Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nunuk Hidayati
"Problematika yang dihadapi oleh Penghayat Kepercayaan adalah belum adanya pengakuan yang pasti. Terutama dalam perkara pernikahan dan perceraian, dengan belum diaturnya mengenai perceraian bagi agama non muslim semakin menyusahkan dalam proses administrasi. Ketika melihat permasalahan bahwa warga Sapta tidak mengakui adanya perceraian. Tidak menutup kemungkinan adanya problematika yang dialami oleh setiap keluarga yang akan memicu putusnya pernikahan dengan jalan perceraian. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan kualitatif, yakni dengan menelusuri literatur sebagai studi dokumen pada data sekunder yang diperkuat dengan hasil dari wawancara.
Adapun dari hasil penelitian mengemukakan bahwa belum adanya pengaturan yang bersifat jelas dan transparan yang dilakukan oleh pemerintah. Mendengar pengakuan dari pengurus Warga Sapta Darma sendiri yang tidak mengakui adanya perceraian, dan menyadari bahwa dengan adanya perceraian adalah bukti kegagalan dari pembinaan terhadap warga Sapta Darma. Sekalipun mereka memahami bahwa tidak menutup kemungkinan akan terjadi lika-liku dalam kehidupan berumah tangga. Dari peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 mengenai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang di dalamnya hanya disebutkan pengaturan mengenai perceraian bagi yang beragama islam.

The problem faced by Believers is that there is no definite acknowledgment yet. Especially in the case of marriage and divorce, whit the issue of divorce not being regulated for non-Muslim religions, it is increasingly difficult in the administrative prosess. When he saw the problem that the Sapta Darma did not recognize the divorce. It is possible that there are problems experienced by evary family that will trigger the breakup of a marriage by way of divorce. This research method uses a normative juridical method, whih a qualitative approach, namely by browsing the literature as a document study on secondary data which is strengthened by the result of interviews. The results of the study indicate thet the is no clear and transparent arrangement carried out by the government. Heard the confession from the administrators of warga Sapta Darma themselves who did not acknowlegge the existence of divorce, and realized that the exixtence of divorce was evidence of the failure of the guidance of Sapta Darma residents. Even if they understand that it is possible that there will be twists and turns in married life. From government regulation number 9 of 1975 concerning regulations of Law Nymber 16 of 2019 it inly mentions arrangements regarding divorce for Muslims."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Anastasia Pratiwi
"Penelitian ini menganalisis mengenai penerapan pemberian Dokumen Perjalanan Republik Indonesia kepada Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri yang melampaui batas waktu tinggal (overstay) dan tidak memiliki dokumen (undocumented). Dalam regulasi yang berlaku saat ini, Direktorat Jenderal Imigrasi dengan banyaknya program-program khusus yang berasal dari negara tujuan belum mengakomodir istilah WNI Overstayer dan WNI Undocumented berikut dengan regulasi pemberian dokumen perjalananya di luar negeri. Pada Tanggal 24 Januari 2014 diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No: IMI-0120-GR.01.10 Tahun 2014 Hal Pemberian Dokumen Perjalanan Bagi Warga Negara Indonesia Overstayer Tidak Terdokumentasi (WNI-OTT), dalam surat tersebut diberikan penjelasan mengenai pemberian Dokumen Perjalanan bagi WNI-OTT dengan kondisi-kondisi yakni pertama, terhadap WNI-OTT yang memegang paspor dan/atau SPLP lama, tidak memiliki kartu penduduk yan membuktikan dirinya adalah penduduk negara setempat, petunjuk, bukti, atau keterangan-keterangan lain yang menunjukkan pemohon bertempat tinggal di negara tersebut, terlebih dahulu dapat diberikan Paspor RI untuk memperoleh Surat Keterangan yang diterbitkan oleh Fungsi Konsuler Perwakilan RI di Luar Negeri. Kedua, WNI yang berada di luar negeri dan tidak memiliki paspor atau kartu identitas setempat, namun dapat membuktikan kewarganegaraan mereka melalui dokumen seperti akte kelahiran, akte perkawinan, buku nikah, ijazah, surat baptis, atau surat pewarganegaraan Indonesia, berhak untuk memperoleh paspor Republik Indonesia. Ketiga, bagi WNI yang tidak memiliki dokumen atau tidak berdokumen, maka fungsi konsuler melakukan wawancara dan penelitian untuk mengetahui identitas pemohon dan kemudian disampaikan hasilnya kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. Berjalannya program-program pemberian dokumen perjalanan bagi WNI overstayer dan undocumented di luar negeri merupakan suatu bentuk nyata peran yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk perlindungan bagi Warga Negaranya. Akan tetapi yang perlu diingat dan diterapkan adalah bahwa tatacara pemberian pelayanan publik tidak boleh lepas dari asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Pada saat melakukan pelayanan publik, untuk memberikan perlindungan bagi setiap penduduk dan warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Seiring dengan berjalannya program-program pemulangan yang diadakan berdasarkan kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara setempat, ditemukan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. maka tesis ini menawarkan gagasan-gagasan ideal mengenai pengaturan pemulangan bagi WNI overstayer dan undocumented di luar negeri agar dapat memberikan manfaat dan perlindungan sebesar-besarnya bagi masyarakat.

