Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simarmata, Veronika Jenny
Abstrak :
Kasus AIDS semakin banyak terjadi di Indonesia dan diperburuk dengan berbagai macam penyakit infeksi komorbidnya. Hasil penelitian 108 pasien diperoleh 50,9% memiliki infeksi komorbid hepar. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional analitik dengan data sekunder rekam medik pasien rawat inap RSCM pada tahun 2010. Hasil beberapa faktor yang diteliti adalah responden laki-laki terbanyak (51 orang), rentang usia terbanyak 25-49 tahun (52 orang), dan faktor resiko penularan pada penggunaan jarum suntik (22 orang). Dengan chi-square diperoleh hubungan bermakna pada jenis kelamin (p<0,05). Ditinjau dari nilai index massa tubuh diperoleh rerata nilainya adalah 18,6 kg/m2, dan nilai rerata hitung CD4+ absolute sebesar 46 sel/dL, namun hanya nilai CD4+ absolute memiliki hubungan bermakna pada uji mann-whitney (p<0,05). ......AIDS cases are increasing in Indonesia and this infections are so bad with comorbid infections. From the result of this study, there are 50.9% in 108 patients that have comorbid hepar infection. This study was designed by cross-sectional analytic metode by using medical records of patients hospitalized in RSCM in 2010. From the factors that studied, the results are respondents with hepar infection, most are male sex (51 people), in the range 25-49 years (52 people), and the risk factor in intravena drug using (22 people). With chi-square, sex is related with hepar infection in respondents (p<0,05). In Body Mass Index of the respondents, the mean of the value is 18,6 kg/m2, and the mean of CD4+ absolute value is 46 cells/dL, but only the value of CD4+ absolute has related with hepar infection in mann-whitney test (p<0,05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Afrita
Abstrak :
Kasus HIV/AIDS dan kematian akibat infeksi oportunistiknya di Indonesia terus bertambah, sehingga merupakan suatu masalah kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi penyakit infeksi otak pada pasien HIV/AIDS di RSCM. Desain penelitian ini cross sectional dan terdapat 108 sampel yang diambil secara acak. Data dari Rekam Medik RSCM diolah menggunakan SPSS dan diuji dengan chi-square, Kolmogorov-Smirnov, dan Mann Whitney. Dari hasil penelitian ini ditemukan 35 orang (32,4%) pengidap HIV/AIDS dengan infeksi otak komorbid. Pasien dengan infeksi otak ini terbanyak laki-laki (27 orang, 77,1%), dengan rentang usia terbanyak 25-49 tahun (32 orang, 91,4%), dan faktor risiko penularan terbanyak melalui jarum suntik (15 orang, 42,9%). Indeks Massa Tubuh sebagian besar pasien tergolong kurang (median 17,6) dan hitung CD4+ absolut rendah (median 29). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara infeksi otak pada pasien dengan jenis kelamin, rentang usia, faktor risiko penularan, Indeks Massa Tubuh, dan hitung CD4+ absolut. Disimpulkan prevalensi infeksi otak komorbid terjadi pada 32,4% pasien HIV/AIDS dan tidak berhubungan dengan karakteristik pasien. ......HIV/AIDS cases and deaths caused by opportunistic infections in Indonesia are increasing and make it as health problem. This study aims at knowing the prevalence of co-morbid brain infection in HIV/AIDS patients in RSCM. The method of this study is cross sectional and there are 108 samples taken randomly. Data from RSCM Medical Record was processed using SPSS and was tested by chi-square, Kolmogorov-Smirnov, and Mann Whitney test. The results showed there was 35 patients (32,4%) of the HIV/AIDS patients had brain infection. Most of them were men (27 patients, 77,1%), in a range of 25-49 years old (32 patients, 91,4%), and the majority of transmission risk factors is using needles (15 patients, 42,9%). The Body Mass Index in nearly all of them is low (median 17,6) and absolute CD4+ count in most of them also low (median 29). There is no significant difference between the patient?s brain infection with gender, range of age, transmission risk factors, Body Mass Index, and absolute CD4+ count. In conclusion, co-morbid brain infection found in 32,4% of HIV/AIDS patients and has no relation with patients' characteristics.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chici Pratiwi
Abstrak :
