Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Sardjono
Abstrak :
Article 89 of Law Number 28 of 2014 provides for two National Collective Management Organizations (hereinafter briefly referred to as LMKN), both of which represent the interests of authors and owners of related rights. Both of said organizations possess the authority to impose, collect, and distribute royalties obtained from commercial users. The Minister of Law and Human Rights inaugurated commissioners assigned to said Authors’ Rights LMKN and Related Rights LMKN. The LMKN is bound to have an operational effect on previously existing LMKs in Indonesia. Therefore, the objective of this study is to assess whether the existing LMKs feel that their needs are accommodated by the introduction of the LMKN. This research also aims to reveal the causing factors of the conflict which has been occurring between LMKs and Authors/Musicians/Singers, between LMKs, and between LMKs and Commercial Users of Songs/Music. This research also aims to elaborate on the existing regulation patterns concerning LMKs worldwide. The research will be conducted by using normative and empirical legal research method. Normative research will be conducted to examine the normative aspects of LMKs and LMKN. On the other hand, empirical research will be aimed at understanding and analyzing the outlook of actors, in particular LMKs existing prior to the 2014 Copyright Law coming into effect. This research is expected to come up with recommendations concerning the regulation of music/song LMKs in Indonesia in the future.

Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam Pasal 89 memberikan dua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (selanjutnya disebut sebagai LMKN), yang merupakan perwakilan kepentingan dari pencipta dan pemilik hak cipta dari hak-hak terkait. Kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk menetapkan, memungkit, dan mendistribusikan royalti yang diperoleh dari pengguna komersial. Menteri Hukum dan HAM mengangkat komisioner LMKN Pencipta dan LMKN Hak Terkait di Indonesia. Sehingga, tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau apakah LMK yang ada telah merasa bahwa kebutuhan LMK tersebut telah diakomodasi dengan pendirian LMKN. Selain itu juga, tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor penyebab konflik yang tengah terjadi antara LMK dan Pencipta/Musisi/Penyanyi, antara LMK, dan antara LMK dan pengguna komersial dari lagu/musik. Tulisan ini juga bertujuan untuk menjabarkan ketentuan peraturan mengenai LMK yang ada di dunia. Tinjauan ini akan dilakukan dengan metode normatif dan empiris. Kajian normatif akan dilakukan untuk memeriksa aspek normatif dari LMK dan LMKN. Di sisi lain, kajian empiris ditujuan untuk memahami dan menganalisa pandangan dari para pelaku, khususnya LMK yang telah ada sebelum UU Hak Cipta 2014 berlaku. Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi mengenai peraturan LMK musik/lagu di Indonesia di masa depan.
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sardjono
Abstrak :
ABSTRAK
Previous research found that the individual trademark system has not been effectively utilized to support the business of batik Smal Medium Enterprises (SMEs), particularly in several batik industry centers in Java, namely Bantul in Yogyakarta province, Kauman in Pekalongan and Laweyan in Solo. However, the fact that those SMEs gather in a community, organization, or kinships bring potentials for development of collective trademarks, which can address the problems that individual trademark cannot anticipate. The development of collective trademark can also be a strategy to anticipate the free-trade ?attack,? i.e. imported textiles with batik patterns/motifs; which are not the original Indonesian batik. In regards to that, Indonesian batik SMEs need to be nurtured and encouraged to register their own collective trademarks and to build their branding infrastructure, through local batik community?s standardization, and collective batik labeling. This present research focuses on the development of collective trademark utilization by one longknown batik community in Kampung Batik Laweyan, Solo, as a strategy to enable them to compete with imported batik-printed textiles, as well as to protect their traditional batik cultural heritage.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sistem merek individual belum secara efektif digunakan untuk mendukung Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bergerak di industri batik, khususnya di beberapa pusat industri batik di Jawa, yakni Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kauman di Pekalongan dan Laweyan di Solo. Namun demikian, fakta bahwa UKMUKM batik tersebut berkumpul dalam sebuah komunitas, organisasi atau dalam hubungan kekerabatan, menunjukkan adanya potensi untuk mengembangkan merek kolektif, yang mana dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang tidak dapat diatasi oleh sistem merek individual. Dengan mengembangkan merek kolektif, hal ini juga dapat menjadi sebuah strategi untuk mengantisipasi serangan perdagangan bebas. Misalnya tekstil impor dengan pola batik; yang sebenarnya bukanlah termasuk batik asli Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, UKM-UKM batik Indonesia harus diayomi dan dihimbau untuk mendaftarkan merek kolektif mereka dan untuk membangun prasarana pemasaran, melalui standarisasi komunitas batik lokal dan pendaftaran merek kolektif. Penelitian yang dibahas dalam artikel ini berfokus pada perkembangan penggunaan merek kolektif oleh sebuah komunitas batik yang telah lama terbentuk di Kampung Batik Laweyan, Solo, sebagai sebuah strategi untuk dapat bersaing dengan tekstil berpola batik yang diimpor, sekaligus sebagai upaya perlindungan atas warisan tradisional budaya batik.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sardjono
Abstrak :
This research aims to observe whether the Trademark Law can contribute to protect Indonesia`s batik business, particularly for the small-medium enterprises who produce and sell batik products ('Batik SMEs'). The individual trademark system has not been successful to support the batik SMEs business. However, the fact that those SMEs gather in a community, organization, or kinships bring potentials for the development of collective trademarks, which can address the problems that individual trademark cannot anticipate. This research finds that, in order to anticipate the free-trade attack, i.e. imported textiles with batik patterns/motifs; Indonesian batik SMEs need to be nurtured and encouraged to register their own collective trademarks, and to build their branding infrastructure, through local batik community`s standardization, and collective batik labeling. This recommendation is also proposed considering the government`s ineffective policy on Batikmark. This research will take samples of Batik SMEs in several areas, namely Yogyakarta, Pekalongan, Solo, and Jakarta. Those areas have been recalled as some of the centers for Batik production and trading activities. This research is conducted through combining the quantitative and qualitative-empirical methods. Data are collected through literature studies, interviews, as well as questionnaires, including site visits and discussions with the SMEs in those areas.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sardjono
Abstrak :
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sistem merek individual belum secara efektif digunakan untuk mendukung Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bergerak di industri batik, khususnya di beberapa pusat industri batik di Jawa, yakni Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kauman di Pekalongan dan Laweyan di Solo. Namun demikian, fakta bahwa UKMUKM batik tersebut berkumpul dalam sebuah komunitas, organisasi atau dalam hubungan kekerabatan, menunjukkan adanya potensi untuk mengembangkan merek kolektif, yang mana dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang tidak dapat diatasi oleh sistem merek individual. Dengan mengembangkan merek kolektif, hal ini juga dapat menjadi sebuah strategi untuk mengantisipasi serangan perdagangan bebas. Misalnya tekstil impor dengan pola batik; yang sebenarnya bukanlah termasuk batik asli Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, UKM-UKM batik Indonesia harus diayomi dan dihimbau untuk mendaftarkan merek kolektif mereka dan untuk membangun prasarana pemasaran, melalui standarisasi komunitas batik lokal dan pendaftaran merek kolektif. Penelitian yang dibahas dalam artikel ini berfokus pada perkembangan penggunaan merek kolektif oleh sebuah komunitas batik yang telah lama terbentuk di Kampung Batik Laweyan, Solo, sebagai sebuah strategi untuk dapat bersaing dengan tekstil berpola batik yang diimpor, sekaligus sebagai upaya perlindungan atas warisan tradisional budaya batik.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
340 UI-ILR 5:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library