Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tria Rosemiarti
"Latar belakang: Kopi merupakan minuman yang populer di kalangan masyarakat dan dijadikan  bagian dari gaya hidup. Kafein dalam kopi merupakan salah sat zat aktif dan seringkali dianggap sebagai psikostimulan yang bekerja sebagai stimulan di sistem saraf pusat, sehingga dapat membantu meningkatkan fungsi kognitif, daya konsentrasi, dan alertness. Kebiasan minum kopi di kalangan pekerja serta manfaatnya merupakan hal yang perlu ditinjau lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati konsumsi kopi harian dan hubungannya dengan alertness dan kinerja harian di PT.X Jakarta. Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel minimal 114 orang karyawan di PT X. Alertness dinilai melalui pengukuran waktu reaksi dengan alat lakassidaya dan konsumsi kopi dinilai dengan 7-days fluid record dimana responden mencatat konsumsi minuman selama 7 hari berturut-turut, sedangkan kinerja harian menggunakan kuesioner yang dicatat oleh responden secara mandiri. Hasil: Terdapat 121 responden yang melengkapi seluruh data dan dianalisis dalam penelitian ini dari sejumlah 135 responden yang direkrut pada awal penelitian. Sebanyak 57 orang (47,1%) adalah responden yang konsumsi kopi. Konsumsi kopi harian pada kelompok yang konsumsi kopi adalah sebesar 247 ml dengan asupan kafein sebanyak 72 mg/hari. Tidak terdapat hubungan antara konsumsi kopi dengan alertness (OR (IK 95%) = 0,650 (0,288 – 1,467); p-value = 0,403) dan kinerja harian (OR (IK 95%) = 0,637 (0,263 – 1,546); p-value = 0,403). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi kopi dengan alertness dan kinerja harian,

Background: Coffee is a popular beverage among people and is part of their lifestyle. Caffeine in coffee is one of the active substances and is often considered a psychostimulant that works as a stimulant in the central nervous system, so it can help improve cognitive function, concentration, and alertness. The habit of drinking coffee among workers and its benefits are things that need to be reviewed further. The purpose of this study was to observe daily coffee consumption and its relationship with alertness and daily performance at PT.X Jakarta. Methods: The method used in this study was cross-sectional with a minimum sample size of 114 employees at PT X. Alertness was assessed through the measurement of reaction time with a lakassidaya tool and coffee consumption was assessed with a 7-days fluid record where respondents recorded beverage consumption for 7 consecutive days, while daily performance used a questionnaire recorded by respondents independently. Results: There were 121 respondents who completed all data and were analyzed in this study from a total of 135 respondents recruited at the beginning of the study. A total of 57 people (47.1%) were coffee-consuming respondents. Daily coffee consumption in the coffee consumption group was 247 ml with a caffeine intake of 72 mg/day. There was no association between coffee consumption and alertness (OR (95% CI) = 0.650 (0.288 - 1.467); p-value = 0.403) and daily performance (OR (95% CI) = 0.637 (0.263 - 1.546); p-value = 0.403). Conclusion: There is no significant relationship between coffee consumption and alertness and daily performance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nove Maria
"Latar Belakang. Asupan gizi yang baik pada tenaga kerja dapat memengaruhi produktivitas kerja. Namun , masih banyak pekerja yang tidak memerhatikan kecukupan asupan gizi mereka, termasuk pekerja helper pada perusahaan peti kemas. Berdasarkan data International Labor Office (ILO) tahun 2005, diet yang tidak seimbang dapat menurunkan produktivitas sampai 20%. Metode. Desain penelitian ini adalah pra eksperimentalyang dilakukan selama empat minggu. Sebanyak delapan belas responden yang merupakan pekerja helper diberikan makanan selingan satu kali sehari, sebesar 300 kkal selama empat minggu. Asupan makanan responden dicatat dengan food record setiap minggu dan dianalisis dengan aplikasi Nutrisurvey serta perhitungan manual. Hasil. Terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada Indeks Massa Tubuh awal dan akhir intervensi (p = 0,026), begitu pula pada asupan karbohidrat (p = 0,003) dan lemak (p = 0,014). Tidak terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada asupan energi minggu pertama dibandingkan minggu keempat (p = 0,341), begitu pula dengan asupan protein (p = 0,845). Terdapat perbedaan rerata yang bermakna pada lama pengerjaan total (berkurang dua jam delapan menit) sebelum dan sesudah intervensi (p < 0,001). Simpulan. Pemberian makanan selingan satu kali sehari selama 4 minggu dapat mempersingkat lama pengerjaan pada pekerja helper di perusahaan peti kemas.