HIV/AIDS telah menjadi penyakit yang merajalela di seluruh dunia. Sebagian besar pasien yang menderita HIV/AIDS meninggal karena penyakit infeksi yang menyertainya dan infeksi paru termasuk empat penyakit infeksi komorbid tersering pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui prevalensi penyakit infeksi komorbid pada pasien HIV serta faktor-faktor yang berhubungan sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi pada pasien HIV dan mengurangi angka morbiditas ataupun mortalitas pada pasien HIV. Penelitian ini dikerjakan dengan metode cross-sectional. menggunakan 108 sampel yang dipilih dengan metode simple random sampling dari data rekam medik pasien RSCM tahun 2010. Data diolah dengan sistem SPSS menggunakan uji chi-square dan mann-whitney. Hasilnya adalah responden dengan infeksi paru sebanyak 84,3%, paling banyak berada pada rentang usia 25-49 tahun (90,1%), berjenis kelamin laki-laki (70,3%), memiliki faktor resiko penularan berupa penggunaan jarum suntik saja (33%). Perbandingan Index Massa Tubuh dan cd4+ absolute pada pasien HIV dengan infeksi paru dan tanpa infeksi paru memberikan hasil nilai p berturut-turut p=0,009 dan p=0,913. Dengan demikian dapat disimpulkan, Infeksi paru pada pasien HIV/AIDS berhubungan dengan Index Massa Tubuh namun tidak berhubungan dengan cd4+ absolut serta karakteristik lainnya. ......HIV/AIDS has become a worldwide disease. Most patients who suffer from HIV/AIDS die of infectious diseases that accompany it. Pulmonary infection is included in the four infectious diseases that most often occurs in patients with HIV. This study was designed to determine the prevalence of comorbid infectious disease in HIV patients and related factors that can prevent infection in HIV patients and reduce morbidity or mortality in HIV patients. The research was done by cross-sectional method, using 108 samples selected by simple random sampling method, and obtained from medical records of patients hospitalized RSCM in 2010. Data processed with the SPSS system using chi-square and Mann-Whitney test. The result is respondents with pulmonary infection as much as 84.3%, most are in the age range 25-49 years (90.1%), male sex (70.3%), using needles as a risk factor of transmission (33%). The Comparison of Body Mass Index and absolute CD4 + count in HIV patients with pulmonary infection and without pulmonary infection giving the value of p respectively p = 0.009 and p = 0.913. It can be concluded, pulmonary infections in HIV / AIDS-related body mass index but not associated with an absolute CD4 + count as well as other characteristics.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Na Imatul Mahanani
Abstrak :
ABSTRAK Antibiotik profilaksis pada tindakan biopsi prostat transrectal ultrasound (TRUS) diberikan untuk mengurangi komplikasi infeksi. Antibiotik profilaksis yang digunakan di RSUPNCM adalah fluorokuinolon tetapi terdapat tren peningkatan resistensi. Belum tersedia data mengenai profil bakteri dan antibiogram pada swab rektal biopsi prostat di RSUPNCM sebagai acuan profilaksis dan terapi infeksi pasca biopsi prostat. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data profil bakteri dan antibiogram swab rektal pasien biopsi prostat, serta mendapatkan data jumlah pasien yang mengalami komplikasi infeksi pasca biopsi prostat di RSUPNCM. Desain penelitian adalah kohort prospektif. Menggunakan swab rektal dari 47 pasien biopsi prostat di Departemen Urologi RSUPNCM. Didapatkan bakteri Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterococcus faecium, Acinetobacter haemolyticus, Morganella morganii ss morganii, dan Enterococcus faecalis. Antibiotik yang memiliki sensitvitas tinggi gentamicin, amikacin, ampicillin sulbactam, amoxicillin clavulanat, ceftazidime, piperacillin tazobactam, cefepime, imipenem, doripenem, meropenem, dan ertapenem. Antibiotik yang menunjukkan resistensi tinggi cephalothin, cefotaxime, ceftriaxone, dan cefoperazone. Keluhan subyektif demam didapatkan pada 7 pasien dan tidak terdapat rawat inap ke rumah sakit. Tidak direkomendasikan pemberian fluorokuinolon sebagai antibiotik profilaksis pada tindakan biopsi prostat di RSUPNCM. Pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya dengan profilaksis target berdasarkan hasil kultur dan resistensi swab rektal. Apabila tidak dapat dilakukan maka antibiotik profilaksis yang dapat direkomendasikan adalah amoxicillin clavulanat dan ertapenem.
