Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anak Agung Ngurah Agung Suryadipta Wardhana
Abstrak :
Penelitian ini berusaha melihat konstruksi makna demokratisasi industri seni digital melalui praktik seni NFT (Non-Fungible Token) oleh para anggota Komunitas NFT Indonesia. Teknologi blockchain secara umum mengusung konsep desentral yang berupaya untuk mendisrupsi berbagai industri termasuk seni digital. Dalam konsepsi Trevor J. Pinch dan Wiebe E. Bijker, pengembangan teknologi merupakan hasil konstruksi sosial dari proses interpretasi fleksibel oleh kelompok sosial relevan. Kemudian aktivitas dalam Komunitas NFT Indonesia terkait praktik seni NFT melalui konsepsi Henry Jenkins dilihat sebagai budaya partisipatori yang turut membentuk konstruksi sosial teknologi blockchain sebagai demokratisasi industri seni digital. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dan metode netnografi dengan melibatkan lima narasumber anggota Komunitas NFT Indonesia. Makna blockchain sebagai demokratisasi industri seni digital terlihat pada penafsiran narasumber terhadap praktik seni NFT seperti kendali kuat seniman atas penandaan keaslian, pengembangan loyalitas penggemar, penentuan harga awal dan kontinuitas finansial dari royalti. Anggota komunitas daring tersebut mengonstruksi makna blockchain sebagai demokratisasi industri seni digital melalui aktivitas komunikasi yang terjadi dalam praktik seni NFT. ......This research attempts to look at the construction of the meaning of democratization of the digital art industry through NFT (Non-Fungible Token) art practices by members of the Indonesian NFT Community. Blockchain technology in general carries a decentralized concept that seeks to disrupt various industries including digital arts. In the conception of Trevor J. Pinch and Wiebe E. Bijker, technological development is the result of social construction from a process of flexible interpretation by relevant social groups. Hence the activities within the Indonesian NFT Community related to the practice of NFT art through the conception of Henry Jenkins are seen as a participatory culture that also shaped the social construction of blockchain technology as a democratization of the digital art industry. This study uses the constructivism paradigm and the netnographic method involving five informants from the Indonesian NFT Community. The meaning of blockchain as a democratization of the digital art industry is seen in the interviewees’ interpretation of NFT art practices such as artist’s strong control over marking of authenticity, developing fan loyalty, initial pricing and financial continuity of royalties. Members of the online community construct the meaning of blockchain as a democratization of the digital art industry through communication activities that occur in NFT art practices.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Pangesti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan flexploitation yang merupakan keadaan yang memaksa pekerja untuk tunduk saat tereksploitasi. Berbeda dengan eksploitasi biasa, flexploitation terjadi di kalangan pekerja dengan kondisi kerja yang flexible seperti pekerja lepas. Studi-studi sebelumnya mengkaji bagaimana pekerja seni turut melanggengkan serta menormalisasi kondisi rentan mereka. Namun, studi-studi sebelumnya belum secara khusus berfokus membahas perempuan pekerja seni. Masih minimnya pembahasan mengenai topik tersebut membuat peneliti berargumen bahwa perempuan pekerja seni mengalami kondisi kerentanan yang khas karena adanya kerugian atas lingkungan kerja yang buruk, diskriminasi gender, timpang dan adanya beban ganda. Penelitian ini menggunakan konsep flexploitation untuk membantu menjelaskan kerentanan yang terjadi pada perempuan pekerja seni visual. Temuan penelitian menunjukkan bahwa perempuan pekerja seni terjebak dalam flexploitation. Flexploitation terhadap perempuan pekerja seni terlihat pada penerimaan terhadap kondisi eksploitasi dalam sistem kerja flexible dan menyebabkan normalisasi kerentanan. Kerentanan ini dinormalisasi berupa ketidakamanan pendapatan, jam kerja yang tidak menentu, kontrak kerja yang tidak mengikat, ketiadaan jaminan sosial, dan ketidakpastian jenjang karir. Kemungkinan flexploitation terjadi lebih besar pada perempuan pekerja seni visual karena perempuan dianggap tidak memiliki tanggung jawab utama sebagai pencari nafkah dan perempuan dapat memiliki keleluasaan untuk dapat mengurus rumah tangga. ......This