Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gede Eka Ari Wirawan
Abstrak :
Latar Belakang : Hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada analgesia spinal. khususnya pada pasien obstetrik. Hipotensi terjadi karena blok simpatis. Salab satu cara untuk menurunkan insiden hipotensi adalah dengan menurunkan dosis obat analgetika lokal dan kombinasi dengan opioid untuk analgesia infra dan postoperatif. Fentanil intratekal memiliki rnula kerja yang lebih cepat dibanding morfin dan memberikan analgesia postoperatif yang cukup singkat. Intratekal fentanil menurunkan ketidaknyarnanan ibu intraoperatif saat penarikan peritonium atau manipulasi uterus. Metode : 86 ibu hamil yang akan menjalani operasi bedah sesar elektif maupun darurat dibagi secara random dalam 2 kelompok. Kelompok I diberikan 10 mg bupivakain 0.5;o hiperbarik plus 12,5 gig fentanil dan Kelompok 11 diberikan 12,5 mg bupivakain 0.5% hiperbarik. Tinggi hambatan maksimal, masa kerja dan masa pulih sensori diuji menggunakan uji pin-prick. Mula kerja, mass kerja dan masa pulih motorik dinilai dengan skala Modifikasi Bromage. Tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas dicatat setiap 2 menit dalam 20 menit pertama. Insiden hipotensi. mual muntah_ pruritus dan depresi nafas dicatat. Hasi1 : Data demografik dan data dasar tidak berbeda bermakna. Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kelompok fentanil dan kontrol (39,5% banding 48.8%;p>0.05). Median tinggi maksimal blok sensori tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (T5: p>0.05). Masa kerja dan masa pulih hambatan sensori Iebih lama pada kelompok fentanil dibanding kontrol (104,21±29,199 vs 72,60±19,538 menit; 153.21±30.671 vs 124,88±21,001 menu ; p<0.05). Masa kerja dan masa pulih hambatan motorik lebih singkat pada kelompok fentanil dibanding kontrol (99.44120.466 vs 65.95=17.845 menit ; 49.60±18.611 vs 114.14±11.823 menit : p<0,05). Insiden muai muntah tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Tidak ada pasien pada kedua kelompok mengalami insiden depresi nafas. Insiden pruritus berbeda bermakna (p>0,05). Kesimpulan : Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Dosis bupivakain yang lebih rendah akan menyebabkan masa kerja blok motorik lebih singkat tanpa berpengaruh pada blok sensori. Penambahan fentanil- intratekai _akan memperpanjang masa kerja hambatan sensori. Insiden pruritus berbeda bermakna pada kelompok fentanil jika dibandingkan dengan kelompok bupivakain.
Backgrounds : Hypotension was the most common complication ,franc spinal analgesia. especially in obstetric patients. Hypotension developed because of svmpatlretic blockade. One method to reduced hi pnten.vwn incidence in caesarean .section was two reduced the doses of local atutlge& drugs and combined with opioul for infra and post operative analgesia. hrtratltecal lipophilic opioid had faster onset of sensory blockade than nrorfne and produced a brief post operative analgesia. Intrathecal feuitanvl decreased maternal discomfort intraoperatively when peritoneum pulled or uterus exrerioration. Methods : 86 parturients undergoing elective or emergency cesarean section were randomized into one of 2 groups. In group I, spinal analgesia bras performed with 111 mg 0,5% hyperbaric hupivacaine plus /2,5 pg fenianyl and in Group 11 with 12,5 mg 0,5% hyperbaric hupiracain. the max/man season. blockade, duration of analgesia and recovery time were test using pin-prick test. Onset, duration and recovery of motor block were assessed using modified 1lromage scale. Blood pressure. heart rate and respiration rare were recorded even' 2 minute in f rst 20 minutes. The incidence of hypotension, nausea vomiting. pruritus and respiratory depression were recorded. Results : "There were no significant differences in demographic and baseline value. Incidence of hypotension did not significantly different between fentanyl group and control (39,5% versus 48,8%: p-° 0.115). Tire median maximum block height did not significantly different between two groups (75 ; p 0.05). Duration of analgesia and sensory recovery time was significantly longer in fentonvl group compared to control (104,21-29.199 vs 72.60=19,538 minute 153,21=30.67I vs 124,88=21,001 minute : p<0,05). Onset of motor blockade did not significantly different between two groups. Duration and recovery