Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Henny Sutji Tresnowati
Abstrak :
Dalam menghadapi era pembangunan global, Indonesia harus mampu melaksanakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam penggunaan sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya pesisir. Walaupun sumberdaya pesisir dan laut tergolong dalam sifat yang terus menerus ada dan dapat diperbaharui oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia, namun penggunaan sumberdaya alam ini haruslah seefektif mungkin untuk menjamin manfaatnya secara jangka panjang. Sumberdaya pesisir dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan, namun pemanfaatan secara besar-besaran dan kurang bertanggungjawab dapat mengurangi pertumbuhannya sehingga dikhawatirkan dapat menjadi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Kenyataannya, pembangunan sumberdaya pesisir selama ini banyak berdampak negatif, seperti degradasi fisik, kerusakan hutan mangrove, terumbu karang dan habitat pesisir lainnya, serta gejala over fishing yang dapat mengancam kapasitas lestari ekosistem laut dan pesisir. Perlindungan ekosistem hutan mangrove perlu dilakukan untuk mencegah tingkat kerusakan yang lebih parah, terutama dari konversi hutan mangrove untuk kegiatan ekonomi masyarakat. Pemerintah perlu mengembangkan strategi terpadu dengan mempertimbangkan faktor ekonomi lingkungan, dengan cara menghitung nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove, termasuk hutan mangrove yang telah dimanfaatkan sebagai usaha tambak perikanan. Pola tumpangsari yang telah berkembang di daerah Jawa Barat dapat menjadi alternatif untuk dikembangkan di daerah Jawa Timur guna menyeimbangkan ketiga faktor utama dalam menopang pembangunan berkelanjutan, yaitu : ekonomi, sosial dan lingkungan. Kegunaan penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pemanfaatan daerah pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove. Selain itu, diharapkan juga dapat menjawab rumusan permasalahan yang ada, yaitu sejauh mana manfaat ekologi dan ekonomi dari ekosistem hutan mangrove yang diupayakan untuk usaha tambak dengan pola tumpangsari dibandingkan dengan tanpa pola tumpangsari dan bagaimana pendapat dan peranan masyarakat terhadap pola usaha tumpangsari tersebut. Tujuan pelaksanaan penelitian ini, antara lain adalah untuk mempelajari manfaat ekologi dan manfaat ekonomi ekosistem hutan mangrove untuk usaha tambak dengan pola tumpangsari dibandingkan dengan tanpa pola tumpangsari dan mempelajari serta mengkaji pendapat dan peranan masyarakat mengenai pola tumpangsari dalam upaya pelestarian hutan mangrove. Hipotesis yang diajukan pada dasarnya adalah ingin membuktikan bahwa pemanfaatan ekosistem hutan mangrove sebagai usaha tambak dengan pola tumpangsari lebih layak dan menguntungkan karena ada keseimbangan dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial dibandingkan dengan usaha tambak tanpa pola tumpangsari guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Nilai ekonomi sumberdaya hutan mangrove dapat dilihat dari Nilai Ekonomi Total yang dapat dihitung berdasarkan akumulasi seluruh manfaat yang diperoleh dikurangi dari seluruh biaya yang timbul. Pendekatan untuk penilaian dengan melakukan analisis kelayakan ekonomi dan lingkungan secara terpadu (extended benefit costs analysis). Tekniknya dengan menggunakan penilaian harga pasar dari segala manfaat dan biaya yang secara langsung dirasakan berkaitan dengan usaha tambak perikanan dan dengan adanya keberadaan hutan mangrove. Variabel yang diamati adalah: ekosistem hutan mangrove (dinyatakan dalam biaya mangrove dan manfaat mangrove), serta usaha tambak perikanan (dinyatakan dalam biaya investasi, biaya tetap, biaya pembelian benih, biaya pembelian pupuk / pakan / obat, biaya pembelian alat / bahan bakar, biaya pemeliharaan, tenaga kerja, produktivitas dan harga produksi). Sedangkan nilai manfaat yang secara tidak langsung dirasakan sebagai manfaat eksternal, antara lain seperti : hutan mangrove sebagai penahan gelombang pasang untuk mencegah banjir dari laut, penghemat biaya pembuatan tanggul, pencegah intrusi air laut dan penghemat biaya pembelian pakan dikaji dari masyarakat petani dan penjaga tambak. Obyek / populasi penelitian sebanyak 60 orang yaitu para petani tambak yang memanfaatkan hutan mangrove untuk usaha tambak perikanan, terdiri atas: 30 orang responden di Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya dan 30 orang responden di Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Pemilihan responden dilakukan dengan metode 2 (two) stage sampling. Pertama, purposive sampling pada anggota Kelompok Tani Tambak dengan jenis pola usaha yang sama, yaitu: tambak polikultur udang-bandeng. Kedua, anggota Kelompok Tani Tambak dipilih secara random sampling sebagai obyek penelitian. Data yang diperoleh berupa data primer dari responden secara langsung dan data sekunder dari dokumen yang berkaitan dengan hutan mangrove di daerah penelitian serta berbagai literatur yang mendukung secara teoritis. Teknik pengumpulan data yang dilakukan, antara lain: studi observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif yang dilakukan secara deskriptif dimaksudkan sebagai pelengkap dan penajaman dalam analisis data. Untuk analisis kuantitatif dilakukan beberapa uji dengan melakukan teknik perhitungan, antara lain yaitu : 1. Net Present Value (NPV), 2. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) dan 3. Uji Statistik menggunakan uji beda Independent Sample T-Test dengan bantuan perangkat lunak pada komputer (SPSS-Statistical Package for Social Sciences). Analisis deskriptif dilakukan terhadap data-data yang telah disusun dalam tabel prosentase. Hutan mangrove pada prinsipnya dapat dimanfaatkan secara terpadu dengan usaha tambak perikanan. Upaya ini untuk mencegah semakin meluasnya kerusakan hutan mangrove akibat pesatnya kegiatan manusia yang hanya berorientasi pada faktor ekonomi semata. Hasil uji statistik utamanya menunjukkan bahwa : a) nilai ekonomi tambak pada pola tumpangsari lebih tinggi dibandingkan tanpa pola tumpangsari, b) nilai ekonomi total, yaitu nilai ekonomi yang sudah mempertimbangkan nilai ekologi (hutan mangrove), pada pola tumpangsari lebih tinggi dibandingkan tanpa pola tumpangsari, c) nilai ekonomi total untuk kebijakan pengelolaan jangka waktu 20 tahun yang dihitung dengan nilai sekarang (Present Value) dengan tingkat suku bunga 16% pada pola tumpangsari lebih besar daripada tanpa pola tumpangsari. Kesimpulan penelitian yaitu : bahwa usaha perikanan tambak dengan pola tumpangsari merupakan usaha yang lebih layak dan menguntungkan secara ekonomi maupun finansial dibandingkan dengan usaha perikanan tambak tanpa pola tumpangsari. Manfaat yang diperoleh dari usaha perikanan dengan pola tumpangsari menjadi berlipat ganda, disamping memperoleh manfaat secara ekonomi dari usaha tambak perikanan, juga memperoleh manfaat ekologi karena keberadaan hutan mangrove yang dapat dinilai secara ekonomi. Pandangan masyarakat mempunyai peranan penting terhadap kondisi lingkungan hutan mangrove. Pola tumpangsari banyak diterapkan pada lokasi yang penduduknya lebih mempunyai pemahaman yang cukup pada upaya pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Hal ini juga didukung dengan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara intensif untuk meningkatkan peran serta dan interaksi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove. Sedangkan lokasi yang penduduknya kurang berinteraksi dengan hutan mangrove ternyata kurang mendapatkan pembinaan dan penyuluhan mengenai ekosistem hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan. Saran yang diusulkan antara lain: pemerintah, khususnya Propinsi Jawa Timur perlu menetapkan aturan tegas untuk melindungi ekosistem hutan mangrove dengan suatu program alternatif terpadu yang dapat menyelaraskan segi sosial, ekonomi dan lingkungan, antara lain dengan program usaha tambak dengan pola tumpangsari yang dapat memberikan manfaat ganda, baik dari segi ekonomi, segi lingkungan maupun sosial. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui komposisi yang optimum dari perbandingan areal hutan dan caren untuk mendapatkan hasil seimbang agar upaya penyelamatan ekosistem pesisir hutan mangrove berjalan secara berkelanjutan. ......Economics Valuation of Mangrove Forest for Fishery (Study on the Implementation of Silvofishery for Mangrove Forest Ecosystem)To face the globalization era, it is important for us in Indonesia to have a proper concept of sustainable development for managing natural resources including in the coastal area. Since, even though the natural resources in the coastal area can be categorized as renewable resources, however it should be used as effective as possible to ensure the long term benefit for the community. In the coastal ecosystem, mangrove forest plays a very important rule. This thesis is based on the research which have been conducted for Mangrove forest in two coastal area in East Java, ie : Kelurahan Keputih (Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya) and Desa Curah Sawo (Kecamatan Gentling, Kabupaten Probolinggo). The thesis is aimed to provide a comprehensive exercise of how important the conservation for mangrove forest. It is approached from Economics, Social and Environment point of views and it is expected, it can contributes as one of the feed back for the government in developing their coastal's comprehensive strategy. In general, the objective of the research is to gain the information regarding the economics and environmental benefit of mangrove forest for fishery land (tambak) which using versus not using a silvofishery system (tumpang sari). As well as to examine how the farmer (petani tambak) gain the benefit of mangrove forest to support their business. The hypothesis is that fishery land using mangrove forest with a silvofishery system will deliver a better benefit because there is a better balance of environment, economy and social, especially for long term oriented. Economics value of mangrove forest can be determined from the accumulation of all economics benefits including the environment benefits and deducted by all costs which occurred for a certain period of time (extended benefits cost analysis). The benefit and costs are calculated based on the actual market price (use value). Variable which have been observed are : ecosystem of mangrove forest (cost and benefits), fishery land business (the cost of investment, fixed cost, fish seed cost, fertilizer, feed, fuel, maintenance cost, labor cost, productivity and other production cost). Where the indirect benefits (non use value) can be described as the following: protection from sea flood, break the sea wave, coastal erosion protection, etc. The research have been performed to 60 respondents who are farmers who use mangrove forest for their fishery land (tambak), where 30 respondents are coming from Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya and another 30 respondents from Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. The sampling is based on purposive and random sampling from the farmers who only run their ponds for shrimp and bandeng fish. The data have been collected by several methods such as field observation, direct interview, literature study and documentation. The data is analyzed by using quantitative, and sharpen by descriptive qualitative analytic. The quantitative results have also been evaluated by: 1. Net Present Value (NPV), 2. Benefit Cost Ratio (B/C) and statistical test using Independent sample T-Test on Computer SPSS (Statistical Package for Social Sciences). The result shows that the fishery land which runs with a silvofishery will give a higher benefit than without silvofishery systems in term of: a) the economics values, b) the total economic values which has been considered the environmental aspect, and c) total economics value based on 20 year operation and calculated as present value with 16% interest. In overall, the fishery land system with silvofishery is the more feasible and profitable system to be applied both economics/environmentally and financially, it gives a higher B/C Ratio value and NPV value than without silvofishery. In the other hand, silvofishery system is also an indication of a social attention and responsibility from the farmers to manage and conserve the mangrove forest to sustain the ecosystem.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11376
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Widyastuti Anggraeni S.