study aims to describe flexploitation which is a condition that forces workers to submit when exploited. In contrast to ordinary exploitation, flexploitation occurs among workers with flexible working conditions such as casual workers. Previous studies examined how arts workers helped perpetuate and normalize their vulnerable condition. However, previous studies have not specifically focused on women arts workers. The lack of discussion on this topic has led researchers to argue that women arts workers experience unique conditions of vulnerability due to the disadvantages of a bad working environment, gender discrimination, inequality and a double burden. This study uses the concept of flexploitation to help explain the vulnerability that occurs in female visual arts workers. The research findings show that women arts workers are trapped in flexploitation. Flexploitation of women arts workers can be seen in the acceptance of conditions of exploitation in a flexible work system and causes the normalization of vulnerabilities. This vulnerability is normalized in the form of income insecurity, erratic working hours, non-binding work contracts, lack of social security, and uncertain career paths. The possibility of flexploitation to occur is greater for women visual arts workers because women are considered not to have the main responsibility as breadwinners and women can have the freedom to be able to manage the household
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Aprilia
Abstrak :
Shopee menciptakan Program Shopee Affiliates sebagai salah satu strategi dalam mempromosikan produknya di masa pandemi Covid-19. Program Shopee Affiliates merupakan suatu program yang memberikan kesempatan kepada content creator atau influencer untuk mendapatkan komisi atau penghasilan tambahan hanya dengan mempromosikan produk-produk yang ada di platform Shopee ke sosial media yang dimiliki. Studi-studi terdahulu cenderung melihat pekerjaan influencer sebagai suatu pekerjaan yang memiliki prospek kerja yang menjanjikan dan menguntungkan. Berbeda dengan studi terdahulu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis bentuk-bentuk kerentanan yang dialami oleh pekerja influencer dalam Program Shopee Affiliates di platform digital TikTok. Penelitian ini berargumen bahwa hadirnya Program Shopee Affiliates memunculkan kelompok pekerja imaterial yaitu pekerja influencer yang dinilai fleksibel tidak adanya ikatan ruang dan waktu, justru memposisikan pekerjaan influencer ini ke dalam kondisi pekerja yang rentan. Penelitian ini menggunakan konsep immaterial labour yang dikemukakan oleh Maurizio Lazzarato dan konsep precarious work yang dikemukakan oleh Guy Standing, dimana kategori-kategori yang telah disebutkan, pekerja influencer tergolong ke dalam jenis pekerjaan yang menghasilkan suatu produk yang bersifat imaterial atau tidak berwujud yang memiliki risiko kerja yang rentan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya fleksibilitas dalam bekerja dan ketidakpastian kontrak kerja menyebabkan influencer Program Shopee Affiliates di TikTok mengalami kondisi kerja yang rentan, seperti ketidakpastian kontrak kerja, ketiadaan perlindungan hak cipta terhadap konten digital yang telah dibuat, ketiadaan perlindungan jaminan sosial dan kesehatan, ketidakpastian jam kerja, ketidakstabilan pendapatan, dan ketiadaan serikat pekerja. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menggambarkan dan mengkaji kerentanan-kerentanan yang dialami oleh pekerja influencer dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam semi-terstruktur, observasi digital, data sekunder, dan studi pustaka. ......Shopee created the Shopee Affiliates program as one of the strategies to promote its products during the Covid-19 pandemic. The Shopee Affiliates program is a program that provides opportunity for content creators or influencers to earn commission or additional income only by promoting products from Shopee using their personal social media. Previous studies tend to view influencer work as a promising and lucrative career prospect. However, this research aims to critically analyze the forms of vulnerability experienced by influencer workers in the Shopee Affiliates Program on the TikTok digital platform. This study argues that the introduction of the Shopee Affiliates Program has given rise to a group of immaterial workers, namely influencer workers, who are considered flexible due to the absence of spatial