Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nice Rachmawati Masnadi
Abstrak :
Anak yang dirawat di rumah sakit mempunyai risiko mengalami malnutrisi selama dirawat. Skrining nutrisi pediatrik membantu mengidentifikasi anak dengan risiko malnutrisi malnutrisi rumah sakit MRS .Tujuan: untuk mengetahui prevalens MRS dan skor risiko malnutrisi pada anak yang dirawat di RSUP Dr.M. Djamil. Metode: Penelitian kohort prospektif dilaksanakan dari November 2013 sampai Januari 2014 pada pasien rawat inap di Bagian Anak RS Dr. M. Djamil Padang. Penentuan status gizi, skor risiko malnutrisi, dan pelaksanaan asuhan nutrisi dilakukan pada semua subyek, sedangkan penilaian prevalens MRS dilakukan pada subyek yang dirawat ge;7 hari dan dinilai hubungan MRS dengan jenis kelamin, umur, status gizi, penyakit dasar dan jumlah diagnosis. Hasil: Subyek berjumlah 113 orang, 45,1 dengan status gizi kurang-buruk, median umur 36 bulan 1-168 bulan, median lama rawat 7 hari 3-47 hari dimana 52,2 subyek dirawat ge-7 hari. Berdasarkan STRONG-kids dimodifikasi didapatkan anak dengan risiko ringan 23,9, risiko sedang 61,9, dan dengan risiko tinggi 14,2. Prevalens MRS pada penelitian ini adalah 25,4. Faktor umur dan jumlah diagnosis berhubungan bermakna dengan prevalens MRS. Kesimpulan: Prevalens malnutrisi rumah sakit di Bagian Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang cukup tinggi, perlu dilakukan upaya untuk menurunkannya dimulai dari skrining risiko malnutrisi. ......Abstract Background Children requiring hospitalization are at higher risk for hospital malnutrition. Pediatric nutrition screening helps to promptly identify children who are at risk of malnutrition. Objective To identify the risk and the prevalence of hospital malnutrition and in Department of Child Health Dr. M. Djamil Hospital, Padang.Methods A prospective cohort study was conducted in children who were hospitalized in Department of Child Health Dr. M. Djamil Hospital. We performed anthropometric measurement and nutritional status evaluation, determined nutritional screening, and practiced pediatric nutrition care to all children. We assessed the prevalence of hospital malnutrition at patient who hospitalized ge 7 days and its relationship with several factors.Results One hundred and thirteen children were hospitalized between November 2013 and January 2014 at our pediatric hospital, 45,1 were malnourished. Their median age was 36 months range 1 168 months, median length of stay was 7 days range 1 47 days and 52.2 were hospitalized for ge 7 days. According to the modified STRONG kids, 23.9 children were at low risk, 61.9 at moderate risk and 14,2 at high risk. Infectious disease is the most common 49.6 cause of hospitalization. Prevalence of hospital malnutrition was 25.4. Age and multiple diagnose have a significant relationship with the prevalence of hospital malnutrition. Conclusion The prevalence of hospital malnutrition in children at Dr. M. Djamil hospital Padang was high, and the need to lower that rate which began with nutrition screening.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winra Pratita
Abstrak :
Latar belakang: Malnutrisi rumah sakit (MRS) adalah malnutrisi yang terjadi pada pasien yang dirawat inap. Prevalensi MRS berkisar antara 20% sampai 50%. Deteksi dini untuk mengetahui risiko kejadian MRS diperlukan sehingga MRS dapat dicegah dengan pemberian asuhan nutrisi yang tepat pada anak. Hingga saat ini alur asuhan nutrisi dan tindak lanjut hasil skor STRONGkids belum dijalankan di ruang rawat inap anak RSUP HAM. Tujuan: Menilai hubungan hasil skor STRONGkids modifikasi dengan kejadian MRS dan menyusun rancangan alur asuhan nutrisi anak di ruang rawat inap RSUP HAM. Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan pada anak usia 1 bulan - 18 tabun yang dirawat inap?.7 hari di RSVP HAM, pada bulan Mei hingga Agustrus 2017. Dilakukan penilaian skor STRONGkids modifikasi pada setiap pasien yang dirawat dan pengukuran antropometri saat mulai dirawat dan saat pasien dipulangkan, untuk menilai kejadian MRS. Kriteria MRS apabila dijumpai penurunan berat badan ?.2% selama dirawat atau penurunan lingkar lengan atas pada keJompok pasien dirnana berat badan tidak dapat digunakan untuk menilai status nutrisi. HasH: Terdapat 165 subjek dalam penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi. Angka kejadian MRS adalah 40,6%. Kejadian malnutrisi rumah sakit lebih tinggi