Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faroland Dedy Koswara Debataradja
Abstrak :
ABSTRAK
Pasien rawat inap dengan malnutrisi dapat mengalami kehilangan albumin melalui saluran cerna yang ditandai dengan penurunan albumin serum dan peningkatan kadar AAT tinja. Tujuan penelitian ini untuk menilai kehilangan protein melalui saluran cerna pada pasien di ruang rawat inap RSCM. Penelitian menggunakan rancangan potong lintang dengan uji deskriptif analitik, dengan menilai kadar AAT tinja dan albumin serum penderita rawat inap. Hasil penelitian pada 41 subjek malnutrisi dan 33 subjek tidak malnutrisi mendapatkan nilai median AAT tinja pada kelompok malnutrisi sebesar 86,9 mg/dL dengan rentang 26,3 - 310,3 mg/dL. Pada kelompok tidak malnutrisi didapat median nilai AAT tinja 12,2 mg/dL dengan rentang 1,4 - 25,6 mg/dL. Rerata albumin serum pada kelompok malnutrisi adalah 2,6 ± 0,4 g/dL sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi 4,0 ± 0,4 g/dL. Terdapat korelasi kuat yang berlawanan arah antara kadar AAT tinja dan kadar albumin serum yang berarti terjadi kebocoran albumin serum melalui saluran cerna akibat gangguan integritas usus terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi.
ABSTRACT
Hospitalized patients with malnutrition can have albumin loss through gastrointestinal tract characterized by the decreased of serum albumin and the increased levels of fecal AAT. The purpose of this study was to assess the loss of protein through the gastrointestinal tract in hospitalized patients at RSCM hospital. The study was a cross-sectional study with descriptive analytic approach, assessing the levels of fecal AAT and serum albumin from 41 malnourish and 33 non malnourish subject. Fecal AAT median scores among the malnourished group was 86.9 mg/dL with a range from 26.3 to 310.3 mg/dL. In the non malnourished group fecal AAT median value was 12.2 mg / dL with a range from 1.4 to 25.6 mg/dL. The mean serum albumin in malnourished group was 2.6 ± 0.4 g/dL, while in the non malnourished group was 4.0 ± 0.4 g/dL. There is a strong negative correlation between fecal AAT levels and serum albumin, which indicates that serum albumin leakage through the gastrointestinal tract was due to impaired intestinal integrity especially in malnourished patients.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Mercy Tiarmauli
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: D-dimer adalah hasil pemecahan cross-linked fibrin, sehingga peningkatan kadar D-dimer dapat dipakai sebagai penanda aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis. Kadar D-dimer yang normal dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis trombosis pada pasiendengan dugaan trombosis, tetapi hal ini tidak dapat dipakai pada kehamilan karena kadar D-dimer juga meningkat pada kehamilan.

Tujuan: Menentukan kadar D-dimer pada wanita hamil tanpa komplikasi pada tiap trimester.

Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 90 wanita hamil tanpakomplikasi yang terdiri dari 30 orang dari trimester 1, trimester 2 dantrimester 3 dan 30 wanita sehat sebagai kontrol. Penelitian dilakukan daribulan Juli sampai Agustus 2012.Pengukuran kadar D-dimer denganreagen Innovance memakai koagulometer Sysmex CA 1500 diDepartemen Patologi Klinik.

Hasil:Semua wanita dalam kelompok control mempunyai kadar D-dimer dalam rentang normal (<0.5mg/L FEU). Kadar D-dimer pada trimester 1 berkisar antara0,1 – 1,07 mg/L FEU dan 8 di antara 30 (27%) menunjukkan peningkatan kadar D-dimer, pada trimester 2 kadar D-dimer berkisarantara 0.6 – 3,34 mg/L FEUdan 26 di antara 30 (87%) menunjukkan peningkatan kadar D-dimer, sedang pada trimester 3 kadar D-dimer berkisar antara 0.69 – 3,75 mg/L FEU dan seluruhnyamenunjukkan peningkatan kadar D-dimer.Kadar D-dimer pada wanita hamil lebih tinggi secara bermakna dibandingkan wanita tidak hamil.

Kesimpulan: Peningkatan kadar D-dimer ditemukan pada 27% wanita hamil trimester 1, 86% pada trimester 2 dan 100% pada trimester 3.
