Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwik Selviana
Abstrak :
Latar belakang: Dokter umum harus memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional, dimana dokter memiliki kewajiban memberikan konseling, anamnesis, pemeriksaan, pengobatan, dan menentukan tindakan medis terhadap pasiennya, hal ini berbeda dengan tenaga perawat atau nakes lainnya sehingga dokter secara tidak langsung memiliki beban kerja dengan tekanan yang lebih tinggi karena dokter memiliki wewenang dan hak untuk melakukan pelayanan kesehatan, selain itu dokter secara rutin dan berkelanjutan melakukan shif kerja lama lebih dari 12 jam tiap shiftnya beresiko tinggi mengalami kelelahan dan berhubungan dalam meningkatkan resiko kecelakaan kerja yang dampaknya bisa merugikan lingkungan kerja, dokter umum sendiri, dan keselamatan pasien jika dibandingkan dengan lama shift kerja sebanyak 8 jam perhari. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara shift kerja dan faktor-faktor risiko lain terhadap derajat kelelahan pada dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit di Kota bekasi tahun 2022. Metode: Metode penelitian cross-sectional dengan sifat penelitian observational berupa pengisian kuesioner yang disebarkan secara online dengan menggunakan google form  kepada dokter umum yang bekerja secara shift dan non-shift di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) yang telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia, dengan teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan quota sampling. Kemudian data di analisa dengan menggunakan  IBM SPSS versi 20, dimana data dikumpulkan dari bulan maret sampai mei 2022. Hasil: Analisis multivariat membuktikan bahwa Pekerja yang mendapatkan jaga shift, cenderung lebih beresiko 38 kali (OR: 38,1; IK 95% :3,897-373,285, p <0,0500. Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan bahwa shift kerja memiliki hubungan paling signifikan terhadap risiko kelelahan pada dokter umum dibandingkan dengan faktor risiko lain. ......Background: General Practitioners must provide quality and professional services, which includes the obligation to provide counseling, history taking, examination, providing treatment, and determining medical actions for their patients, This is different from other health workers, in which doctors directly have a workload with high pressure. Besides that doctors regularly and continuously perform long work shifts for more than 12 hours. Each shift has high risk to induce fatigue and this is also associated with an increasing the risk of work accidents whose impacts can be detrimental to the work environment, doctors themselves, and especially to the patient safety when compared to the 8 hour work shift per day. Method: This study was an observational study with a cross-sectional design by using of Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) 30-Item fatigue symptoms. Participants were general practitioners who work at hospital, both shift work and non-shift. They were selected by quota sampling technique. Data were collected from March to May 2022, data were analyzed by IBM SPSS Statistic ver.20. Results: We collected data primarily through online questionnaire using Google Form Platform, multivariate analysis showed that doctors who work with shift had a risk of 38 times more to experience moderate to severe fatigue compared to doctors who worked with non-shifts. (OR:38,1 CI 95%: 3,897-373,285, p <0,05). Conclusion: This study proves that shift workers have the most significant correlation to induce fatigue among general practitioner compared to other risk factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triandana Budi Wisesa
Abstrak :
Latar Belakang: Operator crane merupakan pekerjaan yang memiliki resiko tinggi mengalami gangguan muskuloskeletal. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Kuswaha et al menunjukkan bahwa dari 90% operator crane, 63% mengalami nyeri leher.1 Operator crane melakukan sebagian besar aktivitas kerja mereka dengan postur tubuh yang janggal pada leher, bahu dan punggung. Prevalensi nyeri leher yang tinggi dikaitkan dengan derajat fleksi leher yang tinggi serta postur statis dan janggal saat duduk. Postur membungkuk yang terus menerus dapat menyebabkan ketegangan dan tekanan pada jaringan lunak di sekitar tulang belakang. 