pada kelompok pasien yang berat badannya tidak dapat dinilai untuk menilai status nutrisi. Hanya 27.6% pasien dengan risiko tinggi yang dikonsulkan rawat bersama Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Terdapat 45.6% pasien dengan risiko sedang dan 55.2% pasien dengan risiko tinggi STRONGkids modifikasi yang mengalami MRS dengan nilai P<0.001. Pasien dengan hasil skor risiko sedang dan tinggi mempunyai risiko 8.6 kali dan 15.8 kali untuk mengalami MRS selama dirawat di rumah sakit. Simpulan: Terdapat hubungan antara hasil skor STRONGkids modifikasi dengan kejadian MRS. Alur asuhan nutrisi perlu dirancang dan dijalankan untuk mencegah MRS ......Background: Hospital malnutrition is malnutrition that occurred during hospitalization. Prevalence of hospital malnutrition is about 20% to 50% around the world. Early detection of hospital malnutrition risk with screening tools with modified STRONGkids is needed to prevent hospital malnutrition with appropriate pediatric nutrition care in hospitalized children. However, pediatric nutrition care and follow -up of modified STRONGkids is not appropriately done in Adam Malik hospital. Objective: To determine the association between modified STRONGkids with incidence of hospital malnutrition among hospitalized children and propose the pediatric nutrition care scheme pathway. Methods: A prospective cohort study was conducted in Adam Malik hospital patient's ward between May to August 2017 on I-month to 18-years-old hospitalized children with length of stay -7 days. Modified STRONGkids were analyzed in 24 hours hospital admission. Anthropometric and nutritional status measurements of all subject were obtained at time of hospital admission and discharge. Weight loss -2% during hospitalization was defined as hospital malnutrition. And among patients, if body weight can not be indicator as nutritional status, decreased of arm circumference was defined as hospital malnutrition in this study Results: Of 165 participants, prevelence of hospital malnutrition was 40.6%, and was higher among subject with cancer/organomegaly/edemalascites/hydrocephalus. Only 27.6% subject with high risk modified STRONGkids was consulted to Pediatric Nutrition and Metabolic division. There was 45.6% subject with moderate risk and 55.2% subject with high risk modified STRONGkids experiencing hospital malnutrition with P
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58000
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Muhammad Prakoso
Abstrak :
Mukopolisakaridosis IVA (MPS IVA; Sindrom Morquio A) merupakan penyakit metabolik yang diturunkan secara autosomal resesif. Penyakit MPS IVA terjadi akibat defisiensi enzim N-acetylgalactosamine-6-sulfatase (GALNS) yang menyebabkan senyawa keratan sulfat (KS) dan kondroitin-6-sulfat (K6S) tidak terdegradasi dan terakumulasi di dalam lisosom. Defisiensi enzim GALNS terjadi karena varian patogenik pada gen galactosamine (N-Acetyl)-6-sulfatase (GALNS) yang terletak di lokus 16q24.3. Jenis varian yang ditemukan pada penelitian sebelumnya meliputi single nucleotide variation (SNV) dan varian frameshift. Namun sampai saat ini belum ada penelitian analisis varian yang telah dilakukan pada pasien MPS IVA di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik ekson 1--7 gen GALNS pada pasien MPS IVA di Indonesia. Penelitian dilakukan menggunakan empat pasien MPS IVA dan 50 individu normal sebagai kontrol. Daerah ekson 1--7 gen GALNS dari seluruh sampel yang telah diamplifikasi menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) lalu disekuensing menggunakan teknik automated fluorescence DNA sequencing. Berdasarkan hasil analisis sekuensing DNA, variasi genetik ekson 1--7 gen GALNS pada populasi Indonesia berhasil diidentifikasi. Sebanyak 11 varian intronik, yaitu yaitu c.121 – 139G>A, c.244 + 86G>A, c.566 + 5T>C,  IVS5 + 134G>A, c.633 + 85C>T, c.633 + 91T>C, c.633 + 125A>G, c.633 + 138C>A, c.634 – 20C>T, c.634 – 19G>A, dan c.634 – 130T>C berhasil diidentifikasi. Sementara itu, sebanyak empat varian eksonik berhasil ditemukan, yaitu c.503G>T (p.