Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachreza Aulia Trinanda
Abstrak :
ABSTRAK
Psoriasis merupakan kelainan kulit yang diakibatkan oleh disregulasi sistem imun yang berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup pasien. Sindrom metabolik, di antaranya termasuk obesitas dan hipertensi, diduga memiliki hubungan yang kuat dengan psoriasis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh IMT dan tekanan darah dengan tingkat keparahan psoriasis yang diukur dengan skor Psoriasis Area and Severity Index PASI . Penelitan dilakukan di Unit Rekam Medis Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM dan melibatkan 63 pasien psoriasis yang berobat di RSCM pada tahun 2015 dan 2016. Dari 63 pasien yang ikut serta dalam penelitian ini, tingkat keparahan psoriasis terbagi 18 orang untuk kategori ringan dan 45 orang untuk kategori sedang berat. Terdapat 35 pasien yang dikategorikan obese dan 16 pasien yang dikategorikan mengalami hipertensi. Analisis statistik yang dilakukan pada penelitian ini yaitu berupa uji Chi-Square menunjukkan beberapa hubungan statistik yang signifikan yaitu hubungan antara tingkat keparahan psoriasis dengan IMT p=0,025 dan tekanan darah p=0,026 . Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dan hipertensi dengan tingkat keparahan psoriasis.
ABSTRACT
Psoriasis is a skin disorder caused by immune disregulation which impacts the quality of life of the patient. Metabolic syndrome, which includes obesity and hypertension, was suspected to have a strong association with psoriasis. The purpose of this research is to find out the association between Body Mass Index BMI and blood pressure to psoriasis severity which was measured using the Psoriasis Area and Severity Index PASI score. The research was done at the Medical Record Unit of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM and includes participation of 63 psoriasis patient who was seeking medical care at year 2015 and 2016. Of all 63 patients participated in this research, the psoriasis severity was divided into 18 patients in mild category and 45 patients in moderate to severe category. There are 35 patients who are categorized as obese and 16 patients that are categorized in hypertensive. Statistical analysis that was done in this research shows some statistically significant association between psoriasis severity and BMI p 0,025 and blood pressure p 0,026 . This concludes that there are significant associations between obesity and hypertension to psoriasis severity.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eyleny Meisyah Fitri
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Xerosis kutis sering ditemukan pada lanjut usia lansia . Aplikasi pelembap merupakan tatalaksana utama. Pelembap mengandung humektan, misalnya laktat dan urea, dapat memperbaiki hidrasi dan disfungsi sawar kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 dan urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dengan subjek kelompok berpasangan dilakukan pada 40 orang penghuni panti werdha di Jakarta. Evaluasi specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , dan efek samping dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat terapi, serta minggu kelima seminggu setelah terapi dihentikan. Hasil: Penurunan nilai SRRC dan TEWL, peningkatan nilai SCap, setelah empat minggu tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok terapi dengan nilai p masing-masing 1,000; 0,636; dan 0,601. Pada minggu kelima, terjadi peningkatan nilai SRRC dan TEWL serta penurunan nilai SCap minggu keempat pada kedua kelompok, namun masih lebih baik daripada nilai dasar dan minggu kedua terapi. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada kedua kelompok. Kesimpulan: Efikasi dan keamanan krim pelembap yang mengandung amonium laktat 12 sama baiknya dengan krim pelembap yang mengandung urea 10 dalam mengatasi xerosis kutis pada populasi lansia. Kata kunci: amonium laktat 12 ; lanjut usia; urea 10 ; xerosis kutis
ABSTRACT