2 Bekerja mengoperasikan crane dalam posisi duduk statis dan membungkuk ke bawah dan dalam waktu yang lama merupakan bagian dari tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diubah secara teknis, sehingga perlu dilakukan kontrol, salah satunya dengan program peregangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah peregangan yang dilakukan dalam waktu dua minggu (lebih singkat dari studi referensi) mampu menurunkan nilai VAS nyeri leher pada operator crane, serta untuk mengetahui berapa nilai penurunan VAS tersebut. pengukuran sebelum peregangan dan setelah peregangan. Metode: Studi analitik dengan desain within group experiment with repeated measurement. Dilakukan terhadap 25 orang responden yang dipilih secara consecutive sampling dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Penelitian dilakukan dengan pemberian edukasi gerakan peregangan yang dilakukan dalam durasi sekitar lima menit, dilakukan dua kali dalam sehari yaitu sebelum dan setelah bekerja, dilakukan lima hari dalam satu minggu, selama dua minggu. Kemudian dilakukan pengukuran nilai Visual Analog Scale (VAS) sebelum dilakukan peregangan dengan sesudah dilakukan 5 hari peregangan dan 10 hari peregangan. Hasil: Didapatkanya nilai prevalensi nyeri tengkuk sebanyak 39,6% serta terdapat penurunan signifikan dari nilai nyeri sebelum dilakukan peregangan (VAS = 5 (3-7)) dengan nilai nyeri setelah dilakukan peregangan (VAS = 3 (1-5)) dengan nilai p<0,01 dari uji wilcoxon. Tidak didapatkannya perubahan yang bermakna terhadap faktor individu yang dinilai, baik berdasarkan variabel umur, status gizi, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan merokok. Kesimpulan: Peregangan otot dapat menurunkan nilai nyeri tengkuk leher pada subjek penelitian operator crane, yang diukur berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) dengan intervensi peregangan dilakukan  selama 2 minggu.       ......Background: Working to operate a crane in a sitting position for a long time with the back and neck bent is considered to be associated with an increased risk of neck and back pain disorders in crane operators, and is part of the job demands that cannot be changed technically. It is necessary to control the incidence of neck pain in crane operators, one of which is by stretching. The purpose of this study was to prove whether stretching that was carried out within two weeks (shorter than the reference study) was able to reduce the VAS value in neck pain in crane operators. Methods: This study used an analytical study in the form of within group experiment with repeated measurement design. This research was conducted at the X container terminal located in North Sumatra, carried out when there were still social restrictions on the Covid-19 pandemic in October 2020. This study involved 25 respondents, who were obtained through consecutive sampling. Interventions were carried out by providing education for the McKenzie stretching movements which were about five minutes duration, twice a day, before and after work, for five days a week, in two weeks. Then the Visual Analog Scale (VAS) value was measured before stretching, 5 days of stretching and 10 days of stretching. The stretching and VAS measurement activities were monitored by the company doctor as well as the research team whose perceptions were matched. Results: The prevalence value of neck pain was 39,6% and there was a statistically significant decrease in VAS levels from VAS = 5 (3-7) before stretching to VAS = 3 (1-5) after stretching for 2 weeks with p values 0.000. There were no significant changes in individual factors that could potentially be confounding factors, such as age, nutritional status, exercise habits, and smoking habits during the experiment. Conclusion: Muscle stretching can reduce the value of neck pain in crane operator research subjects, which was measured based on the Visual Analog Scale (VAS) with stretching interventions carried out for 2 weeks.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titil Sry Kurniawati
Abstrak :
Latar Belakang: Tim Surveilans COVID 19 sebagai garda terdepan dalam pengendalian kasus di wilayah administrasi terendah yaitu di Pusat Kesehatan Masyarakat, rentan mengalami mengalami peningkatan stress. Peningkatan  stress bisa disebabkan oleh beban kerja dan faktor lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan hubungan beban kerja dan faktor risiko lainnya terhadap tingkat stress Tim Surveilans. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan pengambilan sampel total sampling sebanyak 115 anggota dalam Tim Surveilans yang terdiri dari surveillant (ASN) dan tracer (relawan) Puskesmas seKota Bogor. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur beban kerja adalah kuesioner NASA TLX dan kuesioner Perceived Stress Scale untuk mengukur tingkat stress. Faktor risiko individu pada penelitian ini, usia, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan, sedangkan faktor pekerjaan yaitu masa kerja dan jabatan dalam tim. Pengambilan data  secara daring menggunakan Goggle Form. Hasil: Prevalensi stress 1.7 % stress ringan, stress sedang 49.6% dan stress berat 48.7%. Pada level stress ringan sampai berat didapatkan beban kerja pada Tim Surveilans pada kategori tinggi. Usia ≥25 tahun dan tim Surveilans berlatar belakang pendidikan non kesehatan memiliki kemungkinan stress lebih rendah (OR= 0.41 CI95%= 0.19-0.88 p= 0,02 dan 0R=0.18 CI 95% 0.04-0.77 p=0.016).  