Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desandra Puspita Nugraha
"ABSTRACT
Latar belakang: Efek samping tindakan odontektomi yang sering terjadi adalah pembengkakan dan rasa nyeri.Banyak praktisitelah menggunakan terapi dingin untuk mengurangi pembengkakan dan rasa nyeri pasca odontektomi, namun masih sedikit dokter gigi yang menggunakan terapi dingin berupa larutan irigasi bersuhu dingin saat tindakan odontektomi. Tujuan: Mengevaluasi efek pemberian irigasi bersuhu dingin terhadap pembengkakan dan rasa nyeri pasca odontektomi. Metode penelitian:Studi prospektif pada pasien RSKGM FKG UI dengan gigi impaksi dan menjalani tindakan odontektomi. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pasien yang mendapat perlakuan larutan irigasi bersuhu dingin dan kelompok kontrol larutan irigasi bersuhu kamar. Pembengkakan dan intensitas nyeri pasien pada kedua kelompok diukur dan dibandingkan pada hari H, ke-3, dan ke-7. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) antarapembengkakan pada kelompok pasien yang diberikan larutan irigasi bersuhu dingin dengan kelompok pasien yang diberikan larutan irigasi bersuhu kamar, namun tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0.05) antara rasa nyeri pada kelompok pasien yang diberikan larutan irigasi bersuhu dingin dengan kelompok pasien yang diberikan larutan irigasi bersuhu kamar. Kesimpulan: Larutan irigasi bersuhu dingin berpengaruh terhadap pembengkakan, namun tidak berpengaruh pada rasa nyeri pasca odontektomi. Background: Side effects of mandibular third molar surgery that happen occur are swelling and pain. Many practitioners have used cold therapy to reduce swelling and pain after third molar surgery, but the use of cold irrigation solution by dentist is still rare. Objective: To evaluate the effect of cold irrigation solution on swelling and pain after third molar surgery. Methods:  Prospective study on patients in RSKGM FKG UI with impacted teeth and underwent third molar surgery. Patients were divided into two groups; intervention group with cold irrigation solution and control group with room temperature irrigation solution. Swelling and pain intensity on both groups were measured and compared on operative day, days 3 and 7 post operative. Result: There was significant swelling difference between both group, but there was no significant pain difference between both group. Conclusion: Cold irrigation solution effects swelling after third molar surgery, but doesnt effect the pain."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Safira Anindya
"Celah bibir dengan atau tanpa celah langit-langit merupakan salah satu kelainan kongenital yang memengaruhi regio orofasial. Kelainan ini merupakan cacat lahir orofasial yang paling sering terjadi dengan prevalensi 1:700. Pada beberapa pasien dengan celah bibir dan langit-langit komplit, dapat ditemukan suatu jembatan jaringan lunak yang dapat menghubungkan tepi medial dan lateral dari celah bibir atau nostril, bibir dengan prosesus alveolaris, ataupun menghubungkan prosesus alveolaris yang terpisah, yang biasa disebut dengan soft tissue band. Mekanisme terbentuknya band ini belum diketahui secara pasti. Terdapat tiga tipe soft tissue band, tipe 1 yaitu band yang menghubungkan bibir dengan bibir (band Simonart); tipe 2 band yang menghubungkan bibir dengan alveolar (band oblique); dan tipe 3 band yang menghubungkan antar prosesus alveolar (band alveolar). Penelitian mengenai soft tissue band pada kasus celah bibir dan langit-langit di Indonesia masih sangat sedikit, sehingga penelitian deskriptif retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi soft tissue band pada pasien celah bibir dan langit-langit berdasarkan tipe celah di RSAB Harapan Kita periode Januari 2010 Desember 2012. Analisis dilakukan pada 296 rekam medik. Dari 296 pasien celah bibir dan langit langit di RSAB Harapan Kita tahun 2010-2012, ditemukan 30 kasus soft tissue band (10,1%). Pada tahun 2010 terdapat 6 kasus, tahun 2011 terdapat 10 kasus, dan tahun 2012 terdapat 14 kasus. Soft tissue band lebih sering ditemukan pada pasien dengan celah unilateral (10,3%) dibanding pasien dengan celah bilateral (9,5%). Sebanyak 9 kasus soft tissue band ditemukan pada celah bibir dan langit langit unilateral sisi kiri. Berdasarkan tipenya, soft tissue band paling banyak ditemukan pada tipe Simonart (bibir ke-bibir) yaitu 18 kasus (60%), tipe oblique(bibir ke-alveolus ditemukan 10 kasus 33,3%, dan tipe band alveolar alveolus ke-alveolus) ditemukan 2 kasus 6,7%. Berdasarkan variasinya, sebanyak 21 kasus soft tissue band tertutup oleh kulit 70% dan 9 kasus hanya berupa jaringan mukosa atau yang disebut varian subklinis 30%."