Background. Good nutrition in the workforce can affect work productivity. But, many workers have not paid attention to their nutritional balance, including helper workers in container company. Based on data from the International Labor Office (ILO) in 2005, unbalanced diet on labor can reduce productivity by up to 20%. Method. This study used pre-experimental design which was conducted for 4 weeks. Eighteen respondents who were helper workers were given 300 kcal snack once a day for four weeks. The respondent's food intake was recorded with food record every week and analyzed by Nutrisurvey application and manual calculation. Result. There was significant mean difference in body mass index before and after intervention (p = 0.026) and so was carbohydrate intake (p = 0.003) and fat intake (p = 0.014). There was no significant mean difference in energy intake in first week compared to fourth week intervention (p = 0.341) and so was protein intake (p = 0.845). There was significant mean difference in the total work duration (reduced two hours and eight minutes) before and after intervention (p <0.001). Conclusion. Once a day snack intervention for four weeks could shorten the work duration of helper workers in container company."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Steven
"ABSTRAK
Obesitas merupakan penyakit tidak menular dimana lemak berlebih mengarah pada gangguan metabolik, penyakit kardiovaskular, dan perubahan abnormal biomekanik tubuh. Orang dengan obesitas memiliki kekuatan otot 6-10% lebih rendah dari orang dengan berat badan normal. Penurunan kekuatan otot sejalan dengan penurunan ruang gerak sendi, kontrol postural, dan kecepatan gerak yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kendala dalam melakukan aktivitas fisik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh Hatha Yoga selama 12 minggu terhadap persentase lemak, lingkar pinggang, kekuatan otot genggam, fleksibilitas, kesiembangan, dan kecepatan gerak pada orang dewasa dengan overweightdan obesitas.
Tujuh puluh dua orang dengan overweightdan obesitas, berusia 18-60 tahun, dirandomisasi ke dalam kelompok perlakuan (n=36) dan kelompok kontrol (n=36). Persentase lemak, lingkar pinggang, kekuatan otot genggam, fleksibilitas, keseimbangan, dan kecepatan gerak merupakan variabel yang diukur. Pemeriksaan yang sudah terstandarisasi dilakukan sebelum dan sesudah intervensi.
Terdapat perbedaan signifikan di antara kedua kelompok (semua p <0,001). Persentase lemak dan lingkar pinggang memberikan hasil dengan arah berlawanan. Kekuatan otot genggam, fleksibilitas, keseimbangan, dan kecepatan gerak membaik pada kelompok perlakuan. Sementara itu, fleksibilitas dan kecepatan gerak menurun secara siginifikan pada kelompok kontrol. Tidak dilaporkan adanya efek samping serius pada kedua kelompok.
Secara umum, program latihan Hatha yoga selama 12 minggu terbukti efektif dalam memperbaiki komponen antropometri dan fungsional pada orang dengan overweight dan obesitas. Penemuan ini memiliki makna implikasi klinis yang penting karena yoga dapat diimplementasikan sebagai salah satu alternatif aktivitas fisik.