Kesimpulan: Tim surveilans COVID 19 memiliki beban kerja tinggi pada semua kategori tingkat stress. Terdapat  hubungan yang signifikan antara usia dan latar belakang pendidikan dengan tingkat stress. ......Background: As front liners in controlling COVID 19 cases in the lowest administrative areas, notably in the Community Health Centers, the COVID 19 Surveillance Team is at high risk to experience stress. Workload and other factors can contribute to stress enhancement levels. This study aims to determine between workload and other factors to the stress level of the Surveillance Team. Methods: This study applied a cross-sectional research design with a total sampling of 115 respondents from the surveillance team, consisting of surveillants (State Civil Apparatus) and tracers (volunteers) from Public Health Centers throughout Bogor City. This study employed the NASA TLX questionnaire to measure the workload and the Perceived Stress Scale questionnaire to assess stress levels. In addition, individual risk factors in this study covered age, gender, and educational background. Meanwhile, work factors involved years of service and position in the team. The data collection was performed online utilizing Google Form. Results: Only 1.7% of the Surveillance Team experienced mild stress, while 49.6% experienced moderate stress, and 48.7% experienced severe stress. Across all the levels of stress, the workload of the team surveillance was found to be high. Age 25 years and above as well as non-health educational background were less likely to have stress (OR= 0.41 CI95%= 0.19-0.88 p= 0,02 and 0R=0.18 CI95% 0.04-0.77 p=0.016). Conclusion: The COVID 19 Surveillance Team had a high workload in all categories of stress level. There was a significant correlation of age and educational background with stress levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Asiah
Abstrak :
Tesis ini disusun untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien adolescence idiopathic scoliosis (AIS). Desain penelitian merupakan studi potong pada 100 pasien AIS yang berusia di atas 13 tahun dengan menggunakan kuesioner Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) sebagai alat ukur kualitas hidup. Dilakukan analisis faktor-faktor yang berhubungan yang meliputi faktor penyakit (usia terdiagnosis, derajat keparahan kurva, tipe kurva) faktor terapi (exercise, brace, operasi) dan faktor sosiodemografik (kelompok usia, jenis kelamin, body mass index). Hasil penelitian didapatkan skor total yaitu 3.42  0.46. Didapatkan skor tertinggi pada domain nyeri yaitu 3.66 (2-5), serta skor terendah pada domain citra diri yaitu 3.33  0,9. Pada faktor penyakit, didapatkan skor domain kepuasan terhadap manajemen yang lebih tinggi secara bermakna pada kurva derajat ringan. Pada faktor terapi, didapatkan skor total dan skor domain fungsi yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok exercise, skor domain citra diri dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok brace, serta skor domain citra diri yang lebih tinggi, tetapi skor domain fungsi dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok operasi. Tidak didapatkan perbedaan skor yang bermakna pada faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, body mass index). ......This thesis aimed to determine the quality of life of patients with adolescent idiopathic scoliosis (AIS). The study design was a cross-sectional study of 100 AIS patients aged over 13 years using the Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) questionnaire as a measurement tool of quality of life. Analysis of related factors including disease factors (age at diagnosis, degree of curve severity, type of curve), therapeutic factors (exercise, brace, surgery), and sociodemographic factors (age group, sex, body mass index) was performed. The results showed a total score of 3.42  0.46. The highest score was in the pain domain (3.66 (2-5)), and the lowest score was in the self-image domain (3.33  0.9). In the disease factors, a significantly higher score of satisfaction for management was found in mild degree curve. In the therapeutic factors, a significantly higher total score and function domain score was found in the exercise group, a significantly lower in selfimage and satisfaction with management domain score in the brace group, and a significantly higher self-image domain score but lower in function and satisfaction with management domain score was found in the operating group. There were no significant differences in sociodemographic factors (age, gender, body mass index).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Erika Jahja
Abstrak :