This research analyzes the application of granting Republic of Indonesia Travel Documents to Indonesian Citizens living abroad who have exceeded the overstay period and do not have documents (undocumented). In the current regulations, the Directorate General of Immigration, with its many special programs originating from destination countries, has not yet accommodated the terms Overstayer Indonesian Citizens and Undocumented Indonesian Citizens along with the regulations on providing travel documents abroad. On January 24 2014, a Circular Letter from the Director General of Immigration was issued No: IMI-0120-GR.01.10 of 2014 regarding the Provision of Travel Documents for Indonesian Citizens, Undocumented Overstayers (WNI-OTT), in this letter an explanation was given regarding the provision of Travel Documents for Indonesian Citizens. -OTT with conditions, namely first, for WNI-OTT who hold an old passport and/or SPLP, do not have a residence card which proves that they are a resident of the local country, instructions, evidence, or other information that shows the applicant resides in the country Firstly, an Indonesian Passport can be given to obtain a Certificate issued by the Consular Function of the Indonesian Representative Abroad. Second, Indonesian citizens who are abroad and do not have a passport or local identity card, but can prove their citizenship through documents such as birth certificates, marriage certificates, marriage certificates, diplomas, baptism certificates, or Indonesian citizenship letters, have the right to obtain a Republic of Indonesia passport. . Third, for Indonesian citizens who do not have documents or are undocumented, the consular function is to conduct interviews and research to find out the applicant's identity and then submit the results to the Directorate General of Immigration. The running of programs to provide travel documents for overstayed and undocumented Indonesian citizens abroad is a concrete form of the role carried out by the state as a form of protection for its citizens. However, what needs to be remembered and applied is that procedures for providing public services cannot be separated from the general principles of good governance (AUPB). When providing public services, to provide protection for every resident and citizen from abuse of authority by the government, legal regulations that support it are needed in accordance with the provisions in Article 4 of Law Number 25 of 2009 concerning Public Services. As the repatriation programs carried out based on cooperation between the Government of the Republic of Indonesia and local state governments progressed, policies were discovered that were not in accordance with the provisions of existing laws and regulations. So this thesis offers ideal ideas regarding repatriation arrangements for overstayed and undocumented Indonesian citizens abroad so that they can provide maximum benefits and protection for the citizen."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Abdilah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25491
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ilhamd Fithriansyah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S25148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dimas Agung Prasetiyo
"Kedudukan Penjabat Gubernur pada prinsipnya merupakan pejabat sementara yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur selaku kepala daerah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Pada saat kondisi kekosongan tersebut, Penjabat Gubernur memiliki kedudukan yang setara dengan Gubernur definitif selaku kepala daerah. Meskipun memiliki kedudukan yang sama selaku kepala daerah, Penjabat Gubernur mempunyai limitasi kewenangan dalam hal manajemen ASN. Limitasi kewenangan Penjabat Gubernur tersebut berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2022 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Manajemen Aparatur Sipil Negara dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota, yang telah menimbulkan dampak besar dalam hal pembinaan manajemen ASN. Pelaksanaan terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah menjadi dalam kondisi yang stagnan dan sulit diimplementasikan. Stagnasi manajemen ASN tersebut terjadi setidaknya sampai dengan Penjabat Gubernur mendapatkan pertimbangan teknis dari Kepala Badan Kepegawaian Negara dan mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Lantas jika kedua syarat tersebut telah terpenuhi, Penjabat Gubernur baru dapat melaksanakan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, promosi, mutasi pegawai yang dimanifestasikan dalam suatu keputusan.