ABSTRACT
Obesity is a non-communicable disease in which excess body fat may lead to metabolic disorder, cardiovascular disease, and abnormal mechanics in body movements. Obese people have 6-10% less muscle-strength than those in the normal weight range. That decline in muscle-strength, along with similar declines in the range of movement of major joints, in postural control, and in the speed of movement may result in impaired ability to engage in physical activity. The purpose of this study is to investigate the effects on obese people of a 12-week Hatha yoga intervention--specifically focused on fat percentage, waist circumference, muscle strength, flexibility, balance, and gait speed.
Seventy-two overweight and obese people, aged 18-60 years, were randomly allocated to the yoga group (n=36) or to a "no exercise" control group (n=36). The fat percentage, waist circumference, handgrip strength, flexibility, balance, and gait speed were defined as outcome variables. Standardized tests were administered at baseline and post intervention.
There were significant differences between the two groups in regard to the outcome variables (all p <0.001). Predictably, fat percentage and waist circumference had moved in the other direction. Handgrip strength, flexibility, balance, and gait speed had significantly improved in the yoga group. Meanwhile, flexibility and gait speed significantly declined in the control group. No serious adverse events were reported in either group.
Overall, the 12-week Hatha yoga program was found to be effective in improving functional and anthropometric variables in obese people. The findings have important clinical implications since yoga may well serve as an alternative form of physical activity."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Santoso Sulastopo
"Pendahuluan : Obesitas merupakan suatu kondisi adanya penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal. Obesitas dapat menimbulkan beberapa penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke. Beberapa studi mengaitkan antara konsumsi minuman mengandung alkohol dengan obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsumsi minuman bir dan faktor risiko lainya dengan prevalensi obesitas pada pekerja bagian penjualan sebuah perusahaan yang memproduksi dan menjual minuman bir.
Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dengan analisis perbandingan. Data primer diperoleh melalui pengukuran antopometri dan kwesioner sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil pemeriksaan kesehatan berkala pada tahun 2014. Jumlah responden 51 orang yang diperoleh dengan menggunakan metode perhitungan sampel.
Hasil penelitian : Dari 51 responden penelitian didapatkan prevalensi obesitas adalah 64,7 %. Terbukti adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi minuman bir lebih dari 285 ml per hari dengan timbulnya obesitas dengan risiko 7 kali lebih besar terjadi obesitas dibandingkan dengan responden yang mengonsumi bir sama dengan dan kurang dari 285 ml perhari (p= 0,003; OR = 7,00 ; 95 % CI = 1,86-26,36). Faktor resiko utama dari prevalensi obesitas pada responden adalah faktor genetik (p=0,000; OR = 13,00; CI95%= 3,24-52,18).

Introduction : Obesity is a complex disorder involving an excessive amount of body fat. It will increases the risk of diseases and health problems such as heart disease, diabetes and high blood pressure. Some study find that there are relation between alcohol consumption with obesity. This research objective is to determine the relation between beer consumption and other risk factor with obesity prevalence among Sales worker on the company that produce and sell beer.
Research methodology : This research are using cross?sectional with comparative method. The primary data are taken from weight and height measurement and questioner, the secondary data are taken from 2014 Medical Checkup. Total sample is 51.
Research result :Obesity prevalence is 64,7 %. There is correlation between beer consumption more than 285 ml per day with obesity and the risk is 7 times higher compare to respondent who consumed beer 285 ml per day and less ( p= 0,003; OR = 7,00 ; 95 % CI = 1,86-26,36).The main obesity risk factor is genetic Your browser security settings don't permit the editor to automatically execute copying operations. Please use the keyboard for that (p= 0,000 ; OR 13,00; CI95% =3,24-52,18
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2014
T58745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Lestari
"ABSTRAK
Untuk mengetahui pengaruh edukasi hidrasi dan penyediaan air minum terhadap total asupan cairan dan konsumsi minuman pada anak prasekolah. Sebanyak 183 anak 50 [44, 56] bulan; perempuan 51,9 dari studi intervensi klaster yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Hidrasi Indonesia IHWG dimasukkan dalam analisis data. Penelitian dilakukan di Jakarta Timur dari bulan Januari sampai April 2017. Kelompok anak-anak menerima edukasi hidrasi dan penyediaan air minum n = 62 anak-anak ; atau penyediaan air minum saja n = 62 anak ; atau edukasi gizi seimbang kontrol, n = 59 anak-anak . Konsumsi total asupan cairan, air putih, susu, dan minuman manis bergula diukur dengan menggunakan catatan minuman 7 hari dan Fluid Frequency Questionnaire FFQ . Tidak ada perbedaan yan signifikan secara statistik pada asupan cairan total, asupan air putih, susu total, dan minuman manis bergula di antara tiga kelompok p> 0.05 . Namun, asupan air putih dan cairan total pada kelompok intervensi ditemukan meningkat dibandingkan kelompok kontrol. Menariknya, susu rasa, dengan rata-rata kandungan gula lebih dari separuh dari rekomendasi, berkontribusi terhadap lebih dari 95 dari total asupan susu. Peneliti menyarankan agar edukasi yang spesifik dapt mencapai hasil yang lebih baik.