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Novita Mulya
"Karies merupakan salah satu komplikasi yang umumnya terjadi pada gigi impaksi. Penelitian yang membahas mengenai distribusi frekuensi karies pada gigi impaksi sudah banyak dilakukan di berbagai negara, namun di Indonesia masih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai distribusi frekuensi karies pada gigi molar tiga kelas IA di Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif yang bersifat retrospektif dengan sampel penelitian berupa data sekunder yang diperoleh dari kartu status pasien RSKGM FKGUI periode Januari 2010-Juli 2013.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa prevalensi impaksi molar tiga bawah kelas IA sebesar 42,5% dari 496 kasus impaksi molar tiga bawah. Rasio laki-laki : perempuan yang mengalami impaksi molar tiga kelas IA adalah 1:1,7. Mayoritas pasien berusia 17-35 tahun dan kebanyakan berasal dari suku Jawa (44,1%). Sebanyak 23,2% pasien mengalami karies pada gigi impaksinya dan umumnya terjadi pada impaksi mesioangular (17,2%). Permukaan oklusal merupakan daerah yang paling rentan terhadap terjadinya karies baik pada impaksi mesioangular, vertikal, horizontal, maupun transverse, yaitu sebanyak 59,6%.

Caries is one of the complications commonly arise in impacted teeth. Studies concerning frequency distribution of caries in impacted third molar are widely available in several countries, but not in Indonesia. This study aims to get information regarding frequency distribution of caries in class IA impacted third molar among patients of Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Research was done using retrospective descriptive study through observation of patient’s status cards at RSKGM FKGUI from January 2010 to July 2013.
The results indicate that prevalence of class IA impacted third molar is 42.5% out of 496 cases of all impacted mandibular third molar. Gender ratio of male to female is 1: 1.7, whereas the majority of the patients are aged 17-35 years old and of Javanese origins (44.1%). Some patients have caries in their impacted third molar (23.2%), especially in mesioangular impaction (17.2%). Occlusal surface accounts for the most susceptible site to caries in class IA impacted third molar (59.6%) in all mesioangular, vertical, horizontal and transversal impaction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafif A. S.
"Peningkatan insidensi fraktur maksilofasial berdampak pada peningkatan beban kerja rumah sakit serta diprediksi mempengaruhi sistem kesehatan masa mendatang. Karakteristik fraktur maksilofasial dipengaruhi budaya, sosioekonomi, serta sosiodemografi suatu negara. Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi dan frekuensi fraktur maksilofasial di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo periode 2009-2013. Analisis dilakukan pada 407 rekam medik dengan 659 kasus fraktur maksilofasial. Distribusi dan frekuensi dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi fraktur, regio fraktur, derajat keparahan cedera fasial, dan lama rawat inap. Mayoritas pasien berusia 20-26 tahun (29,2%) dan berjenis kelamin laki-laki (82,3%) dengan perbandingan 4,7:1 terhadap perempuan. Etiologi fraktur tersering adalah kecelakaan motor (75,5%). Fraktur maksilofasial ditemukan terbanyak pada regio simfisis dan parasimfisis mandibula (16,4%). Derajat keparahan cedera fasial berkisar antara ringan hingga sedang dengan rata-rata skor 2,50 + 1,2. Rata-rata lama perawatan inap pasien adalah 10,28 + 6,9 hari.