Abstrak :
Potensi perikanan terumbu karang telah memberikan sumbangan bagi perekonamian Indonesia melalui ekspor produk lautnya, namun di sisi lain penggunan bahan kimia seperti sianida sebagai metode tangkap telah menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Sianida mengakibatkan kematian karang, kematian biota laut lainnya termasuk larva ikan, putusnya rantai makanan dan rusaknya ekosistem terumbu karang beserta fungsinya, yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomi. Sianida umumnya digunakan untuk menangkap ikan tanpa membunuhnya untuk industri ikan konsumsi dan ikan bias akuarium. Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian terumbu karang dan kepentingan menjaga keberlanjutan usaha ikan hias laut maka muncul usaha dan beberapa pihak untuk memperkenalkan kembali penggunaan jaring sebagai alat tangkap alternatif sebagai pengganti sianida. Kendala muncul dari ketidakpercayaan di kalangan nelayan sendiri akan efektivitas jaring sebagai pengganti sianida. Bagi para nelayan yang telah terbiasa menggunakan sianida, ide penggunaan jaring menimbulkan pertanyaan. Menggunakan jaring berarti harus meluangkan waktu untuk belajar dan timbal keraguan apakah jumlah ikan yang ditangkap sama banyaknya dengan dibandingkan ketika menggunakan sianida. Di pihak lain, ada ketidakpercayaan pemerintah bahwa para nelayan akan dan mampu mengganti cara tangkap mereka dengan sukarela. Sikap antipati ini lebih banyak timbal karena pelanggaran penggunaan sianida yang tak henti-hentinya dilakukan oleh para nelayan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan dalarn penelitian ini adalah: 1) Apakah manfaat metode jaring lebih besar dari metode sianida? 2) Apakah terdapat hubungan positif antara penerapan jaring dengan manfaat jaring? 3) Apakah pemberian insentif dari pemerintah mampu meningkatkan manfaat metode jaring?. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui seberapa besar nilai manfaat metode jaring dibandingkan metode sianida guna memberikan argumentasi ilmiah dalam mendukung penggunaan jaring sebagai metode alternatif, 2) Menganalisis hubungan antara manfaat metode jaring dengan penerapannya oleh nelayan di Desa Les, 3) Mengkaji bentuk-bentuk insentif dan disinsentif dari pemerintah guna meningkatkan manfaat penggunaan jaring dan menghentikan penggunaan sianida dalam kegiatan penangkapan ikan hias dan pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan. Hipotesis yang diajukan dalan penelitian ini adalah: 1) Manfaat dari metode jaring lebih besar daripada metode sianida, 2) Terdapat hubungan antara penerapan jaring dengan manfaat jaring, 3) Manfaat metode jaring dapat ditingkatkan apabila Pemerintah mengusahakan: a) Pemberian subsidi atau kompensasi selama peralihan cara tangkap, b) Pelatihan penangkapan dengan metode jaring, c) Insentif harga terhadap ikan yang ditangkap dengan menggunakan metode jaring, d) Kemudahan dalam pengurusan dokumen perdagangan bagi pengusaha ikan bias yang menggunakan jaring. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa data yang sahib yang mampu memberikan masukan, ilmiah maupun praktis yang dapat mendorong penerapan metode penangkapan secara lestari dalam industri ikan hias laut khususnya dan sumberdaya alam laut pada umumnya dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mendukung penggunaan jaring dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan industri ikan hias taut yang berkelanjutan. Variabel penelitian adalah penerapan jaring sebagai variabel bebas dan manfaat jaring sebagai variabel terikat, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner, wawancara dan observasi langsung. Pemilihan lokasi penelitian maupun pemilihan responden adalah purposive sampling mengingat seluruh nelayan di Desa Les telah melakukan uji coba penggunaan jaring dan berhasil dikumpulkan kuisioner dari 79 responden. Analisis data dilakukan untuk membuktikan hipotesis yaitu analisis manfaat biaya untuk membuktikan hipotesis pertama, analisis korelasi Spearman Rank untuk membuktikan hipotesis kedua dan analisis deksriptif dengan menggunakan tabel frekuensi untuk hipotesis ketiga. Analisis manfaat biaya dilakukan untuk tiga kategori nelayan ikan hias, yaitu nelayan kompresor, nelayan snorkeling jalan kaki dan nelayan snorkeling menggunakan angkutan umum. Perhitungan manfaat biaya menghasilkan Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value) dari jaring lebih besar daripada nilai NPV sianida yaitu 37,683,832: 32,976,174 untuk nelayan kompresor, 18,017,672 : 13,914,464 untuk nelayan snorkeling jalan kaki dan 35,376,020 : 31,356,362 untuk nelayan snorkeling menggunakan angkutan umum. Perhitungan rasio manfaat biaya juga menghasilkan BCR jaring lebih besar daripada BCR sianida untuk semua kategori nelayan yaitu 3.14: 2.64 untuk nelayan kompresor, 4.87: 3.10 untuk nelayan snorkeling jalan kaki dan 4.31:3.49 untuk nelayan snorkeling menggunakan angkutan umum. Berdasarkan hasil analisis maka diperoleh koefisien korelasi p (rho) sebesar 0.223 pada taraf signifikansi 5% yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara manfaat jaring dengan penerapannya oleh nelayan Les. Koefisien korelasi juga diuji dengan uji t dan menghasilkan t hitung sebesar 2,007 yang menunjukkan koefisien korelasi adalah signifikan karena nilainya lebih besar dari t tabel pada taraf 5%. Hasil analisis deskriptif diperoleh hasil sebanyak 51.90% responden mengatakan bahwa peningkatan harga ikan hias jaring sangat diperlukan untuk meningkatkan manfaat jaring disusul oleh peningkatan mutu ikan (10,13%), penyediaan jaring (2,53%) dan insentif lain berupa pemberian ijin penangkapan, jaminan pasar, penyuluhan, penguatan kelompok nelayan, tambahan modal, penyediaan jaring sekaligus jaminan harga dan penyuluhan, pemberian ijin dan jaminan harga, masing-masing sebesar 1,27% dan sisanya sudah merasa cukup dengan manfaat yang ada sekarang (13,92%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat metode jaring lebih besar dari manfaat metode sianida baik dari nilai bersih sekarang (Net Present Value), maupun dari rasio manfaat biaya untuk tingkat nelayan penangkap. Oleh karena itu secara ekonomi dan ekologis jaring layak untuk menggantikan sianida sebagai metode penangkapan ikan hias laut, 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan jaring oleh nelayan desa Les dengan manfaat yang mereka terima dari penerapan jaring tersebut, 3. Untuk lebih meningkatkan keuntungan jaring terhadap para nelayan maka pemerintah berperan rnelaliii pemberian insentif berupa pemberian subsidi dan pelatihan, pelatihan dan jaminan pasar serta pemberian ijin penangkapan. Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan adalah: 1. Mulai diterapkannya penggunaan jaring oleh semua pihak yang masih menggunakan sianida, 2. Pengakuan pemerintah terhadap metode jaring melalui penetapannya sebagai cara tangkap yang legal, 3. Keterlibatan pemerintah, pihak swasta dan para nelayan dalam pengusahaan ikan hias laut secara berkelanjutan melalui sistem pengelolaan bersama (coo-management). Daftar Kepustakaan: 39 (1988-2002)
Sustainable Undertakings of Marine Ornamental Fishes: a Case Study of Fish Catching Methods Changes in the Les Subdistrict, Tejakula District, Buleleng Residency, Bali Coral reef ecosystem provided high contributions for economic of Indonesia through its export commodities although the use of chemical substance in fishing activities such cyanide had cause serious environmental problem. Cyanide has long known responsible for the dead of the coral's polyps, killed fishes larvae as well as other marine organisms' and therefore cut the food chain and, at the end damaged coral reef ecosystem with its ecological and economic function. Cyanide used to stunned target fishes, both for live fish and ornamental fish. Overtime, there are the rising of interest to protect the coral reef and its resource and the sustainability of marine ornamental fish business. Barrier net as an alternative catching method was reintroduced to substitute cyanide. Problem arouse from the fishers community itself for the effectiveness of the net by their longtime comfortable of using cyanide. More time will need if they started to use net and whether the catches will stay in the same number like when they use cyanide. The government, on the other side, shown their skeptic opinion that the fisher will switch their method voluntary, almost based on their experience of violation of the law by the fishers themselves which remain spread out in Indonesian coastal and marine area. Research problems identified from the background are: 1) Is the benefit of barrier net higher that cyanide's?, 2) Is there relationship between the used of net by the fishers and benefit received? and 3) Is the incentive by government can increase the net's benefit? The aims of the research are: 1) To find out the value of net's benefit comparing to the cyanide's to provide scientific argument to support the use of net as alternative method, 2) To analyze the correlation between the used of net by the fishers and benefit received, and 3) To determine type of incentives and disincentive by the government to increase the net's benefit and terminate the use of cyanide. The hypotheses for this research are: 1) Net's benefit is higher than cyanide's benefit, 2) There is the used of net by the fishers and benefit received, and 3) The net's benefit can be increase by government through, a) Subsides offer or compensation along the switch time, b) Net use training, c) Price's incentive for net cached fishes, d) Simplified administration process for businessmen that already used net. The result were expected to provide reliable and scientific data to drive and motivated the use of sustainable catching method for, marine ornamental fish and marine resource and provide strong based to support the use of the nets and formulate policies related sustainability of marine aquarium fish. Research variable were net's benefit and it used of the fishers, data collected trough questionnaire, interview and current observation. Location and respondence were chosen using purposive sampling. Research was conduct in Les Subdistrict, Tejakula District, Buleleng Residency, Bali, Population of this study was fishers in Les and ornamental fishers were use as the sample. Data analyzed using Cost Benefit Analysis and Spearman Rank correlation analysis to verify the 1st and 2nd hypotheses. The 3rdhypothesis was analyzed using frequent table. The result showed Net Present Value (NPV) of net was higher than cyanides for three categories of fishers as well as the BC Ratio. The NPV for compressor used fishers was 37,683,832: 32,976,174; 18,017,672: 13,914,464 for walking snorkeling fisher and 35,376,020: 31,356,362 for ground transportation snorkeling fisher. The BCR for compressor used fishers was 3.14: 2.64; 4.87: 3.10 for walking snorkeling fisher and 4.31:3.49 for ground transportation snorkeling fisher. Correlation of Spearman Rank showed the coefficient of correlation value of 0.223 at significance level of 5% means there is significance relationship between net's benefit and the fishers use it. The coefficient then was tested and came out with the result of tom (2.007) was higher that t table, mean the coefficient were significance at level of confidence of 5%. Table frequency shown as much of 51.90% respondence said that the higher price will increase the net's benefit, followed by the improve of fish quality (10,13%), supply of net (2,53%) and another incentive such us catching permit, market guarantee, teaching, empowering fisher organization, capital, net supply together with catching permit and teaching, catching permit and price guarantee, each 1,27% and the rest said they already satisfied with current benefit (13,92%). The research comes to the conclusion are: 1. The benefit of net is higher that the benefit of cyanide both for NPV and SCR, and therefore cyanide was appropriate to substitute cyanide as catching method, 2. There is significance relationship between the use of net by Desa Les' fishers and it's benefit, 3. To increase the benefit the net used, the government can take role by giving incentives such subsidies, training, price incentive and catching permit. Based on analysis there are several recommendations: 1. Implementation of net by all the fishers and parties that still using cyanide, 2. Recognition of net as alternative method by government, 3. The involving the entire stakeholder to give effort for the sustainability of marine aquarium fishes by implemented coo-management. Number of References: 39 (1988-2403)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Fitria
Abstrak :