Kapasitas kerja fisik merupakan hasil jarak tempuh yang dilakukan oleh pasien dalam pemeriksaan 6MWT. Pasien dengan pekerjaan tertentu memiliki estimasi kebutuhan METs minimum untuk melakukan pekerjaan. Pasien dengan infeksi COVID-19 derajat berat diduga dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kesesuaian kapasitas kerja fisik. Tujuan dari studi ini mengetahui hubungan antara derajat keparahan infeksi COVID-19 terhadap kesesuaian kapasitas kerja fisik pada tenaga kesehatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian menggunakan desain studi potong lintang pada tenaga kesehatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Populasi penelitian merupakan data pegawai yang terinfeksi COVID-19 pada bulan Juni-Juli 2021 dan melakukan pemeriksaan kapasitas kerja fisik pada periode September-November 2021. Pengolahan data dilakukan dengan menghimpun data secara bertahap dari rekam medis, dikelompokkan dan dilakukan uji analisis bivariat. Penentuan kesesuaian kapasitas fisik dilakukan dengan membandingkan antara hasil pemeriksaan kapasitas kerja fisik dengan estimasi kebutuhan METs minimum pekerja. Dari 102 pegawai terdapat 81 pegawai yang mengalami ketidaksesuaian kapasitas kerja fisik. Sebagian besar pegawai yang memiliki ketidaksesuaian kapasitas kerja fisik berasal dari kelompok infeksi derajat ringan (83,9%). Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna (p>0,05) antara usia, jenis kelamin, IMT, gejala sisa, penyakit penyerta dan derajat keparahan terjadap kapasitas kerja fisik pada tenaga kesehatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ......Functional capacity is the result of 6MWT distance examination. Patients with a particular job have an estimated minimum functional capacity. Patients with severe covid-19 infection are thought to be one of the factors affecting the suitability of physical activity fitness. Purpose of this study to know the relationship between severity of COVID-19 infection and physical activity fitness among healthcare worker in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.A cross-sectional study obtained data among healthcare personnel who has COVID-19 infection from June to July 2021, and undergone physical activity test between September to November 2021. Data processing is carried out by collecting data from medical records and then grouped, then bivariate analysis test is carried out. Determination of the suitability of physical activity fitness is carried out by comparing the results of the functional capacity examination with the estimated minimum METs needs of workers. A total of 102 employees, there were 81 employees who unsuitable for physical activity fitness. Most of the employees who had unsuitability of physical activity fitness came from the mild infection group (83.9%). There is no significant relationship (p>0.05) between age, gender, BMI, sequelae, comorbidities and degree of severity of COVID-19 infection and activity fitness among healthcare workers at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olieve Indri Leksmana
Abstrak :
Diketahui bahwa vaksinasi COVID-19 menurunkan angka kesakitan dan kematian, dan penurunan insiden dari infeksi SARS CoV-2 yang bergejala, namun fenomena yang ditemukan di berbagai negara adalah masih ditemukan infeksi SARS CoV-2 pada perawat yang telah divaksin walau dalam skala kecil. Perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi ini, dimediasi melalui interaksi yang kompleks antara imunitas bawaan, humoral, dan imunitas seluler karena itu kekebalan yang dibentuk pun sangat bervariasi dari individu satu ke yang lainnya dan dipengaruhi oleh berbagai faktor intrinsik dan ekstrinsik. Penelitian sebelumnya menyatakan stres menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan respon imun pada individu yang mendapatkan vaksinasi Pneumococcal Pneumoniae (p<0,03), Influenza (p =0,02) dan Hepatitis B (p <0.001). Stres kerja terus meningkat dan konstan diantara perawat pada kondisi pandemi COVID-19 dan angka kejadian COVID-19 didapat meningkat pada perawat dengan stres kerja (p<0,001). Stres kerja dapat memiliki hubungan dengan kejadian infeksi COVID-19 pada perawat yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap. Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi Sars- CoV-2 diantara perawat yang telah mendapatkan vaksin COVID-19 lengkap Metode penelitian : Penelitian menggunakan metode cross-sectional dengan kuesioner daring, terdiri dari kuesioner data diri, faktor komorbid, data okupasi, dan kuesioner ENSS yang terdiri dari 5 skala likert. Analisis univariat dilakukan untuk seluruh variabel, dan analisis bivariat dilakukan untuk menentukan variabel bebas mana yang paling berpengaruh. Hasil : Faktor stres kerja adalah faktor determinan untuk kejadian Infeksi Sars-CoV-2 pada populasi perawat yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap (OR = 1,5, 95% CI = 1,3 - 1,8; p <0,001fs). Faktor individu dan faktor lain dari pekerjaan, tidak ada yang menjadi faktor determinan terhadap kejadian infeksi Sars CoV-2 di antara perawat yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap. ......Introduction. During this pandemic era, nurses experienced a higher level of occupational stress and high exposure to COVID viruses at their workplace. This occupational stress could reduce their immune response, so they are more susceptible to COVID infection. This study aimed to understand the association between occupational stress and the incidence of COVID infection among completely vaccinated nurses (breakthrough infection). Method. This was a cross-sectional study in which 161 nurses at the main referral hospital for COVID-19 in Pekanbaru were involved. We compare the incidence of breakthrough infections among nurses with high occupational stress and low occupational stress using the Extended Nursing Stress Scale (ENSS) questionnaire which were taken during February to April 2022. We also analyzed the individual and other occupational factors with the incidence of COVID breakthrough infections. Analysis was performed using fisher’s exact and chi-square bivariate analysis. Results. A total of 17.4 % COVID-19 breakthrough infection was occurred in this study. Overall ENSS mean score is 58.39 (±30.56). About 49.7% of respondents with high occupational stress and the rest were low level. We found that high occupational stress is significantly associated with breakthrough infections (OR = 1.5; 95% CI : 1.3-1.8 p<0.001) among nurses. Individual factors such as age, gender, nutritional status, and marital status, as well as occupational-related factors, such as night shift and working unit, have no association with the breakthrough infection (p>0.05). Conclusion. Occupational stress becomes the main contributor to infection among nurses who have been completely vaccinated. Thus, stress management is important to be enacted within the hospital to mitigate COVID infections on top of mandatory vaccination among healthcare workers. Future studies are needed to establish a robust connection between occupational stress in post-vaccinated nurses, particularly through thorough quantitative titer antibody assessment and prospective study method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sang Ketut Suratna
Abstrak :
Latar Belakang. Sebuah pabrik tekstil “X” yang sebagian besar pekerjanya perempuan, mempunyai jam operasional yang mengharuskan pekerja menjalani sistem kerja gilir. Sistem kerja gilir mempengaruhi pola makan dan status gizi pekerja, kekurangan zat gizi memiliki potensi tinggi menyebabkan kelelahan sehingga diperlukan rekomendasi makanan tambaha serta edukasi gizi bagi kelompok pekerja ini. Pendekatan Linear Programming (LP) menghasilkan Food Based Recommendation (FBR) yang mempertimbangkan penggunaan bahan pangan lokal yang disesuaikan dengan pola makan pekerja dengan kerja gilir serta permasalahan gizi kelompok pekerja dengan mengoptimalkan kandungan nutrisi sehingga FBR yang dirumuskan dapat menjadi kebijakan bagi pemilik industri tekstil yang memperkerjakan perempuan pekerja dengan sistem kerja gilir. Objektif. Didapatkan rekomendasi makanan tambahan bagi perempuan pekerja dengan kerja gilir malam dalam menurunkan kejadian kelelahan. Metode. Penelitian dilakukan dalam dua fase, yaitu pra dan paska intervensi menggunakan desain quasi-eksperimental dengan uji pra dan paska dengan kelompok kontrol. Subjek penelitian dianalisis secara per protokol sehingga subjek berjumlah 100 perempuan pekerja. Data diet pekerja diperoleh dari penimbangan makanan yang diberikan saat kerja gilir malam, data dikombinasikan dengan 24 hours food recall serta 5 dFFQ (5-days food-frequency questionnaire). Kelelahan diukur dengan menggunakan kuesioner CIS (Checklist Individual Strength) 20R dan Reaction Time. Analisis LP menggunakan sistem Optifood yang merumuskan suatu rekomendasi makanan tambahan (FBR). Hasil. Berdasarkan hasil pemeriksaan kelelahan pada dua kelompok menunjukkan bahwa nilai rerata waktu reaksi pada kelompok intervensi pra intervensi sebesar 239,29±49,96 setelah dilakukan intervensi terjadi penurunan rerata waktu reaksi sebesar 12,97 millidetik. Penurunan rerata waktu reaksi kelompok intervensi mempunyai nilai p<0,05 (p=0,006) sehingga secara statistik nilai p bermakna pada rerata penurunan waktu reaksi kelompok intervensi paska intervensi. Pada kelompok kontrol pra intervensi rerata waktu reaksi sebesar 236,99±40,56 setelah dilakukan intervensi mengalami penurunan sebesar 3,56 millidetik. Sedangkan rerata waktu reaksi pra intervensi gabungan kedua kelompok sebesar 238,12±45,24 paska intervensi sebesar 229,94±27,34, beda rerata gabungan kedua kelompok