Increased number of maxillofacial fracture incidency affecting hospital workload and predicted have impact on future health system. Maxillofacial fracture characteristics were depends on culture, socioeconomy, and sociodemography. The aim of this study was determine distribution and frequency of maxillofacial fracture in Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital from 2009-2013. 407 medical records with 659 cases was analyzed. Distribution and frequency analyzed concerning age, gender, etiology, fracture region, facial injury severity, and patient length of stay. Most of the patients were 20-26 years old in age (29,2%) and men were more involved than women (82,3%) with ratio 4,7:1. Motorcycle accident were most frequent cause (75,5%). Mandibular symphisis and parasymphisis found as the most fractured anatomical site (16,4%). Facial injury severity of patients found between mild to moderate with FISS score average 2,50 + 1,2. Mean of patient length of stay were 10,28 + 6,9 days."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Suci Rahmadani Adrin
"Latar belakang: Celah bibir dan lelangit merupakan anomali bawaan yang paling umum
ditemui pada regio kraniofasial yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Pada
celah bibir dan lelangit ditemukan adanya jembatan jaringan lunak pada beberapa pasien
celah bibir dan lelangit lengkap, yang dapat disebut dengan soft tissue band. Mekanisme
terbentuknya soft tissue band ini belum diketahui dengan pasti. Jembatan jaringan lunak
ini dapat menghubungkan bagian lateral dan medial celah bibir atau nostril, beberapa
pada tepi alveolus yang. Soft tissue band memiliki 3 tipe utama yaitu tipe 1 band yang
menghubungkan bibir dengan bibir (Lip-to-lip/Simonart’s band), tipe 2 band yang
menghubungkan bibir dengan alveolus (Lip-to-alveolus/Oblique band), dan tipe 3 band
yang menghubungkan antar alveolus (Alveolus-to-alveolus/Alveolar band). Data
mengenai soft tissue band pada pasien celah bibir dan lelangit di Indonesia masih sedikit,
karena itu penulis berniat melakukan penelitian ini. Tujuan: Untuk mengetahui
prevalensi pasien celah bibir dan celah lelangit dengan soft tissue band berdasarkan sisi
celah dan jenis band pada periode Januari 2013 – Desember 2016 di RSAB Harapan Kita.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan
menggunakan data sekunder berupa rekam medik klinik CLP RSAB Harapan kita periode
Januari 2013 sampai dengan Desember 2016. Hasil: Uji Kappa Agreement menunjukkan
hasil p>0,61. Terdapat 206 pasien celah bibir dan lelangit tercatat di RSAB Harapan Kita
tahun 2013 – 2016. Dari 206 pasien terdapat 32 pasien (15,5%) dengan soft tissue band.
Pada tahun 2013 terdapat 14 kasus (43,8%), pada 2014 terdapat 9 kasus (43,8%), pada
2015 terdapat 7 kasus (21,9%), dan pada 2016 terdapat 2 kasus (6,3%). Soft tissue band
paling banyak berada pada tipe celah unilateral yaitu 75% pasien dan celah bilateral 25%
pasien. Pada tipe UCLP sebanyak 59,4% kasus pada tipe UCLA 15,6%, pada tipe BCLP
terdapat 25%, dan pada tipe BCLA tidak ditemukan kasus soft tissue band. Berdasarkan
tipe band, 56,3% pasien dengan tipe Simonart’s band (bibir-ke-bibir) paling banyak
ditemukan, diikuti dengan tipe Oblique band (bibir-ke-alveolus) sebanyak 34,4% pasien,
dan tipe Alveolar band (alveolus-ke-alveolus) sebanyak 9,4%. Berdasarkan variasinya,
soft tissue band paling banyak ditemukan yaitu, ditutupi kulit sebanyak 90,6% kasus dan
jaringan mukosa 9,4%. Kesimpulan: Prevalensi soft tissue band pada periode tahun 2013
sampai dengan 2016 di RSAB Harapan Kita mengalami penurunan jumlah kasus di setiap
tahunnya.

Background: Cleft lip and palate is the most common congenital anomalies that affect
craniofacial region with the causes is not known for sure. In the cleft lip and palate, soft
tissue band were found in some patients with complete cleft lip and palate. The
mechanism of soft tissue band formation is not known for sure. This soft tissue band can
connect the lateral dan medial cleft lips or nostril, some on the alveolar ridge. Soft Tissue
band have 3 main types, type 1 band that connects lip with lip (Lip-to-lip/Simonart’s
band), type 2 band that connects lip with alveolus (Lip-to-alveolus/oblique band), dan
type 3 band connects between the alveolus (Alveolus-to-alveolus/Alveolar band). The
data regarding soft tissue band in cleft lip and palate patients in Indonesia is still small,
therefore the author wants to do this research. Objective: to determine the prevalence of
patients cleft lip and palate with the soft tissue band based on the side of the cleft and
type of the band in the period January 2013 to December 2016 at RSAB Harapan Kita.