Pada kegiatan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), air merupakan bahan penolong yang sangat penting, yaitu sebagai air umpan boiler untuk pembangkit tenaga dan untuk air pengolahan (Naibaho, 1996:24). Keperluan PKS akan air sesuai dengan angka kerja pengolahan pada Standarisasi Ditjen Perkebunan (1997:4), adalah sebesar 1,2 - 1,5 m3 per ton tandan buah segar (TBS) yang diolah. Dari jumlah penggunaan air untuk kegiatan PKS sesuai angka kerja pengolahan pada Standarisasi Ditjen Perkebunan dan memperhatikan penggunaan air sesuai dengan angka pengolahan yang dikeluarkan Naibaho (1996:154) dan H-Kittikun (2000:7), yaitu; 1,1 - 1,2 m3/ton TBS diolah, serta data realisasi penggunaan air dari 11 PKS di Sumatera Utara, pada kisaran 1,20 - 2.16 m3/ton TBS diolah, maka keadaan ini memperlihatkan adanya indikasi penggunaan air yang tidak terkendali dan inefisien. Selain itu yang tak kalah pentingnya, mengingat bahwa air buangan PKS menjadi tercemar (BOD berkisar 20.000 - 30.000 ppm), dengan debit 0,44 - 1,18 m3 / ton TBS diolah (H-Kittikun, 2000:5), maka bila air yang digunakan tidak efisien, potensi air buangan mencemari air tanah dan air permukaan akan menjadi lebih besar. Keadaan tersebuttentu bukan masalah yang penting, bila suplai air di muka bumi ini dalam keadaan melimpah dan seimbang. Dengan memperhatikan hal di atas, serta untuk: 1) menyikapi kecenderungan global (dengan komponen globalisasi produksi, keuangan, perdagangan, dan teknologi) yang mengakibatkan lahirnya global consumers dengan salah satu cirinya perlu adanya kepedulian terhadap lingkungan, sehingga berimplikasi bahwa pertimbangan produk yang perduli terhadap lingkungan (menjadi global) (Salim, 1995:15-17); 2) memenuhi program pengembangan agrobisnis dalam UU No. 25 Th. 2000 (PROPENAS) yaitu, berupa terpeliharanya sistem sumberdaya alam dan lingkungan, serta keberlanjutan pembangunan ekonomi untuk mengantisipasi trade barrier dalam sistem perdagangan global; 3) mempermudah pencapaian persyaratan debit beban pencemaran untuk PKS (dari 6 m3/ton produksi menjadi 2,5 m3/ton produksi) pada tahun 2000, sesuai lampiran A. IV dan lampiran B. IV, tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Minyak Sawit, Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, maka pengelolaan sumberdaya air di PKS harus dilakukan dengan prinsip yang bersifat global dalam suatu tindakan lokal (think globally, act locally), yaitu secara proaktif untuk memenuhi sasaran agar pembangunan ekonomi tetap berlanjut. Dalam ringkasan Agenda 21 Indonesia (1997:54), salah satu alternatif pengelolaan lingkungan yang disarankan untuk mencapai sasaran tersebut adalah menerapkan prinsip Pencegahan Pencemaran (Pollution Prevention). Dari pengamatan lapangan, penerapan prinsip pencegahan pencemaran (P2) seperti pengurangan dari sumber (source reduction) limbah cair pada PKS antara lain dapat dilakukan dengan menekan penggunaan air berlebih, melalui pengaturan kondisi proses produksi sesuai dengan prosedur standar operasi (SOP). Alternatif daur ulang sebagaimana yang direkomendasikan dalam buku panduan Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Minyak Kelapa Sawit (BAPEDAL, 1988:65), yang pertama adalah pemanfaatan kembali atau recycle air dari fat-pit (kolam pengutip minyak) untuk kebutuhan pengepresan, atau pemanfaatan kembali air kondensat rebusan sebagai air pengencer unit press (Tobing, 2000:4-5), sedangkan yang kedua adalah pemanfaatan kembali air pendingin turbin. Selain itu dari hasil pengamatan di PKS, memanfaatkan kembali air kondensasi sisa uap pemanas adalah sesuatu yang perlu dilakukan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang menggambarkan penerapan prisip P2 dalam penggunaan sumberdaya air di PKS dan mengetahui manfaat ekonomis dan lingkungan dari penerapannya. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) Mengetahui rancang penerapan prinsip P2 yang meliputi source reduction dan pemanfaatan kembali (recovery dan recycle) pada kegiatan PKS SMK; 2) Mengetahui besar penurunan penggunaan air, dan penurunan debit limbah cair di PKS SMK dari masing rancang penerapan prinsip P2; 3) Mengetahui kelayakan ekonomis dan prediksi dampak terhadap lingkungan dan sosial, dari rancang penerapan prinsip P2 dalam penggunaan sumberdaya air di PKS SMK. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif yang didukung oleh penelitian terapan dengan metode eksperimen. Jenis data untuk penelitian ini adalah data sekunder dan primer, meliputi operasional PKS, penggunaan air, produksi, biaya, peraturan-peraturan pemerintah dan standarisasi yang terkait dengan ketentuan pelaksanaan kegiatan PKS, serta data lain yang erat hubungannya dengan materi penelitian. Penelitian dilakukan di PKS Sei Mangkei, Kecamatan Bosar Malinggas, Kabupataen Simalungun, Propinsi Sumatera Utara, dilaksanakan dari bulan januari sampai dengan Juni 2002. Kerangka analisis penelitian dilaksanakan menurut tahapan: Langkah pertama, mengidentifikasi kuantitas dan kualitas penggunaan air dan debit limbah cair PKS. Langkah kedua, mencermati potensi penerapan prinsip P2 dengan mengetahui jumlah penurunan penggunaan air pengolahan dan debit limbah cair PKS. Langkah ketiga, mengetahui dampak ekonomis dan prediksi dampak lingkungan dan sosial dengan penerapan prinsip P2 tersebut. Analisis dilkukan dengan cara analisis matematis, tabel, statistik SPSS, dan analisis kelayakan finansial Microsoft Excel 2000. Dari hasil analisis dan pembahasan dalam tesis ini, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan: 1) Rancangan penerapan prinsip P2 yang diusulkan untuk diterima adalah source reduction dengan pengaturan kondisi proses produksi, yaitu dengan mengatur tekanan boiler pada tekanan optimal; penggunaan kembali (recovery) air kondensat rebusan untuk air pengencer press dan waste vibro, dan penggunaan kembali (recycle) air pendingin turbin, air pendingin LSS (LSS Cooler); 2) Terjadi penurunan penggunaan air 10 -39 % dan penurunan debit limbah cair high pollutant berkisar antara 26 - 39%, debit limbah cair low pollutant 100%, bila PKS SMK menerapkan masing-masing rancang penerapan prinsip P2 yang diusulkan. 3) Hasil analisis kelayakan ekonomis dan prediksi dampak terhadap lingkungan dan sosial, dari rancang penerapan prinsip P2 dalam penggunaan sumberdaya air di PKS SMK, menunjukkan; a) diperoleh keuntungan berkisar antara enam puluh lima juta seratus lima puluh dua ribu empat ratus dua puluh dua rupiah sampai dua ratus empat puluh satu juta dua puluh lima ribu sembilan ratus lima puluh rupiah per tahun (menurut nilai tahun 2001 - 2002), bila PKS SMK menerapkan masing-masing rancang penerapan prinsip P2 yang diusulkan, serta manfaat marjinal (marginal benefit); b) Aspek pengurangan penggunaan air atau peningkatan efisiensi penggunaan air (EPA), dan penurunan debit limbah cair hingga di bawah ambang batas yang diijinkan, akan berdampak pada konservasi sumberdaya air dan menurunkan tingkat pencemaran. Penghematan biaya air dan biaya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang diperoleh dari penerapan prinsip P2 akan dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dan sosial pendapatan karyawan PKS. Saran dari hasil penelitian ini adalah: 1) Mengingat penerapan prinsip P2 bukan suatu keharusan, tetapi hanya bersifat sukarela, maka pihak pengusaha (top management), dituntut memiliki komitmen dan peran yang tinggi untuk mengubah budaya dan etika bisnis perusahaan, serta menggalang dukungan penuh dari karyawan agar penerapan prinsip ini dapat mencapai sasaran. Dukungan tersebut akan menjadi nyata bila pihak pengusaha mau memasukkan biaya lingkungan menjadi bagian langsung dari komponen biaya produksi; 2) Pemerintah dan badan yang terkait diharapkan dapat meningkatkan penegakkan peraturan dan perundang-undangan lingkungan dengan; a) meningkatkan peran pengawasan dan pengendalian emisi, b) menetapkan kriteria standarisasi penggunaan sumberdaya alam yang lebih mengikat dan diterapkan, c) memasukkan nilai insentif, menaikkan pajak pengambilan dan pemanfaatan air, serta memberlakukan retribusi bagi setiap pembuangan limbah cair agar sifat sukarela seperti penerapan prinsip P2 lebih menarik dan memiliki arti; 3) Untuk lebih bisa mendapalkan hasil yang lebih nyata, diharapkan hasil rancang bangun (disain) penerapan prinsip P2 yang diusulkan dapat diuji coba, serta perlu ada suatu penelitian lebih lanjut dari beberapa hal yang membutuhkan jawaban yang lebih teknis dan spesifik dari penelitian ini.
In Palm Oil Mill (POM), water is essential supporting material, such as feed water for the power generator boiler and the water processing (Naibaho, 1996:24). The requirement of water in POM, according to the number of processing in the Standardization of Dirjen Perkebunan (1997:4 of 26), is approximately 1.2-1.5 m3 per ton of processed Fresh Fruit Bunch (FFB). Based on the data: (1) the total amount of water utilization in POP corresponding to number of processing in the Standardization of Dirjen Perkebunan; (2) the water utilization based on number of processing by Naibaho (1996:154) and H-Kittikun (2000:7), that is 1.1-1.2 m3/ton of processed FFB; (3) the data of actual water utilization of 11 POP in North Sumatera, is about 1.20-2.16 m3/ton of processed FEB; It is clear that these situations show the indication of uncontrollable and inefficient water utilization. Moreover, considering that POM is waste water could be pollution source (BOD is about 20,000-30,000 ppm) with water debit of 0.44-1.18 m3/ton processed FFB (H-Kittikun, 2000:5), the potential of waste water polluting the underground and the surface water becomes greater if the water is used inefficiently. Such condition will not be so crucial, if the water resources are unlimited and at equilibrium. Based on the case mentioned before, and to: (1) pay heed to global trend ( with components of globalization production, finance, commerce and technology) which leads to the emerging of global consumers with one of its character is the environmental awareness. It's implication is the consideration of environment friendly products (has become global) (Salim, 1995:15-17); (2) implement the agro business development program in UU No. 25 Th. 2000 (PROPENAS) which protects the natural resources and environmental system, and the continuity of the economic development to anticipate the trade barrier in global trading/commerce system; (3) to facilitate the achievement of the required pollution load in POM (from 6 m3lton production to 2.5 m3/ton production) in the year 2000, according to appendix A. IV and appendix B. IV, concerning The Liquid Waste Standard for Palm Oil Industry, Letter of Decision from The Minister of The Environment No. Kep-51/MENLH/10/1995 concerning The Liquid Waste Standard for Industry Activities, therefore the management of POM water resources should be done with the global principles of spirit applied in local measures (Think Globally, Act Locally). This kind of management is a proactive way to meet the purposes sustainable economic development In The Agenda 21 summary (1997:54), one of the alternatives in environmental management suggested to achieve the purposes mentioned before is to use the Pollution Prevention Principle (P2). Based on the field study, the application of the Principle (P2), such as source reduction of liquid waste in POP could be done by reducing the over usage of water, through controlling the conditions of production process according to Standard Operating Procedure (SOP). The recycling alternative recommended in A Guide Book of Controlling Technology of Environment Impact in Palm Oil Industries (BAPEDAL, 1988:65) is, firstly, to reuse to recycle the water from 'fat-pit' (the oil collecting pool) for pressing process, or to reuse the condensed water as dilution water for pressing process (Tobing, 2000:4-5), and, secondly, to reuse the turbine cooling water. In addition, from the observation in POM, the reuse of condensate water from heating steam is advisable. Generally, this study aims to obtain the information describing the implementation of P2 principle in the use the water resources in POM and to know the economic and environmental advantages of the implementation. Particularly, this study aims to: 1. Know the implementation design of P2 principle including source reduction, recovery and recycle in POM SMK activities. 2. Know the reduction of water consumption, and the amount of the liquid waste reduction in POM SMK from each implementation design of P2 principle. 3. Know the economical feasibility and prediction of environment and social impact of P2 principle implementation design impact in the use of water resources in POM SMK. The research is a descriptive one supported by applied research using experimental method. The data of this research are secondary and primary data, including POM operation, water consumption, production, cost, government laws and standardization related to POM activities implementation procedures, and also other related data. This study was performed in Sei Mangkei POM, Kec. Bosar Malinggas, Kabupaten Simalungun, North Sumatera. The duration of this study was in January - June 2002. The research analysis framework was performed in several steps: first, identifying the quality and the quantity of water consumption and the amount of POM liquid waste; second, observing the possibility of P2 Principle implementation and identifying the decrease of water consumption and POM liquid waste; third, identifying the economic impact and prediction of environmental and social impact by implementing The P2 Principle. The analysis was carried out by math analysis, tables, SPSS software, and financial feasibility analysis by Microsoft Excel 2000. The conclusions of this research are: (1) The P2 Principle Implementation design suggested to be adopted is source reduction by controlling production process conditions, that is controlling the boiler pressure at its optimum condition, recovery of condensate water for dilution water of pressing process and waste vibro, and also reuse the turbine cooling water, LSS cooling water (LSS cooler); (2) The reduction of water consumption is approximately 10-39%, of high polluted liquid waste debit is approximately 26-39%, and of low polluted liquid waste debit is 100%, if SMK POM adopts all the suggested P2 Principles Implementation design; (3) The economic feasibility analysis and the prediction of the environmental and social impact of the P2 Principle implemented design in water resources utilization at SMK POM indicate: (a) profit around Rp.65,152.422-Rp.241,025,9501year (2001- 2002 value), if SMK POM adopts all the suggested P2 Principle Implementation and the marginal benefit; (b) the aspect of decreasing the water consumption or increasing the efficiency of water consumption, and decreasing the amount of liquid waste under the permitted limit, would have impact on the water resources conservation and lower the pollution level. The efficiency of water and Waste Water Treatment Plant (WVVTP) cost resulted from implementing The P2 Principle would increase the company profit and the PKS employees' income. The suggestion of this study are; (1) Realizing that the implementation of The P2 Principle is not a must, but voluntary, the top management of the company, therefore, should have strong commitment and take part in changing the culture and ethics of the company business, and together with full support of employees so that the implementation of this principle could reach its goals. Such support would become real if the company have the willingness to put the environmental cost as direct component of the production cost; (2) The government as well as other related institutions are expected to increase the role of the environmental regulations by: (a) improving the role and implementation of emission supervision and control; (b) setting standard criteria of natural resources utilization which is more restricted and must be applied; (c) providing incentives, raising the water consumption taxes and applying the waste water retribution, so that the voluntary nature of implementing The P2 Principle is more attractive and worthy; (3) To gain more significant benefit, the design of The P2 Principle implementation should be tested and other follow-up research is required to produce more technical and specific aspects.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatty Purnama Dewi