(Gly168Val)), c.510C>T (p.Tyr170=), c.751C>T (p.Arg251*), dan c.708C>T (p.His236=). Mukopolisakaridosis IVA (MPS IVA; Sindrom Morquio A) merupakan penyakit metabolik yang diturunkan secara autosomal resesif. Penyakit MPS IVA terjadi akibat defisiensi enzim N-acetylgalactosamine-6-sulfatase (GALNS) yang menyebabkan senyawa keratan sulfat (KS) dan kondroitin-6-sulfat (K6S) tidak terdegradasi dan terakumulasi di dalam lisosom. Defisiensi enzim GALNS terjadi karena varian patogenik pada gen galactosamine (N-Acetyl)-6-sulfatase (GALNS) yang terletak di lokus 16q24.3. Jenis varian yang ditemukan pada penelitian sebelumnya meliputi single nucleotide variation (SNV) dan varian frameshift. Namun sampai saat ini belum ada penelitian analisis varian yang telah dilakukan pada pasien MPS IVA di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik ekson 1--7 gen GALNS pada pasien MPS IVA di Indonesia. Penelitian dilakukan menggunakan empat pasien MPS IVA dan 50 individu normal sebagai kontrol. Daerah ekson 1--7 gen GALNS dari seluruh sampel yang telah diamplifikasi menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) lalu disekuensing menggunakan teknik automated fluorescence DNA sequencing. Berdasarkan hasil analisis sekuensing DNA, variasi genetik ekson 1--7 gen GALNS pada populasi Indonesia berhasil diidentifikasi. Sebanyak 11 varian intronik, yaitu yaitu c.121 – 139G>A, c.244 + 86G>A, c.566 + 5T>C,  IVS5 + 134G>A, c.633 + 85C>T, c.633 + 91T>C, c.633 + 125A>G, c.633 + 138C>A, c.634 – 20C>T, c.634 – 19G>A, dan c.634 – 130T>C berhasil diidentifikasi. Sementara itu, sebanyak empat varian eksonik berhasil ditemukan, yaitu c.503G>T (p.(Gly168Val)), c.510C>T (p.Tyr170=), c.751C>T (p.Arg251*), dan c.708C>T (p.His236=). ......Mucopolysaccharidosis IVA (MPS IVA) or Morquio A Syndrome, is a lysosomal storage disorder caused by the deficiency of N-acetylgalactosamine-6-sulfatase (GALNS) enzyme, resulting in accumulation of keratan sulfate (KS) and chondroitin-6-sulfate (C6S) in the lysosome and leads to tissue or organ damage. The enzyme deficiency occurs due to mutations in the g alactosamine (N-Acetyl)-6-sulfatase (GALNS) gene located at locus 16q24.3. Variants identified by previous studies consisted of single nucleotide variation (SNV) and frameshift. This study aims to identify the genetic variation of exon 1--7 of GALNS gene in MPS IVA patients in Indonesia. The study was conducted using previously diagnosed MPS IVA patients and 50 normal individuals as controls. Based on the results of DNA sequencing analysis, genetic variations of exon 1--7 of GALNS gene in MPS IVA patients in Indonesian population have been identified. A total of 11 intronic variants, namely c.121 – 139G>A, c.244 + 86G>A, c.566 + 5T>C,  IVS5 + 134G>A, c.633 + 84C>T, c.633 + 91T>C, c.633 + 125A>G, c.633 + 138C>A, c.634 – 20C>T, c.634 – 19G>A, and c.634 – 130T>C. Four exonic variants were also found, namely c.503G>T (p.(Gly168Val)), c.510C>T (p.Tyr170=), c.751C>T (p.Arg251*), and c.708C>T (p.His236=).
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jennie Dianita Sutantio
Abstrak :
ABSTRAK
Keterlambatan diagnosis gangguan spektrum autisme (GSA) masih menjadi masalah kesehatan anak di seluruh dunia hingga saat ini. Tenaga kesehatan yang kompeten dalam diagnosis GSA masih terbatas di pusat kesehatan tersier yang seringkali sulit dijangkau. Penggunaan telemedicine sebagai alat diagnosis dengan berbagai metode mulai diteliti; namun keterbatasan aplikasi menyebabkan telemedicine belum digunakan secara luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas aplikasi telemedicine menggunakan rekaman video yang direkam dengan protokol khusus dibandingkan dengan observasi langsung terhadap aktivitas pasien dalam menegakkan diagnosis GSA. Sebanyak 40 subyek berusia 18-30 bulan yang datang dengan keluhan keterlambatan bicara atau perilaku acuh dan mendapat skor M-CHAT-R lebih dari dua mengikuti penelitian ini. Hasil rekaman video menurut protokol khusus dinilai berdasarkan kriteria GSA menurut DSM-5, kemudian subyek dinilai menurut kriteria yang sama pada observasi langsung. Tingkat kesesuaian diagnosis pada kedua metode mencapai 82,5%. Sensitivitas rekaman video dalam diagnosis GSA mencapai 91,3% (IK 95% 79,7% sampai 100%) dan spesifisitas 70,6% (IK 95% 48,9% sampai 92,2%). Nilai duga positif mencapai 80,7% (IK 95% 65,6% sampai 95,9%), sedangkan nilai duga negatif 85,7% (IK95% 67,4% sampai 100%). Rasio kemungkinan positif adalah 3,1 (IK 95% 1,47 sampai 6,5), sedangkan rasio kemungkinan negatif adalah 0,16 (IK 95% 0,03 sampai 0,47). Berdasarkan hasil di atas, telemedicine berbasis rekaman video cukup baik dalam mendiagnosis GSA, meskipun spesifisitas tidak tinggi. Pada kasus yang meragukan, observasi langsung tetap perlu dilakukan.