time of motor blockade was more, shorter in fentanyl group compared to control (99,44=20,466 vs 65,95=17,845 minute ; 49,60,18,611 vs 114,14 -11.823 minute p<0,05). Incidence of nausea and vomiting did not significantly different between two groups. None of the patient in hnt11 groups had respiratory depression episode. Pruritus incidence significantly different (p. (1,05). Conclusion : Incidence of hypotension did not significantly different between two groups. Smaller doses of bupivacaine results--more shorter time of-motor-blockade with no effect on sensory block. Adding fenianyl intrathecally will prolong the duration of analgesia. Pruritus incidence signifcanl/y different with intrathecal fentanyl when compared with bupivacaine alone.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gusno Rekozar
Abstrak :
Nyeri pasca bedah adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi pasien. Kenyamanan pasien adalah hal yang utama sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode pasca bedah. Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi tubuh; berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, mobilisasi yang terhambat, kecemasan, takut dan gangguan tidur. The Agency for Health Care Policy and Research dari Departement of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, di mana bila tidak didapatkan kontraindikasi, terapi farmakologi untuk nyeri pasca bedah ringan-sedang harus dimulai dengan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan, dan tidak mempengaruhi fungsi usus dan kandung kemih. Pemberian obat untuk mengatasi nyeri dapat diberikan dalam berbagai cara seperti oral, suppositoria, transmukosa, intramuscular, intravena (intermitten atau kontinyus), dan regional analgesia, serta blok saraf perifer. Analgesia balans adalah cara pengelolaan nyeri pasca bedah yang bersifat multidrug di mana proses nyeri ditekan pada tiga tempat yaitu, transduksi dengan obat NSAID, transmisi dengan anestesi lokal dan modulasi dengan opioid. Ketorolac adalah salah satu analgetik NSAID yang sering diberikan kepada pasien pasca operasi dengan tingkat nyeri yang tinggi. Hasil yang dicapai dengan pemberian analgetik ini memuaskan. Efek analgetik ketorolac sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pemapasan. Hal inilah salah satu sebab dipilihnya ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti inflamasi sedang, Paul F White melaporkan bahwa pemberian ketorolac menurunkan tingkat kebutuhan fentanil pasta operasi sampai 32 %. Dalam peneltian Etches disebutkan bahwa pemberian ketorolac menghilangkan nyeri dengan baik dan menurunkan tingkat kebutuhan morfin sampai 35 % dibandingkan plasebo. Terdapat suatu kepercayaan bahwa obat yang pertama kali keluar (launching), yang biaya disebut original product, adalah yang terbaik. Sebaliknya ada pula yang berpendapat obat sejenis yang dikeluarkan kemudian, me too drug, adalah yang terbaik. Di lain pihak seringkali original product jauh lebih mahal dibanding obat yang dikeluarkan berikutnya. Dalam hal ketorolac yang akan dibandingkan ini, harga ketorolac original tiga kali sampai empat kali lipat obat me too drug-nya. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keefektifan antara keduanya, maka penelitian ini akan menjawabnya.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bram
Abstrak :
Latar belakang : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pemberian cairan Ringer laktat dan cairan Ringer asetat dalam mencegah hipotermia dan menggigil yang terjadi pada wanita hamil yang menjalani operasi sesar dengan analgesia spinal. Metode : Seratus tiga puluh empat pasien yang menjalani operasi sesar menggunakan analgesia spinal di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, diberikan cairan Ringer laktat dan cairan Ringer asetat. Perubahan suhu membran timpani, perubahan suhu perifer dan kekerapan serta derajat menggigil dinilai sampai 50 menit setelah operasi dimulai. Hasil : Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,003) antara penurunan suhu membran timpani di antara kedua kelompok, kelompok yang mendapatkan cairan Ringer asetat mengalami penurunan suhu sebesar 0,730°C, sementara kelompok yang mendapatkan cairan Ringer laktat mengalami penurunan suhu sebesar 1,013°C. Perubahan suhu perifer diantara kedua kelompok juga berbeda bermakna (p=0,005), kelompok yang mendapatkan cairan Ringer asetat mengalami penurunan suhu perifer 0,724°C, sementara kelompok yang mendapat cairan Ringer laktat mengalami penurunan 0,964°C. Kejadian menggigil diantara kedua kelompok berbeda berakna (p=0,012), kejadian menggigil kelompok Ringer asetat 52,23% sementara kelompok Ringer laktat 74,62%. Tidak terdapat perbedaan bermakna derajat meggigil diantara kedua kelompok. Kesimpulan : Bahwa pemberian cairan Ringer asetat lebih efektif mencegah hipotermia dan menggigil pada pasien yang menjalani operasi sesar dengan analgesia spinal