Abstrak :
ABSTRAK Sektor Pariwisata semakin menjadi andalan, harapan dan primadona bagi pemerintah setelah minyak dan gas. Kunjungan wisatawan mancanegara dan perolehan devisa dari sektor ini semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan menduduki peringkat ketiga dalam menghasilkan devisa nonmigas setelah kayu lapis, tekstil dan garmen (Yoeti,1997). Tujuan wisata di Indonesia masih tergantung pada 3 (tiga) pintu gerbang wisata utama, yaitu: Bali, Jakarta dan Barelang (Batam-Rempang-Galang) (BOB & FT-UGM, 2002). Barelang mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Dengan adanya kerjasama pengembangan SIJORI (Singapura-Johor-Riau) dalam bidang perdagangan, industri dan pariwisata. Pulau Galang sebagai salah satu di antara pulau-pulau besar yang berada di bawah kawasan industri Otorita Batam merniliki beberapa lokasi yang diharapkan dapat dikembangkan sebagai obyek wisata yang memiliki daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara,seperti: situs kawasan bekas kamp pengungsi Vietnam sebagai wisata sejarah, dan wisata alamnya yang terdiri dari kekayaan flora dan fauna serta obyek wisata Pantai Melur, serta ditunjang dengan wisata spiritual seperti tempat-tempat beribadah. Masalah yang ditemui dalam upaya pengembangan pariwisata Pulau Galang adalah: pertama, belum teridentifikasinya secara rinci potensi dan hambatan yang akan dikembangkan sebagai obyek wisata, kedua, belum terfokusnya arah pengembangan Pulau Galang sebagai obyek wisata. Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan dengan tujuan: pertama, mengkaji potensi dan hambatan yang ada dalam upaya pengembangan Pulau Galang sebagai obyek wisata, kedua, menentukan strategi prioritas dalam upaya pengembangan Pulau Galang sebagai obyek wisata. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2002 di beberapa lokasi wisata yang ada di Pulau Galang - Batam, Provinsi Riau. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui observasi lapangan, wawancara dengan beberapa wisatawan yang berkunjung dan pihak yang berkompeten, serta studi pustaka. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah melalui pendekatan Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats) dan Proses Analisis Berjenjang (Analytical Hierarchi Process = AHP) yang menggunakan pendapat expert sebagai responden. Sedangkan sasaran strategis yang terpilih yang diperkirakan akan mencapai hasil yang signifikan dalam upaya pengembangannya adalah: mengatasi minimnya amenitas dalam rangka meningkatkan daya saing dengan DTW sekitarnya. Berdasarkan pendapat expert yang dianalisis menggunakan Proses Analisis Berjenjang (AHP) terpilih isu strategis yang memiliki skor tertinggi (0,549), yaitu : "Mengatasi minimnya fasilitas amenitas dalam rangka meningkatkan daya saing dengan daerah tujuan wisata (DTW) sekitarnya" Kesimpulan yang dapat diambil melalui penelitian ini adalah: 1 . Palau Galang memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai obyek wisata dengan obyek andalannya adalah situs bekas kamp pengungsi Vietnam sebagai obyek wisata sejarah. 2. Peningkatan amenitas merupakan faktor utama pendorong pencapaian tujuan dalam upaya pengembangan Pulau Galang sebagai obyek wisata. ABSTRACT Tourism Development In Galang Island - Batam (A Case Study of Strategic Planning to Develop Eco-Cultural Tourism of Vietnamese Camp Refugee in Galang Island) Tourism sector progressively becoming pledge and excellent sector to government after gas and oil. Foreign countries tourist visit and acquirement of foreign exchange from this sector progressively increase from year to year, and take third rank in yielding non-oil and gas foreign exchange after plywood, garment and textile (Yoeti, 1997). Tourism destination in Indonesia still depends on 3 (three) special main gate, that is: Bali, Jakarta and Barelang (Batam-Rempang-Galang) (BOB & FT-UGM, 2002). Barelang have a very strategic location because of its direct verging with Singapore and Malaysia. With the existence of SIJORI development cooperation (Singapura-Johor-Riau) in commerce, industrial and tourism. Galang Island as one of the island among other big islands which under Otorita Batarn industrial area have some expected locations that can be developed as tourism objects which attract local and foreign country tourists, such as: ex-Vietnamese refugees camp area as historical tourism, its natural tourism which consist of fauna and flora, Melur Beach as coastal tourism object, and also supported with religious places as spiritual tourism objects. The problems which facing to Galang Island tourism development efforts is: first, there is no potencies and resistances detailed identification yet to be developed as tourism objects, second, not focused enough to develop Galang Island as tourism destination. The aims of descriptive research are: first, analyze the existing resistances and potencies in the Galang Island development efforts as tourism destination, second, determine the priority strategies in the Galang Island development efforts as tourism object. This research operated in May up to July 2002 in some existing tourism locations in Galang Island-Batam, Riau Province. Data collection techniques are: field observation, interviewing some tourists and competence parties, and also literature studies. Data analyze technique used is SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats) and Analytical Hierarchy Process (AHP) which use an expert as the respondent The chosen strategic target, which estimated reach significant result in it?s the development effort, is: overcome the minimum amenity in order to improve its competitiveness with surrounding DTW (Daerah Tujuan Wisata/Tourism Destination Area). Based on an expert opinion analysis using AHP had chosen strategic issue with highest score (0,549), is: "to minimize the facilities of amenities in order to increase competition with other tourist destination surrounding" The conclusions of this research are: 1. Galang Island has some potential area that can be developed as objects of tourism with its pledge object: the sites of ex Vietnamese refugees camp as historical tourism object. 2. The improvement of tourism amenity is a primary factor to push attaining the goal of the effort of Galang Island development as tourism object.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Sudirman
Abstrak :
Pembangunan perkotaan sejalan dengan meningkatnya pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya laju timbunan sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan, terutama masalah kesehatan lingkungan. Pembuangan limbah padat atau sampah, sebagai akibat dari aktivitas masyarakat perkotaan, tidak sebanding dengan kemampuan lingkungan alam untuk menyerapnya. Kota Palangka Raya dengan luas wilayah 8.032 Ha meliputi 6 Kelurahan dan kota dengan jumlah penduduk 106.024 jiwa dengan kepadatan rata-rata > 50 jiwa/Ha. Timbunan sampah yang dihasilkan oleh penduduk kota mencapai 360 m3/hari, sedangkan yang mampu diangkut 228 m3/hari atau (63,33 %); sedangkan yang tidak tertangani atau lambat terangkut adalah 132 m3/hari atau (36,67 %), sebagian dibuang ke saluran/drainase, lahan kosong, badan air, dan dibakar. Pembiayaan pengelolaan sampah diperoleh dari masyarakat melalui pendapatan retribusi pelayanan persampahan/kebersihan baru mencapai 25 % dari keperluan biaya pengelolaan sampah di luar investasi untuk trek angkutan, alat berat di TPA dan pembangunan TPS maupun Transfer Dipo. Saat ini alokasi dana pengelolaan sampah dialokasikan melalui dana pembangunan/proyek dalam APBD, sumber dananya dari Dana Alokasi Umum (DAU), Guna mencapai motto Kota Palangka Raya sebagai kota "CANTIK". Pemerintah kota menetapkan 8 (delapan) program terpadu melalui PAM KUDP-P3KT, salah satunya program persampahan, dananya bersumber dari DAU, DAK dan APBD maupun pinjaman Bank Dunia. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah: (1) peranan retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan alokasi dalam APBD terhadap biaya pengelolaan sampah, (2) potensi wajib retribusi yang dapat digali untuk meningkatkan pendapatan dari retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, dan (3) perubahan pola pengelolaan sampah dengan menekankan pada pengolahan sampah melalui pengomposan dan 3R. Hipotesis dalam penelitian, yakni : 1) Peranan pendapatan yang diperoleh dari retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan alokasi dana dalam APBD masih rendah dibandingkan dengan kebutuhan biaya pengelolaan sampah. 2) Biaya pengelolaan sampah dapat ditingkatkan dengan menggali potensi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar retribusi pelayanan persampahan/kebersihan. 3) Pelayanan persampahan/kebersihan dapat ditingkatkan apabila pola pengelolaan sampah untuk mengurangi timbunan sampah yang tidak tertangani dengan melakukan pengolahan sampah melalui pengomposan dan 3R. Sifat penelitian ini adalah deskriftif kuantatif dengan metode penelitian ekspos fakto, adapun variabel bebas adalah retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan APBD serta variabel terikat adalah pengelolaan sampah. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengumpulan data sekunder bersumber dari literatur dan kuesioner dari instansi yang telah ditentukan. Kemudian untuk mengetahui pengetahuan dan peranserta responden dalam pengelolaan sampah dan membayar retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dilakukan pengumpulan data primer melalui kuesioner. Jumlah populasi 24.045 wajib retribusi, diklasifikasikan berdasarkan luas bangunan, ditetapkan sample untuk luas bangunan < 71 m2 = 144 responden, luas bangunan 71 - 300 m2 = 72 responden, dan luas bangunan > 300 m2 = 30 responden. Teknis dan pengolahan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kuantitatif dengan analisis statistik, yaitu analisis regresi, korelasi, faktor matrix, dan Anova dengan menggunakan Duncan 's multiple range test dalam SPSS. Berdasarkan hasil analisis diperoleh: Analisis terhadap variabel retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan APBD dalam pengelolaan sampah. Hasil pengolahan data terhadap variabel retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dengan alokasi dana dalam APBD. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa nilai t hitung, pada variabel realisasi retribusi pelayanan persampahan/kebersihan sebesar 9,148, sedangkan nilai tiahe sebesar 2,015 dengan demikian thitung 9,148 > tiahel 2,015] sehingga (Ho) ditolak dan (Ha) diterima. Ha diterima maka terdapat hubungan antara retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dengan realisasi biaya pengelolaan sampah. Hasil pengolahan data terhadap variabel realisasi biaya pengelolaan sampah/biaya operasional dalam APBD dengan keperluan biaya operasional sesungguhnya, hasil uji hipotesis (uji t) menunjukkan nilai thitung 49,316 sedangkan tabel sebesar 2,015; dengan demikian [th;n? ns 49,316> tth>x1 2,015] sehingga (Ho) ditolak dan (Ha) diterima. Ha diterima maka terdapat hubungan antara realisasi biaya pengelolaan sampah/biaya operasional dalam APBD dengan biaya operasional sesungguhnya. Analisis terhadap variabel wajib retribusi berdasarkan klasifikasi luas bangunan. Klasifikasi Luas Bangunan < 71 m2. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai th; g 0,087 di mana tc,,e1 4,450 [th;.,8 < t.bd 6,1691 dengan demikian (Ho) diterima dan (Ha) ditolak, artinya tidak ada perbedaan antara retribusi pelayanan persampahan dengan pelayanan persampahan/kebersihan. Klasifikasi Luas Bangunan 71- 300 m2 Hasil pengolahan data menunjukkan hasil thitung, 12,557 di mana t,h1x14,450 [t1ui,,,,R 12,557 > ttain] 4,450] dengan demikian (Ho) ditolak dan (Ha) diterima, artinya ada perbedaan nyata antara retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dengan pelayanan persampahan/kebersihan. Klasifikasi Luas Bangunan > 300 m2. Hasil pengolahan data menunjukkan hasil thiung 133,544 di mana ttabel 4,450 [thimns 133,544 > tmbe1 4,450] dengan demikian (Ho) ditolak dan (Ha) diterima, artinya ada perbedaan nyata antara retribusi pelayanan/persampahan dengan pelayanan persampahan/kebersihan. Analisis terhadap variabel pengelolaan sampah dengan menekankan pada pengolahan sampah melalui pengomposan dan 3R. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar 32,691 sedangkan tthbe1 (df ; 7) sebesar 1,895 dengan demikian [ thitung 32,691 > t,hbci 1.895 ], (Ho) ditolak dan (Ha) diterima sehingga terhadap pengaruh antara timbunan sampah yang tidak tertangani dengan meningkatkan pengelolaan sampah melalui pengomposan. Hasil pengujian regresi linier menunjukan bahwa nilai konstanta (a) sebesar -28,212 pengelolaan sampah melalui penggunaan 3R negatif artinya bahwa sistem 3R secara nyata akan mengurangi pengelolaan sampah sebesar 28,212, sedangkan nilai regresi (b2) sebesar 1. Regresi akan menurunkan timbulan sampah 0,267 artinya terdapat konstribusi sampah terhadap proses pengelolaan sampah melalui 3R. Hasil hipotesis menunjukkan nilai tw,,,r,g sebesar 21,413 sedangkan ttabe1 sebesar 1,895 dengan demikian [thitung 21.413 > tIbei 1.895] dengan demikian (Ho) ditolak dan (Ha) diterima, artinya ada pengaruh antara timbunan sampah yang tidak tertangani dengan pengolahan sampah melalui 3R. Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan: 1. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan peranannya masih rendah terhadap biaya pengelolaan sampah maupun peranannya dalam APBD, merupakan akar permasalahan dalam pembiayaaan pengelolaan sampah kota. 2. Potensi terbesar retribusi pelayanan persampahan/kebersihan terdapat pada wajib retribusi rumah tangga dengan klasifikasi luas bangunan 71 - 300 m2 dan luas bangunan > 300 m2 dan sebagian kecil dari potensi rumah tangga dengan klasifikasi luas bangunan < 71 m2, terjadi subsidi silang. 3. Timbunan sampah yang tidak tertangani dapat dikurangi melalui upaya pengomposan dan 3 R.