ABSTRACT Prophylaxis antibiotics in trans rectal ultrasound prostate biopsy is given to reduce infection complication. The recent antibiotics in Doctor Cipto Mangunkusumo hospital is fluoroquinolone that showing increasing resistance trends. Bacterial profile and antibiogram of rectal swab patient underwent prostate biopsy is not available. This data is needed as a guidance of prophylaxis antibiotics and post biopsy infection therapy in prostate biopsy. This research aimed to obtain those data, and number of patient with infection complication post prostate biopsy. Research design was prospective cohort. Swab rectal is collected from 47 patients underwent prostate biopsy in Doctor Cipto Mangunkusumo Hospital. Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterococcus faecium, Acinetobacter haemolyticus, Morganella morganii ss morganii, and Enterococcus faecalis were found. Antibiotics with high susceptible gentamicin, amikacin, ampicillin sulbactam, amoxicillin clavulanat, ceftazidime, piperacillin tazobactam, cefepime, imipenem, doripenem, meropenem, and ertapenem. Antibiotics with high resistance cephalothin, cefotaxime, ceftriaxone, and cefoperazone. Subjective complaints of fever were found in 7 patients. Fluoroquinolone is not recommended as prophylaxis antibiotics in trans rectal ultrasound prostate biopsy. The targeted prophylaxis antibiotics based on rectal swab culture and resistance test should be done. If this test cannot be done, we suggest the use of amoxicillin clavulanat and ertapenem as recommended prophylaxis antibiotics.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
Abstrak :
Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit. Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton. Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung. Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%). Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal. Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal. Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin. Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia. Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Soh
Abstrak :
ABSTRAK
Banyak studiBanyak studi epidemiologi, klinis dan in vitro terakhir menunjukkan hubungan antara vitamin D dengan tuberkulosis (TB) paru. Kadar 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) yang rendah berhubungan dengan penyakit TB paru aktif dan laten. Namun, sampai saat ini belum ada data mengenai hubungan kadar 25(OH)D dan status vitamin D dengan derajat lesi TB paru. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara proporsi status vitamin D dan kadar 25(OH)D dengan derajat lesi TB paru ringan, sedang dan berat. Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 137 pasien TB paru terbagi menjadi kelompok derajat lesi TB paru ringan, sedang dan berat masing-masing 46, 47 dan 44 pasien. Diagnosis TB paru berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Derajat lesi TB paru dinilai secara radiologis berdasarkan klasifikasi dari National Tuberculosis and Respiratory Disease Association, New York. Status vitamin D ditetapkan menurut rekomendasi Holick. Pada ketiga kelompok dicatat data karakteristik subjek dan dilakukan pemeriksaan 25(OH)D. Status vitamin D pada subjek penelitian ini didapatkan sebanyak 122(89,1%) defisiensi dan 15(10,9%) insufiensi vitamin D. Proporsi defisiensi dan insufisiensi vitamin D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak didapatkan perbedaan bermakna, masing-masing dengan 84,8% dan 15,2%; 91,5% dan 8,5%; 90,9% dan 9,1%. Kadar 25(OH)D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak berbeda bermakna, masing-masing dengan rerata 12,96 (SB±5,83)ng/mL, 12,42 (SB±5,13)ng/mL, dan 11,29 (SB±5,61)ng/mL. Kami menyimpulkan status vitamin D dan kadar 25(OH)D tidak berhubungan dengan derajat lesi TB paru. Proporsi defisiensi dan insufisiensi vitamin D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak didapatkan perbedaan bermakna, masingmasing dengan 84,8% dan 15,2%; 91,5% dan 8,5%; 90,9% dan 9,1%.