In principle, the position of the Acting Governor is that of a temporary official appointed to fill the vacancy in the position of Governor as regional head based on the provisions in Article 201 paragraph (9) of Law Number 10 of 2016 concerning the Second Amendment to Law Number 1 of 2015 concerning the Determination of Replacement Government Regulations Law Number 1 of 2014 concerning the Election of Governors, Regents and Mayors becomes law. At the time of the vacancy, the Acting Governor has the same position as the definitive Governor as regional head. Even though he has the same position as regional head, the Acting Governor has limited authority in terms of ASN management. The limitations on the authority of the Acting Governor are based on Article 25 paragraph (1) of Presidential Regulation Number 116 of 2022 concerning Supervision and Control of the Implementation of Norms, Standards, Procedures and Criteria for Management of State Civil Apparatus and Article 15 paragraph (2) of Minister of Home Affairs Regulation Number 4 of 2023 regarding Acting Governors, Acting Regents and Acting Mayors, which have had a major impact in terms of developing ASN management. Implementation of these provisions results in the implementation of regional government affairs being in a stagnant condition and difficult to implement. This stagnation in ASN management occurred at least until the Acting Governor received technical considerations from the Head of the State Civil Service Agency and received written approval from the Minister of Home Affairs. Then, if these two conditions have been met, the new Acting Governor can carry out the appointment, transfer, dismissal, promotion, transfer of employees as manifested in a decision."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Surianti Sutomy
"Pengaturan cuti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang tidak secara jelas diatur menunjukan keberadaan undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai cuti, terlebih pengaturannya justru masih menginduk pada undang-undang sebelumnya. Hal tersebut pula menunjukan adanya kelemahan dalam UU ASN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN berkaitan dengan hak kepegawaian, serta menganalisis pelaksanaan ketentuan cuti dengan ketiadaan pengaturan dalam UU ASN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan fenomena yang melekat permasalahan. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum dengan pendekatan atas norma atau kaidah yang didalamnya juga termasuk juga peraturan perundang-undangan. Penelitian bersifat deskriptif analisis dengan analisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN yang secara formal tidak mendapat pengaturan mengenai cuti dan hanya mengaitkan keberadaan cuti dengan alasan yuridis keberadaan Pasal 75, yang menyatakan keberadaan aturan yang terdapat dalam UU ASN beserta aturan turunannya. Hasil lain dari penelitian ini adalah cuti adalah sebuh hak yang pelaksanaannya harus diatur dalam undang-undang ASN. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidaklah benar ketiadaan cuti dalam UU ASN, serta ketiadaan tersebut akan menghilangkan kepastian hukum.