ABSTRACT
Background: D-dimer is degradation product of cross-linked fibrin, therefore increased D-dimer level indicates activation of coagulation and fibrinolysis. Normal D-dimer level can be used to rule out diagnosis of venous thromboembolism in suspected patient, however it cannot apply in pregnancy because D-dimer level also increase during pregnancy. The aim of study is to determine the level of D-dimer on uncomplicated pregnancy in each trimester.

Aim: The study is to determine the level of D-dimer on uncomplicated pregnancy in each trimester.

Methods: A cross sectional study was done on 90 uncomplicated pregnant women consisted of 30 women of each trimester and 30 healthy, nonpregnant women as control group from July to August 2012. D-dimer level was measured by Innovance D-dimer using Sysmex CA 1500 coagulometer in Department of Clinical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.

Result: All women in the control group showed normal D-dimer level (<0,5 mg/L FEU). The range of D-dimer level in the 1st trimester was 0,17 – 1.07 mg/L FEU , 8 out of 30 (27%) pregnant women showed increased D-dimer level, in the 2nd trimester was 0,31 – 3,34 mg/L FEU, 26 out of 30 (87%) indicated increased D-dimer, and in the 3 rd trimester the range of D-dimer level was 0,69 – 3, 75 mg/L FEU, and all of pregnant women 100% showed increased D-dimer level.

Conclusion:The levelof D-dimer in the 1st trimester was 0.17- 1.07 mg/L FEU, in the 2ndtrimester was 0,31 – 3,34 mg/L FEU, andin the 3 rd trimesterwas 0.69-3.75% mg/L FEU.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Kirana Wulandari
Abstrak :
ABSTRAK Pendahuluan : Deteksi Basil Tahan Asam (BTA) Ziehl Neelsen cairan serebrospinal (CSS) di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo tahun 2014 tidak pernah positif. Pewarnaan Auramine-O dapat meningkatkan sensitivitas deteksi BTA. Perlu modifikasi sitosentrifugasi pada pulasan BTA, agar dapat deteksi BTA lebih banyak dan cepat. Metode: uji diagnostik pulasan BTA CSS Ziehl Neelsen metode non sitosentrifugasi, Cytospin, Cytopro serta Auramine-O Cytopro dibandingkan dengan baku emas biakan TB MGIT. Hasil: Uji diagnostik BTA Ziehl Neelsen tanpa sitosentrifugasi, tidak dapat dinilai karena BTA tidak terdeteksi di semua sampel. Uji diagnostik Ziehl Neelsen Cytospin dan Cytopro sama yaitu sensitivitas 64%, spesifisitas 85%, NPP 54%, NPN 89 %. Uji diagnostik Auramine-O Cytopro, sensitivitas 91%, spesifisitas 26%, NPP 26%, NPN 91 %. Kesimpulan: Pulasan BTA CSS metode sitosentrifugasi dapat menggantikan metode non sitosentrifugasi. Pulasan BTA CSS Auramine-O dapat me rule out diagnosis meningitis TB.