ABSTRACT
Delayed diagnosis of autism spectrum disorder (ASD) remains as a persisting child health problem throughout the world until now. Competent professionals in diagnosing ASD are limited in tertiary health care centers which are usually hard to access. The use of telemedicine as a diagnostic tool using various methods has been investigated; however, application limitations cause the telemedicine has not widely used. This study aimed to evaluate the effectiveness of telemedicine using video recording with special protocol compared to direct observation of patient s activities in diagnosing ASD. We included forty subjects aged 18-30 months old with chief complaints of delayed speech or ignoring behavior and M-CHAT-R score more than two. Video records guided by special protocol were assessed using DSM-5 criteria of ASD and the subjects were assessed using the same criteria during direct observation. Diagnostic agreement between the two methods was 82.5%. The sensitivity of video recording in diagnosing ASD was 91.3% (95% CI 79.7% to 100%), while the specificity was 70.6% (95% CI 48.9% to 92.2%). The positive predictive value was 80.7% (95% CI 65.6% to 95.9%), while the negative predictive value was 85.7% (95% CI 67.4% to 100%). The positive likelihood ratio was 3.1 (95% CI 1.47 to 6.55), while the negative likelihood ratio was 0.16 (95% CI 0.03to 0.47). Based on the results, telemedicine using video recording is effective for diagnosing ASD, despite its low specificity. In uncertain cases, direct observation is still need to be done.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novitria Dwinanda
Abstrak :
Latar belakang: Asuhan nutrisi optimal untuk bayi prematur bertujuan mengoptimalkan tumbuh kembang dan peningkatkan kualitas hidup bayi prematur. Asuhan nutrisi berupa penilaian masalah nutrisi, menentukan kebutuhan nutrisi, dan pemantauan pertumbuhan membutuhkan kurva pertumbuhan. Saat ini tidak ada kurva pertumbuhan standar untuk bayi prematur. Tujuan: Membandingkan laju pertumbuhan setiap minggu hingga maksimal usia 37 minggu pada bayi prematur yang diberikan nutrisi berdasarkan berat badan ideal menurut kurva Intergrowth-21st dan kurva Fenton, serta mengetahui hubungan antara sepsis, respiratory distress syndrome, riwayat hambatan laju pertumbuhan intrauterin dengan laju pertumbuhan berat badan . Metode: Pnelitian ini adalah uji klinis ajak tersamar ganda pada 93 bayi prematur usia gestasi 33-36 minggu. Perhitungan kebutuhan nutrisi dan pemantauan asupan dilakukan setiap hari serta pemantauan antropometri berupa berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala dilakukan minimal satu kali dalam seminggu. Analisis uji-t dilakukan pada sebaran data normal Hasil: Pada bayi prematur yang diberikan nutrisi berdasarkan berat badan ideal menurut kurva Intergrowth-21st dan kurva Fenton tidak berbeda bermakna dalam hal laju kenaikan berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala setiap minggu hingga maksimal usia 37 minggu. Pemberian nutrisi berdasarkan berat badan ideal menurut kurva Intergrowth-21st dibandingkan menggunakan kurva Fenton memberikan hasil lebih banyak bayi prematur yang mencapai berat badan lahir dalam waktu kurang dari 7 hari (33% vs 19%) dan lebih banyak bayi prematur yang tumbuh liniear sesuai dengan trajektori pertumbuhan yang harus dicapai, dengan indeks berat badan 39% vs 20%, panjang badan 55% vs 36%, dan lingkar kepala 59% vs 48%. Riwayat hambatan pertumbuhan intrauterin memiliki hubungan bermakna dengan laju pertumbuhan berat badan pada pasien yang mendapatkan nutrisi berdasarkan berat badan ideal menurut kurva Intergrowth-21st(p 0,003, IK 95% 2,326-10,239) Simpulan: Penggunaan kurva Intergrowth-21st lebih baik dibandingkan kurva Fenton dalam menentukan kebutuhan kalori dan pemantauan pertumbuhan bayi prematur, sehingga mencageha terjadinya hambatan laju pertumbuhan. ......Background: Nutrition implementation in premature babies goals are to optimize growth development and increase life quality. Nutritional implementation program including nutritional assessment, determine nutritional necessity or nutritional therapy, and monitor of premature babies' growth with standardized growth curve. Until recently, there is no standardize growth curve for premature baby. Objective: To compare growth velocity every week until maximum 37 weeks corrected age in premature infants who has been given nutritional implementation based on their ideal weight using Intergrowth-21 curve or Fenton curve. And, to correlate growth velocity and factors such as sepsis, respiratory distress syndrome, and intrauterine growth retardation. Methods: This is randomized double blinded clinical trial on 93 premature babies with gestational age range within 33-36 weeks. Daily nutritional intake and monitoring intake toleration were done. Anthropometric monitoring data were taken minimum every week. T-test analysis was used on normal data distribution. Results: There are no significant difference in weekly growth velocity (body weight, length, head circumference) in premature babies until 37 weeks corrected age who is given nutritional intake based on ideal body weight of Intergrowth-21st curve compare to Fenton curve. Intergrowth-21st curve shows more premature babies achieving babies' birth weight in less than 7 days (33% vs 19%) and more premature babies have linier growth according to their trajectory growth goals, with body weight index 39% vs 20%, body length 55% vs 36%, and head circumference 59% vs 48%. Intra uterine growth retardation and growth velocity has significant correlation in patients received nutrition implementation based on targeted ideal body weight according to  Intergrowth-21st curve (p 0,003, IK 95% 2,326-10,239). Conclusion: Intergrowth 21st curve has better result in determining nutritional necessity and monitoring growth of premature babies compare to Fenton curve in order to prevent slower growth velocity in premature babies.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam
Abstrak :
ABSTRACT
Latarbelakang. Terapi yang adekuat pada penderita HAK diharapkan dapat mengoptimalkan perkembangan pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK. Saat ini belum ada data mengenai profil pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK di Indonesia yang menjalani terapi.