Methods: This research is a retrospective descriptive study using secondary data in the
form of clinical medical records of CLP RSAB Harapan Kita period January 2013 to
December 2016. Results: The Kappa Agreement shows he result of p>0,61. There are
206 patients with cleft lip and palate were record at RSAB Harapan Kita in 2013 – 2016.
From 206 patients there were 32 patients (15,5%) with soft tissue band. In 2013 there
were 14 cases (43,8%), in 2014 there were 9 cases (43,8%), in 2015 there were 7 cases
(21,9%), and in 2016 there were 2 cases (6,3%). Soft tissue band is mostly in the type of
unilateral cleft, which is 75% of patients and bilateral cleft 25% of patients. In the UCLP
type there were 59,4% of cases, 15,6% of UCLA type, 25% of the BCLP type, and no
soft tissue band cases in the BCLA type. Based on band type, 56,3% of patients with
Simonart’s band (lip-to-lip) type were found the most, followed by Oblique band (lip-toalveolus)
type in 34,4% of patients, and Alveolar band (alveolus-to-alveolus) type in
9,4% patients. Based on the variation, soft tissue bands were mostly founds covered with
skin in 90,6% of cases and 9,4% of mucosa tissue. Conclusion: The prevalence of soft
tissue bands in the period 2013 to 2016 at RSAB Harapan Kita has decreased the number
of cases each year.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurkholisa Putri Wulandari
"Latar belakang: Solid/multicystic ameloblastoma merupakan tipe yang paling sering terjadi dari semua tipe ameloblastoma, lalu diikuti oleh tipe unicystic ameloblastoma. Sampai saat ini manajemen yang tepat dari tumor ini masih kontroversial. Diperlukan analisis lebih lanjut serta data terbaru mengenai perbandingan tingkat keberhasilan berbagai terapi bedah dari solid/multicystic dan unicystic ameloblastoma yang dapat dilihat dari tingkat rekurensi tumor pasca terapi serta follow-up jangka panjang pasca terapi.
Tujuan: Mengevaluasi perbandingan tingkat keberhasilan berbagai tindakan terapi bedah pada solid/multicystic dan unicystic ameloblastoma.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode systematic review dengan pedoman penyusunan PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Pencarian studi dilakukan menggunakan dua electronic database, yakni Scopus dan PubMed dengan menggunakan kombinasi kata kunci yang sudah ditentukan. Pencarian studi dilakukan untuk menemukan studi-studi yang membahas mengenai terapi bedah pada unicystic ameloblastoma dan solid/multicystic ameloblastoma dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.
Hasil penelitian: Pencarian studi dengan kedua electronic database memperoleh 643 studi, kemudian dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Diperoleh 11 studi untuk dilakukan analisis. Terdapat terapi yang berbeda-beda dalam penanganan solid/multicystic ameloblastoma dan unicystic ameloblastoma pada seluruh studi yang dapat dibedakan menjadi terapi radikal dan konservatif. Terapi untuk solid/multicystic ameloblastoma secara radikal dalam studi yang ditemukan, dilakukan pada 185 kasus dengan 16 kasus mengalami rekurensi setelah diberikan terapi dengan tingkat rekurensi sebesar 8.6%. Terapi secara konservatif pada solid/multicystic ameloblastoma ditemukan pada 141 kasus dan 54 kasus mengalami rekurensi dengan tingkat rekurensi sebesar 38.3%. Terapi pada unicystic ameloblastoma secara radikal yang terdapat pada studi, ditemukan pada 40 kasus dan tidak ditemukan adanya rekurensi setelah terapi dengan tingkat rekurensi sebesar 0.0%. Terapi pada unicystic ameloblastoma secara konservatif ditemukan pada 71 kasus dan 17 kasus diantaranya mengalami rekurensi dengan tingkat rekurensi sebesar 23.9%.
Kesimpulan: Tingkat keberhasilan terapi pada solid/multicystic ameloblastoma dilihat berdasarkan tingkat rekurensinya, terapi secara radikal lebih baik dan dapat meminimalisir terjadinya rekurensi dibandingkan terapi secara konservatif. Tingkat keberhasilan terapi pada unicystic ameloblastoma dilihat berdasarkan tingkat rekurensinya, terapi secara radikal lebih baik dan dapat meminimalisir terjadinya rekurensi dibandingkan terapi secara konservatif.