and temporal constraints. However, this flexibility actually places influencer work in a vulnerable condition. The study adopts the concept of immaterial labor proposed by Maurizio Lazzarato and the concept of precarious work put forth by Guy Standing. Within these categories, influencer work is classified as a type of work that produces intangible or immaterial products, which entails risks and vulnerabilities. The findings of the research indicate that the flexibility of work and the uncertainty of employment contracts contribute to the vulnerability of influencers in the Shopee Affiliates Program on TikTok. They experience precarious working conditions, including uncertain employment contracts, lack of copyright protection for their digital content, absence of social security and health benefits, uncertain working hours, income instability, and the absence of labor unions. This research uses qualitative research methods to describe and study the precarities which are experienced by influencers, while also doing semi-structured in-depth interview, digital observation, and uses secondary data and literature study as the data collection technique.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathanael Janong
Abstrak :
Masuknya peristiwa pandemi di Indonesia telah menghasilkan perubahan sistem kerja dari offline menjadi online, yang dianggap mampu membawa fleksibilitas kerja. Walau begitu, nyatanya implementasi “fleksibilitas” ini malah digunakan sebagai alat eksploitasi. Sebagai mahasiswa, magang dapat dinilai sebagai ‘celupan’ pertama kepada dunia kerja. Pengalaman yang didapatkan dari proses magang sangatlah penting terhadap proses, persepsi, ataupun etos kerja mereka kedepannya. Maka, penelitian ini ingin menganalisis proses eksploitasi dalam pekerjaan magang remote. Hasil penelitian menemukan bahwa eksploitasi masih umum dalam pengalaman magang remote; yang terjadi dalam 3 bentuk utama yaitu kerja berlebihan, underpaid, dan ketidakadaan representasi bagi pekerja. Beratnya eksploitasi telah merusak kesehatan fisik dan mental, menyebabkan mahasiswa merasa stres hingga depresi. Akibatnya, terdapat mahasiswa yang mengalami perubahan persepsi signifikan dalam bentuk membatasi kerja dengan kehidupan pribadi, dan bekerja secara independen atau di luar negeri. Di sisi lain, terdapat mahasiswa yang tidak sadar dan bahkan menyetujui tindak eksploitasi yang dialaminya. Adanya persetujuan ini merupakan hasil manufacturing consent yang dilakukan secara aktif (hubungan personal manajemen dengan pekerja) dan pasif (normalisasi eksploitasi, status magang yang sementara, magang yang seringkali diwajibkan). Maka, ditemukan bahwa eksploitasi disebabkan oleh manipulasi struktur magang dan peran manajemen, yang merupakan upaya labour control perusahaan untuk mengatur kehidupan pekerja dan memaksimalisasi profit. ......The entry of the pandemic in Indonesia has resulted in a shift from offline to online work systems, seen as bringing work flexibility. However, in reality, the implementation of this "flexibility" is being used as a tool for exploitation. Internships, as the first exposure to the working world for students, significantly impact their future processes, perceptions, and work ethics. Therefore, this research aims to analyze the process of exploitation in remote internship. Findings shows that exploitation is still prevalent in remote internship, taking three main forms: overwork, underpayment, and lack of representation. The severity of exploitation has resulted in physical and mental health issues, leading students to feel stressed and depressed. Consequently, some students have experienced significant changes in their perceptions, such as limiting their work involvement in personal life, and choosing to work independently or abroad. Meanwhile, some students are unaware and even consent to exploitation, which result from active (personal relationships with management) and passive (normalization of exploitation, temporary internship status, and the often mandatory nature of internships) manufacturing consent. As a result, it is found that exploitation is driven by internship structure manipulation and management roles, serving as labour control to regulate workers' lives and maximize profits.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Zainul Haq