ABSTRACT
To determine the effect of hydration education and water provision on total fluid intake and beverage consumption among preschoolers. A total of 183 children 50 44, 56 months female 51.9 from cluster trial conducted by Indonesian Hydration Working Group IHWG were included in data analysis. The present study conducted in East Jakarta from January until April 2017. Children were received hydration education and water provision n 62 children or water provision only n 62 children or general balance diet education control, n 59 children . Total fluid, plain water, total milk, and Sugar Sweetened Beverage SSB intake were measured using 7 days fluid record and FFQ. No statistically significant different found on total fluid intake as well as plain water, total milk, and sugar sweetened beverage intake between three groups p 0.05 . However, plain water and total fluid intake among intervention groups found increased compared to control group. Interestingly, flavored milk, with sugar content more than half of recommendation, was contributed more than 95 of total milk intake. Researcher suggests that pin point education may achieve better result."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Puspitasari Sumenang Lawo
"Masalah asupan gizi merupakan salah satu masalah kesehatan pada penerbang di Indonesia. Asupan gizi yang tidak seimbang dapat mengakibatkan berat badan yang meningkat dan dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan yang ujungnya akan dapat menyebabkan penurunan kemampuan penerbang. Kelebihan berat badan mempunyai risiko penyakit kardiovaskular, sindroma metabolik dan penyakit degeneratif lainnya, serta dapat mempengaruhi kapasitas penerbang dalam menjalankan tugas terbangnya. Pada penelitian ini dikaji mengenai jumlah asupan nutrisi para penerbang sebelum dan selama melakukan tanggungjawabnya mengendalikan pesawat terbang. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan desain potong lintang. Sembilan puluh enam orang penerbang yang memenuhi kriteria inklusi telah diwawancara serta diminta mencatat jenis dan jumlah makanan yang dikonsurnsinya dalam 3 jam sebelum dan selama dalam penerbangan. Analisa asupan nutrisi dilakukan oleh tenaga ahli gizi untuk menghitung jumlah asupan kalori, karbo hidrat, protein dan lemak. Nilai median asupan kalori pra penerbangan 394,6 Kal (90,5 sampai 1378), selama penerbangan nilai median asupan kalori 357,7 Kal (25,8 sampai 1946,0). Asupan nutrisi penerbang sebelurn melakukan penerbangan dan selama penerbangan masih dalam batas kecukupan gizi bila dibandingkan dengan kebutuhan untuk sekali asupan. Uji kemaknaan statistik menghasilkan nilai p>0,05 untuk semua faktor penentu terhadap tingkat asupan kalori sebelurn dan selama penerbangan. Tidak ditemukan adanya perbedaan tingkat asupan gizi pra dan intra penerbangan menu rut faktor usia, tingkat pendidikan, status gizi, adanya risiko penyakit, dan kegiatan olahraga. Diketahui bahwa sering kali para penerbang tidak mengkonsumsi menu makanan yang disediakan oleh pihak perusahaan airline caterer. Hal ini menunjukkan bahwa jenis menu inflight yang ada saat ini belum dapat diterima secara baik oleh para penerbang.

