future will also have to be based on the genetic profile of the individual or specific population group - and the knowledge obtained thus utilized.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D708
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cerna, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkan mukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D715
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cema, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkangmukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library