Role Of Retribution and Local Budget (APBD) in the Urban Waste Management (A Case Study in Palangka Raya Central Kalimantan Province)The urban development is paralleled with the improvement of the economic development, population growth, and the increase of the society's welfare. The improved garbage piles represents one of the environmental problems faced by the urban society, especially the problem of health and environment. The development of solid waste or garbage, as the consequence of the urban society's activities is incomparable with the capability of the natural environment to absorb. Palangkaraya city with 8,032 ha width area covers 6 sub district and cities in the city by the 106,024 population with the average density > 50 people/ha. The garbage piles resulted by urban community reach 360 m3/day or (63.33 %), while which are not handled or in delay in transporting totally 132 m3lday or (36.67 %), some of them thrown to drainage, bare land, brink of waters, and burned. The financing of garbage management which is obtained from people through garbage/cleaning service retribution revenue only reaches 25 % from garbage disposal cost outside the investment for transport truck, heavy equipment both at End Disposal Location (TPA) and Transfer Dipo. At this time garbage disposal fund allocation allocated the development/project fund in Regional Local Budget (APBD), its fund resources from General Allocation Fund (DAU). To archive the motto Palangka Raya City " BEAUTIFUL" city. The local Government established 8 (eight) integrated program through P]M KUDPP3KT, one of them garbage processing, the fund comes from DAU, DAK, and APBD as well as from World Bank. Based on above description, then the problem formulated: (1) the role of garbage processing/cleaning services retribution and the allocation in APED to garbage processing cost, (2) retribution compulsory potentials could be raised to increase the revenue from garbage process/cleaning services retribution, and (3) garbage processing pattern by emphasizing on garbage processing through compost and 3R. Hypothesis in this research, namely: 1) Role of revenue obtained from garbage process cleaning services retribution and fund allocation in APBD still low compared to garbage processing required cost. 2) Garbage processing cost could be increased by raising the grater potential from the community to pay garbage/cleaning services retribution. 3) Garbage/cleaning services could be increased if garbage processing pattern to decrease the garbage pile which are not handled by conducting garbage processing through composting and 3 R. The nature of this research in quantitative descriptive by research method of expos facto, while free variables are garbage/cleaning processing garbage. Data collection technique applied by two ways those are secondary data collection comes from literature and questioner of specified institutions. Then to know the respondens knowledge and partisipation in garbage processing and to pay garbage/cleaning services retribution conducted the primary data collection through questioner. The population number 24,045 on retribution compulsory, classified based on the building width, stipulated the sample for a building of < 71 m2 width = 144 respondents, building of 71 - 300 width m2 = 72 respondents, and building of > 300 m2 width = 30 responders. Data analysis technique and process applied in this research is by using quantitative method by statistic analysis, that is regression analysis, correlation, factor matrix., and Anova by using Duncan's multiple range test in SPSS. Based on the analysis results obtained: Analysis to variables of garbage/cleaning services retribution and APBD in garbage processing. The results of data processing to variables of garbage/cleaning services retribution by the fund allocation in APBD. The hypothesis examination results show that tco,a,L value on variable of garbage/cleaning services retribution of 9.148 while ttable value of 2.015 so [tc,,.t 9.148 > ttab1e 2.015] so (Ho) rejected and (Ha) accepted, because Ha accepted then there the relationship between garbage/cleaning services retribution with the garbage processing cost realization. Data processing result to garbage processing cost/operational cost realization variable in APBD with the actual operational needs, the hypothesis examination result (examine t) show t,,,,,, value of 49.316 while tubte value of 2.015 so, [t.,,,t 49.316 > tmble 2.015] so (Ho) rejected and (Ha) accepted, because Ha accepted then there is the relationship between garbage processing cost/operational cost realization in APBD with actual operational cost. Analysis of retribution compulsory variable based on the building width classification. The building of < 71 m2width Data processing result show tcow t, value 0.087 where habit 4.450 [tcount < Liable 6.169] so (Ho) accepted and (Ha) rejected it means there is no difference between garbage service distribution with the garbage/cleaning service. The building of 71 - 300 m2 width Data processing result show Lco~,t value 12.557 where t1abit. 4.450 [tcd?nt 12.557 > ttabic 4.450] so (Ho) rejected and (Ha) accepted it means there is obvious difference between garbage service distribution with the garbage/cleaning. The building of > 300 m2 width Data processing result show .6,rt value 133.544 where ttabJe 4.450 [tcount 133.544 > tnblc 4.450] so (Ho) rejected and (Ha) accepted it means there is obvious difference between garbage service distribution with the garbage/cleaning. Analysis to garbage processing variable by emphasizing on garbage processing through composting and 3R. Hypothesis examination results show that result the hunt value of 32.691 while ttable (df;7) of 1.895 then [tcoV1i 12.557 > ttnble 4.450] so (Ho) rejected and (Ha) accepted so there is an influence between garbage piles which are not handled by increasing the garbage processing through composting. Linear regression examination results show that constant (a) of - 28.212 garbage processing through 3R application is negative it means that 3R system obviously will decreace the garbage processing amounted 28.212, while regression value (b2) of 1. Regression will decreace the garbage piles of 0.267 it means there is garbage contribution to garbage process through 3R. By the hypothesis results show hunt value of 21.413 where hunt of 1.895 then [#count 21.413 > tiab]c 1.895] so (Ho) rejected and (Ha) accepted it means there is obvious influence between garbage piles which are not handled with garbage processing through 3R. Based on the analysis, it can be drawn the following conclusion: 1. The retribution of garbage/cleaning services, which still plays low roles on the cost of garbage processing and on the regional budget, represents the root causes in financing the urban garbage processing. 2. The high potency of the retribution of the garbage/cleaning services occupies on the retribution payer of households with the building size of 71-300 m2 and the building size > 000 m` while little part of the potency remains at the households with the classification of the building size < 71 m2, so the cross subsidy occurs. 3. The garbage piles that is not handled can be reduced by composing and 3 R.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Rachmawati
Abstrak :
Pemenuhan kebutuhan pangan adalah salah satu masalah dunia termasuk Indonesia. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan pangan yang membuat produksi yang ada tidak mencukupi lagi. Upaya yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pangan adalah dengan meningkatkan produksi melalui program intensifikasi, yaitu dengan penggunaan benih unggul, pupuk dan pestisida kimia sintetis, dan sistem pertanaman monokultur. Pada awalnya usaha tersebut mendatangkan hasil, yaitu dengan tercapainya swasembada beras, namun hal itu temyata hanya berjalan lima tahun. Setelah itu produktivitas menurun kembali dan malah kemudian timbul dampak yang disebabkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap keamanan pangan dan kesehatan lingkungan. Berdasarkan keprihatinan pada hal tersebut di atas, ditambah lagi dengan berkembangnya gaya hidup sehat maka timbulah gerakan untuk menerapkan kembali pertanian organik. Pertanian organik adalah pertanian yang tidak menggunakan input yang berbahan kimia, serta menerapkan manajemen yang berupaya memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Teknologi yang digunakan dalam pertanian organik adalah pertanian yang sesuai dengan kaidah alam, seperti pendaurulangan limbah pertanian, rotasi tanaman, pembuatan guludan, terasering, pengendalian hama secara mekanis dan biologis, dan lain-lain. Melalui teknologi seperti tersebut diatas, membuat pertanian organik dapat meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi. Meskipun pertanian organik mempunyai banyak kegunaan, akan tetapi penerapannya di Indonesia masih sangat sedikit (1%). Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka secara umum tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi tenting pertanian organik, manfaat serta biayanya, kelayakannya serta hambatan-hambatan dalam penerapannya untuk kemudian dicarikan jalan keluamya berupa strategi pengembangan pertanian organik. Untuk itu tujuan khusus penelitian adalah (1) mendeskripsikan penerapan pertanian organik pada lahan sawah, (2) rnelihat perbandingan manfaat biaya ants a pertanian organik dengan pertanian anorganik, (3) menganalisis kelayakan penggunaan pertanian organik berdasarkan manfaat dan biayanya, (4) mengapaiisis faktor-faktor yang menghambat penerapan pertanian organik oleh petani, (5) menganalisis Iangkah-langkah dalam upaya mengembangkan pertanian organik. Penelitian dilakukan dengan pendekatan with and without, berlokasi di Desa Patoman sebagai lokasi penerap pertanian organik, dan Desa Panutan, Bumi Ratu dan Tugusari sebagai lokasi pertanian anorganik. Semua berlokasi di Kecamatan Pagelaran, Propinsi Lampung. Penelitian bersifat deskriptif analitis, sedangkan dilihat dari kejadiannya maka metode yang digunakan adalah metode ex post facto. Pengambilan data dilakukan melalui studi literartur, observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif yang dilakukan digunakan untuk tujuan pertama dari penelitian ini. Analisis kuantitatif yang digunakan antara lain analisis usahatani, Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BJC Rasio), analisis sensitivitas, analisis SWOT. Kesimpulan penelitian yang diperoleh sebagai berikut (1) penerapan pertanian organik di Desa Patoman belum sepenuhnya mengacu pada pedoman umum pertanian organik yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian, sehingga belum bisa dikatakan sebagai penerap pertanian organik secara murni, (2) selain manfaat secara langsung, ada manfaat lain yang dperoleh dari penerapan pertanian organik, yaitu manfaat tidak langsung berupa peningkatan kesuburan tanah, kesehatan lingkungan kerja, serta manfaat lainnya seperti manfaat pilihan yang berupa meningkatnya keanekaragaman hayati, (3) berdasarkan analisis finansial yang dilaksanakan dengan periode waktu 5 tahun dan suku bunga 15% diperoleh hasil bahwa pertanian anorganik lebih Iayak dilaksanakan daripada pertanian organik, namun jika berdasarkan analisis ekonomi dan lingkungan terpadu diperoleh hasil bahwa pertanian organik lebih layak dilaksanakan daripada pertanian anorganik (4) hambatan-hambatan yang dialami dalam pengembangan organik adalah: ketersediaan pupuk dan pestisida organik; terbatasnya informasi mengenai teknologi terapan, pembuatan pupuk dan pestisida organik yang praktis dan cepat; status kepemilikan lahan; prosesnya dianggap kurang praktis; terjadi penurunan produksi pada awal penerapannya; tidak adanya perbedaan harga antara produk organik dengan anorganik dan kurangnya dukungan pemerintah (5) strategi kebijakan yang dapat ditempuh dalam pengembangan pertanian organik adalah mengatasi adanya penurunan produksi pada awal penerapannya dengan memanfaatkan sifat pertanian organik yang dapat menyuburkan tanah; mengatasi adanya hambatan informasi baik dalam hal teknologi, pasar maupun harga serta memperbaiki jaringan pemasaran dengan memberdayakan program pemerintah dan LSM-LSM yang peduli pada pertanian organik; Melengkapi kurangnya sarana dan prasarana pertanian organik; Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan sebagai berikut: (1) pertanian organik perlu dikembangkan lebih lanjut mengingat dalam jangka panjang lebih Iayak dilaksanakan dan dapat membuat keberlanjutan pertanian (2) dalam pengembangan pertanian organik diperlukan dukungan yang nyata dari berbagai pihak terutama pemerintah, lembaga penelitian, LSM dan mayarakat; perlu adanya suatu pedoman penerapan perianian organik yang praktis dan mudah dilakukan serta mudah diperoleh oleh masyarakat luas; diperlukan adanya penelitian-penelitian lebih lanjut dan memadai tentang pertanian organik (3) untuk memasyarakatkan kembali pertanian organik dapat dilakukan dengan penyuluhan pada para petani dan sosialisasi pada masyarakat tentang produk organik. Daftar Kepustakaan 43, (1971-2004)