ABSTRACT Introduction: Detection of AFB from CSF with Ziehl Neelsen staining in 2014 at dr Cipto Mangunkusumo general hospital never gives positive result. Staining with Auramine-O smear staining can increase its sensitivity. Acid fast bacilli cytocentrifugation is needed as a modification in AFB slide preparation to gain more bacilli faster. Methods: Diagnostic perfomance of AFB slide prepared by non cytocentrifugation, Cytospin, Cytopro with Ziehl Neelsen stain, prepared by cytopro with Auramine-O stain are compared to TB MGIT as a gold standard. Results: Acid fast bacilli slide prepared with non cytocentrifugation method and stained by Ziehl Neelsen cannot be obtained because AFB was not detected in all samples. Acid fast bacilli slide prepared with Cytospin and Cytopro and stained with Ziehl Neelsen has sensitivity (64%), specificity (85%), PPV (54%), 89% NPV. Acid fast bacilli slide prepared with Cytopro and stained with Auramine-O has sensitivity (91%), specificity (26%), PPV (26%), 91 % NPV. Conclusion: Detection of AFB from CSF with cytocentrifugation method can replace non cytocentrifugation method. Acid fast bacilli slide prepared cytocentrifugation and stained by Auramine-O can rule out Tuberculous meningitis.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Ariani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak keempat pada wanita dan kedua pada pria di Indonesia. Penelitian menggunakan mRNA fekal sebagai penanda kanker kolorektal bersifat non invasif namun cukup representatif menggambarkan kelainan pada usus. Tujuan: Mengevaluasi peran pemeriksaan mRNA CEA feses pada pasien terduga keganasan kolorektal menggunakan nested RT-PCR. Metode: Uji diagnostik ini melibatkan 93 pasien terduga keganasan kolorektal yang ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik oleh klinisi. Ekstraksi mRNA CEA fekal menggunakan metode Kanaoka dan sintesis DNA menggunakan metode cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT-2 . Pemeriksaan mRNA CEA menggunakan metode nested RT-PCR. Hasil: mRNA CEA fekal positif ditemukan pada 22 pasien 23,7 . Penelitian ini mendapatkan sensitivitas 51,61 , spesifisitas 90,32 , nilai prediksi positif 72,73 dan nilai prediksi negatif 78,87 . Meskipun sensitivitas yang diperoleh rendah tetapi spesifisitas mRNA CEA fekal yang tinggi dapat mengkonfirmasi diagnosis lesi neoplastik pada pasien terduga keganasan kolorektal. Kesimpulan: Pemeriksaan mRNA CEA fekal tidak dapat digunakan sebagai penanda tunggal dalam skrining keganasan kolorektal. Pemeriksaan mRNA CEA fekal perlu dikombinasikan bersama penanda diagnostik lainnya agar dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan. Kata kunci: carcinoembryonic antigen; penanda fekal; nested
Background Based on the 2012 Jakarta Cancer Registry, colorectal cancer is the fourth of most common cancer in women and the second in men. Fecal carcinoembryonic antigen mRNA assay is a non invasive method, yet representatively describes abnormalities of the intestine. Objective To evaluate the role of fecal mRNA CEA assay in suspected colorectal cancer patients using nested RT PCR. Methods The diagnostic study included 93 suspected colorectal cancer patients which were determined by anamnesis and physical examination from the clinician. The fecal mRNA were extracted by Kanaoka method and cDNA were synthesized with cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT 2 method. The fecal mRNA CEA assay used nested RT PCR method. Results Positive fecal mRNA CEA was detected in 22 patients 23.7 . Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value were 51.61 , 90.32 , 72.73 , and 78.87 respectively. This study had low sensitivity but with high specificity. Therefore, fecal mRNA CEA could be used as a confirmatory assay. Conclusions It was not recommended to use fecal mRNA CEA as a single marker in colorectal cancer screening. A fecal mRNA CEA assay should be combined with other diagnostic markers in order to improve the sensitivity and specificity of the assay. Keywords carcinoembryonic antigen fecal marker nested
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tanamal, Grace C.D.
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang. Defisiensi besi adalah salah satu gangguan gizi yang paling umum di seluruh dunia dan ini bisa terjadi pada para donor darah laki-laki yang rutin. Seorang donor tetap diharapkan dapat menyumbangkan darahnya secara teratur dalam jangka waktu yang tertentu. Pada donor darah yang seringkali diambil, dikhawatirkan pada suatu waktu dapat terjadi defisiensi besi, tanpa anemia. Dengan demikian menjadi perhatian utama para donor tersebut untuk dilakukan skrining defisiensi besi yang bertujuan bagi para donor darah ini agar tetap sehat dan terus mendonorkan darahnya. Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada para donor darah laki-laki yang menyumbangkan darahnya pertama, kelima dan kesepuluh kali. Masing-masing donasi terdiri dari 25 orang yang diambil sampel darahnya untuk dilakukan pemeriksaan hematologi darah lengkap dan pemeriksaan serum iron, TIBC, saturasi transferin dan feritin serum. Hasil. Didapatkan hasil pada donasi pertama, rerata kadar feritin adalah 91,78; pada donasi kelima terjadi peningkatan kadar feritin yaitu sebesar 111,49 dan menurun lagi pada kelompok pendonor donasi kesepuluh yakni 65,28. Hasil uji kruskal wallis menunjukkan ada perbedaan rerata yang bermakna antara kadar feritin pada donasi pertama, kelima dan kesepuluh kali (nilai p = 0,044). Simpulan. Terdapat penurunan cadangan besi tubuh (feritin serum) pada donasi pertama dan kesepuluh. Semakin sering kita menyumbangkan darah dapat terjadi defisiensi besi tahap pertama yang kita sebut juga iron depletion. Karena itu perlu diperhatikan pola makan atau status gizi dan juga suplemen yang diberikan sesudah donor.