Nutrient intake is one of the issues for pilots' health problem in Indonesia. Unbalanced nutritional intake may result in increased body weight. This will lead to health problems and decrease their capabilities as aviators. Overweight will increase the risk of cardiovascular disease, metabolic syndrome and other degenerative diseases, furthermore it could affect the pilot's capacity in perfonning their duties. This research aims to study the preflight and inflight nutritional intake. This research is a descriptive study using cross-sectional design. Ninety six pilots were interviewed and asked to record types and amount of consumed food 3 hourrs before and during flight. Nutritional analysis was performed by nutritionist to calculate calory, carbohidrate, protein, and fat. Median of preflight calory intake was 394.6 Cal (90.5 to 1,278), while inflight calory intake was 357.7 cal (25.8 to 1,946) .The result shows that preflight intake and inflight intake of these pilots are still within the nutritional adequacy limit, compared to the one time need's intake. Statistical analysis show p>0.05 for relationship of all factors to preflight and inflight calory intake. There were no differences in levels of preflight and inflight nutrient intake when categorized by age, education level, nutritional status, potential risk of diseases, and sport activities. It is known that often the pilots do not consume the food provided by the Airline 's caterer. It means that the current available inflight menu is not yet well received by aviators."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Viera Yovita
"Waktu Fonasi Maksimal (WFM) dapat mengevaluasi kemampuan seseorang dalam mempertahankan fonasi, yang penting untuk penyanyi paduan sura. Latihan aerobik dianggap vital dilakukan pada populasi ini, terutama karena komponen kebugarannya dan telah terbukti meningkatkan WFM pada pasien gagal jantung kronis. Penelitian bertujuan menentukan hubungan antara latihan aerobik akut dan waktu fonasi maksimal (WFM) pada populasi penyanyi paduan suara dewasa sehat sedenter.

Studi potong lintang dilakukan pada 27 penyanyi paduan suara dewasa sehat (16 laki-laki, 11 perempuan). Pengukuran WFM menggunakan aplikasi Praat® dilakukan sebelum dan sesudah latihan aerobik 30 menit menggunakan sepeda statis komersil yang disambungkan dengan aplikasi Zwift®.Peningkatan durasi WFM (18.37± 5.34 s to 21.04± 6.66 s, p = 0.008*) ditemukan setelah dilakukan latihan aerobik akut. Korelasi signifikan antara suara alto/sopran dan WFM (0.775**, p = 0.005), antara tekanan darah diastolik dan WFM (75.07± 10.33 mmHg to 79.85± 12.50 mmHg, p = 0.034*), serta denyut nadi dan WFM ditemukan (86.51± 11.64 beats/minute to 108.51± 18.22 beats/minute, p = <0.001*). Terdapat hubungan signifikan antara latihan aerobik akut dan suara alto/sopran dengan WFM pada penyanyi paduan suara sehat sedenter


Background: Maximum Phonation Time (MPT) can assess an individual’s capability to sustain phonation, which is vital to choir singers. Aerobic exercise is considered important to execute in this population especially for its endurance component, and has proven to increase MPT in chronic heart failure patients. Study aimed to determine association between acute aerobic exercise and maximum phonation time (MPT) in healthy sedentary adult choir singers.

Cross-sectional study was conducted with 27 sedentary singers (16 males, 11 females; age range 23-54 years). Measurements of MPT using Praat® were taken before and after 30-minute aerobic exercise using a static cycle connected to Zwift®. Increased MPT duration (18.37± 5.34 s to 21.04± 6.66 s, p = 0.008*) was found after acute aerobic exercise. Significant correlation between alto/soprano voice and MPT (0.775**, p = 0.005), between diastolic blood pressure and MPT (75.07± 10.33 mmHg to 79.85± 12.50 mmHg, p = 0.034*), also heart rate and MPT were found (86.51± 11.64 beats/minute to 108.51± 18.22 beats/minute, p = <0.001*). Significant association found between acute aerobic exercise and alto/soprano voice with MPT in healthy sedentary adult choir singers."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arlha
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) adalah kebotakan rambut yang paling umum, ditandai dengan miniaturisasi progresif tanpa jaringan parut pada pria, akibat kerentanan terhadap hormon androgen. Penyakit ini terjadi secara multifaktorial, dari faktor genetik, lingkungan dan hormon androgen. Penyakit ini menyebabkan gangguan kosmetik yang mempengaruhi kualitas hidup dan rasa percaya diri. Hingga saat ini belum ada data mengenai kadar ferritin serum dan rambut pada pria dengan AAG yang dibandingkan dengan kelompok non-alopesia dan dikaitkan dengan densitas dan diameter rambut. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kadar feritin serum dan besi total rambut pada populasi AAG dan non-alopesia.

Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional potong lintang antara dua kelompok. 33 pria dengan diagnosis alopesia androgenetik dan 33 pria tanpa alopesia androgenetik diikutsertakan dalam penelitian ini. Diagnosis alopesia androgenetik ditegakkan secara klinis. Kadar feritin serum dan total besi rambut pasien dibandingkan antara dua kelompok dan dikorelasikan dengan dengan diameter dan densitas rambut.