Background: The aim of this study is to determine the efficacy of lactated Ringer and acetated Ringer solutions in preventing hypothermia and shivering to parturitions women undergoing caesarean section using spinal analgesia. Methods: One hundred thirty four parturitions women undergoing caesarean sections using spinal analgesia in emergency operating theatre of Cipto Mangunkusumo Hospital were included in this study. Those parturitions women were divided into two groups. One group received lactated Ringer solution and the other received acetated Ringer solution intravenously as maintenance and co-loading fluid. Tympanic membrane temperature and skin temperature were recorded every five minute within 50 minute interval. Results: There was significant difference (p=0,003) between two groups in tympanic membrane temperature decrease. Acetated Ringer group had 0,730°C decrease in tympanic membrane temperature, while the lactated Ringer group had 1,013°C decrease. There was significant difference (p=0,005) between two groups in skin temperature. Acetated Ringer group had 0,724°C decrease in skin temperature, while the lactated Ringer group had 0,964°C decrease. Shivering incidence also show significant difference (p=0,412). Acetated Ringer group had 52,23% incidence while lactated Ringer group had 74,62%. There were no significant differences in shivering grade between two groups. Conclusions: Acetated Ringer solution had greater efficacy in preventing hypothermia and shivering in parturitions women undergoing caesarean section using spinal analgesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
Abstrak :
Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia. Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safroni
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang. Fentanil merupakan analgetik opioid yang hampir selalu digunakan sebagai co-induksi di ruang operasi. Namun penggunaan fentanil intravena bisa menimbulkan batuk yang dikenal juga dengan istilah fentanylinduced cough (FIC). Batuk merupakan hal yang tidak diinginkan pada saat induksi karena bisa menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, tekanan intraokular dan tekanan intraabdominal. Kejadian FIC salah satunya dihubungkan dengan kecepatan penyuntikan fentanil. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kecepatan penyuntikan fentanil 5 detik dan 20 detik terhadap angka kejadian dan derajat FIC pada pasien ras Melayu yang menjalani anestesia umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien ras Melayu yang menjalani operasi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April sampai Juni 2015. Sebanyak 124 subyek diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok (kelompok kecepatan 5 detik dan kecepatan 20 detik). Pasien secara random diberikan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi dengan kecepatan penyuntikan 5 detik atau 20 detik. Insiden dan derajat FIC dicatat pada masing-masing kelompok. Derajat FIC dibagi berdasarkan jumlah batuk yang terjadi, yaitu ringan (1-2 kali), sedang (3-5 kali) dan berat( >5 kali). Analisis data dilakukan dengan uji Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji alternatif. Hasil. Insiden FIC berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana lebih rendah pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik, 8.07% vs 29.03% (p=0.003). Derajat FIC secara klinis lebih rendah pada kelompok 20 detik (ringan 4.84%, sedang 3.23% dan berat 0%) dibandingkan kelompok 5 detik (ringan 20.96%, sedang 3.23% dan berat 4.84%), namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0.131). Simpulan. Insiden dan derajat FIC lebih rendah pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik pada penggunaan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi.