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk memahami lebih jauh kehadiran tampilan seksual dan objektifikasi tubuh perempuan dalam permainan Honkai Impact, khususnya pada komunitas Honkai Impact Indonesia. Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan adanya potensi dampak yang muncul dari hadirnya tampilan seksual dalam permainan terhadap sikap dan pandangan pemain. Melanjutkan penelitian sebelumnya mengenai tampilan seksual pada video game, penelitian ini menggunakan konsep hiperseksualisasi dan objektifikasi tubuh untuk menganalisis bagaimana karakter perempuan ditampilkan dalam permainan dan dampaknya terhadap persepsi pemain. Peneliti berargumen bahwa tampilan perempuan yang dibuat seksual secara berlebihan di dalam permainan mengkondisikan normalisasi tubuh perempuan sebagai objek seksual. Pengumpulan data penelitian dilakukan secara kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi, dan analisis isi diskusi dalam komunitas Honkai Impact Indonesia. Penelitian ini menemukan adanya proses penerimaan pemain dan komunitas mengenai tampilan seksual dalam permainan sebagai pengalaman kolektif, sehingga diskusi dan perbincangan pada bagian tubuh perempuan secara seksual dilihat sebagai hal yang wajar.  ......This study aims to further understand the presence of sexualized portrayals and objectification of female bodies in the game Honkai Impact, particularly within the Indonesian Honkai Impact community. Previous studies have shown the potential impact that sexualized imagery in games can have on players' attitudes and perceptions. Building on previous research on sexualized image in video games, this study utilizes the concepts of hypersexualization and body objectification to analyze how female characters are portrayed in the game and their impact on players' perceptions. The researchers argue that the overly sexualized portrayal of women in the game conditions the normalization of women's bodies as sexual objects. Qualitative data for this research was collected through in-depth interviews, observations, and content analysis of discussions within the Indonesian Honkai Impact community. The study finds that players and the community as a whole tend to accept the sexualized portrayals in the game as a collective experience. Consequently, discussions and conversations about sexualized aspects of female bodies are seen as commonplace and normalized within the community.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudhya Razanne Tiara
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan slacktivism dan eskalasi gerakan digital menuju aktivisme onsite. Slacktivism sendiri merupakan tindakan pada ambang batas rendah di suatu gerakan sosial digital yang meliputi namun tidak terbatas pada pemberian like, comment, share, retweet semata. Studi-studi yang membahas mengenai slacktivism dalam gerakan sosial yang terbentuk di ruang digital ditemukan saling kontradiktif, yakni (1) studi yang cenderung pesimis akan slacktivism dan kaitannya dengan eskalasi gerakan sosial karena adanya karakteristik kental berupa lemahnya keterlibatan aktor, aksi yang berada pada ambang rendah, dan tidak adanya pandangan ideologi yang mendalam dari para aktor sehingga justru dipandang kurang memberikan kontribusi yang signifikan pada gerakan; dan (2) studi yang cenderung optimis akan slacktivism dan eskalasi gerakan sosial memandang bahwa aksi dari para aktornya justru membawa dukungan yang bermakna pada level tertentu dalam meningkatkan aspek-aspek gerakan sosial sehingga salah satunya mampu berkontribusi membuka kemungkinan eskalasi gerakan dapat terjadi pada kondisi berisiko politik rendah. Pada penelitian ini, penulis memandang bahwa terjadinya slacktivism dan eskalasi gerakan sosial digital tidak sesederhana yang dipandang oleh kubu optimis & pesimis karena untuk dapat terjadinya eskalasi gerakan digital menuju aktivisme onsite, diperlukan prekondisi-prekondisi tertentu dari slacktivism dan gerakan itu sendiri, seperti melalui keterkaitan slacktivism dengan sumber daya gerakan sosial. Penelitian ini tergolong ke dalam jenis penelitian studi kasus yang dilakukan dengan memperoleh data melalui studi pustaka, wawancara mendalam, observasi media sosial dan kegiatan bermural kepada 6 informan (Pihak Gejayan Memanggil, partisipan lomba, dan donatur) melalui studi kasus Lomba Mural Dibungkam. Hasil penelitian mengimplikasikan bahwa slacktivism, yang dipicu oleh sumber daya sosial organisasi yang telah eksis secara onsite maupun online, mampu mengeskalasi gerakan digital menuju aktivisme onsite sekalipun pada kondisi risiko