The regulation of leave in Law Number 20 of 2023 concerning the State Civil Apparatus (UU ASN) which is not clearly regulated shows that the existence of the Law does not regulate leave, moreover the regulation is still subordinate to the previous law. This also shows weaknesses in the ASN Law. This study aims to analyze the absence of leave regulations in the ASN Law relating to employee rights, as well as to analyze the implementation of leave provisions with the absence of regulations in the ASN Law. This research is a descriptive study, namely describing the phenomenon that is inherent in the problem. A normative legal approach is carried out to answer legal problems with an approach to norms or rules which also include laws and regulations. The research is descriptive analysis with analysis using qualitative methods. The results of the study show that the absence of leave regulations in the ASN Law which formally does not receive regulations regarding leave and only links the existence of leave with the legal reasons for the existence of Article 75, which states the existence of regulations contained in the ASN Law and its derivative regulations. Another result of this study is that leave is a right whose implementation must be regulated in the ASN law. The conclusion in this study is that it is not true that there is no leave in the ASN Law, and its absence will eliminate legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reynaldo Yoga Pradana
"Penelitian ini mengeksplorasi inovasi dalam pelaksanaan e-Government di Pemerintahan Daerah Kota Tangerang Selatan. e-Government, sebagai bagian dari modernisasi administrasi publik, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan pelayanan kepada masyarakat. Studi ini menganalisis berbagai inisiatif e-Government yang telah diimplementasikan, seperti digitalisasi layanan publik, integrasi sistem informasi, dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam operasional pemerintahan. Metode penelitian menggunakan penelitian doktrinal, adapun pendekatan analisis dengan kualitatif. Pengumpulan data dengan studi dokumen. Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang mendukung keberhasilan pelaksanaan e-Government, termasuk kepemimpinan yang visioner, partisipasi stakeholder, serta infrastruktur teknologi yang memadai. Temuan menunjukkan bahwa meskipun terdapat tantangan seperti keterbatasan anggaran dan resistensi terhadap perubahan, inovasi e-Government di Tangerang Selatan telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik dan akuntabilitas pemerintah melalui aplikasi Simponie sebagai upaya untuk meningkatkan standar pelayanan publik dengan menggunakan teknologi informasi melalui prosedur pengajuan perizinan secara sistematis yang kemudian terintegrasi dengan DPMPTSP. Kontribusi positif ini terlihat dari peningkatan aksesibilitas layanan publik dan percepatan proses administrasi perizinan di kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah daerah lain dalam mengembangkan dan mengimplementasikan strategi e-Government yang efektif.

This study explores innovations in the implementation of e-Government in the Local Government of South Tangerang City. e-Government, as part of the modernization of public administration, aims to improve efficiency, transparency, and service to the public. This study analyses various e-Government initiatives that have been implemented, such as digitalization of public services, integration of information systems, and the use of information and communication technology (ICT) in government operations. The research method uses doctrinal research, while the analysis approach is qualitative. Data were collected through document study. This research identifies key factors that support the successful implementation of e-Government, including visionary leadership, stakeholder participation, and adequate technological infrastructure. The findings show that despite challenges such as budget constraints and resistance to change, e-Government innovation in South Tangerang has made a positive contribution to improving the quality of public services and government accountability through the Simponie application as an effort to improve public service standards by using information technology through systematic licensing application procedures which are then integrated with DPMPTSP. This positive contribution can be seen from the increased accessibility of public services and the acceleration of the licensing administration process in South Tangerang City. The results of this study are expected to serve as a reference for other local governments in developing and implementing effective e-Government strategies."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Candra Budi Utama