ABSTRACT
Background. Fentanyl, a analgesic opioid, commonly used by anaesthesiologists in the operating room as co-induction. However, co-induction intravenous fentanyl bolus is associated with coughing that known as fentanyl-induced cough (FIC). Coughing during anesthesia induction is undesirable and is associated with increased intracranial, intraocular, and intraabdominal pressures. Incidence of FIC associated with injection rate of fentanyl. The aim of this study to compare injection rate of fentanyl between 5 seconds and 20 seconds to incidence and severity of FIC at Melayu race patients that underwent general anesthesia in Cipto Mangunkusumo hospital. Methods. This was a double blind randomized study at Melayu race patients that underwent scheduled operation in general anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital between April and June 2015. A total of 124 subjects were included in the study by consecutive sampling and divided to 2 groups (5 seconds or 20 seconds group). Patients were randomized to receive co-induction fentanyl 2 mcg/kg body weight with rate of injection either 5 second or 20 seconds. The incidence and severity of FIC were recorded in each group. Based on the number of coughs observed, cough severity was graded as mild (1?2),moderate (3?5), or severe (>5) . Data were analyzed by Chi-square and Kolmogorov-Smirnov test. Results. Incidence of FIC was significantly different between two groups, lower in the 20 seconds group compared with the 5 seconds group, 8.07% vs 29.03% (p=0.003). The severity of FIC in clinically was lowerin the 20 seconds group (mild 4.84%, moderate 3.23% and severe 0%) compared with the 5 seconds group (mild 20.96%, moderate 3.23% and severe 4.84%)but in statistically was not different significantly (p=0.131). Conclusion. Incidence and severity of FIC was lower in the20 seconds group compared with the 5 seconds group in regimen of fentanyl injection 2 mcg/kg body weight as co-induction.
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tomasowa, Judith Marilyn
Abstrak :
Tesis ini secara khusus mengulas jaminan kualitas, sertifikasi dan penerapan spesifikasi teknis dalam perdagangan internasional, terutama di pasar Eropa. Kini jaminan kualitas dan sertifikasinya merupakan faktor kunci strategi pemasaran telah menjadi topik hangat di permbicaraan WTO. Hal ini disebabkan karena jaminan kualitas dan sertifikasinya dapat digunakan untuk menghambat perdagangan babas. Dimana kemudian hari, jika terjadi proteksi, maka proteksi tersebut akan mengancam daya saing pasar domestik negara yang bersangkutan di persaingan global. Uni Eropa dalam rangkaian pilar kesatu dan kedua, Community and CFSP, berusaha untuk mengamankan kepentingan domestiknya, dengan meciptakan Neighboring Countries Policies, serta Growth and Stability Pact guna memicu pertumbuhan ekonomi yang stabil di kawasan sekitar Eropa. Uni Eropa, sekarang telah menjadi salah satu keltuatan ekonomi terbesar setelah Amerika Serikat dan Jepang. Uni Eropa lebih banyak terfokus pada negara-negara Afrika, ketimbang negara-negara Asia dan Pasifik area. Berbeda dengan Amerika Serikat dan Jepang yang bergerak aktif di region tersebut. Oleh karena itu, Uni Eropa saat ini sedang berada pada ancarnan potensial menjadi "outsider" di wilayah Asia dan Pasifik. Saat ini, Uni Eropa telah memberikan fasilitas perdagangan tidak hanya ke negara-negara Afrika, namun juga ke negara-negara Asia dan Pasifik. Hal ini dilakukan untuk merangkul lebih dekat