Background: Solid/multicystic ameloblastoma is the most common type of ameloblastoma, followed by unicystic ameloblastoma. Until recently the proper management of this tumor is still controversial. Further analysis is needed as well as the latest data regarding the comparison of the success level of various surgical therapies from solid/multicystic and unicystic ameloblastoma which can be seen from the rate of tumor recurrence and long-term postoperative follow-up.
Objective: To evaluate the comparison of succes level of various surgical therapies in solid/multicystic and unicystic ameloblastoma.
Methods: This study uses a systematic review method with PRISMA guideline (Preferred Reporting Item for Systematic Reviews and Meta-Analysis). The study search was conducted using two electronic databases, Scopus and PubMed with predetermined keyword combination. Study search was conducted to find studies that discussed surgical therapy in unicystic and solid/multicystic ameloblastoma in the last 10 years.
Results: This search resulted in 643 studies, then a selection was made based on the inclusion and exclusion criteria of the study. There were 11 final studies for further analysis. There are different therapies of solid/ multicystic and unicystic ameloblastoma in all studies which can be divided into radical treatment and conservative treatment. Radical treatment of solid/multicystic ameloblastoma was found in 185 cases with 16 cases recurrence and the recurrence rate were 8.6%. Conservative treatment of solid/multicystic ameloblastoma was found in 141 cases with 54 cases recurrence and the recurrence rate were 38.3%. Radical treatment of unicystic ameloblastoma was found in 40 cases with no cases recurrence after therapy and the recurrence rate were 0.0% . Conservative treatment of unicystic ameloblastoma was found in 71 cases with 17 cases recurrences and the recurrence rate were 23.9%.
Conclusion: The success level of therapy in solid/multicystic ameloblastoma based on the recurrence rate showed that radical treatment could minimize the occurrence of recurrences compared to conservative treatment. The success level of therapy in unicystic ameloblastoma based on the recurrence rate showed that radical treatment could minimize the occurrence of recurrences compared to conservative treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nissia Ananda
"Latar Belakang: Pembentukan jaringan parut terkait dengan fibroblast yang dihasilkan selama fase proliferasi dan salah satu strategi untuk menekan pembentukannya yang berlebihan adalah dengan menggunakan bahan perawatan luka. Penggunaan obat herbal saat ini diminati karena menghindari efek samping obat sintetik dan Hydnophytum formicarum berpotensi sebagai antioksidan dan anti inflamasi. Tujuan Penelitian: Menganalisis pengaruhekstrak Hydnophytum formicarum terhadap kerapatan kolagen, angiogenesis, panjang luka, dan reepitelisasi penyembuhan luka. Metode Penelitian: 24 ekor tikus Sprague Dawley dibagi dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Luka dibuat menggunakan biopsy punch. Empat ekor tikus dari tiap kelompok di nekropsi pada hari ke 4, 7 dan 14. Analisa kerapatan kolagen, angiogenesis, panjang luka, dan reepitelisasi dilakukan menggunakan pemeriksaan hematoksilin eosin dan masson’s trichrome. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada angiogenesis, panjang luka, reepiteliasasi antar kelompok. Angiogenesis pada kelompok perlakuan memiliki jumlah yang lebih sedikit namun lebih matur. Selain itu terdapat interaksi antara pengaplikasian ekstrak Hydnophytum formicarum dan hari nekropsi terhadap kerapatan kolagen dan tingkat reepitelisasi. Kesimpulan: Penggunaan ekstrak Hydnophytum formicarum mempengaruhi pembentukkan jaringan parut yang ditunjukkan kerapatan kolagen, angiogenesis, reepitelisasi, dan panjang luka pada fase granulasi. Tidak terdapat kelainan spesifik pada luka pada kelompok perlakuan. Inhibisi angiogenesis pada aplikasiHydnophytum formicarum berhubungan dengan pembentukan jaringan parut pada luka.