Tujuan. Mengetahui profil pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK di Indonesia yang menjalani terapi.

Metode.Studideskriptifserial kasusterhadap14 kasus HAK yang memasukimasapubertas di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan November 2012 hingga April 2013. Pada subjek dilakukan pencatatan data, berupa anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium dan radiologibone age.

Hasil penelitian. Hasil penelitian ini merupakanriset pendahuluan (preliminary research) terhadap 14 kasus HAK. Mayoritas penderita HAK di Jakarta yang menjalani terapi adalah perempuan, berusia di atas 8 tahun, HAK tipeSalt-Wasting (SW) dan terdiagnosis< 1 tahun. Tujuh dari 14 subjek mengalami obesitas. Penderita HAK yang menjalani terapi mengalami under treatment ditunjukkan dengan 11/14 subjek memiliki bone age accelerated dengan perhitungan tinggi badan dewasa yang pendek. Tiga belas subjek sudah pubertas dan 10/14 subjek mengalami pubertas prekoks. Dosis glukokortikoid yang diberikan pada subjek HAK masih dalam rentang dosis yang direkomendasikan (median 18,12 mg/m2/hari) dengan median durasiterapi 8,1 tahun. Kontrol metabolik penderita HAK dengan menggunakan parameter 17-OHP bervariasi dengan rentang 0,2-876 nmol/L (rerata 166,9 nmol/L).

Simpulan. Under treatment menyebabkan gangguan tumbuhkembang penderita HAK pada penelitian ini. Under treatment disebabkan karena ketidakteraturan terapi dan pemantauan terapi yang buruk. Edukasi berkala pada pasien HAK diperlukan untuk meningkatkan keteraturan terapi.
ABSTRACT
Background. Adequacy treatment can optimalize the puberty and linear growth in patient with congenital adrenal hyperplasia (CAH). Puberty and linear growth profile of CAH children in Indonesia is unknown.

Objective.To study the profile of puberty and linear growth in Indonesian children with CAH on therapy.

Methods. Descriptive study of 14 cases of CAH at Department of Child Health CiptoMangunkusumo Hospital during November 2012 to April 2013. Study included anamnesis, physical, laboratory, and bone age examination.

Results. This is preliminary research of 14 cases of CAH. Most of CAH subjects were girls, age more than 8 years old, salt wasting type, and diagnosed less than 1 years of age. Seven subjects were obesity. The CAH patients were undertreatment which 11/14 subjects have bone age accelerated and 10/14 subjects were precocious puberty. Dose of glucocorticoid based on recommendation (median dose of glucocorticoid was 18,12 mg/m2/day,duration of therapy was 8,1 years). Metabolic control of 17-OHP parameter showed variable level with range 0,2-876 nmol/L(mean 166,9 nmol/L).

Conclusions. Undertreatment can interfere linear growth and development (precocious puberty and short stature) of CAH patients in this study. Worst compliance and monitoring therapy will lead to undertreatment so that frequent education to CAH patients is needed for longterm treatment.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Pratiwi
Abstrak :
Latar Belakang: Insufisiensi vitamin D mengenai hampir 50% populasi seluruh dunia. Dua penyebab paling utama defisiensi adalah kurangnya paparan sinar matahari dan asupan nutrisi vitamin D tidak adekuat. Mulai usia 6 bulan, ASI tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi termasuk juga vitamin D. Penelitian yang mendukung angka kejadian defisiensi dan insufisiensi vitamin D serta mengetahui paparan sinar matahari yang adekuat untuk mencukupi kebutuhan vitamin D harian belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama usia 7-12 bulan. Tujuan: Membuktikan pengaruh paparan sinar matahari terhadap kadar vitamin D bayi usia 7-12 bulan. Metode: Uji acak terkontrol dilakukan terhadap 109 subjek berusia 7-12 bulan di Puskesmas wilayah Semarang pada bulan Februari sampai Mei 2019. Dibagi menjadi kelompok intervensi (54 subjek) dan kontrol (55 subjek) dengan kriteria inklusi: tidak memiliki kelainan kongenital maupun penyakit kronik dan orangtua bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi: memiliki status gizi kurang dan gizi buruk, warna kulit selain kuning langsat dan sawo matang, defisiensi vitamin D berat dengan gejala klinis dan mendapat suplementasi vitamin D. Intervensi: paparan sinar matahari selama 5 menit pada pukul 10.00-14.00 tiga kali seminggu selama 2 bulan. Dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D awal dan akhir serta food recall. Hasil: Didapatkan hasil angka defisiensi vitamin D sebesar 8,9%. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk kadar vitamin D awal pada kedua kelompok dengan rerata kadar vitamin D 39,1±14,9 ng/ml pada kelompok intervensi dan 38,6±15,4 ng/ml pada kontrol. Setelah 2 bulan, terdapat perbedaan bermakna dengan p=0,005 pada kadar vitamin D kedua kelompok dengan rerata kelompok intervensi 47,9±21,9 ng/ml dan 36,6±13,7 ng/ml pada kontrol. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk asupan vitamin D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Paparan sinar matahari pukul 10.00-14.00 selama 5 menit pada 50% luas permukaan badan berpengaruh terhadap peningkatan kadar vitamin D bayi berusia 7-12 bulan.