ABSTRACT
Most recent epidemiological, clinical and in vitro studies indicate that there is a the relationship between vitamin D and pulmonary tuberculosis (TB). Low concentration of 25- hydroxyvitamin D (25(OH)D) is associated with active and latent pulmonary TB disease. Nevertheless, there is no data about the relationship between vitamin D status and concentrations of 25(OH)D with severity of pulmonary TB. The aim of this study was to obtain the relationship between proportions of vitamin D and concentrations 25(OH)D with mild, moderate and severe degrees of pulmonary TB lesions. This was a cross-sectional study, 137 patients with pulmonary TB and 46, 47 and 44 patients each of mild, moderate and severe degree of pulmonary TB lesions, respectively. Diagnosis of pulmonary TB was based on National Tuberculosis Control Guideline, Ministry of Health of the Republic of Indonesia. The degree of pulmonary TB lesion was radiologically assessed based on classifications of the National Tuberculosis and Respiratory Disease Association, New York. Vitamin D status was defined according to Holick recommendations. Baseline characteristics of subjects were recorded and 25(OH)D concentrations were measured in subjects of each groups. Vitamin D status of the subjects were 122 (89.1%) deficiency and 15 (10.9%) insufficiency of vitamin D. The proportions of vitamin D deficiency and insufficiency at mild, moderate and severe degree of pulmonary TB lesions were also not significantly different, i.e. 84.8% and 15.2%, 91.5% and 8.5%, 90.9% and 9.1%, respectively. Concentrations of 25 (OH) D in each group of mild, moderate and severe pulmonary TB lesions were not significantly different, with a mean (SD) 12.96 (5.83)ng/mL, 12.42 (5.13)ng/mL, and 11.29 (5.61)ng/mL respectively. It is concluded that vitamin D status and serum 25 (OH) D were not related to the degree of pulmonary TB lesion. The proportion of vitamin D deficiency and insufficiency at mild, moderate and severe degree of pulmonary TB lesions were also not significantly different, i.e. 84.8% and 15.2%, 91.5% and 8.5%, 90.9% and 9.1%, respectively.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Winardi
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betha Ariesanty Anggraini Hartono
Abstrak :
ABSTRAK Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) adalah tuberkulosis yang disebabkan oleh galur Mtb yang resisten setidaknya terhadap rifampisin dan isoniazid (INH). Penelitian ini bertujuan menilai kemampuan AccuPower TB and MDR Real-Time PCR Kit sebagai metode alternatif dalam mendeteksi Mtb serta resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin dibandingkan dengan metode kultur dan uji resistensi konvensional. Subjek penelitian terdiri dari 61 pasien tersangka MDR-TB. Sampel sputum dari semua subjek dilakukan pemeriksaan untuk Mtb dan resistensi terhadap INH dan rifampisin dengan Accupower TB and MDR Real-Time PCR Kit dan metode konvensional. 28 dari 52 pasien terdeteksi resisten terhadap INH dan rifampisin. 1 subjek terdeteksi hanya resisten terhadap INH. 1 subjek terdeteksi hanya resisten terhadap rifampisin. Sensitivitas dan PPV kit dalam mendeteksi Mtb diperoleh 98,1% dan 86,7%. Sensitivitas, spesifisitas, PPV, dan NPV kit dalam mendeteksi resistensi Mtb terhadap INH diperoleh 62,1%, 86,9%, 85,7%, dan 64,5%. Sensitivitas, spesifisitas, PPV, dan NPV kit dalam mendeteksi resistensi Mtb terhadap Rifampisin diperoleh 93,1%, 86,9%, 90% dan 90,9%. Accupower TB and MDR Real-Time PCR Kit dalam mendeteksi resistensi ganda Mtb terhadap INH dan Rifampisin (MDR-TB) memperoleh sensitivitas 53,8%, spesifisitas 57,1%, PPV 88,9%, dan NPV 64,7%. Kit ini cukup baik dalam mendeteksi Mtb dan resistensi terhadap rifampisin, tetapi kurang baik untuk mendeteksi resistensi terhadap INH. Deteksi adanya resistensi tunggal diperlukan, karena monoresistensi dapat berkembang menjadi multi-drug dan extended-drug resistant.
ABSTRACT Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) is caused by mycobacterium that is resistant at least to rifampicin and isoniazid (INH). The aim of this study was to assess the performance of Accupower TB and MDR Real-Time PCR Kit compared to the conventional culture-based drug susceptibility test for Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Subject was consisted of 61 patients who were suspected of MDR-TB. Sputum samples from the participants were tested for Mtb and INH and rifampicin resistance by Accupower TB and MDR Real-Time PCR Kit and conventional method. 28 of 52 patients were detected resistance to both INH and rifampicin. 1 subject was detected INH resistance only. 1 subject was detected rifampicin resistance only. Sensitivity and PPV of the kit to detect Mtb were 98,1% and 86,7%, respectively. Sensitivity, specificity, PPV, and NPV of the kit in detecting INH resistance were 62,1%, 86,9%, 85,7%, and 64,5%, respectively. Sensitivity, specificity, PPV, and NPV of the kit in detecting rifampicin resistance were 93,1%, 86,9%, 90%, and 90,9%, respectively. Sensitivity, specificity, PPV, and NPV of the kit in detecting INH and rifampicin resistance (MDR-TB) were 53,8%, 57,1%, 88,9%, and 64,7%, respectively. This kit was good enough to detect Mtb and Rifampisin resistance, but not good to detect INH resistance. Detection of single drug resistance is required as mono resistance might develop further to multi-drug and extended-drug resistant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library