politik yang tinggi melalui adanya prekondisi penggunaan resource mobilization yang terorganisir matang dan berkaitan timbal balik dengan slacktivism dalam gerakan sosial itu sendiri. Selain itu, adanya dukungan dari struktur media sosial tertentu juga ditemukan sebagai kondisi yang memungkinkan slacktivism mengeskalasi gerakan melalui kapasitas slacktivism untuk meningkatkan dukungan kapasitas algoritma media sosial. ...... This study aims to explain slacktivism and the escalation of digital movements towards onsite activism. Slacktivism itself is an action at a low threshold in a digital social movement which includes but is not limited to simply liking, commenting, sharing, retweeting. Studies that discuss slacktivism in social movements formed in digital space are found to be contradictory to each other, namely (1) studies that tend to be pessimistic about slacktivism and its relation to the escalation of social movements due to strong characteristics in the form of weak actor involvement, actions that are at a low threshold , and the absence of deep ideological views from the actors so that they are seen as not making a significant contribution to the movement; and (2) studies that tend to be optimistic about slacktivism and social movement escalation view that the actions of the actors actually bring meaningful support at a certain level in improving aspects of social movements so that one of them is able to contribute to opening up the possibility of movement escalation to occur in conditions of political risk low. In this study, the authors view that the occurrence of slacktivism and the escalation of digital social movements is not as simple as that seen by the optimists & pessimists because for the digital movement to escalate towards onsite activism, certain preconditions are needed from slacktivism and the movement itself, such as through the linkage of slacktivism. with social movement resources. This research belongs to the type of case study research which is carried out by obtaining data through literature study, in-depth interviews, social media observations and mural activities to 6 informants (Gejayan Calling Party, contest participants, and donors) through a case study of the Silenced Mural Contest. The results of the study imply that slacktivism, which is triggered by organizational social resources that already exist both on site and online, is able to escalate digital movements towards onsite activism even in conditions of high political risk through the presence of preconditions for the use of well-organized and reciprocally organized resource mobilization with slacktivism. within the social movement itself. In addition, the existence of support from certain social media structures was also found as a condition that allows slacktivism to escalate movements through slacktivism's capacity to increase the support of social media algorithm capacities.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qudfy Razzan
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana representasi gender dapat terbentuk dalam video game Genshin Impact melalui karakter serta pemaknaan dari para pemainnya.  Penelitian terdahulu menemukan dalam video game pemainnya didominasi oleh laki-laki dan terdapat perbedaan karakter yang didasari oleh gender, yakni laki-laki digambarkan sebagai karakter yang kuat sedangkan perempuan digambarkan melalui karakter yang butuh pertolongan dan diseksualisasikan secara berlebih, serta adanya fitur dalam video game yang memberikan kebebasan dalam berpakaian dan berperan sesuai dengan gender yang dipilihnya. Namun, belum banyak penelitian yang melihat perkembangan video game saat ini yang cenderung merepresentasikan gender yang lebih cair. Dengan menggunakan konsep representasi oleh Stuart Hall, produksi video game Genshin Impact dipengaurhi oleh kultur video game yang kini berubah dan lebih cair terhadap penggambaran gender. Dari segi konsumsi, kode ini dapat diterima karena menggunakan aspek-aspek populer yang telah lama diterima komunitas pemainnya. Dari kedua aspek tersebut, ditemukan bahwa video game dapat mempengaruhi pemaknaan identitas gender seseorang. Untuk menjelaskan hal tersebut telah digunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara yang ditujukan kepada para pemain Genshin Impact, dan observasi digital terhadap karakter dalam Genshin Impact. ......This research aims to analyze how gender representation can be formed in Genshin