negara-negara Asia dan Pasifik, termasuk salah satunya Indonesia. Uni Eropa dan negara-negara ASEAN, dan asia lainnya mernbentuk sebuah forum ASEM yang bertujuan menjebatani perbedaan keduabelah pihak baik secara ekonomi, budaya, hukum, dsb, guna mencapai kesepakatan bersama dalam terapan bisnis, hukum dan kerja sama lainnya di bidang lain. Hal ini tidak terlepas dari rangkaian kesepakatan dan diskusi WTO dan PBB. Oleh sebab itu, tesis ini berfokus pada bagaimana menggunakan fasilitas perdagangan yang diberikan Uni Eropa secara maksimal untuk menembus pasar Eropa daengan menggunakan celah sertifikasi dan standard kualitas export ke Eropa dalam sektor komponen automotive. Demikian tidak hanya perusahaan yang berasal dari Indonesia saja, namun perusahaan yang berasal dari Amerika Selatan, Eropa Timur dan negara Asia lainnya pun berlomba-lomba menggunakan celah tersebut untuk menembuh pasar Eropa_ Tak cuman itu, tesis ini juga memberikan dual paradigma celah kualitas tersebut yang merupakan celah yang dapat berguna bagi produsen dan pemerintah Indonesia, namun juga dapat menjadi bumerang bom waktu yang jika kita menjadi lengah, kita akan tertinggal jauh dibandingkan pesaing-pesaing Indonesia yang saat ini sedang menggalakkan standardisasi, sertifikasi dan pemasaran dalam berbagai negosiasi perdagangan akses pasar secara internasional. Dan untuk memberikan pembelajaran lebih jelas, penulis mengangkat studi kasus dari PT Selamat Sampurna, tbk, yang merupakan perusahaan komponen automotive Indonesia yang telah aktif mengekspor ke pasar Eropa.Dan telah berhasil menembus pasar produk automotive Jerman, yang merupakan pasar automotive terbesar di Uni Eropa. Serta juga mengangkat daya export negara-negara pesaing Indonesia dalam mengekspor ke pasar Eroppa, khususnya dari Eropa Timur yang baru saja bergabung dengan Uni Eropa.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T 20795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Hafni
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang. Target Control Infusion (TCI) yang digunakan untuk propofol saat ini adalah Marsh dan Schneider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efisiensi propofol antara aplikasi TCI rumusan Marsh dan rumusan Schneider pada pasien ras Melayu di RSCM. Efisiensi propofol dinilai dari total dosis propofol yang digunakan, lama waktu sampai tercapainya LoC (Loss of Conciousness) dan efek samping yang terjadi. Metode. Subyek sebanyak 54 pasien, dirandomisasi menjadi 2 kelompok, 27 pasien menggunakan TCI rumusan Marsh dan 27 pasien menggunakan TCI rumusan Schneider. Target konsentrasi plasma (Cp) 4,2μg/ml unruk rumusan Marsh dan 6μg/ml untuk Schneider. dinilai kesadaran subyek, bila Cp awal telah tercapai selama 1 menit namun pasien masih sadar, target Cp dinaikkan 0,5μg/ml tiap 30 menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC). Hasil. Total dosis propofol yang digunakan sampai tercapainya LoC dengan TCI rumusan Marsh 1,50±0,34 mg/kg dan yang menggunakan TCI rumusan Schneider 1,74±0,29 mg/kg. Lama waktu yang diperlukan sampai tercapainya LoC dengan rumusan Marsh 104,58±28,00 detik dan dengan rumusan Schneider 173,48±28,94 detik. Pasien yang menggunakan TCI rumusan Marsh mengunakan total dosis yang lebih sedikit dengan p<0,05 dan waktu yang lebih singkat sampai tercapainya LoC dengan p<0,05. Tidak ditemukan adanya perbedaan efek samping antara kedua aplikasi tersebut. Kesimpulan. Tidak ada aplikasi TCI yang lebih efisien antara Marsh dan Schneider.