Background: Formation of scar tissue associated with fibroblast and wound care material is used to suppress the formation of excessive scar tissue. Herbal medicine is currently popular because it avoids the side effects of synthetic drugs and Hydnophytum formicarum has antioxidant and anti-inflammation potential. Purpose: Analyzing the effects of Hydnophytum formicarum extract on collagen density, angiogenesis, wound length, reepithelialization in wound healing. Material and Method: 24 mice are divided in the control and treated group. Wounds were made using biopsy punch. Four rats from each group were necropsed on day 4, 7 and 14. Collagen density, angiogenesis, wound length, reepithelialization were then analyzed using hematoxylin eosin and masson’s trichrome staining. Results: There were significant differences in the results of the angiogenesis analysis, wound length, reepitheliasation between the groups. Angiogenesis in the treatment group had smaller number but more mature. There was interaction between the application of Hydnophytum formicarum extract and necropsy day on collagen density and reepithelialization rate. Conclusion: Hydnophytum formicarum extracts affected the formation of scar tissue as indicated by collagen density, angiogenesis, reepithelialization, wound length in granulation phases. Inhibition of angiogenesis in the application of Hydnophytum formicarum is related to the formation of scar tissue in the wound."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kasta Dharmawan
"Pendahuluan: Trauma maksilofasial akibat kecelakaan sepeda motor sering terjadi dan meningkat setiap tahunnya. Cranial Disruption Score (CDS), Maxillofacial Injury Severity Score (MFISS), Facial Injury Severity Scale (FISS), Facial Fracture Severity Score (FFSS), Zeeshan and Simon Model (Model ZS), dan Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan indeks keparahan trauma maksilofasial dan tingkat kesadaran yang berguna untuk memberikan perawatan dan mendapatkan prognosis bagi pasien. Akan tetapi, hubungan faktor-faktor dalam kecelakaan sepeda motor yang mempengaruhi keparahan trauma maksilofasial berdasarkan indeks-indeks tersebut belum pernah diteliti sebelumnya. Tujuan: Menganalisis hubungan faktor-faktor dalam kecelakaan, yaitu pencahayaan, kecepatan berkendara, dan penggunaan helm, terhadap keparahan trauma maksilofasial berdasarkan indeks keparahan CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, dan GCS pasien trauma maksilofasial di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tangerang periode Juni 2017 – Mei 2022. Metode: Studi dilakukan dengan menganalisis rekam medis bedah mulut di RSUD Kabupaten Tangerang periode Juni 2017 – Mei 2022. Hasil: Sebanyak 257 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) skor CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, dan GCS berdasarkan pencahayaan, kecepatan berkendara, dan penggunaan helm. Analisis multivariat menunjukan terdapat pengaruh (p<0,05) kecepatan berkendara dan penggunaan helm terhadap keparahan trauma maksilofasial berdasarkan CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, dan GCS tetapi pengaruh pencahayaan hanya terlihat pada skor MFISS dan FISS (p<0,05). Kesimpulan: Keparahan trauma maksilofasial berdasarkan CDS, FFSS, Model ZS dipengaruhi oleh kecepatan dan penggunaan helm, tetapi tidak oleh pencahayaan. Keparahan trauma maksilofasial berdasarkan MFISS dan FISS dipengaruhi oleh pencahayaan, kecepatan, dan penggunaan helm, tetapi hubungan terbalik penggunaan helm dengan FISS

Disruption Score (CDS), Maxillofacial Injury Severity Score (MFISS), Facial Injury Severity Scale (FISS), Facial Fracture Severity Score (FFSS), Zeeshan and Simon Model (ZS Model), and Glasgow Coma Scale (GCS) are indexes of severity maxillofacial trauma and level of consciousness that are useful for providing care and obtaining a prognosis for patients. However, the relationship between factors in motorcycle accidents that influence the severity of maxillofacial trauma based on these indices has never been studied before. Objective: To analyze the relationship between the factors involved in an accident, namely lighting, driving speed, and use of a helmet, on the severity of maxillofacial trauma based on the severity index of CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, and GCS in maxillofacial trauma patients at the Regional General Hospital (RSUD) ) Tangerang District for the period June 2017 – May 2022. Methods: The study was conducted by analyzing the medical records of oral surgery at the Tangerang District Hospital for the period June 2017 – May 2022. Results: A total of 257 patients who met the inclusion criteria were included in this study. There were