One of the issues that the world, and Indonesia, is facing is to meet human population's demand for food. The rapid population growth result in the increasing demand for food which cannot be fulfilled sustained by the prevailing production system food production. Thus far to increase food production has been met through agricultural intensification. This Programmed includes the use of high-yielding seed, synthetic chemicals fertilizers and pesticides, and monoculture. In the beginning, the programmed seemed to be successful when Indonesia achieved rice self-sufficiency. However, the success only lasted five years, and rice productivity has been declining since. Furthermore, adverse impact have emerged as result of the excessive use chemical fertilizers and pesticides. The decline in productivity is caused by the decreasing fertility of agricultural land as due to the overuse of synthetic chemical fertilizers and pesticides. This overuse of synthetic chemicals also affects food safety and environmental health. Based on these concern along with the need for more healthy public lifestyle, a movement to return to organic farming emerged. Organic farming is a type of farming, which excludes chemical inputs, and practices management that protects ecosystems achieve sustainable productivity. Technologies in organic farming support an agricultural system suitable with the principles of nature, such as recycling of agricultural wastes, plant rotations, the making of guludan, terasering, mechanical and biological pest control. By using these technologies, organic farming raises soil fertility, biological diversity, environmental quality, and produce products that are safe for human consumption. Despite the various benefits of organic farming, its application in Indonesia remains low (1 percent), which then raises an important issue of why. The objective of this research is to obtain information about organic farming, its benefits as well as its costs, its feasibility, and the obstacles in applying it. This information is used to formulate a strategy of organic farming development. The specific objectives of this research are (1) to describe the application of organic farming on rice field, (2) to draw benefit-cost comparison between organic farming and anorganic farming, (3) to analyze the feasibility of the application of organic farming based on its benefits and cost, (4) to analyze factors that restrain the application of organic farming by farmers, and (5) to analyze the needed measures to develop organic farming. This research uses a 'with' and `without' approach, in Patoman Village with organic farming, and Panutan village, Bumi Ratu and Tugu Sari without organic farming. The research area is located in Pagelaran District, Lampung Province. The research is descriptive-analytical, and use the ex-post facto method. Data collection has been carried out through interviews using questionnaire, direct observation and literature study. Data analysis is conducted qualitatively and quantitatively. The qualitative analysis is used to meet the first objective of this research. The quantitative analysis includes farming business analysis (analsis usahatani), Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (WC Ratio), Sensitivity analysis, and SWOT analysis. The results of this research are as follows: (1) the application of organic farming in Patoman Village has not completely been in accordance with the general guidelines of organic farming issued by the Indonesian Ministry of Agriculture, and hence does not meet the tuff requirements of organic farming; (2) besides the direct benefits, there are other benefits from organic farming, such as increased soil fertility, increased health condition of the work environment, and increase of biological diversity. In terms of the cost, there is a reduction of cost if organic farming Is implemented; (3) the financial analysis of the application of organic farming within a five-year period, using an interest rate of 5 percent, proves anorganic farming is more feasible than organic farming; however based on the integrated economic and environmental analysis, it proves that organic farming is more feasible than anorganic farming; (4) the obstacles in developing organic farming include the provision of organic fertilizers and pesticides; the limited information of applied technology for a practical and fast production of organic fertilizers and pesticides; land tenure status; the impracticality of the process; the decline of production at the initial stage of the application; the absence of price differences between organic and anorganic products, and the minimum support from the government; (5) the policy strategy which can be implemented in developing organic farming is to overcome the production decline at the initial stage of the application by taking advantage of the nature of the organic farming that can increase soil fertility; to overcome information bafflers regarding technology, market and price; to improve the marketing network by making efficient use of government programs as well as non-governmental organizations that support organic farming; and to equip farmers with adequate facilities for organic farming. Based on results of this research, it is recommended that: (1) organic farming needs to be further developed knowing that in the long run it is more feasible than anorganic fanning to create sustainable agriculture; (2) to develop an organic farming, significant support is needed from different parties, particularly from, the government, research institutions, non-governmental organizations, and the public as producers and consumers,; it is also necessary to develop practical and easily obtainable guidelines in organic farming. Further appropriate research on organic farming is needed (3) to promote organic farming, educating and training the farmers as well as socialization to the public are necessary. References 43, (1971-2004)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwina Agreni
Abstrak :
Kota Padang Panjang sebagai kota terkecil di Propinsi Sumatera Barat memiliki sumberdaya alam yang terbatas. Kondisi topografi alamnya yang bergelombang semakin memperkecil ketersediaan lahan yang efektif untuk dimanfaatkan dalam pembangunan. Keterbatasan tersebut menjadi masalah dalam pengelolaan sumbedaya alam dan Iingkungan di daerah, dan juga dalam rencana penataan ruang wilayah. Tidak jarang dijumpai alokasi pemanfaatan yang kompleks pada satu kawasan alam yang menurunkan fungsi tertentu dari Iingkungan alamnya dan menimbulkan kerugian bagi kawasan disekitamya. Salah satu kawasan alam yang dimanfaatkan secara bersama oleh masyarakat Padang Panjang adalah Kawasan Bukit Tui. Bukit ini memiliki kandungan batu kapur yang cukup potensial, sehingga berkembang kegiatan penambangan dan industri kapur. Sebagian wilayah Bukit Tui juga ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pemanfaatan Bukit Tui sebagai Kawasan Lindung, Kawasan Penambangan Batu Kapur dan Kawasan Industri Kapur ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Padang Panjang melalui Perda Nomor 14 Tahun 1998. Diduga, pemanfaatan sebagai Kawasan Penambangan Batu Kapur dan Industri Kapur memberikan dampak yang berlawanan terhadap keberlangsungan fungsi Bukit Tui sebagai Kawasan Lindung. Saat ini sebagian areal Bukit Tui juga dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan wilayah pemukiman. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) memperoleh gambaran mengenai kegiatan pemanfaatan kawasan Bukit Tui menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang Panjang; (2) memperoleh data dan informasi manfaat kawasan Bukit Tui, balk sebagai Kawasan Lindung, Kawasan Pertambangan maupun Kawasan Industri Kapur dan (4) mengkaji prioritas pengembangan dan pemanfaatan kawasan Bukit Tui ditinjau dari nilai manfaat yang diperoleh. Penelitian ini adalah penelidan deskriptif. Metode yang digunakan gabungan dari kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung nilai manfaat kawasan Bukit Tui menurut alokasi yang ditetapkan. Metode kualitatif digunakan untuk menggambarkan kondisi Iingkungan dan pola pemanfaatan Bukit Tui, balk menurut yang ditetapkan dalam RTRW maupun menurut perkembangan aktual scat ini. Penilaian manfaat dari Kawasan Lindung mencakup nilai penyerapan karbon, nilai pengendali erosi dan nilai sumber air Tungku Sadah. Sedangkan nilai manfaat dari Kawasan Penambangan Batu Kapur dan Kawasan Industri Kapur didapat dengan analisis terhadap manfaat biaya dari masing-masing kegiatan. Penilaian terhadap nilai kerugian yang diderita petani padi sawah akibat dampak dari kegiatan penambangan dan industri kapur juga dihitung dan dikategorikan sebagai nilai ekstemal. Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut (1) Pemanfaatan Bukit Tui menurut RTRW Kota Padang Panjang (Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Padang Panjang Nomor 14 Tahun 1998) adalah sebagai Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Penetapan sebagai Kawasan Lindung adalah untuk kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat dan kawasan rawan bencana alam. Alokasi sebagai kawasan budidaya meliputi Kawasan Penambangan Batu Kapur dan Kawasan Industri Batu Kapur. Alokasi pemanfaatan tersebut memperlihatkan adanya kompleksitas pemanfaatan Kawasan Bukit Tui; (2) Pemanfaatan Kawasan Bukit Tui yang ditemui di lapangan saat ini berkembang dari apa yang telah ditetapkan dalam RTRW. Selain tetap dimanfaatkan sebagai Kawasan Lindung, Kawasan Pertambangan Batu kapur dan Kawasan Industri Kapur, Bukit Tui juga dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, pemukiman, dan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam; (3) Nilai manfaat pertahun (keadaan perhitungan tahun 2005) yang diperoleh dari pengalokasian kawasan Bukit Tui sebagai Kawasan Lindung adalah sebesar Rp.5.432.423.739,6, meliputi nilai penyerapan karbon Rp.642.068.337.6, nilai pengendalian erosi Rp.84.319.200,- dan nilai sumber air bagi masyarakat Rp.1.982.858.202,- serta Rp.2.723.178.000,- bagi PDAM sebagai opportunity cast apabila sumber air Tungku Sadah tidak aria. Pengalokasian kawasan Bukit Tui sebagai Kawasan Pertambangan Batu Kapur mempunyai nilai manfaat pertahun sebesar Rp.502.841.575,76 dan sebagai Kawasan Industri Kapur sebesar Rp. 1.055.814.000,-. Kedua nilai tersebut adalah nilai manfaat sebelum dikurangi dengan nilai dampak yang ditimbulkan. Dampak dari kedua kegiatan adalah penurunan produksi padi sawah yang terkena aliran erosi dari areal penambangan dan Iimbah industri kapur . Nilai dampak tersebut dikategorikan sebagai nilai ekstemal yang ditanggung masyarakat dengan nilai sebesar Rp.45.491.225,-/tahun; dan (4) Prioritas pemanfaatan berdasarkan nilai manfaat terbesar dari Kawasan Bukit Tui adalah sebagai Kawasan Lindung. Untuk mempertahankan fungsi pelestarian Iingkungan dari kawasan tersebut secara menyeluruh adalah dengan meniadakan kegiatan budidaya yang merusak termasuk pertambangan dan industri batu kapur. Jika pemerintah daerah, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, berketapan untuk tetap mengalokasikan pemanfaatan sebagai Kawasan Pertambangan dan Kawasan Industri Kapur di Kawasan Bukit Tui, maka harus diikuti dengan upaya pengelolaan dampak kedua kegiatan agar fungsi lndung dari kawasan tetap terpelihara dan dapat terhindar dari bencana alam yang pada akhimya akan merugikan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan agar (1) meninjau kembali pemanfaatan Kawasan Bukit Tui melalui penyusunan dan penyempumaan RTRW dengan ikut memperhatikan nilai manfaat dan nilai dampak yang ditimbulkan; (2) untuk keperluan penilaian manfaat dan dampak dari kegiatan pemanfaatan Bukit Tui diperlukan dukungan data yang akurat mengenai kondisi kawasan dan potensi pemanfaatannya; (3) menerapkan pola penambangan terkendali pada lokasi penambangan yang akan ditetapkan dalam RTRW Kota Padang Panjang yang akan datang; (4) pemerintah daerah diharapkan dapat segera memberlakukan ketentuan pengelolaan Iingkungan bagi kegiatan pemanfaatan kawasan yang menimbulkan dampak merugikan bagi Iingkungan alam dan masyarakat; (5) mencarikan altematif pemanfaatan dari sumberdaya alam yang ada di Kawasan Bukit Tui dengan memperhatikan karakteristik kawasan dan kelestarian fungsi Iingkungannya; dan (6) untuk keperluan pengelolaan kawasan Bukit Tui sebagai Kawasan Lindung, perlu kiranya pemerintah daerah mengalokasikan dana pengelolaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T20228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sujatini
Abstrak :
Kerusakan lingkungan telah menjadi isu sentral dunia tidak hanya di negaranegara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Salah satu akibat dari kerusakan Iingkungan tersebut adalah timbulnya kesulitan untuk mendapatkan air bersih Hal ini dibuktikan dari Iaporan tiap tahun negara-negara di dunia mengenai kondisi air di masing-masing negara pada seat penngatan hari air bersih sedunia tiap tanggal 22 Maret. Isu yang terkait dengan masalah air selain akses terhadap air bersih juga mengenai bencana kekeringan di musim kemaran dan banjir di musim hujan. Masalah air ini adalah suatu kondisi yang rriengganggu berlangsungr_ya proses pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan suatu negara yang sejahtera_ Pertumbuhan dan perkembangan Propinsi DKI Jakarta menyebabkan tekanan yang berat terhadap kota. Dikeluarkannya Inpres No. 13 Tahun 1976 merupakan salah satu upaya untuk mengatasi pengembangan wilayah Jabotabek yang menghasilkan strategi pembangunan ke arah timer dan berat" Pengembangan ke arah barat adalah ke Kota Tangerang untuk peruntukan kota industri, sedangkan pengembangan ke arah timer (ke Kota Bekasi) adalah .untuk daerah permukiman. Salah satu ketetapan dalam konsep pengembangan Jabotabek adalah pengembangan kota-kota yang berada di sekitar Jakarta Untuk menampung jumlah penduduk yang telah melebihi kapasitas daya dukung dan daya tampung Jakarta, maka tuinbuhlah kota-kota bar' (sub urban). Wilayah Serpong, Kabupaten Tangerang adalah salah satu wilayah yang berpotensi untuk menjadi kota mandiri. Tumbuhnya kota baru tidak dapat dihindari akan menimbulkan efek bagi lingkungan. Perubahan yang pertama terjadi adalah konversi lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Perubahan ini akan berakibat pada peningkatan jumlah air larian (run off) dan penurunan jumlah air yang meresap. Akibatnya, persediaan air tanah akan berkurang sedangkan kebutuhan akan air bersih justru meningkat akibat dari pertumbuhan dan perkembangan jumlah penduduk. Untuk mengetahui masalah ini pads kasus kota baru sampai ke akar permasalahannya, maka Peneliti mengambii studi kasus pads aspek hidrologi di sebuah kota ban.", yaitu Kota BSD. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui besarnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh terjadinya peningkatan air larian, yaitu berkurangnya ketersediaan air tanah pads musim kering dan banjir pada musim hujan, dan (2) memformulasikan suatu pemecahan masalah untuk mengendalikan peningkatan air Iarian dan mempertahank agar air dapat meresap ke dalam tanah semaksimal mungkin Penelitian ini adalah penelitian deskriptif Metode yang digunakan adalah gabungan Bari kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan uotuk menghitung peningkatan air larian, dan air yang meresap akibat adanya pembangunan BSD, dihitung dengan GIS (Geografis Information System). Sedangkan metode kualitatif digunakan untuk menggambarkan kondisi di daerah penal-Man dengan mengadakan observasi dan pengkajian data sekunder (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah), wawancara dengan pembuat RUTRW, dan pemerintah setempat, menyebar kuisioner, didukung oleh teori-teori tentang keherlanjutan pembangunan suatu kota, serta teori perkembangan teknologi. . Terakhir analisis dan sintesis, yang basil akhunya berupa syarat syara:t untuk menuju proses pembangunan berkelanjutan, berupa kebijakan dan teknologi. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) Pembangunan BSD teiah menyebabkan kerusakan lingkungan khususnya yang berkaitan dengan hidrologi. (2) Pembangunan BSD telah menyebabkan erosi dan sedimentusi pada sungai khususnya sungai Cisadane (3) Pembangunan BSD telah menyebabkan persediaan air tanah berkurang sebesar 44,1 juta mat, air tartan meningkat sebesar 63,6 juta m31 tahun atau senilai Rp. 318 milyard/ tahun (4) Sekecil apapun pembangunan pasti akan merusak lingkungan, akan tetapi kerusakan lingkungan dapat dikendalikan_ Siran peneliti adalah (1) Peninjauan ulang master plan BSD (2) Jmplementasi peraturan (3) Pembuatan waduk pengendali banjir yang mempunyai multi fimgsi, yaitu sebagai cadangan air, pengendali banjir dan sebagai Pembangkit Tenaga Listrik (PLTA) (hemat energi. (4) Treatmen air limbah rumah tangga (5) Artificial Recharge dengan cara mengijeksikan air ke lapisan air tanah akifer dengan diijeksikan (6)Ecological Footprint perlu diterapkan (7) Penelitian lanjutan, membuat permodelan hubungan antara konversi lahan dengan kerusakan lingkungan.