ABSTRACT
Background : Iron deficiency is one of the most common nutritional disorder in the world and this can occur in the routine male blood donors. A blood donor is expected to donate blood regularly in a certain period of time. In routine blood donors, it is feared that they could have iron deficiency without anemia. Thus the need for screening these donors the iron status of these donors, becomes major concern to keep these blood donors healthy and can donate their blood intensly continue to donate blood. Methodology : This study used a cross-sectional design on the first, fifth and tenth times male blood donors. Each donation consists of 25 people who were test for serum iron, total iron binding capacity ( TIBC), transferrin saturation and serum ferritin. Results : it is increasing in the first donation, the mean ferritin levels were 91,78, the fifth donation ferritin levels increase in the amount of 111,49 and declined again in the tenth donation donor group 65,28. Results of Kruskal Wallis test showed significant difference between the mean ferritin levels at the first donation, the fifth and the tenth time (p = 0,044). Conclusion : There is a significant of serum ferritin in the first and tenth routine male male blood donors. Therefore need to be considered diet or nutritional status and iron supplements were given after the donor.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thoeng Ronald
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Hiperglikemia dalam kehamilan ditemui pada 25% kehamilan di Asia Tenggara, dan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi serius. Hemoglobin glikat (HbA1c) merupakan penanda standar status glikemik, namun dapat meningkat palsu pada kehamilan lanjut. Albumin glikat sebagai indikator status glikemik baru yang tidak dipengaruhi oleh anemia dapat menjadi alternatif dalam kehamilan. Tujuan: Mengetahui penggunaan HbA1c dan albumin glikat pada kehamilan dengan status glikemik normal. Metode: Sampel darah diambil dari 60 ibu hamil dengan usia kehamilan 21-36 minggu. Dilakukan pemeriksaan HbA1c, Hb, MCV, MCH, RDW, albumin glikat, albumin, besi serum, glukosa darah, saturasi transferin, dan TIBC. Parameter-parameter tersebut dibandingkan antara empat kelompok usia kehamilan (I: 21-24 minggu, n=17; II: 25-28 minggu, n=16; III: 29-32 minggu, n=16; dan IV: 33-36 minggu, n=11) menggunakan uji ANOVA atau Kruskal-Wallis dengan uji post-hoc. Hasil: Kadar albumin glikat tidak berbeda bermakna antara keempat kelompok (p=0.061). Kadar HbA1c lebih tinggi pada kelompok IV (4.59 ±0.28 %) daripada kelompok I (4.24 ± 0.27%, p=0.009). Kadar Hb kelompok II {10.9 (7.9 ? 11.6) g/dL} lebih rendah dibandingkan III (11.68 ± 0.84 g/dL, p=0.004) dan IV (11.74 ± 0.66 g/dL, p=0.001). Kadar albumin pada kelompok IV (3.59 ± 0.22 g/dL) lebih rendah dibandingkan kelompok I (3.82 ± 0.19 g/dL, p=0.006). Tidak ada perbedaan bermakna MCV, MCH, RDW-CV, besi serum, TIBC, dan saturasi transferin antar kelompok usia kehamilan (semua p>0.05) Kesimpulan: Kadar HbA1c berbeda menurut usia kehamilan, sedangkan pemeriksaan albumin glikat tidak terpengaruh dengan usia kehamilan. Albumin glikat dapat menjadi penanda status glikemik pada usia kehamilan 21-36 minggu.