significant differences (p<0.05) in the CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, and GCS scores based on lighting, driving speed, and helmet use. Multivariate analysis showed that there was an effect (p<0.05) of driving speed and helmet use on the severity of maxillofacial trauma based on CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, and GCS but the effect of lighting was only seen on the MFISS and FISS scores (p<0, 05). Conclusion: Severity of maxillofacial trauma based on CDS, FFSS, ZS model is affected by speed and helmet use, but not by lighting. The severity of maxillofacial trauma based on MFISS and FISS is influenced by lighting, speed, and helmet use, but there is an inverse relationship between helmet use and FISS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendi Utomo Suhandi
"Gigi impaksi merupakan kondisi patologis dimana gigi mengalami kegagalan untuk erupsi secara sempurna pada rongga mulut sesuai posisi fungsionalnya. Tatalaksana untuk gigi molar 3 impaksi adalah odontektomi, dapat dilakukan dalam anestesi lokal maupun anestesi umum atau narkose (general anesthesia). Edema merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi akibat adanya akumulasi cairan pada jaringan yang disebabkan karena pelepasan mediator inflamasi, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah pasca odontektomi gigi molar 3. Edema pasca odontektomi biasanya memuncak pada 48 jam pasca tindakan odontektomi, dan akan menurun pada hari ke 7 hingga hari ke 10 pasca odontektomi. 3D Scanner ekstra oral ini mampu menghasilkan pengukuran linear dan pengukuran volumetrik yang akurat karena mampu menampilkan pengukuran baik dari bidang aksial, sagital, dan koronal. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dengan rentang waktu penelitian Januari 2024-Maret 2024. Berdasarkan analisa sampel pada penelitian ini memiliki responden terbanyak dengan interval usia 18 hingga 40 tahun. Scan pasien dilakukan pada hari pertama dilakukannya odontektomi (H0), hari ke-2 (H2) dan hari ke-7 (H7) sejak tindakan odontektomi dengan narkose dilaksanakan. Scan subjek dianalisis menggunakan software Simplify3D® 4.0 dan 3D Builder. 1. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p<0.001) evaluasi edema pada wajah pasca odontektomi gigi molar tiga impaksi dengan narkose yang dinilai dengan 3D Scanner ekstra oral. Terjadi kenaikan pada hari ke-2 dibandingkan dengan hari ke-0, serta penurunan kembali di hari ke-7 bila dibandingkan dengan hari ke-2 hingga mendekati pengukuran awal di hari ke-0. Penelitian ini menjadi pilot study pengukuran dengan reliabilitas dan keakuratan tinggi menggunakan scanner 3D ekstraoral.

Impacted teeth are a pathological condition where teeth fail to erupt properly in the oral cavity in their functional position. The management for impacted third molars involves a procedure called odontectomy, which can be performed under local anesthesia or general anesthesia. Edema is one of the complications that may occur due to the accumulation of fluid in tissues caused by the release of inflammatory mediators, vasodilation, and increased capillary permeability post-odontectomy of third molar teeth. Edema post-odontectomy typically peaks at 48 hours after the procedure and decreases by days 7 to 10 post-odontectomy. Extraoral 3D scanner is capable of producing accurate linear and volumetric measurements because it can display measurements from axial, sagittal, and coronal planes. This study was conducted at the University of Indonesia Hospital (RSUI) within the timeframe of January 2024 to March 2024. Based on sample analysis in this study, the majority of respondents fell within the age range of 18 to 40 years old. Patient scans were performed on the day of odontectomy (H0), on day 2 (H2), and on day 7 (H7) following odontectomy with anesthesia. Subject scans were analyzed using Simplify3D® 4.0 and 3D Builder software. 1. According to the research findings, there was a very significant difference (p<0.001) in the evaluation of edema on the face post-odontectomy of impacted third molar teeth with general anesthesia as assessed by the extraoral 3D scanner. There was an increase on day 2 compared to day 0, followed by a decrease on day 7 compared to day 2, approaching the initial measurement on day 0. This study serves as a pilot study for measurements with high reliability and accuracy using an extraoral 3D scanner."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Yulian Fitriani