Environmental damage has become a central issue in the world, not only in developing countries but also in developed countries. The damage has lead to a problem of clean water access, drought in dry season and flood in rainy season. The depth of the problem can be retrieved from the reports in World Water Day every March 22 submitted by many countries in the world. Unless a measure is made, this water problem will disturb the development process to achieve the goal of a prosperous nation. The growth and development in DK1 Jakarta has lead to a heavy pressure to the city. The enact of Inpres No. 13 Tahun 1976 is an. effort to solve Jabotabek development resulted in the development strategy to east (Bekasi) and west region (Tangerang) of Jakarta. An entry in development concept of Jabotabek is the development of cities surrounding Jakarta. New cities (sub urban) are growing to contain more people from overpopulated Jakarta. Serpong City in Tangerang Regency is one of the new city that has the potency to become an Autonomous City. The growth of new cities/sub urban areas will unavoidably affect the environment The first change is land conversion from an open space to a built area. The conversion will raise the amount of water run off and decrease the amount of water percolation and infItration. This condition will resulted to a water crisis due to the decrease the water table while in the same time there is an increase of water demand caused by the population growth of the area. To study this problem, the writer chose a case study of hydrology aspect of sustainable development in a sub urban, BSD City. The study aimed to (1) study the environmental damage caused by the increase of run off (low water table in dry season and flood in rainy season), (2) formulate a method to control water rim off and to maintain a high water percolation and infiltration. The study uses a descriptive approach. A Quantitative method is used to hence the run off resulted from BSD development and the decrease of water infiltration with the help of GIS (Geographic Information System). A Qualitative method is used xviii to describe condition in research site. Observation, secondary data (RUTRW), interview with people who made the RUTRW, interview with Iocal government, and questionnaire distribution are employed to get better overview. Analysis and synthesis are developed using sustainable development .theories and technology development information to form conditions needed to achieve sustainability including regulations to use new technology to solve the water crisis. This study shows that (1) the development of BSD City has caused an environmental damage, in this case is hydrological problem (2) the development of BSD City caused erosion and sedimentation in rivers, especially Cisadane River that has been serving as clean water source for industry and household sectors in Tangerang Regency. The sedimentation decreases the river's capacity to store water. (3) the development of BSD City decrease water table for the amount of 44,1 million m' per year, (4) the development of BSD City increase water run off as high as 63,6 million m per year equal to Rp 318 billion per year. Any new building will increase water run off. The measure should be taken is to control run off so the damage can be put into minimum effect and maintain the hydrological cycle. The writer suggests the following: (1) re-review BSD Master Plan, (2) implement policy that regulate the installment of water run off control structure and artifificial water recharge , (3) Build ponds to control flood that with the use of new technology can be used as an electricity plant, (4) Install household greywater treatment plant to avoid water pollution and as a new source for clean water, (5) install artificial water re-charger to aquifer layer to maintain normal hydrological cycle.(6) Made simulaton about enviromental damage land conversion from an open space to a built area.(T) implement Ecological Footprint.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T18121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustiawan Anis
Abstrak :
Salah satu hasil penting KTT Bumi (1992) adalah menempatkan aspek lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perdagangan barang dan jasa, dan melahirkan suatu pendekatan baru dalam pengelolaan lingkungan, yaitu pendekatan berorientasi pasar (market-based oriented). Pendekatan tersebut melahirkan preferensi baru dalam pengaturan standar-standar lingkungan yang berlaku global dan bersifat sukarela (voluntary), serta digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional. Salah satu standar lingkungan internasional tersebut adalah standar manajemen lingkungan seri ISO-14000, dan salah satunya adalah standar sistem -manajemen lingkungan (SML) ISO-14001. SML ISO-14001 merupakan salah satu alat atau perangkat manajemen lingkungan guna mencapai perbaikan berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan (continual improvement). Penerapan SML ISO-14001 relatif baru, sejak terbit tahun 1996 sampai pertengahan tahun 2000 diperkirakan lebih dari 14,000 organisasi di dunia telah meraih sertifikat SML ISO-14001, dimana 70 organisasi diantaranya berada di Indonesia. Dalam penerapannya, beberapa kalangan masih meragukan efektifitas penerapan SML ISO-14001 dalam mendukung tercapai dan terpeliharanya perbaikan lingkungan yang berkelanjutan (continual improvement). OIeh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan penerapan SML ISO-14001 pada organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan pada tiga organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001 paling sedikit dua tahun adalah: a. Untuk mengetahui tingkat perkembangan penerapan SML ISO-14001; b. Untuk mengetahui pola kinerja lingkungan (operasional); c. Untuk mengetahui tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan; d. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh setelah menerapkana dan meraih sertifikat SML ISO-14001 3. Hipotesis Hipotesis kerja penelitian adalah organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001 paling sedikit dua tahun memiliki: a. Perkembangan SML yang lebih baik dari persyaratan minimun standar ISO-14001; b. Pola kinerja lingkungan (operasional) yang cenderung semakin membaik dari waktu ke waktu; c. Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan yang cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu; d. Manfaat nyata penerapan SML. 4. Metode Penelitian Objek penelitian dibatasi pada 3 (tiga) organisasi industri yang telah memperoleh sertifikat SML ISO-14001 dan telah menerapkan SML paling sedikit dua tahun, serta berlokasi di wilayah Jabotabek. Lingkup periode waktu yang diteliti pada objek penelitian adalah sejak SML pertama kali diterapkan sampai waktu penelitian dilaksanakan. Instrumen penelitian divalidasi oleh lima ahli di bidang metodologi penelitian dan SML ISO-14001. Sebelas Orang ahli melakukan penilaian tingkat kepentingan prinsip dan elemen penerapan SML ISO-14001 dengan metode proses analisis hirarki (PAH) yang diolah dengan software Expert Choice Version 9.0. Metode pengumpulan data lapangan menggunakan teknik audit SML, dengan instrumen: (a) daftar ujilperiksa skor tertimbang (weighting score checklist); (b) kuesioner; dan (c) daftar isian kinerja. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif, mencakup: (a) analisis kesenjangan (gap analysis); (b) analisis tabel dan grafik; dan (c) analisis kecenderungan (trend analysis) regresi kurva linier. 5. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: a. Penilaian ahli dengan metode PAH menunjukkan ada perbedaan tingkat kepentingan prinsip dan elemen penerapan SML ISO-14001, yaitu: prinsip pelaksanaan dan operasi (0.335), prinsip pemeriksaan dan tindakan koreksi (0.237), komitmen dan kebijakan (0.229), dan prinsip perencanaan (0.199). Sedangkan lima elemen dengan tingkat kepentingan relatif tertinggi adalah: kebijakan lingkungan (0.124), kaji ulang manajemen (0.105), pengendalian operasi (0.088), ketidaksesuaian, tindakan koreksi, pencegahan (0.083), dan struktur-tanggungjawab (0.071). b. Rerata skor penerapan SML 1S0-14001 masing-masing organisasi penelitian adalah 54.6% (PT.ABC), 58.2% (PT.OPQ), dan 63.2% (PT.XYZ). Skor tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan yang besar dalam penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian. c. Rerata perkembangan (skor beyond ISO) masing-masing organisasi penelitian adalah 76.1%-(PT.ABC), 87.8% (PT.OPQ), dan 103.9% (PT.XYZ). Skor tersebut menunjukkan penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian telah melampaui persyaratan minimum standar ISO-14001. d. Kinerja lingkungan (operasional) ketiga organisasi penelitian belum seluruhnya menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Kinerja operasional dipengaruhi oleh: (1) tingkat kepedulian karyawan; (2) pemantauan kinerja manajemen; (3) evaluasi kinerja operasional; dan (4) alokasi biaya lingkungan. e. Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada ketiga organisasi penelitian belum menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kinerja ketaatan terhadap peraturan lingkungan dipengaruhi oleh: (1) tingkat pengetahuan dan pemahaman peraturan lingkungan; (2) mekanisme inspeksi lingkungan; (3) pengkajian manfaat dan biaya; dan (4) mekanisme tindakan koreksi dan pencegahan. f. Manfaat nyata yang diperoleh organisasi penelitian selama menerapkan SML ISO-14001 dua tahun atau lebih adalah kerapihan dan kebersihan, serta meningkatnya kepedulian lingkungan karyawan. g. Kesenjangan penerapan SML ISO-14001 terhadap praktik manajemen lingkungan terbaik (BEMP-best environmental management practices) terletak pada pendekatan rancangan sistem yang belum sepenuhnya tepat dan konsisten, baik dari segi orientasi sistem maupun karakteristik efektifitas system. 6. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: Penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian telah berkembang Iebih baik dari persyaratan minimum standar SML ISO-14001, namun masih memiliki kesenjangan relatif terhadap praktik manajemen lingkungan terbaik (BEMP-best environmental management practices); Pola kinerja lingkungan (operasional) pada ketiga organisasi penelitian belum seluruhnya menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik dari waktu ke waktu selama periode dua tahun Iebih penerapan SML ISO-14001; Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada ketiga organisasi penelitian belum menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu selama periode dua tahun Iebih penerapan SML ISO-14001. Manfaat nyata yang diperoleh organisasi penelitian setelah menerapkan SML ISO-14001 dua tahun Iebih adalah kerapihan dan kebersihan, serta meningkatnya kepedutian lingkungan karyawan.
Progress Evaluation of Implementation of Environmental Management System ISO-14001 (Case Studies: 3 industries in Jabotabek Region)1. Background Earth Summit in 1992, among other results, has put environmental aspect as significant factor to trade on goods and services. The summit has also commenced market based oriented as a new approach on environmental management. The approach brings in new preference on regulating international and voluntary environmental standards, and has used as reference in international trade. One of the standards is ISO-14000 series standard on environmental management, which includes ISO-14001 environmental management system (EMS) standard. ISO-14001 EMS meant to achieve continual improvement within environmental impact management. Implementation of ISO-14001 EMS is relatively new, it is predicted that since its issuance in 1996 up till med of 2000, more than 14,000 organizations around the world has gained ISO-14001 certificate, includes 70 organizations in Indonesia. In the implementation, some group of people still skepticism on how effective implementation of ISO-14001 to achieve continual improvement of environmental performance. Therefore, writer interests to study progress of implementation of ISO-14001 EMS within organization that has gained and implemented ISO-14001 certificate. 2. Objectives Objectives of the study, progress evaluation of implementation of ISO-14001 in three organizations that has gained ISO-14001 certificate for at least two years, includes: a. To examine level of implementation progress of ISO-14001 EMS; b. To examine model of operational environmental performance; c. To examine level of compliance to environmental regulation; d. To examine benefits from implementing ISO-14001 EMS. 3. Hypothesis Hypothesis of the study is that organization that has gained and implemented ISO-14001 EMS for at least two years, should has: a. Progress of EMS implementation that is better than minimum requirement standard of ISO-14001; b. Pattern of operational environmental performance that is tend to continually improve; c. Level of environmental regulation compliance that is tend to improve from time to time; d. Gain real benefits of EMS implementation. 4.Research Methods The study limits to three organizations that has gained ISO-14001 certificate and has implemented it for at least two years, and located in Jabotabek region. Time frame of the study is since EMS was implemented for the first time up until the time of the study. Five experts on research methodology and ISO-14001 EMS validate instrument of the study. Eleven experts judges level of importance of each lSO-14001 principles and element by using Analytical Hierarchy Process (AHP). The judgment has developed by using Expert Choice Version 9.0 software. Method of data collection is EMS audit by using instruments: (a) weighting score checklist; (b) questionnaires; and (c) performance evaluation form. Data has been analyzed with descriptive analytical statistic, includes: (a) gap analysis; (b) tables and graphs analysis; and (c) trend analysis of linear regression curve. 5.Results and Discussion Results of the study are as follows: a. Experts judgment by using AHP indicates differentiate between level of importance of ISO-14001 EMS principles and elements implementation, as follows: implementation and operation principle (0.335), checking and corrective action principle (0.237), commitment and policy principle (0.229), and planning principle (0.199). Five elements with level of importance relatively higher are as follows: environmental policy (0.124), management review (0.105), operational control (0.088), non-conformance and corrective and preventive action (0.083), and structure and responsibility (0.071). b. Average score of ISO-14001 EMS implementation of each organization are 54.6% (PT.ABC), 58.2% (PT.OPQ), and 63.2% (PT.XYZ). The score indicates there is no big difference in ISO-14001 EMS implementation between the organizations. c. Average beyond ISO score of each organization is 76.1% (PT.ABC), 87.8% (PT.OPQ), and 103.9% (PT.XYZ). The score indicates implementation of ISO-14001 EMS by the organizations has go beyond minimum requirement standard of ISO-14001. d. Operational environmental performance of the organizations has not yet indicated trend of continual improvement. The operational performance has effected by: (1) level of employee awareness; (2) monitoring of management performance; (3) evaluation of operational performance; and (4) allocation of environmental budget. e. Level of compliance to environmental regulation of the organizations has not yet indicated a positive trend from time to time. The compliance performance has determined by: (1) level of knowledge and understanding of environmental regulation; (2) environmental inspection mechanism; (3) cost-benefit review; and (4) corrective action and preventive mechanism. f. Real benefits gained by the organizations by implementing ISO-14001 EMS for two years or more are even more clean and tidy, and increasing of environmental awareness of the employees. g. Gap to best environmental management practices (BEMP) is a chance to the organizations to improve and leveling their EMS performance. The Gap is on approach of system design that has not yet appropriate and consistent, for both system orientation and effectiveness of system characters. 6. Conclusions Conclusions drawn from the study are as follows: a. ISO-14001 EMS implementation of the organizations has developed better than minimum requirement standard of ISO-14001 EMS, however there is gap to BEMP; b. Pattern of operational environmental performance of the organizations has not yet indicated trend of continual improvement in the second year or more of ISO-14001 EMS implementation; c. Level of environmental regulation compliance of the organizations has not yet indicated a positive trend from time to time in the second year or more of ISO-14001 EMS implementation; d. Real benefits to the organizations for the period of the second year or more of ISO-14001 EMS implementation are cleanness and tidiness, and increasing environmental awareness of the employees. e. Bibliography: 57 (1985-2000)