Hasil: Sebanyak 66 SP mengikuti penelitian dengan median usia 37-38 tahun. Feritin serum dan besi total rambut pada kelompok alopesia androgenetik lebih tinggi dibandingkan kelompok non-alopesia. Median 232 ng/mL, dan 222 ng/mL,  Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,758). Kadar besi total pada kelompok AAG lebih rendah dibandingkan non-alopesia. (22,65 ng/mL dan 39,67 ng/mL, p= 0,102). Terdapat korelasi positif lemah pada kelompok alopesia androgenetik derajat < 4 terhadap diameter rambut.

Kesimpulan: Kadar serum feritin dan besi total rambut pada pria non-alopesia lebih tinggi dibandingkan pria dengan alopesia androgenetik, namun tidak bermakna secara statistik.


Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common nonscarring hair loss disorder in men due to susceptibility to testosterone. AGA is amultifactorial disease, due to genetic, hormonal and environmental influence. AGA causes cosmetic disturbances that affects confidence and quality of life. In women, it has been proven correlation between low ferritin serum and AGA occurrences, however not many studies have proven likewise in men. Till now, not many data provides sufficient correlation between ferritin levels and hair iron concentration in men with control group, associated with hair diameter and density. This study aims to compare the differences of serum ferritin and hair iron content between two populations.

Method: This is a cross-sectional analysis of two groups, 33 AGA men and 33 men without AGA were included in this study. Serum ferritin and hair level of iron were measured. Diagnosis of AGA was made clinically. Difference of serum ferritin and hair level of iron was analyzed and correlated with hair diameter and density.

Result: 66 men were included in this study. Median age was 37-38 year-old. Ferritin serum (232 ng/mL) and hair iron (39,67 ng/mL) was slightly higher in control group as compared to alopecia androgenetic group (ferritin 222 ng/mL and hair iron 22,65 ng/mL), but there was no statistically significant result (p = 0,758 and p = 0,102). Hair iron level correlates weakly positive with hair diameter in subgroup analysis.

Conclusion: Serum ferritin and hair iron level in non-alopecia population is higher compared to alopecia androgenetic men, but statistically insignificant"

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sang Ketut Suratna
"Latar Belakang. Sebuah pabrik tekstil “X” yang sebagian besar pekerjanya perempuan, mempunyai jam operasional yang mengharuskan pekerja menjalani sistem kerja gilir. Sistem kerja gilir mempengaruhi pola makan dan status gizi pekerja, kekurangan zat gizi memiliki potensi tinggi menyebabkan kelelahan sehingga diperlukan rekomendasi makanan tambaha serta edukasi gizi bagi kelompok pekerja ini. Pendekatan Linear Programming (LP) menghasilkan Food Based Recommendation (FBR) yang mempertimbangkan penggunaan bahan pangan lokal yang disesuaikan dengan pola makan pekerja dengan kerja gilir serta permasalahan gizi kelompok pekerja dengan mengoptimalkan kandungan nutrisi sehingga FBR yang dirumuskan dapat menjadi kebijakan bagi pemilik industri tekstil yang memperkerjakan perempuan pekerja dengan sistem kerja gilir.
Objektif. Didapatkan rekomendasi makanan tambahan bagi perempuan pekerja dengan kerja gilir malam dalam menurunkan kejadian kelelahan.
Metode. Penelitian dilakukan dalam dua fase, yaitu pra dan paska intervensi menggunakan desain quasi-eksperimental dengan uji pra dan paska dengan kelompok kontrol. Subjek penelitian dianalisis secara per protokol sehingga subjek berjumlah 100 perempuan pekerja. Data diet pekerja diperoleh dari penimbangan makanan yang diberikan saat kerja gilir malam, data dikombinasikan dengan 24 hours food recall serta 5 dFFQ (5-days food-frequency questionnaire). Kelelahan diukur dengan menggunakan kuesioner CIS (Checklist Individual Strength) 20R dan Reaction Time. Analisis LP menggunakan sistem Optifood yang merumuskan suatu rekomendasi makanan tambahan (FBR).
Hasil. Berdasarkan hasil pemeriksaan kelelahan pada dua kelompok menunjukkan bahwa nilai rerata waktu reaksi pada kelompok intervensi pra intervensi sebesar 239,29±49,96 setelah dilakukan intervensi terjadi penurunan rerata waktu reaksi sebesar 12,97 millidetik. Penurunan rerata waktu reaksi kelompok intervensi mempunyai nilai p<0,05 (p=0,006) sehingga secara statistik nilai p bermakna pada rerata penurunan waktu reaksi kelompok intervensi paska intervensi. Pada kelompok kontrol pra intervensi rerata waktu reaksi sebesar 236,99±40,56 setelah dilakukan intervensi mengalami penurunan sebesar 3,56 millidetik. Sedangkan rerata waktu reaksi pra intervensi gabungan kedua kelompok sebesar 238,12±45,24 paska intervensi sebesar 229,94±27,34, beda rerata gabungan kedua kelompok sebesar 8,18 millidetik. Artinya ada penurunan kelelahan sebesar 8,18 millidetik paska intervensi. Secara satitistik penurunan rerata waktu reaksi gabungan kedua kelompok bermakna (p=0,007).
Kesimpulan. Intervensi FBR cukup efektif dalam penurunan kelelahan bagi kedua kelompok penelitian, pada paska intervensi terdapat perbaikan kelelahan yang cukup baik.