ABSTRACT
Background. Target Control Infusion (TCI) were used for the current propofol is Marsh and Schneider. This study compare the efficiency propofol using Marsh and Schneider TCI application for Malay race patients in RSCM. Efficiency of propofol assessed total propofol dose used, the length of time to reach the LoC (Loss of Conciousness) and the side effects that occur. Methods. The subject are 54 patients, randomized into 2 groups, 27 patients using the TCI Marsh formulation and 27 patients using the TCI Schneider formulation. Target plasma concentrations (Cp) 4.2 mg / ml for Marsh group and 6μg/ml for Schneider group then we assessed the patient’s awareness. If initial Cp had been achieved for 1 minute but the patient is still conscious, target Cp was increased 0.5 ug / ml every 30 minutes until the patients was unconscious (LoC). Results. Total dose of propofol had been used to achieve LoC in Marsh group was 1.50 ± 0.34 mg / kg, and for Schneider group was 1.74 ± 0.29 mg / kg. The length of time needs to reach the LoC in Marsh group was 104.58 ± 28.00 seconds and Schneider group was 173.48 ± 28.94 seconds. Patients in Marsh group used less total dose and had shorter time to reach the LoC than in Schneider group (p <0.05). There are no differences in side effects between the two groups. Conclusion. No applications of TCI are more efficient between Marsh and Schneider.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Alexander Samuel
Abstrak :
Latar belakang: Blok paravertebral torakal merupakan salah satu modalitas dalam tatalaksana nyeri operasi daerah torakal. Terdapat beberapa pilihan teknik salah satunya teknik loss of resitance dan metode jumlah tempat penyuntikan. Penyebaran zat anestetik lokal pada blok paravertebral torakal masih merupakan kontroversi. Metode: 14 kadaver segar yang menjalani pemeriksaan dalam di kamar jenazah, akan dipisahkan menjadi 2 kelompok penyuntikan. 7 kadaver dalam kelompok pertama akan mendapatkan penyuntikan zat pewarna metilen biru 1% 20mL blok paravertebral teknik loss of resistance 1 titik pada segmen T4. 7 kadaver dalam kelompok kedua akan mendapatkan penyuntikan zat pewarna metilen biru 1% masing-masing 10 mL blok paravertebral teknik loss of resistance pada 2 titik segmen T2 dan T5. Dinilai penyebaran zat pewarna pada segmen paravertebral ke arah kranial dan kaudal, interkostal, dan pada ruang pleura. Hasil : Dijumpai zat pewarna metilen biru terpapar di ruang paravertebral pada semua kadaver. Pada kelompok 1 titik penyuntikan didapatkan median total segmen paravertebral yang terpapar zat pewarna metilen biru 1 % adalah 3 segmen (2-5 segmen) berbeda secara statistik bila dibandingkan kelompok 2 titik penyuntikan yaitu 5 segmen (4-5 segmen) (p=0,004). Didapatkan bahwa pada kelompok penyuntikan 1 titik median jumlah segmen interkostal yang terpapar zat pewarna metilen biru adalah 2 segmen (1-2 segmen) yang tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok penyuntikan 2 titik yaitu 2 segmen (1-2 segmen) (p=0,591). Pada pemeriksaan dalam tidak didapatkan zat pewarna metilen biru (0%) di rongga pleura pada semua subjek kadaver. Kesimpulan: Blok paravertebral teknik loss of resistance 2 titik penyuntikan dan 1 titik penyuntikan memberikan angka keberhasilan yang baik (100%). Blok paravertebral torakal teknik loss of resistance pada kadaver dengan dua titik penyuntikan memberikan pemaparan zat pewarna metilen biru pada segmen paravertebral yang lebih luas dibandingkan dengan satu titik penyuntikan dan tidak berbeda dengan penyebaran interkostal. ......Background: Thoracic paravertebral block is one of modality in pain management for thoracic surgery area. There are several techniques such as the loss of resistance techniques and the total injection site. The spread of the local anesthetic agent on thoracic paravertebral block is still a controversy. Methods: 14 fresh cadavers underwent examination at the mortuary, had been separated into two groups. 7 cadavers in the first group had received single injection of paravertebral block with loss of resistance technique using 20 ml methylene blue dye 1% at T4. 7 cadavers in the second group will get a dual injection paravertebral block with loss of resistance technique using methylene blue 1% 10 mL for each injection at T2 and T5. The spread of dye then were evaluated during dissection of cadaver at the cranial and caudal from injection site in paravertebral space , at intercostal and pleural space. Results: Methylene blue dye was present in paravertebral space at all cadavers. Methylene blue dye was found spreading across median total 5 paravertebral segments (range, 4–5) in dual injection group, statistically different with single injection group (median 3 segments , range, 2-5 segments ,p= 0.004). Methylene blue dye was also found spreading in median 2 intercostal segments (range 1-2 segments) in dual injection group, not significantly different from single injection group (median 2 segments, range 1-2 segments, p = 0.591). In both group, there were no spreading of methylene blue dye found in pleural space. Conclusion: Dual injection sites and single injection site of paravertebral block with loss of resistance technique on cadaver had shown good successful rate. Dual injection site thoracic paravertebral block with loss of resistance technique showed a statistically significant better spread of methylene blue dye at the paravertebral segments than the single point injection site thoracic paravertebral block in cadaver with no difference in intercostal spreading.