ABSTRACT
Introduction: Hyperglycemia during pregnancy is found in 25% of pregnancy in Southeast Asia, and when uncontrolled may cause serious complications. Glycated hemoglobin (HbA1c) is a standard indicator for glycemic status, but can show false increase during late pregnancy. Glycated albumin, a new glycemic status indicator which is unaffected by anemia, may be an alternative for pregnancy. Purpose: To examine the usefulness of HbA1c and glycated albumin during pregnancy with normal glycemic status. Method: Blood samples were taken from 60 pregnant women between 21-36 weeks of pregnancy. Tests were done for HbA1c, Hb, MCV, MCH, RDW, glycated albumin, albumin, serum iron, blood glucose, transferrin saturation, and TIBC. These parameters were compared among four groups of age of pregnancy (I: 21-24 weeks, n=17; II: 25-28 weeks, n=16; III: 29-32 weeks, n=16; and IV: 33-36 weeks, n=11) using ANOVA or Kruskal-Wallis test with post-hoc tests. Results: Glycated albumin was not statistically different among the groups (p=0.061). HbA1c level was higher in group IV (4.59 ± 0.28%) compared to group I (4.24 ± 0.27%, p=0.009). Hb level of group II {10.9 (7.9 ? 11.6) g/dL} was lower than group III (11.68 ± 0.84 g/dL, p=0.004) and IV (11.74 ± 0.66 g/dL, p=0.001). Albumin level of group IV (3.59 ± 0.22 g/dL) was lower than group I (3.82 ± 0.19 g/dL, p=0.006). No statistically significant difference was found for MCV, MCH, RDW-CV, serum iron, TIBC, and transferin saturation among pregnancy age groups (all p>0.05) Conclusion: HbA1c was different with different pregnancy age, but glycated albumin was not affected by pregnancy age. Therefore glycated albumin may be used as glycemic status indicator during pregnancy age of 21-36 weeks.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabella Valentina
Abstrak :
ABSTRACT
Kesulitan dalam penegakan diagnosis definitif efusi pleura tuberkulosis berdasarkan metode konvensional ataupun biopsi menyebabkan berbagai usaha untuk mencari alternatif strategi diagnostik lainnya. Kriteria diagnostik yang direkomendasikan adalah apabila pasien terdapat gejala klinik tuberkulosis dan pemeriksaan cairan pleura menunjukkan eksudat berdasarkan kriteria Light, aktivitas adenosin deaminase (ADA) > 40 U/l, dan rasio limfosit/neutrofil > 0.75, maka diagnosis efusi pleura tuberkulosis boleh ditegakkan yang dibuktikan dengan respon terapi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai diagnostik real time polymerase chain reaction (RT PCR) pada efusi pleura tersangka tuberkulosis yang memenuhi kriteria diagnostik. Penelitian uji diagnostik prospektif menggunakan 43 sampel cairan pleura dari tersangka tuberkulosis yang dipilih secara konsekutif. Diagnosis efusi pleura tuberkulosis ditegakkan berdasarkan respon terapi positif atau kultur positif. Kultur cairan pleura menggunakan media Lowenstein-Jensen. RT PCR dikerjakan menggunakan primer yang dapat mengenali gen IS6110 dan gen MPB64.

Dari 43 sampel tersebut, Mycobacterium tuberculosis dapat dideteksi oleh RT PCR pada 7 sampel, 4 diantaranya dengan kultur positif. Dengan demikian, sensitivitas RT PCR adalah 16.3% yang lebih tinggi daripada sensitivitas berdasarkan kultur saja yaitu 9.3%. Nilai duga positif dan nilai duga negatif RT PCR berturut-turut adalah 100% dan 0%. Spesifisitas, rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif RT PCR tidak dapat dinilai karena semua subyek penelitian memiliki respon terapi positif atau kultur positif. RT PCR memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif efusi pleura tuberkulosis lebih sensitif dan cepat dibandingkan kultur. Dengan demikian, penelitian ini mendapatkan bahwa pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis efusi pleura TB, maka RT PCR merupakan pilihan metode untuk identifikasi infeksi Mycobacterium tuberculosis secara definitif, karena sensitivitas yang rendah maka tidak dapat digunakan sendiri (tunggal).
ABSTRACT
The difficulty to confirm the definitive diagnosis of tuberculous pleural effusion (TBPE) based on conventional laboratory methods and pleural biopsy have lead to the searching of alternative diagnostic strategies. The recommended diagnostic criteria approach for TBPE diagnosis are if a patient has clinical feature of tuberculosis (TB) and the pleural fluid analysis showed exudate based on Light criteria, the adenosine deaminase (ADA) activity > 40 U/l, and lymphocyte/neutrophil ratio > 0.75, then the diagnosis of TBPE is actually established. The aim of this study is to investigate the diagnostic value of RT PCR on suspected TBPE that fullfiled the recommended diagnostic criteria. The diagnostic study with prospective design assessed 43 pleural fluid samples of suspected TBPE that were selected consecutively. The diagnosis of TBPE was confirmed based on positive response therapy or positive culture of the pleural fluid. Pleural fluid culture was performed using Lowenstein-Jensen medium. Real time polymerase chain reaction (RT PCR) was carried out using the primer that detect IS6110 and MPB64 gene.