Background: Vitamin D insufficiency found in almost 50% of world population. Two main causes of deficiency were less sun exposure and inadequate vitamin D intake. Since 6 months, breastmilk couldnt fulfilled infant s nutrient need including vitamin D. Study supported vitamin D deficiency and insufficiency prevalence and also information about adequate sun exposure needed to maintain daily vitamin D had not been done much in Indonesia, especially aged 7-12 months. Objective: To prove effect of sun exposure on vitamin D levels of infants aged 7-12 months Method: Randomised controlled trial was done to 109 subjects aged 7-12 months in Primary Health care around Semarang city on February until May 2019. Divided to intervention group (54 subjects) and control (55 subjects) with inclusion criteria: no congenital or chronic disease, parents agreed to join the study. Exclusion criteria: moderate or severe malnutrition, skin tone other than yellow or brown, severe vitamin D deficiency with clinical manifestation and received vitamin D supplementation. Intervention : sun exposure for 5 minutes from 10.00-14.00 three times a week for 2 months. Vitamin D level measurement and food recall were done before and after. Results: It is shown that prevalence of deficiency was 8.9%. No significant difference on pre vitamin D levels for intervention group (mean 39.1±14.9 ng/ml) and control (mean 38.6±15.4 ng/ml). After 2 months, there was significant difference between intervention group (mean 47.9±21.9 ng/ml) and control (mean 36.6±13.7 ng/ml) with p=0.005. There was no significant difference for vitamin D intake between two groups. Conclusion: Sun exposure of 50% body surface area at 10.00-14.00 for 5 minutes has an effect to increase vitamin D level of infants aged 7-12 months.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora
Abstrak :
Latar belakang. Refluks gastroesofagus (RGE) dengan gejala klinis regurgitasi merupakan manifestasi gastrointestinal yang sering dijumpai pada bayi. Penelitian menunjukkan bahwa prevalens regurgitasi menurun setelah usia 6 bulan sedangkan gejala klinis penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didapatkan pada anak di atas 1 tahun yang memiliki riwayat regurgitasi sering pada usia di atas 6 bulan. Infant gastroesophageal reflux questionnaire (I-GERQ) merupakan sarana diagnosis PRGE yang tidak invasif dan memiliki nilai prediktif positif yang baik. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidens PRGE, karakteristik bayi yang mengalami regurgitasi, skor I-GERQ dan gejala yang berkaitan dengan PRGE, faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir pemantauan, dampak regurgitasi terhadap peningkatan berat badan dan pola makan Metode. Penelitian longitudinal prospektif pada subjek dengan regurgitasi minimal 1x/hari setidak-tidaknya 4x/minggu. Kriteria eksklusi adalah bayi atopi, mengi berulang, dicurigai alergi susu sapi, kelainan neurologis, terdiagnosis tuberkulosis, riwayat operasi saluran cerna sebelumnya, pernah mencapat terapi antogonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Subjek sesuai PRGE jika skor I-GERQ >7, dan dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemantauan dilakukan setiap bulan pada subjek dengan I-GERQ ≤ 7, dengan menilai skor I-GERQ dan pengukuran antropometris. Hasil. Sebanyak 131 dari 352 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Subjek sebagian besar berusia 6 bulan (51,1%), status antropometris sesuai (85,5%), dan mendapat asupan dengan median frekuensi 14 (5-15) x/hari. Median skor I-GERQ saat awal pemantauan adalah 4 (3-7). Sebanyak 81,9% subjek mencapai skor I-GERQ nol saat akhir pemantauan. PRGE didapatkan pada 1 subjek saat pemantauan pertama dengan gejala berat badan sulit naik, regurgitasi 3-5x/hari, volume regurgitasi >15 mL. Variabel pemberian ASI eksklusif, paparan rokok, keluarga dengan alergi, keluarga dengan RGE, dan terapi non-farmakologis tidak berkaitan dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir pemantauan. Gejala regurgitasi hingga akhir pemantauan didapatkan pada 13,7% subjek yang mengikuti saran terapi non-farmakologis dibandingkan dengan 86,4% yang tidak mendapat dan tidak mengikuti edukasi (p = 0,14). Perbedaan rerata z-score berat badan berdasarkan usia pada subjek yang masih mengalami gejala regurgitasi hingga akhir pemantauan adalah -0,006 ± 0,357 (IK 95% -0,164; 0,152), p = 0,939. Kesulitan makan didapatkan pada 19 subjek dan 17 diantaranya tidak lagi mengalami regurgitasi saat akhir pemantauan. Simpulan. Insidens PRGE adalah 0,7%. Sebagian besar subjek mencapai skor I-GERQ saat akhir pemantauan. Terapi non-farmakologis walaupun tidak bermakna secara statistik dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir pemantauan namun didapatkan perbedaan proporsi. Gangguan peningkatan berat badan dan kesulitan makan tidak berhubungan dengan gejala regurgitasi yang menetap hingga akhir pemantauan. Kata kunci: bayi, refluks gastroesofagus, penyakit refluks gastroeosfagus, infant gastroesophageal reflux questionnaire ......Background. Regurgitation as symptom of gastroesophageal