Introduction. Textile factory “X”, where most workers are women, has an operational system that requires its workers to work on shifts. The shift system affects the dietary patterns and nutritional status of workers. Malnutrition has a high potential in causing fatigue. Thus, additional food recommendations and nutritional education for this population are needed. A Linear Programming (LP) approach produced the Food Based Recommendation (FBR), which considers the use of local food ingredients adjusted to the dietary pattern of shift workers and the nutritional problem of those workers by optimizing nutritional content. Therefore, the formulated FBR can be used as a policy for textile industry owners who employ female workers with a shift system.
Objective. Obtaining additional food recommendations for female workers who work a night shift to reduce the incidence of fatigue.
Methods. This study was conducted in two phases, i.e., pre-and post-intervention, using a quasi-experimental design with pre-and post-test with the control group. The subjects were analyzed per the protocol and a total of 100 female workers was obtained. The data on the workers’ diet was obtained from weighing food given during the night shift. The data were combined with a 24-hour food recall and 5 RFQ (5-days food-frequency questionnaire). Fatigue was examined using a CIS (Checklist Individual Strength) 20R questionnaire and a Reaction Time Analysis LP using the Optifood system, which formulated a Food-Based Recommendation (FBR). Data were analyzed using univariate and bivariate analysis.
Results. Based on the results of the fatigue examination of the two groups, the mean value of pre-intervention reaction time in the intervention group was 239.29 ± 49.96. After the intervention, an average reduction of 12.97 milliseconds occurred in reaction time.The mean reduction of reaction time in the intervention group produced a p-value of < 0.05 (p = 0.006). Therefore, statistically, the p-value was significant to the mean reduction in reaction time in the intervention group after the intervention. In the pre-intervention period of the control group, the mean value of reaction time was 236.99 ± 40.56 and decreased by 3.56 milliseconds after the intervention. Meanwhile, the average pre-intervention reaction time between the combinations of the two groups was 8.18 milliseconds. This means that there is a decrease in fatigue by 8.18 milliseconds after the intervention. Statistically, the reduction of mean reaction time between the two groups was significant (p = 0.007).
Conclusion. Adequate energy intake will improve the health status of workers, especially to avoid physiological disturbances and fatigue. The additional food menu chosen as the FBR recommendation is the one with the highest nutritional content. The recommended FBR was quite effective in reducing reaction time for both study groups. In the pre-intervention group with the mean value (239.29±49.96) and the post-intervention mean value (226.32±31.19), there was a decrease in reaction time of 12.9 milliseconds. Recommendations for providing additional food menus and nutrition education can be used as recommendations for workers and company owners.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Wisnu Brata
"
ABSTRAK
Nama : I Wayan Wisnu Latar belakang: Kanker payudara (KPD) merupakan kanker yang paling sering terjadi pada wanita di seluruh dunia. Pada tahun 2020, KPD merupakan kasus kanker baru terbanyak di Indonesia dengan 65,858 kasus dan kematian 22,430 kasus. Namun, 90% kematian tersebut disebabkan karena proses metastasis. KPD sering bermetastasis ke tulang (70-80%) dalam kurun waktu 18-20 bulan setelah ditegakkannya diagnosis. PTHrP (Parathyroid Hormone-related Protein) diduga berhubungan dengan KPD yang bermetastasis ke tulang dan menandakan perjalanan klinis KPD yang lebih agresif. PTHrP dapat muncul sebagai alat diagnostik prabedah penting dan memberi gambaran kesintasan pasien yang mengalami metastasis tulang. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan ekspresi PTHrP dengan kejadian metastasis tulang pada karsinoma payudara subtipe luminal (KPDL). Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain studi case control. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah pasien KPDL yang dilakukan biopsi atau operasi dan menjalani terapi di bagian Bedah Onkologi RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dan terdapat blok paraffin yang layak diproses. Data klinikopatologis seperti usia, indeks massa tubuh, ukuran tumor, keterlibatan KGB, dan stadium kanker diperoleh dari rekam medis. Dilakukan pewarnaan imunohistokimia dengan reagen AB75150 pada jaringan tumor payudara yang tersimpan dan tingkat ekspresi PTHrP disajikan dalam bentuk h-score. Analisis statistik dilakukan menggunakan program SPSS 27.0. Hasil: Didapatkan 45 sampel dengan 18 sampel dengan metastasis ke tulang dan 27 sampel tidak dengan metastasis ke tulang. Dari analisis data, didapatkan hubungan yang signifikan antara ekspresi PTHrP dengan kejadian metastasis tulang pada sampel KPDL (p = <0,001) dengan OR 31,2 (IK95% 5,3 – 185). OS sampel dengan ekspresi PTHrP kuat adalah 20.5% dengan HR 7.3 (IK95% 2-26.6). Proporsi ekspresi PTHrP kuat pada metastasis tulang 83%. Proporsi ekspresi kuat PTHrP pada KPDL sebesar 48.9 %. Kesimpulan: Peningkatan ekspresi PTHrP memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian metastasis tulang pada pasien KPDL serta OS yang lebih rendah.