sebesar 8,18 millidetik. Artinya ada penurunan kelelahan sebesar 8,18 millidetik paska intervensi. Secara satitistik penurunan rerata waktu reaksi gabungan kedua kelompok bermakna (p=0,007). Kesimpulan. Intervensi FBR cukup efektif dalam penurunan kelelahan bagi kedua kelompok penelitian, pada paska intervensi terdapat perbaikan kelelahan yang cukup baik. ......Introduction. Textile factory “X”, where most workers are women, has an operational system that requires its workers to work on shifts. The shift system affects the dietary patterns and nutritional status of workers. Malnutrition has a high potential in causing fatigue. Thus, additional food recommendations and nutritional education for this population are needed. A Linear Programming (LP) approach produced the Food Based Recommendation (FBR), which considers the use of local food ingredients adjusted to the dietary pattern of shift workers and the nutritional problem of those workers by optimizing nutritional content. Therefore, the formulated FBR can be used as a policy for textile industry owners who employ female workers with a shift system. Objective. Obtaining additional food recommendations for female workers who work a night shift to reduce the incidence of fatigue. Methods. This study was conducted in two phases, i.e., pre-and post-intervention, using a quasi-experimental design with pre-and post-test with the control group. The subjects were analyzed per the protocol and a total of 100 female workers was obtained. The data on the workers’ diet was obtained from weighing food given during the night shift. The data were combined with a 24-hour food recall and 5 RFQ (5-days food-frequency questionnaire). Fatigue was examined using a CIS (Checklist Individual Strength) 20R questionnaire and a Reaction Time Analysis LP using the Optifood system, which formulated a Food-Based Recommendation (FBR). Data were analyzed using univariate and bivariate analysis. Results. Based on the results of the fatigue examination of the two groups, the mean value of pre-intervention reaction time in the intervention group was 239.29 ± 49.96. After the intervention, an average reduction of 12.97 milliseconds occurred in reaction time.The mean reduction of reaction time in the intervention group produced a p-value of < 0.05 (p = 0.006). Therefore, statistically, the p-value was significant to the mean reduction in reaction time in the intervention group after the intervention. In the pre-intervention period of the control group, the mean value of reaction time was 236.99 ± 40.56 and decreased by 3.56 milliseconds after the intervention. Meanwhile, the average pre-intervention reaction time between the combinations of the two groups was 8.18 milliseconds. This means that there is a decrease in fatigue by 8.18 milliseconds after the intervention. Statistically, the reduction of mean reaction time between the two groups was significant (p = 0.007). Conclusion. Adequate energy intake will improve the health status of workers, especially to avoid physiological disturbances and fatigue. The additional food menu chosen as the FBR recommendation is the one with the highest nutritional content. The recommended FBR was quite effective in reducing reaction time for both study groups. In the pre-intervention group with the mean value (239.29±49.96) and the post-intervention mean value (226.32±31.19), there was a decrease in reaction time of 12.9 milliseconds. Recommendations for providing additional food menus and nutrition education can be used as recommendations for workers and company owners.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Wiradeni
Abstrak :
Latar Belakang: Penyakit Hirschsprung (PH) dihadapkan pada penyulit berupa malnutrisi dan enterokolitis. Meskipun terapi bedah efektif pada PH, 32% pasien memiliki morbiditas pascaoperasi. Panjang segmen usus aganglionik memiliki pengaruh terbesar, pasien dengan aganglionik kolon total memiliki 63% komplikasi pascaoperasi, sedangkan pasien dengan aganglionik rektosigmoid memiliki 17% komplikasi pascaoperasi. Belum pernah ada penelitian yang membuktikan faktor-faktor yang memengaruhi morbiditas penderita PH pascaoperasi definitif yang terjadi di RSCM. Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif menilai penyulit berupa ekskoriasi perianal, kebocoran anastomosis dan striktur anastomosis pada 62 kasus PH di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia yang didiagnosis pada tahun 2015-2019. Data dianalisis dengan uji bivariat Chi-squared, uji Fischer atau uji Mann-Whitney. Hasil: Aganglionik usus segmen pendek memiliki jumlah terbesar (75,8%), diikuti oleh aganglionik usus segmen panjang (19,4%), dan aganglionik kolon total (4,8%). Tidak ada pasien dengan aganglionik kolon total dan usus halus. Dari 62 kasus yang sesuai dengan kriteria inklusi, didapatkan 14 kasus mengalami morbiditas pascaoperasi dan 48 kasus tanpa morbiditas. Morbiditas terbanyak adalah ekskoriasi perianal sebanyak 6 kasus (42,8%), diikuti kebocoran anastomosis sebanyak 4 kasus (28,6%) dan striktur anastomosis sebanyak 4 kasus (28,6%). Panjang usus aganglionik tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan morbiditas pasien pascaoperasi PH (p = 0,098). Kesimpulan: Panjang segmen usus aganglionik tidak menunjukkan asosiasi secara bermakna dengan morbiditas pasien dengan penyakit Hirschsprung pascaoperasi definitif. ......Background: Hirschsprung's disease (HD) was faced with malnutrition and enterocolitis. Although surgical therapy is effective at HD, 32% of patients have postoperative morbidity. The length of the aganglionic bowel segment had the greatest influence, patients with total colonic aganglionic had 63% postoperative complications, whereas patients with rectosigmoid aganglionic had 17% postoperative complications. There has never been a study that proves the factors that influence the morbidity of postoperative HD patients who occur in RSCM. Method: Conducted a retrospective cohort study assessing complicaion of the occurrence of perianal excoriation, anastomotic leak, and anastomotic stricture in 62 cases of PH at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia who were diagnosed in 2015-2019. Data were analized by using Chi-squared test, Fisher test or Mann-Whitney test. Result: Short segment intestinal aganglionic had the largest number (75.8%), followed by long segment intestinal aganglionic (19.4%), and total colonic aganglionic (4.8%). There were no patients with total colon and small intestine aganglionic. Of the 62 cases that met the inclusion criteria, 14 cases experienced postoperative morbidity and 48 cases without morbidity. The most morbidity was perianal excoriation (6 cases, 42.8%), anastomotic leak (4 cases, 28.6%) and anastomotic stricture in 4 cases (28.6%). Aganglionic bowel length did not have a significant association with postoperative PH morbidity ( p = 0.037). Conclusion: Aganglionic bowel segment length is not significantly associated with morbidity, which is perianal excoriation, anastomotic leakage, and anastomotic stricture following definitive operative surgery for Hirschsprung disease.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handrianto
Abstrak :
Pendahuluan Kehilangan pendengaran adalah problem yang sering diderita pekerja yang terpajan bising, diantaranya adalah masinis kereta api. Pajanan bising dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif yang menyebabkan kematian pada sel rambut melalui proses nekrosis atau apoptosis. Untuk mengatasi hal tersebut, tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan endogen dengan membentuk enzim antioksidan, salah satunya glutathione peroxidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk korelasi antara aktivitas glutathione peroxidase dengan hasil pemeriksaan audiometri dan mengetahui akurasi aktivitas glutathione peroxidase sebagai prediktor hasil pemeriksaan audiometri yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kehilangan pendengaran akibat bising. Metode Penelitian ini menggunakan desain cross- sectional pada masinis kereta api. Variabel prediktor mencakup aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia. Variabel respon adalah nilai rerata ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, dan 6000 Hz. Hasil Subyek penelitian terdiri dari 46 orang masinis yang memiliki rerata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, 6000 Hz < 25dB. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase berhubungan dengan nilai ambang pendengaran (p = 0,03) dengan kekuatan korelasi negatif yang lemah (r = -0,312). Dari analisis regresi linier didapatkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia melalui sebuah persamaan regresi (p = 0,018) dapat digunakan untuk memprediksi nilai ambang pendengaran = 15,104 – 0,019 (glutathione peroxidase) - 0,002 (indeks brinkman) – 0,474 (indeks massa tubuh) + 0,237 (usia) dengan nilai adjusted R2 = 0,175. Kesimpulan Aktivitas glutathione peroxidase bersama indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia dapat memprediksi nilai ambang pendengaran sesuai dengan persamaan regresi yang didapatkan dalam penelitian ini. Namun, masih terdapat beberapa variabel lain yang mungkin dapat memengaruhi nilai ambang pendengaran yang harus diperhitungkan. ......INTRODUCTION Hearing loss is a problem that often affects workers, including train drivers, who are exposed to noise. Noise exposure can cause oxidative stress conditions causing permanent damage to hair cells through necrosis or apoptosis. The human body has an endogenous defense mechanism by forming antioxidant enzymes, one of which is glutathione