reflux (GER) is a common gastrointestinal manifestation in infant. Publications showed that regurgitation will decrease after 6 month old; whereas symptoms of gastroesophageal reflux disease (GERD) is more prevalent in children with history of frequent regurgitation after 6 month old. Infant gastroesophageal reflux questionnaire (I-GERQ) is a non-invasive diagnostic tool for GERD with high positive predictive value. Aim. To investigate the incidence of GERD, characteristics of infants with regurgitation, I-GERQ score and manifestation of GERD, risk factors that related with regurgitation symptom that persists at the end of follow-up, correlation of regurgitation with weight gain and feeding problems. Method. A Longitudinal prospective study in subjects with regurgitation at least 1 time/day; 4 times/week. We excluded infants with atopy, recurrent wheezing, probable cow milk allergy, diagnosed as tuberculosis, neurologic disorder, history of gastrointestinal surgery, history of H2 receptor antagonist or proton pump inhibitor treatment. I-GERQ score and anthropometric status were measured at enrollment. Subjects with GERD (I-GERQ >7) were referred to Cipto Mangunkusumo Hospital. Follow-up of I-GERQ, body weight, and body length in every month were performed in subjects with I-GERQ ≤7. Results. 131 of 352 subjects fulfilled the criteria. Subject mostly were 6 month old (51.1%), normal anthropometric status (85.5%), and have frequent intake with median 14 (5 – 15) times/day. Median of I-GERQ at enrollment were 4 (3 – 7), and at the end of follow-up 81.9% subjects reached I-GERQ score 0. GERD were found in 1 subject at first month follow-up with poor weight gain, regurgitation 3-5 times/day, regurgitation>15 mL. Exclusively breastfeeding, smoke exposure, family history of allergy and GER, and non-pharmacotherapy were not related with regurgitation that persists until 3 months follow-up. Regurgitation at the end of follow-up were found in 13.7% subjects who complied with non-pharmacotherapy; compared to 86.4% who have not complied nor had educated (p = 0.14). Mean difference of weight for age z-score in subjects with regurgitation at the end of follow-up were -0.006 ± 0.357 (95%CI -0.164; 0.152), p = 0.939. Feeding problems were found in 19 subjects while 17 of them no longer have regurgitation symptom at the end of follow-up Conclusion. Incidence of GERD is 0.7%. Most of subjects reached I-GERQ 0 at the end of follow up. Non-pharmacotherapy showed no statistically significant with regurgitation symptom at the end of follow up, but we found proportion difference. Weight gain and feeding problems are not related with regurgitation symptom that persists at the end of follow up
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viramitha Kusnandi Rusmil
Abstrak :
Latar Belakang : Tingginya prevalensi stunting di Indonesia dipengaruhi oleh kebutuhan gizi yang meningkat disertai kuantitas dan kualitas MPASI yang terbatas. Pemberian protein hewani yang mengandung asam amino esensial lengkap dan berjumlah cukup diharapkan mendukung pertumbuhan linear adekuat. Penelitian mengenai efektivitas PMT protein hewani terhadap pertumbuhan linear pada setting komunitas belum pernah dilakukan di Indonesia. Metode : Penelitian ini merupakan non-randomised controlled trial di Kelurahan Warakas Jakarta Utara pada bulan Agustus-November 2022 dengan subjek antara berusia 6-59 bulan mendapat intervensi PMT protein hewani (telur dan/atau susu) selama 4 bulan serta edukasi, dibandingkan dengan mendapatkan edukasi saja. Analisis dilakukan dengan membandingkan insidens stunting, delta WAZ dan LAZ, weight increment, dan length increment antara kedua kelompok. Hasil : Analisis dilakukan terhadap 56 subjek kelompok intervensi dan 67 subjek kelompok kontrol. Insidensi stunting baru di akhir penelitian ditemukan sebanyak 11,9% pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi 0% memiliki hasil berbeda bermakna (p=0,021, OR IK 95% 1,13). Median delta WAZ kelompok intervensi (0,13 SD) berbeda bermakna (p=0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol (-0,09 SD). Analisis kelompok intervensi delta WAZ menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun hasil delta LAZ secara statistik tidak berbeda bermakna tetapi secara klinis intervensi ini bermanfaat. Persentase subjek mencapai weight increment dan length increment adekuat lebih besar pada kelompok intervensi dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Kesimpulan : Pemberian edukasi dan PMT protein hewani mampu mencegah terjadinya stunting dengan mendukung tercapainya weight increment dan length increment adekuat dan memberikan efek bermakna terhadap perubahan WAZ. ......Background : The high prevalence of stunting in Indonesia is influenced by increasing nutritional needs and the limited quantity and quality of complementary food. Supplementary feeding of animal proteins containing complete and sufficient amounts of essential amino acids is expected to support adequate linear growth. Research on the effectiveness of animal protein supplementation on linear growth