Introduction: Breast cancer (BC) is the most common cancer in women throughout the world. In 2020, BC was the largest number of new cancer cases in Indonesia with 65,858 cases and 22,430 deaths. However, 90% of deaths are caused by the metastatic process. BC often metastasizes to the bones (70-80%) within 18-20 months after diagnosis. PTHrP (Parathyroid Hormone-related Protein) is thought to be associated with BC that metastasizes to the bone and indicates a more aggressive clinical course of breast cancer. PTHrP may emerge as an important presurgical diagnostic tool and provide insight into the survival of patients presenting with bone metastases. There has been no research that states a specific relationship between PTHrP and luminal subtype BC. Objective: This study aims to examine the relationship between PTHrP expression and the incidence of bone metastases in luminal subtype BC. Methods: This research is an analytical study with a case control study design. Samples were taken by consecutive sampling according to the inclusion and exclusion criteria. Inclusion criteria were patients with luminal subtype BC who underwent biopsy or surgery and underwent therapy in the Surgical Oncology department of Dr. RSUP. Cipto Mangunkusumo and there are paraffin blocks that are suitable for processing. Clinicopathological data such as age, body mass index, tumor size, lymph node involvement, and cancer stage were obtained from medical records. Immunohistochemical staining was carried out on stored breast tissue and the PTHrP expression level was presented in the form of an H-score. Statistical analysis was carried out using the SPSS 27.0 program. Results: There were 45 samples obtained with 18 samples with bone metastases and 27 samples without bone metastases. From data analysis, a significant relationship was found between PTHrP expression and the incidence of bone metastases in luminal subtype BC samples (p = <0.001) with OR 31.2 (95% CI 5.3 – 185). OS of samples with strong PTHrP expression was 20.5% with HR 7.3 (95% CI 2-26.6). The proportion of strong PTHrP expression in bone metastases was 83%. The proportion of strong expression of PTHrP in luminal subtype BC was 48.9%. Conclusion: Increased PTHrP expression has a significant association with the incidence of bone metastases in luminal subtype BC patients as well as lower OS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>