peroxidase. This study aims to determine the correlation between glutathione peroxidase activity and audiometric examination results and the accuracy of glutathione peroxidase activity as a predictor of audiometric examination results that can be used for early detection of noise-induced hearing loss. METHODS This study of the train driver population used a cross- sectional design. Predictor variables include glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age. The response variable is the average hearing threshold at frequencies 3000, 4000, and 6000 Hz. RESULTS The research subjects consisted of 46 train drivers with an average hearing threshold of 3000, 4000, and 6000 Hz < 25dB. Correlation test results showed that glutathione peroxidase activity was associated with a hearing threshold value (p = 0.03) with a weak negative correlation strength (r = -0.312). From linear regression analysis it was found that glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age through a regression equation (p = 0.018) can be used to predict the hearing threshold value = 15.104 - 0.019 (glutathione peroxidase) - 0.002 (Brinkman index) - 0.474 (body mass index) + 0.237 (age) with adjusted R2 = 0.175. CONCLUSION Glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age can predict hearing threshold values according to the regression equation obtained in this study. However, there are still several other variables that may affect the hearing threshold value that must be taken into account.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Teguh Pribadi
Abstrak :
Latar belakang. COVID-19 merupakan masalah kesehatan dunia dan protokol kesehatan diperlukan untuk mencegah penyebarannya terutama di lingkungan sektor industri esensial dan kritikal. Industri minyak dan gas bumi yang merupakan salah satu sektor kritikal dan masih beroperasi secara penuh walaupun di kala Pembatasan Sosial Berskala Besar membutuhkan perhatian lebih pada usaha pencegahan penyebaran COVID-19. Namun, keberhasilan usaha tersebut bergantung pada berbagai faktor, salah satunya adalah tingkat kepatuhan individu terhadap protokol kesehatan. Tujuan. Menerapkan teori Health Belief Model (HBM) untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan penerapan protokol kesehatan yang diterapkan karyawan selama pandemi COVID-19 di perusahaan “X”. Metode. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner daring yang diisi mandiri oleh karyawan perusahaan “X” pada Januari 2022-Februari 2022. Hasil. Dari total 1439 peserta penelitian menunjukkan tingkat kepatuhan karyawan terhadap protokol kesehatan COVID-19 sekitar 76,9%. Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, konsep HBM seperti persepsi ancaman (p<0,01) dan persepsi manfaat (p<0,01) berhubungan dengan tingkat kepatuhan menjalankan protokol kesehatan. Responden yang sudah menikah memiliki kecenderungan untuk lebih patuh dibandingkan yang tidak menikah. Kesimpulan. Temuan kami menunjukkan bahwa teori HBM dapat diterapkan untuk memahami kepatuhan menjalankan protokol kesehatan COVID-19. Mengenali keyakinan kesehatan yang dirasakan dan faktor terkait lainnya penting untuk mengembangkan strategi intervensi kesehatan COVID-19 yang efektif ......Background. COVID-19 is a global health concern and health protocols are needed to prevent its spread, especially in the environment of essential and critical industrial sectors. The oil and gas industry, which is one of the critical sectors and is still fully operational even during the Large-Scale Social Restriction, requires more efforts to prevent the spread of COVID-19. Still, the success of these efforts depends on various factors, one of which is the level of individual adherence to the health protocols. Objectives. Applying the Health Belief Model (HBM) theory to explain the factors that influence employees' level of adherence to the health protocols during the COVID-19 pandemic at company "X." Methods. This study used a cross-sectional design. Data collection was carried out using an online questionnaire that was filled out independently by company "X" employees in January 2022-February 2022. Results. Of the 1439 study participants, the level of employee adherence to the COVID-19 health protocol was around 76.9%. After adjusting for other factors, HBM concepts such as perceived threat (p<0.01) and perceived benefit (p<0.01) were associated with the level of adherence to health protocols. Married respondents tend to be more compliant than those who are not. Conclusion. Our findings suggest that the HBM theory can be applied to understand adherence to COVID-19 health protocols. Recognizing perceived health beliefs and other related factors is vital for developing effective COVID-19 health intervention strategies.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>