in community settings has never been conducted in Indonesia. Methods : This study is a non-randomized controlled trial in Warakas, North Jakarta, from August-November 2022. Subjects between 6-59 months in intervention group received supplementary feeding of animal proteins (egg and/or milk) for four months and education, meanwhile the control group received education only. Analysis was conducted by comparing the incidence of stunting, delta WAZ and LAZ, weight increment, and length increment. Result : Analysis was conducted on 56 subjects of the intervention group and 67 subjects of the control group. The incidence of stunting at the end of the study (11.9%) was found in the control group compared to the intervention group (0%) has significant results (p=0.021, OR CI 95% 1.13). Analysis of the delta WAZ intervention group showed a significant difference (p=0.01) compared to the control group, however, the delta LAZ result was not statistically different but clinically the intervention was beneficial. The average of endline LAZ subjects at risk of stunting in the intervention group (-0.24 SD) differed significantly (p=0.001) compared to the control group (-0.93 SD). The percentage of subjects achieving adequate weight increment and length increment was greater in the intervention group and showed a significant difference from the control group. Conclusion : The intervention of education and animal protein supplementation can prevent occurrence of stunting by promoting adequate weight increment and length increment and also has a meaningful effect on changes of WAZ.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Sulastri
Abstrak :
Latar belakang: Bayi moderate to late preterm menempati 80% populasi kelompok usia bayi prematur. Banyaknya komplikasi dan komorbiditas yang dapat terjadi pada bayi prematur menuntut adanya pemantauan perkembangan yang konsisten, praktis, efisien, dan sedini mungkin. Hal tersebut ditujukan untuk mencegah, mendeteksi, dan memberikan penanganan awal yang optimal. Instrumen uji tapis yang baik harus memiliki validitas, reliabilitas, sensitivitas dan spesifitas yang baik, serta lengkap meliputi semua aspek ranah perkembangan. Tujuan: Membandingkan sensitivitas dan spesifisitas uji tapis ASQ-3 dan Denver II terhadap baku emas Bayley-III dalam deteksi gangguan perkembangan pada bayi prematur usia koreksi 6–12 bulan. Metode: Penelitian potong lintang pada bayi prematur usia koreksi 6-12 bulan di Klinik Tumbuh Kembang RSCM pada bulan Oktober-Desember 2023. Kuesioner ASQ-3 diisi oleh orang tua dengan panduan petugas. Pemeriksaan Denver II dan Bayley III dinilai oleh dokter residen anak dan psikolog klinis anak yang terlatih pemeriksaan Bayley III. Hasil pemeriksaan dianalisis statistik dengan SPSS 25. Hasil: Enam puluh dua subjek penelitian diperiksa dan didapatkan sensitivitas ASQ-3 dan Denver II dibandingkan dengan Bayley-III pada bayi prematur usia koreksi 6-12 bulan masing- masing adalah 89,66% dan 79,31% sedangkan spesifisitasnya sebesar 93,94% dan 87,88%. Selain itu, ASQ-3 memiliki nilai PPV, NPV, PLR, NLR dan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Denver II. Kesimpulan: Uji tapis ASQ-3 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan Denver II untuk deteksi gangguan perkembangan pada bayi prematur usia koreksi 6-12 bulan. Kuesioner ASQ-3 dapat digunakan untuk uji tapis gangguan perkembangan bayi prematur yang efektif dan mudah digunakan. ......Background: Moderate to late preterm baby occupies 80% age group of preterm babies. The complications and comorbidities occur in preterm require consistent, practical, and efficient early developmental monitoring to aim optimal initial intervention. The developmental screening test instrument must have good validity, reliability, sensitivity and specificity, and covering all aspect developmental domain. Objective: This study aims to investigate the sensitivity and specificity of two brief developmental screening, the Ages and Stages Questionnaires, 3rd Edition, Indonesian-version (ASQ-3) with the Denver Developmental Screening test II (Denver II). Method: A cross-sectional design conducted in corrected aged 6 to 12 months preterm infants from Growth and Developmental Social Paediatric Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital in October to December 2023. The ASQ-3 questionnaires was filled in by parents with guidance from health workers. Denver II and Bayley III was assessed by paediatric resident and trained paediatric clinical psychologist. Results: A total of 62 preterm infant was recruited. Sensitivity of ASQ-3 and Denver II compared to Bayley-III were 89,66% and 79,31%, respectively with specificity 93,94% and 87,88%, respectively. Furthermore, ASQ-3 showed higher PPV, NPV, PLR, NLR, and accuracy compared to Denver II. Conclusion: The ASQ-3 questionnaires had significantly higher sensitivity and specificity compared to Denver II for developmental delay screening. This tool was appropriate for consistent screening due to its effectiveness and simplicity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>