"Pendahuluan: Celah orofasial (COF) memerlukan perawatan palatoplasti untuk menutup fistula yang terdapat di palatum. Akan tetapi, pembentukan jaringan parut di area operasi berkaitan erat dengan gangguan pertumbuhan. Modifikasi teknik bedah dan pendekatan farmakologi telah diteliti untuk mengetahui efeknya terhadap pembentukan jaringan parut dan keberhasilan palatoplasti. Ikan gabus, Channa striata, merupakan salah satu ikan endemik Asia Tenggara yang secara empiris dipercaya dapat membantu penyembuhan, terutama pascamelahirkan. Sejumlah penelitian telah menunjukan efek dari ekstrak Channa striata terhadap penyembuhan luka, namun belum ada penelitian pada penyembuhan luka di palatum tikus. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek ekstrak Channa striata terhadap penyembuhan luka di palatum tikus secara histologis. Metode: Sebanyak 36 tikus Sprague dawley dibuatkan luka pada palatum dengan metode punch biopsy. Dari 36 tikus tersebut, dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dengan kombinasi topikal dan peroral ekstrak Channa striata, kelompok kontrol positif diberi gel gengigel dan suplemen vitamin C, dan kelompok kontrol negatif dirawat dengan gel tanpa bahan aktif. Kemudian dilakukan pengamatan pada hari ke-3, -7, dan - 14 setelah perlakuan secara klinis untuk mengamati luas luka mikroskopik. Sebanyak 4 tikus dari masing-masing perlakuan dinekropsi pada setiap hari pengamatan untuk dibuatkan preparat pengamatan histologis. Pewarnaan hematoksilin dan eosin dilakukan untuk mengamati panjang luka mikroskopik, reepitelisasi, dan angiogenesis, sedangkan pewarnaan Masson’s trichrome digunakan untuk mengamati kerapatan kolagen. Hasil dan Pembahasan: Pada hasil pengamatan ukuran luka, didapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) ukuran luka makroskopik pada hari ke-3 dan -14, reepitelisasi pada hari ke -7 dan -14, dan kerapatan kolagen pada hari ke-14. Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan bermakna antarperlakuan pada pengamatan panjang luka mikroskopik dan angiogenesis. Ekstrak Channa striata terbukti dapat berdampak pada penyembuhan luka di palatum tikus. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa pemberian ekstrak Channa striata topikal dan peroral dapat mengurangi ukuran luka tikus, meningkatkan tingkat reepitelisasi, meningkatkan kerapatan kolagen, dan meningkatkan angiogenesis secara signifikan pada beberapa titik waktu yang diukur, tetapi efektivitasnya lebih rendah daripada gel gengigel dan vitamin C.

Introduction: Orofacial clefts (OFC) require palatoplasty treatment to close the fistulae present in the palate. However, scar tissue formation at the surgical site is closely associated with growth disturbance. Modification of surgical techniques and pharmacological approaches have been investigated for their effects on scar tissue formation and palatoplasty success. Snakehead fish, Channa striata, is one of the fish endemic to Southeast Asia that is empirically believed to aid healing, especially postpartum. A number of studies have shown the effect of Channa striata extract on wound healing, but there has been no study on wound healing in the palate of rats. This study aims to look at the effect of Channa striata extract on wound healing in the rat palate histologically. Methods: A total of 36 Sprague Dawley rats were wounded on the palate by punch biopsy method. The 36 rats were divided into 3 groups, namely the treatment group with topical and peroral combination of Channa striata extract, the positive control group was given gengigel gel and vitamin C supplement, and the negative control group was treated with gel without active ingredients. Then observations were made on day-3, -7, and -14 after clinical treatment to observe the microscopic wound area. A total of 4 rats from each treatment were necropsied on each observation day to make histological observation preparations. Hematoxylin and eosin staining was performed to observe microscopic wound length, re-epithelialization, and angiogenesis, while Masson's trichrome staining was used to observe collagen density. Results and Discussion: In the observation of wound size, there was a statistically significant difference (p<0.05) in macroscopic wound size on days 3 and 14, re-epithelialization on day 7 and 14, and collagen density on day 14. On the other hand, there was no significant difference between treatments in the observation of microscopic wound length and angiogenesis. Channa striata extract was shown to have an impact on wound healing in the rat palate. Conclusion: Based on this study, it was shown that topical and peroral administration of Channa striata extract can reduce the size of rat wounds, increase the rate of re-epithelialization, increase collagen density, and enhance angiogenesis significantly at several time points measured, but its effectiveness is lower than gengigel gel and vitamin C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library