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvianita Timotius
Abstrak :
Pulau Rambut adalah salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Sejak tahun 1937 telah berfungsi sebagai area konservasi yaitu cagar alam. Terhitung Mei 1999 statusnya diubah menjadi suaka marga pulau Rambut melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999. Baik sebagai cagar alam maupun suaka margasatwa, fungsi perlindungan dijalankan dengan pertimbangan utama adalah melindungi burung-burung yang tinggal di pulau tersebut. Pulau ini mendukung lebih dari 50 jenis burung, baik burung merandai maupun burung-burung lain. Beberapa jenis burung di antaranya masuk dalam kategori satwa yang dilindungi serta ada pula yang masuk dalam satwa yang terancam punah. Salah satu pertimbangan penurunan status adalah pengembangan P. Rambut untuk wisata. Untuk mengelola pulau dari status cagar alam (sangat ketat) ke suaka margasatwa (menjadi lebih terbuka) berarti dibutuhkan pengelolaan yang tepat. Dengan fungsi yang besar namun berbagai kendala yang dihadapi dibutuhkan keterlibatan banyak pihak serta pengelolaan yang mempertimbangkan berbagai kendala tersebut. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta sebagai pihak yang berkewajiban membuat rencana pengelolaan, belum menetapkan rencana pengelolaan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pihak (pelaku) yang terkait dengan P. Rambut, menganalisis skenario masa depan pulau yang diinginkan para pelaku, mengidentifikasi permasalahan dalam pencapaian masa depan, serta menetapkan prioritas kebijakan yang harus dibuat dan dijalankan untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya mengajukan secara garis besar usulan pengelolaan P. Rambut. Penelitian ini menggunakan proses hirarki analisis sejak tahap awal berupa identifikasi pelaku hingga tahap penentuan prioritas kebijakan. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner terbagi dalam dua tahapan (proses depan dan proses balik) yang disebar kepada lima kelompok responden yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, masyarakat, dan swasta. Skenario atau masa depan P. Rambut diajukan dalam tiga alternatif, yaitu: 1. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata dengan pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan dengan melibatkan masyarakat di sekitar pulau sehingga diharapkan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengelolaan P. Rambut. Masyarakat yang dimaksud adalah yang ada di P. Untung Jawa, Jakarta serta di Tanjung Pasir, Tangerang. 2. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata tanpa pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan tanpa pengelolaan dengan pertimbangan meningkatkan pendapatan pemerintah secara maksimal. Selain itu, pengunjung yang datang ke pulau selama ini relatif tidak banyak sehingga dianggap tidak mengganggu kehidupan burung. 3. Perlindungan burung merandai tanpa menjalankan wisata. Dengan status suaka margasatwa maka campur tangan dalam pembinaan habitat diperkenankan. Dengan tujuan hanya melindungi burung, serta menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan maka wisata sama sekali ditiadakan. Analisis menghasilkan prioritas pertama pada skenario 1 yaitu perlindungan burung serta menjalankan wisata. Dalam skala 0-1, skenario ini mempunyai skor 0,621, hampir tiga kali lebih besar dari skenario 3 yang menempati prioritas kedua dengan skor 0,261. Skenario perlindungan tanpa pengelolaan pengunjung hanya memiliki skor 0,118. Skenario 1 menempati prioritas pertama kali di masa yang akan datang akan lebih baik bila masyarakat terlibat langsung. Keterlibatan masyarakat dapat terjadi bila masyarakat mendapatkan nilai lebih dari konservasi itu. Salah satu upaya untuk memberi nilai lebih itu adalah dengan wisata. Dalam pengelolaan P. Rambut, pihak dengan kepentingan paling besar adalah pemerintah (0,278), diikuti oleh masyarakat P. Untung Jawa dan Tanjung Pasir (0,229). Sesuai dengan alasan yang dikemukakan dalam penentuan skenario, para pelaku menilai di masa depan masyarakat di sekitar Pulau Rambut yang sebaiknya memiliki peran paling besar dalam pengelolaan selain pemerintah. Pelaku berikutnya berturut-turut adalah perguruan tinggi, LSM, pengunjung, dan terakhir swasta. Kendala yang harus diselesaikan dalam mencapai skenario pilihan meliputi kendala dari luar pulau, kendala dari dalam pulau, dan kendala pengelolaan. Kendala dari luar berupa (1) pencemaran, (2) berkurangnya area pakan, serta (3) gangguan dari pengunjung. Kendala dari dalam pulau adalah kerusakan hutan serta predator-kompetitor. Kendala pengelolaan terdiri dari (1) minimnya sarana, (2) kesadaran/kepedulian masyarakat yang rendah tentang pentingnya P. Rambut, serta (3) pengelola. Para pelaku menilai permasalahan utama adalah kerusakan hutan (0,192). Pulau Rambut, tepatnya hutan mangrove dan hutan campuran, adalah habitat serta tempat berbiak burung-burung merandai. Kerusakan hutan (yang kini makin meluas) berarti kehilangan tempat tinggal terutama breeding site maka dikhawatirkan mengancam burung-burung di pulau tersebut. Permasalahan berikutnya adalah pencemaran (0,181), penurunan luas area pakan (0,175), rendahnya kepedulian masyarakat (0,143), pengelola (0,110), gangguan oleh pengunjung (0,094), minimnya sarana (0,063), dan terakhir predator kompetitor (0,043). Dalam mengatasi berbagai kendala tersebut di atas, terdapat delapan kebijakan yang perlu dibuat dan diterapkan. Analisis menghasilkan dua kebijakan sebagai prioritas pertama dalam melakukan pengelolaan pulau adalah peningkatan kesadaran masyarakat (0,180) dan rehabilitasi hutan (0,176). Keduanya berkaitan dengan upaya mencegah pencemaran serta upaya rehabilitasi hutan. Kebijakan berikutnya adalah pemberdayaan masyarakat (0,149), penyediaan area pakan (0,117), pembentukan forum kerja sama (0,111), monitoring (0,097), peraturan pengunjung (0,085), dan pembuatan sarana (0,085). Sesuai dengan skenario masa depan P. Rambut yang diharapkan, maka diajukan pengelolaan berupa melindungi burung merandai dengan wisata pengamatan burung. Untuk menjalankan perlindungan bagi burung serta menjalankan wisata maka diperlukan rencana pengelolaan (RP) yang mencakup aspek-aspek teknis. Rencana pengelolaan sebaiknya dibuat secara bersama oleh pihak-pihak terkait. Berarti pemerintah selaku institusi yang bertugas menyusun RP, harus melibatkan pihak-pihak tersebut sejak tahap awal hingga RP selesai. Pelibatan pihak terkait juga harus dilakukan ada dalam keseluruhan rangkaian pengelolaan. Kesimpulan penelitian ini adalah: 1. Terdapat lima kelompok pelaku yang terkait dengan P. Rambut yaitu (1) pemerintah, (2) masyarakat [Tanjung Pasir, Tangerang dan P. Untung Jawa, Jakarta], (3) perguruan tinggi, (4) LSM, dan (5) swasta, secara berurutan menurut prioritas. 2. Para pelaku kebijakan mengharapkan di masa akan datang Pulau Rambut dapat dikelola dengan mempertahankan populasi burung merandai agar relatif stabil dengan kondisi saat ini serta menjalankan wisata dengan menerapkan peraturan kunjungan dan pengunjung. 3. Terdapat delapan kendala yang harus diatasi untuk mencapai masa depan P. Rambut yang diharapkan. Kedelapan kendala tersebut secara berurutan dari prioritas tinggi ke rendah adalah menurunnya luasan hutan habitat burung merandai, pencemaran dari teluk Jakarta, menurunnya area pakan burung merandai, rendahnya kepedulian masyarakat, pihak yang sebaiknya menjadi pengelola, gangguan pengunjung, minimnya sarana, serta predator kompetitor. 4. Kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah meliputi 8 kebijakan. Skala prioritas adalah (1) peningkatan kesadaran masyarakat, (2) rehabilitasi hutan, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) mempertahankan/menyediakan area pakan burung, (5) pembentukan forum kerjasama antar pihak terkait, (6) monitoring flora dan fauna, (7) Pengaturan kunjungan dan pengunjung, dan (8) penyediaan sarana. 5. Dalam upaya mempertahankan fungsi dan keberadaan Suaka Margasatwa P. Rambut, serta diperkenankannya wisata alam terbatas, maka pengelolaan yang sesuai adalah menjalankan kebijakan berdasar prioritas pilihan pelaku kebijakan serta wisata pengamatan burung. Dari penelitian ini, saran yang diajukan adalah: 1. Pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak terkait sejak tahap perencanaan, implementasi pengelolaan, dan evaluasi pengelolaan. 2. Membuat Rencana Pengelolaan P. Rambut, kemudian ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar memiliki kekuatan hukum. 3. Untuk menjalankan pengelolaan secara umum serta secara khusus pengembangan wisata pengamatan burung diperlukan kajian lebih lanjut untuk mendapatkan hal-hal teknis penerapan wisata. 4. Karena lingkup penelitian yang luas, maka studi dengan penerapan proses hirarki analisis perlu dibuat lebih lanjut hingga ke hal-hal teknis.
Rambut Island is one of Thousand islands, North Jakarta. It had been a Strict Nature Reserve since 1937. In May 1999 it has been changed to a Wildlife Sanctury based on Forestry and Aesthetic Crop Ministry Decree No 275/Kpts-II/1999. Both as nature reserve or wildlife sanctuary, the main role of this island is to protect birds that live in. The island supports more than 50 species of birds, encompasses water bird and others. Some of them are categorized as protected animals based on Indonesian law and others as endangered species. One consideration for the changing status was the idea to develop Rambut Island for tourism as well as conservation. it needs good management to manage the island from nature reserve (which is very strict in rule) to wildlife sanctuary that is more open. Rambut Island plays a big function; as a nesting site and a breeding site for birds, but also faces numerous problems. In order to manage the island along with those problems, many stakeholders are needed to take a part. Furthermore those problems become the main focus of the management plan. BKSDA Jakarta is the government's institution in charge and has a role to make the management plan. There is no management plan established so far. The aims of this research are as follows 1. Identifying stakeholders/actors who are related to Rambut Island, 2. Analyzing future scenarios that are chosen by actors, 3. Identifying the problems in order to achieve the scenario, 4. Determining the policy priorities needed then carrying them out to solve problems 5. Proposing the outline of Rambut island wildlife sanctuary management plan. This research uses analytical hierarchy process from first step (identification of the actors) until determination the policy priorities. Data were collected using questionnaire. The questionnaires were divided into two steps (forward scenario and backward scenario) and distributed into five groups of respondents. They were government, non government organization (NGO), university, community and private sector. The following are the forward scenarios of Rambut Island: 1. Protecting water bird, carrying out the tourism and applying regulations for visiting. The tourism is carried out by involving community near the island, so that it becomes a part of the management for protecting the birds. The community encompasses people live in Untung Jawa Island, Jakarta and Tanjung Pasir, Tangerang. 2. Protecting water bird, carrying out the tourism without applying regulations for visiting. The scenario is offered in order to maximize the local income from tourism. The other reason is the number of visitors still low and has not disturbed bird activities. 3. Protecting water bird with no tourism activity. The opportunity for habitat management in wildlife sanctuary gives a better circumstance to full protection for birds and its habitat. Without tourism activity, any disturbance or damage could also be minimized. Result of analysis shows the first priority is on scenario 1 i.e. protecting water bird and running the tourism activity. In scale of one, the score is 0,621. The second priority is scenario 3 with 0,261 and the last with score 0,118 is scenario 2. The first scenario has the highest score because the conservation also has to consider giving value for community, and one way to do that is the tourism activity. The actor who has the biggest part for management of Rambut Island is the government (score 0,278), followed by Untung Jawa and Tanjung Pasir communities (0,229). In the future, the communities as well as the government should act as the main actors in management of Rambut Island. The subsequent actors are university, NGO, tourist and private sector, in respectively. The problems which have to be solved cover the ones come from out of the island, inside the island, and management problem. The problems from out of the island are (1) pollution from Jakarta Bay, (2) decreasing size of feeding ground and (3) disturbance from visitors. The inside problems are (1) forest degradation and (2) predator-competitor. The management problems are (1) poor facilities, (2) lack of community awareness on important values of Rambut Island and (3) institutional problem. The actors define that the main problem is forest degradation (0,192). It is due to the fact that the forest supports birds with nesting site and breeding site. The degradation threatens the life of birds which use the forest. The next problems priorities are pollution from Jakarta (0,181), followed by decreasing size of feeding ground (0,175), lack of community awareness (0,143), institutional problem (0,110), disturbance from visitors (0,094), poor facilities (0,063), and the last is predator-competitor (0,043). The implementation of eight policies is needed as part of management of Rambut Island. The following are the priority given respectively, increasing public awareness (0,180), rehabilitating the forest (0,176), developing capacity of community (0,149), preserving or adding the feeding ground (0,117), making cooperation forum between stakeholders (0,111), monitoring biota (0,097), Appling rules for visitation (0,085) and developing facilities (0,085). According to future scenario for Rambut Island, the ideal management is to protect birds and also to run bird watching activity as tourism part. A management plan should be made and applied, in order to synchronize both activities. The management plan itself, is better made together by stakeholders. This means the government as institution who has the authority to carry out the plan, ideally involves stakeholders from the beginning until the final process of management planning. All related stakeholders are involved in all of the management process. The following are the conclusions of this study: 1. Five groups of stakeholders are involved in Rambut Island. They are government, local community, university, NGOs and private sector, respectively based on priority. 2. Future scenario chosen by all actors is protecting water bird and keeping the population stable with nowadays condition, also running tourism activity by applying visiting rules. 3. There are eight problems have to be solved in order to achieve the future scenario. In priority order are firstly: forest degradation, pollution from Jakarta, decreasing size of feeding area, lack of community awareness, institutional problem, disturbance from visitors, poor facilities, and lastly: predator - competitor. 4. There are eight policies needed to be implemented as part of management of Rambut Island. The priority given respectively to: increase public awareness, rehabilitate the forest, built capacity of community, preserve or add the feeding ground area, make cooperation forum between stakeholders, monitor biota, apply rules for the visiting and develop the facilities. 5. To keep the function and availability of Rambut island wildlife sanctuary, and also allow limited tourism, the appropriate management is to do policies based on actors choices and run bird watching activity. The suggestions of this study are as follows: 1. Government should involve related stakeholders from the first step of planning, implementation and evaluation of the management process. 2. Government together with stakeholders makes the Management Planning for Rambut Island and bring it as a law. 3. Specific study on technical aspects of tourism is needed for implementing the overall management, especially bird watching activity. 4. This study is a big issue; there for a deep analytical hierarchy process study is needed, i.e. looking into technical aspects.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>