Impact through the characters and meanings from the players. Previous research found that in video games the players are dominated by men and there are differences in characters based on gender, namely men are depicted as strong characters while women are portrayed as characters who need help and are overly sexualized, as well as features in video games that give freedom to dress and act according to the gender of their choice. However, not much research has looked at the current development of video games which tend to represent more fluid gender. By using the concept of representation by Stuart Hall, the production of the video game Genshin Impact is influenced by video game culture which is now changing and is more fluid in its depiction of gender. From a consumption perspective, this code is acceptable because it uses popular aspects that have long been accepted by the player community. From these two aspects, it was found that video games can influence a person's meaning of gender identity. To explain this, qualitative methods have been used with interview techniques aimed at Genshin Impact players, and digital observations of the characters in Genshin Impact.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elanca Arter
Abstrak :
Multiple alter account merupakan sebuah fenomena yang ditemukan dalam sosial media Instagram dimana satu individu dapat memiliki lebih dari satu akun sosial media yang masing-masing dari akun tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Penelitianpenelitian sebelumnya cenderung lebih menjelaskan keberadaan akun alter sebagai saluran ekspresi alter ego dari individu dan berperan sebagai panggung belakang dalam perspektif dramaturgi, namun kurang menjelaskan mengenai proses pembentukkan identitas yang terjadi melalui interaksi dalam multiple alter account. Penelitian ini berusaha menggambarkan dinamika dramaturgi yang ditemukan dalam penggunaan multiple alter account oleh remaja generasi Z, dimana multiple alter account tersebut memberikan panggung untuk menyusun narasi identitas diri yang jamak pada remaja generasi Z. Penelitian ini menemukan bahwa dalam penggunaan multiple alter account, dramaturgi masih ditemukan dalam upaya para remaja generasi Z dalam membentuk identitas diri namun dengan batasan panggung yang kabur dan juga adanya proses filterisasi audiens yang menjadi ciri khas fenomena ini. Identitas yang ditemukan pun jamak jumlahnya dan dapat dibagi ke dalam dua wujud yaitu multiple identities dan juga blended identity. ......Multiple alter accounts is a phenomenon found in Instagram where one individual can have more than one Instagram account, each of which has different characteristics. Previous studies tend to explain the existence of alter accounts as channels of alter ego expressions within the dramaturgy framework, but doesn’t explain about the process of identity construction that occurs through interactions in multiple alter accounts. This study attemps to discuss the dynamic dramaturgical process found in the use of multiple alter accounts by Gen Z youth, in which it presents multiple stages for these youths to constructs multiple narratives on their own identity. This study found that in the use of multiple alter accounts, dramaturgy is still found in the efforts of Gen Z youth in forming their own identity but with blurred stage boundaries and also audience filtering process that characterizes this phenomenon. The identites found on the Gen Z youth can be divided into two forms, which are multiple identities and blended identities.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayun Amrity
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan intimasi yang terbentuk melalui kencan buta dan kencan kilat secara virtual. Studi-studi sebelumnya terkait kencan buta banyak berfokus pada aplikasi kencan online, yaitu bagaimana individu membentuk citra diri secara visual, persepsi mereka, serta wujud dari komodifikasi cinta dan kesepian. Berbeda dengan ciri khas kencan online, Virtual Blind Date membatasi individu secara visual dan membatasi Individu untuk memilih pasangannya sendiri. Individu hanya bisa membangun hubungan dalam waktu 15 menit dan melalui telepon suara saja. Peneliti berargumen bahwa intimasi yang dikembangkan melalui Virtual Blind Date berpotensi menjadi confluent love karena interaksinya yang cenderung netral gender melalui obrolan yang mengutamakan usaha (respon) resiprokal, penilaian terhadap pasangan yang bersifat reflektif terhadap keinginan/ kriteria individual, hubungan yang rapuh, dan peserta memiliki kemampuan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan interaksi. Sehingga, pembentukan intimasi dalam waktu singkat tersebut sesuai dengan karakteristik confluent love. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui observasi partisipatoris dan wawancara mendalam para partisipan di @VirtuaBlindDate. ......The purpose of this study is to explain the intimacy that is formed through blind dating and virtual speed dating. Previous studies related to blind dating have mostly focused on online dating applications, namely how individuals form a visual self-image, their perception, and the manifestation of the commodification of love and loneliness. In contrast to the characteristics of online dating, Virtual Blind Date limits the participant to choose their partner. Individuals can only build relationships within 15 minutes and via voice calls. The researcher argues that intimacy developed through Virtual Blind Date has the potential to become confluent love because of its gender-neutral interactions through conversations that prioritize reciprocal efforts (responses), reflective assessments of their partners based on individual desires/criteria, fragile relationships, and participants' choice to continue or discontinue the interaction. Thus, the formation of intimacy in a short time is following the characteristics of confluent love. This study uses a qualitative approach through participatory observation and in-depth interviews with participants at @VirtuaBlindDate.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novrista Widiyanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana jaringan sosial dan framing terkait identitas kolektif yang diproduksi oleh aktor lokal mampu membentuk suatu aktivisme penggemar. Di Indonesia, popularitas grup idola K-Pop diiringi oleh banyaknya anak muda yang menjadi penggemar membentuk kekuatan baru di dalam fandom. Penggemar yang menjadi bagian dari suatu fandom dapat menggerakkan penggemar lain untuk berpartisipasi dalam aktivisme yang dilakukan. Studi terdahulu mengenai aktivisme penggemar menunjukkan bahwa aktivisme di dalam fandom dapat terwujud karena adanya budaya partisipatif (participatory culture) sebagai ruang yang dapat mendukung atau mendorong aktivisme. Akan tetapi, studi-studi terdahulu cenderung menyamakan aktivisme dengan budaya penggemar pada umumnya, seperti produksi teks atau konten yang mengekspresikan kecintaan mereka kepada idolanya. Oleh karena itu, bagaimana aktivisme penggemar dapat terjadi tidak terlihat dalam penjelasannya. Selain itu, dengan cara seperti apa penggemar menggunakan sumber daya yang ada untuk membentuk aktivisme belum nampak pembahasannya dalam studi-studi terdahulu. Peneliti berargumen bahwa aktivisme penggemar dapat terwujud karena kuatnya jaringan sosial dan adanya framing terkait identitas kolektif yang diproduksi oleh aktor lokal di media sosial. Metodologi kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara mendalam terhadap aktor lokal dalam fandom grup idola K-Pop, serta observasi online di dalam platform Twitter. ...... This study aims to explain how social networks and collective identity framing produced by local actors are able to form fan activism. In Indonesia, K-Pop idol groups’ popularity followed by many young people who become fans is forming a new force in fandom. Fans who are part of a fandom can encourage other fans to participate in their activities. Previous studies on fan activism have shown that activism in fandom can be formed because of a participatory culture as a space that can support activism. However, previous studies tend to see activism as fan culture in general view, such as the production of texts or content that expresses their love for their idols. Therefore, how fan activism can occur is not seen in the explanation. In addition, the ways in which fans use existing resources to form activism have not been discussed in previous studies. The researcher argues that fan activism can be formed because of the strong social network and collective identity framing produced by local actors on social media. Qualitative methodology is used in this study. The data collection technique that is used through in-depth interviews with local actors in the K-Pop idol group fandom, and online observations on the Twitter.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>