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pelindungan yang diberikan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melaksanakan kewajiban melaporkan pelanggaran atau tindak pidana korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal serta pendekatan perbandingan ketentuan jaminan pelindungan whistleblower berstatus pegawai negeri di negara lain yaitu Korea Selatan, Ghana, Malaysia dan Amerika Serikat dengan mengambil best practices bentuk pelindungan yang disediakan oleh negara tersebut. PNS yang melaksanakan kewajiban melaporkan pelanggaran atau tindak pidana korupsi telah diatur ketentuan pelindungan kerahasiaan identitas dan materi laporan, pelindungan hukum, pelindungan fisik, penghargaan, akan tetapi PNS yang mengalami tindakan pembalasan terhadap pekerjaannya dikarenakan mengungkap tindak pidana korupsi tidak terdapat ketentuan pelindungannya. Dalam praktiknya PNS yang melaporkan tindak pidana korupsi ke KPK memang dilindungi kerahasiaan identitas dan materi laporan, hukum, fisik dan diberikan penghargaan. Namun PNS yang mengalami tindakan pembalasan terhadap pekerjaannya harus berupaya sendiri untuk memulihkan pekerjaannya melalui mekanisme upaya administratif kepegawaian dikarenakan tidak terdapat ketentuan pelindungan tindakan pembalasan terhadap pekerjaan bagi whistleblower yang berstatus PNS. Adapun di Korea Selatan, Ghana, Malaysia dan Amerika Serikat memiliki pengaturan pelindungan whistleblower berstatus public official atas tindakan pembalasan atau tindakan merugikan terhadap pekerjaannya melengkapi pelindungan kerahasiaan identitas dan materi laporan, pelindungan hukum, pelindungan fisik dan penghargaan. Dalam praktiknya pelindungan tindakan pembalasan terhadap pekerjaan bagi whistleblower berstatus PNS sangat dibutuhkan agar terbentuk jaminan pelindungan menyeluruh sebagaimana semangat yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

This paper analyzes how protection is provided for Civil Apparatus (PNS) who carry out the obligation to report violations or corruption crimes of the Corruption Eradication Commission (KPK). By using doctrinal research methods and a comparative approach to the provisions of the guarantee of protection for whistleblowers with civil apparatus status in other countries, namely South Korea, Ghana, Malaysia and the United States by taking best practices in the form of protection provided by the country. PNS who carry out the obligation to report violations or corruption crimes have been regulated by provisions on the protection of the confidentiality of identity and report materials, legal protection, physical protection, awards, however, PNS who experience retaliation against their work due to exposing corruption crimes do not have any protection provisions. In practice, PNS who report corruption crimes to the KPK are indeed protected by the confidentiality of their identity and report materials, legal, physical and are given awards. However, PNS who experience retaliation against their work must make their own efforts to restore their jobs through the mechanism of administrative efforts for employees because there are no provisions on the protection of retaliation against work for whistleblowers with civil apparatus (PNS) status. Meanwhile, in South Korea, Ghana, Malaysia and the United States, there are regulations for protecting whistleblowers with public official status from retaliation or detrimental actions against their work, complementing the protection of confidentiality of identity and report materials, legal protection, physical protection and awards. In practice, protection of retaliation against work for whistleblowers with civil apparatus (PNS) status is very much needed in order to form a comprehensive protection guarantee as stated in the spirit of the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman Sujono
"Skripsi ini membahas tentang lembaga ombudsman di Indonesia, utamanya pada masa Komisi Ombudsman Nasional dan perubahannya dengan lahirnya Ombudsman Republik Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga menghasilkan data deskriptif analitis. Dalam menganalisa data yang didapat, penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Komisi Ombudsman Nasional dan Ombudsman Republik Indonesia merupakan bentuk organisasi yang berbeda dalam lingkup Republik Indonesia, terdapat perubahan wewenang yang ada setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia dan terlihat adanya penguatan secara kelembagaan.

This thesis talk’s about the condition of ombudsman in Indonesia after the enactment of Act Number 37 Year 2008 About The Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman The Republic of Indonesia). This research is a library typed research. Using qualitative approach to process the data, so the result is an analytic descriptive data. On analyzing the data, the research is using normative law research method. Result of this research shows that the Act Number 37 Year 2008 About The Ombudsman Republik Indonesia had made basic differences in the obligation and the authority of ombudsman in Indonesia, thus at certain point, has made the body stronger. Other than that, after the enactment of Act Number 37 Year 2008, the ombudsman in Indonesia are becoming an independent state agencies, not a part of the organs of state administrations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25468
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>