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Meison Hardi
Abstrak :
Latar Belakang: Pemasangan Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) merupakan prosedur invasif terbanyak yang dilakukan di rumah sakit dan merupakan prosedur yang paling sering menyebabkan rasa nyeri pada pasien. Prosedur yang berkaitan dengan jarum akan menyebabkan kecemasan, rasa takut dan trauma pada pasien, baik pasien anak maupun dewasa. EMLA merupakan campuran antara krim lidokain dan prilokain yang dicampurkan dengan perbandingan 1:1 (2.5% : 2.5%), akan menghasilkan campuran eutektik. Banyak penelitian klinis yang menyatakan bahwa EMLA memiliki efek analgesia pada prosedur pungsi vena dan pemasangan PIVC baik pada pasien anak maupun dewasa. VAD dikembangkan berdasarkan teori gate-control of pain yang bekerja dengan cara menimbulkan sensasi getar pada kulit yang akan menurunkan atau menghilangkan transmisi nyeri ke otak. Metode: Penelitian ini adalah uji eksperimental tidak tersamar pada pasien yang akan direncanakan menjalani pembedahan mata di kamar operasi Kirana RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo selama bulan September – Oktober 2018. Sebanyak 56 subjek diambil dengan metod consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok. Pasien secara acak dilakukan pemasangan PIVC dengan bantuan Vibration Anesthesia Device (VAD) atau dengan krim campuran eutektik (EMLA). Keefektifan akan dinilai dari skala nyeri visual analog scale (VAS) nyeri dan perbedaan frekuensi nadi sebelum dan sesudah dilakukan tindakan. Analisis data dilakukan dengan uji T dan Mann Whitney. Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam skala VAS yang dilaporkan oleh subjek dari kelompok VAD 13.65 (10.25 -18.17) dan EMLA 12.57 (8.97 – 17.61) dengan nilai p=0.706. Perubahan frekuensi nadi antara kedua kelompok juga menunjukkan adanya perbedaan yang tidak signifikan (p=0,557). Namun, didapatkan peningkatan frekuensi nadi yang lebih tinggi pada kelompok VAD 2 (-3 – 19 ) dibandingkan kelompok EMLA 2 (-3 – 16 ). Simpulan: VAD sama efektif dibandingkan dengan EMLA dalam mengurangi nyeri pada pemasangan Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) ......Background: Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) is the most invasive procedure carried out in a hospital and is the procedure that most often causes pain in patients. Needle-related procedures will cause anxiety, fear and trauma in patients, both pediatric and adult patients. EMLA is a mixture of lidocaine cream and prilocaine mixed with a ratio of 1: 1 (2.5%: 2.5%), which will produce an eutectic mixture. Many clinical studies have stated that EMLA has analgesic effects on venous puncture procedures and the insertion of PIVC in both pediatric and adult patients. VAD was developed based on the gate-control of pain theory that works by causing a vibrating sensation on the skin which will reduce or eliminate pain transmission to the brain. Methods: This is an experimental study that is not disguised in patients who are planned to undergo eye surgery in the Kirana operating room, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital during September - October 2018. A total of 56 subjects were taken by consecutive sampling method and divided into 2 groups. Patients were randomly assigned to PIVC insertion with Vibration Anesthesia Device (VAD) or with eutectic mixed cream (EMLA). Effectiveness will be assessed from pain visual analog scale (VAS) and heart rate frequency differences before and after insertion. Data analysis was performed by T-Test and Mann Whitney test. Results: There were no significant differences in the VAS scale reported by subjects from the VAD group 13.65 (10.25 -18.17) mm and EMLA group 12.57 (8.97 - 17.61) mm with p = 0.706. Changes in pulse frequency between the two groups also showed no significant differences (p = 0.557). However, there was a higher increase in pulse frequency in the VAD 2 group (-3 - 19) compared to the EMLA 2 group (-3 - 16). Conclusion: VAD is equally effective compared to EMLA in reducing pain in Peripheral Intravenous Catheter (PIVC) insertion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>