Among 43 samples of suspected TBPE, Mycobacterium tuberculosis could be detected by RT PCR in 7 samples with 4 of them had positive culture. The sensitivity of RT PCR therefore was 16.3%, it was higher than the sensitivity based on culture only which was 9.3%. Positive predictive value and negative predictive value of RT PCR were 100% and 0%, respectively. The specificity, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of RT PCR could not be defined because all subjects had positive response therapy or positive culture. RT PCR has an advantage that it can be used to establish definitive diagnosis of TB earlier compared to culture. Therefore, when the patient fulfilled the recommended criteria of tuberculous pleural effusion, RT PCR is the method of choice for definitive identification of Mycobacterium tuberculosis infection. However, due to the low sensitivity, it can not be used alone.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suryo Adiyanti
Abstrak :
ABSTRAK
Manifestasi klinis yang menonjol pada demam berdarah dengue adalah kebocoran plasma karena gangguan pada sel endotel vaskular. Anti NS-1 dapat bereaksi silang dengan Protein Disulfide Isomerase (PDI) pada sel endotel. Jambu biji biasa digunakan untuk mengatasi gejala dengue namun belum pernah ada penelitian secara in vitro untuk mengetahui mekanisme senyawa aktif yaitu lycopene yang terdapat di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah lycopene dapat menurunkan apoptosis yang ditandai dengan Annexin V dan Heme oxygenase -1 (HO-1). Penelitian ini menggunakan kultur Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVEC) yang diberi stimulasi anti NS-1 dan terdiri atas 5 perlakuan yaitu kontrol positif, kontrol negatif, dan lycopene dosis 0.5, 1 dan 2 μM. Kontrol positif adalah HUVEC yang diberi anti NS-1 dan basitrasin karena basitrasin sudah diketahui bekerja sebagai anti PDI dan dapat menghambat apoptosis. Kontrol negatif adalah kultur HUVEC yang diberi anti NS-1 tanpa perlakuan lycopene. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya Annexin V pada kontrol positif menunjukkan hasil yang rendah secara bermakna dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa lycopene dengan dosis 0.5, 1 dan 2 μM tidak dapat menghambat apoptosis. Kadar HO-1 pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa baik basitrasin maupun lycopene tidak mempengaruhi metabolisme HO-1. Dapat disimpulkan bahwa senyawa lycopene dengan dosis dosis 0.5, 1 dan 2 μM tidak menunjukkan pengaruh dalam apoptosis sel endotel setelah terjadi infeksi dengue.
ABSTRACT
Prominent clinical manifestation of dengue hemorrhagic fever is plasma leakage due to malfunction of endothelial cells. There is cross reaction between anti NS-1 and Protein Disulfide Isomerase (PDI) on endothelial cells. Psidium guajava is commonly used to improve condition in dengue symptoms but there is no research yet that study the in vitro mechanism how lycopene, a compound in Psidium guajava, works in this case. So this study aimed to know whether lycopene will decrease apoptosis of endothelial cells marked by Annexin V and Heme oxygenase-1 (HO-1) This study used Human umbillical vein endothelial cells (HUVEC) that given anti NS-1 stimulation and consisted of positive control, negative control and lycopene treatment with 0.5, 1 and 2 μM dose. Positive control is HUVEC with anti NS-1 and bacitracin that known act as anti PDI and inhibit apoptosis. Negative control is HUVEC with anti NS-1. Results showed that Annexin V only in positive control had lower Annexin V significantly compared to other treatments. This showed that lycopene 0.5,1 and 2 μM was not able to inhibit apoptosis. HO-1 in all treatments did not show significant difference. This showed that either bacitracin nor lycopene did not give effect to HO-1 metabolism. It was concluded that lycopene with 0.5, 1 dan 2 μM dose has no effect in endothelial cell apoptosis after dengue infection.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library