Background Xerosis cutis is widely known in geriatric population. Application of moisturizer is the treatment.. Moisturizer with humectant property, e.g lactate and urea, could restore skin hydration and barrier dysfunction. This study aims to compare the efficacy and safety between moisturizing cream containing 12 ammonium lactate and 10 urea in geriatric population with xerosis cutis. Methods A double blind randomized controlled trial with matching paired subject was conducted on 40 residents of a nursing home in Jakarta. Evaluation of specified symptom sum score SRRC , skin capacitance SCap , transepidermal water loss TEWL , and side effects were measured at baseline, week 2 and week 4 after therapy, and week 5 one week after therapy cessation. Results The decrease of SRRC and TEWL score, increase of SCap score after four weeks of therapy between two group yield no statistical different p 1.000 p 0.636 p 0.601 respectively . On the fifth week, SRRC and TEWL score were increased and SCap score was decreased compared to the fourth week, but they are still better than the score on baseline and the second week. No objective and subjective side effects were found. Conclusions The efficacy and safety of moisturizing cream containing 12 ammonium lactate are the same as 10 urea in treating xerosis cutis of geriatric population. Keywords 12 ammonium lactate 10 urea geriatric xerosis cutis
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiana
Abstrak :
Latar belakang: Pitiriasis versikolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial kronik dengan prevalensi tinggi. Belum ada data yang membandingkan sampo SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2% pada terapi PV. Tujuan: Mengetahui efikasi mikologis, keamanan, kekambuhan, dan efikasi biaya antara sampo selenium sulfida 1,8% dibandingkan dengan ketokonazol 2% pada PV. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien PV bulan September hingga Desember 2018, dengan terapi sampo SeS2 1,8% atau ketokonazol 2% sesuai dengan alokasi random. Dilakukan pemeriksaan fisik, uji provokasi skuama, lampu Wood, dan kalium hidroksida. Efikasi mikologis dianalisis dengan intention to treat dan kekambuhan dengan analisis per-protokol. Efikasi biaya dengan menghitung Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Hasil: Efikasi mikologis lebih tinggi pada ketokonazol 2%, yaitu sebesar 94% vs 86%, tetapi tidak berbeda secara statistik (RR=2,3(95%IK0,6-8,5), p=0,182). Efek samping pada ketokonazol 2% lebih tinggi, yaitu 22% vs 8%. SeS2 1,8% lebih murah 14.880 rupiah, dengan risiko KOH masih positif sebesar 8% lebih tinggi dibanding ketokonazol 2%. Kekambuhan sebulan didapatkan lebih besar pada SeS2 1,8%, yaitu sebesar 8% vs 14%. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efikasi mikologis, efek samping, dan kekambuhan sebulan, antara SeS2 1,8% dengan ketokonazol 2%. Penggunaan SeS2 1,8% pada terapi PV lebih murah dengan risiko gagal terapi lebih tinggi dibandingkan ketokonazol 2%. ......Background: Pityriasis versicolor (PV) is a chronic superficial fungal infection which highly prevalent. There is no data comparing SeS2 1.8% with 2% ketoconazole shampoo in the treatment of PV. Objective: To assess the mycological efficacy, safety, relaps, and cost-efficacy of SeS2 1.8% and ketoconazole 2% shampoo for the treatment of PV. Methods: A double blind randomized controled trial was performed in patients with PV during September-December 2018, based on block randomization. Physical examinations, scale provocation test, Woods lamp and potassium hydroxide examination were conducted. Intention to treat analysis was performed to evaluated mycological efficacy and per-protocol analysis to evaluated relaps. Cost-efficacy was analyzed by calculating the Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER). Result: The mycological efficacy, side effect and relaps were higher in the ketoconazole group; 94% vs 86% (RR=2.3(95%CI 0.6-8.5), p= 0.182), 22% versus 8%, and 14% versus 8%. We found lesser cost for SeS2 1.8% of about 14.880 rupiah with risk of persistent positive KOH smear is 8% higher than ketoconazole. Conclusion: There were no significant differences of mycological efficacy, side effect, and relaps, between both arms. The cost-efficacy revealed a lesser cost for SeS2 1.8% with higher risk of persistent positive KOH as compared to ketoconazole.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
Abstrak :
Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia. Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik. Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D. ......Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia. Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients. Methods: This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire. Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031). Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
Abstrak :
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.
Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Venessa
Abstrak :
Latar belakang: Akne vulgaris AV adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai adanya lesi polimorfik di area predileksi AV. Tatalaksana AV terdiri dari terapi standar dan terapi adjuvan. Salah satu terapi adjuvan yang selalu diberikan pada pasien AV adalah frekuensi cuci wajah AV. Sampai saat ini, rekomendasi frekuensi cuci wajah pasien dengan AV di negara tropis adalah berdasarkan rekomendasi umun dan pendapat ahli. Tujuan: Mengetahui efektivitas frekuensi cuci wajah sebagai terapi adjuvan pada akne vulgaris derajat ringan dan sedang. Metode: Uji klinis acak buta tunggal dilakukan terhadap mahasiswa AV di Klinik UI Makara pada bulan Mei hingga Juni 2018. Mahasiswa yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhui kriteria penolakan serta bersedia ikut dalam penelitian mendapat perlakuan berupa frekuensi cuci wajah 2 kali dan 3 kali per hari sesuai hasil randomisasi. Seluruh SP memperoleh terapi standar dan pembersih wajah yang sama. Jumlah lesi AV, kadar sebum, nilai TEWL, serta efek samping pada wajah SP akan dinilai selama 6 minggu dan evaluasi dilakukan pada minggu ke-3 dan minggu ke-6. Analisis hasil penelitian dilakukan dengan metode intention to treat. Hasil: Diperoleh total 36 subjek penelitian. Pada penelitin ini terdapat 1 SP drop out yaitu SP pada kelompok cuci wajah 2 kali per hari. Efektivitas frekuensi cuci wajah 3 kali per hari tidak berbeda bermakna dengan 2 kali per hari dalam penurunan jumlah lesi AV dengan median 23 (0-62) dibandingkan 20 (0-37), p = 0,341. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara frekuensi cuci wajah 3 kali dibandingkan 2 kali per hari dalam hal penurunan kadar sebum, peningkatan nilai TEWL dan efek samping yang terjadi. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efektivitas frekuensi cuci wajah 3 kali per hari dibandingkan 2 kali per hari sebagai terapi adjuvan dalam hal penurunan jumlah lesi AV pada wajah mahasiswa AVR dan AVS yang mendapat terapi standar.
Background: Acne vulgaris (AV) is a chronic inflammatory disease characterized by polymorphic lesions in the predilection area. Management of AV consists of standard therapy and adjunctive therapy. One of the adjunctive therapies that must be given to AV patients is the frequency of face washing. Recently, the recommendation of face washing frequency for AV patients in tropical countries is based on the general recommendation and expert opinion. Objective: To evaluate the effectiveness of face washing frequency as an adjuvant therapy on mild and moderate AV. Methods: A single blind randomized clinical trial was conducted on AV students at UI Makara Clinic from May to June 2018. Students who met the criteria of acceptance and did not meet the criteria of rejection and were willing to join the study were treated 2 and 3 times per day according to randomization. All participants were given standard therapy and same cleanser. AV lesions counts, sebum level, TEWL scores, and side effects on participant face would be assessed within six weeks by evaluating at week-3 and week-6. The analysis of study result was done by intention-to-treat method. Result: The total of 36 participants was recruited. In this study, there was 1 participant dropped out from the twice-per-day face washing group. There was no significant difference from the thrice-per-day and twice-per-day groups in terms of decreasing of total AV lesions with median 23 (0-62) versus 20 (0-37), p = 0,341. In addition, there was no significant difference in terms of decreasing sebum level, increasing of TEWL score, and adverse events. Conclusion: There was no difference in effectiveness of face washing frequency 3 times per day compared to 2 times per day with regard to decrease AV lesions in the face of mild and moderate AV students receiving standard therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Peppy Fourina
Abstrak :
Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar. Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH). Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019 hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25- hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan. Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13- 34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL. Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r = 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak berhijab. ......Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never specifically conducted in hijab wearing women. Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH). Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March 2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group. Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70 (6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30 ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62 (3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the NH group (p = 0,308). Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and hair loss in both groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhida Sarly Amalia
Abstrak :
Latar belakang: Air mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Asupan air yang tidak adekuat, dapat menimbulkan berbagai masalah pada manusia. Dehidrasi paling sering terjadi pada lanjut usia (lansia) yang menyebabkan kulit kering dan berbagai masalah kulit. Kulit memiliki peran penting dalam mencegah kekeringan pada tubuh manusia. Air mendominasi kulit sekitar 30% dan berkontribusi pada kekenyalan, elastisitas, dan ketahanan kulit. Saat ini belum terdapat cukup data untuk membuktikan hubungan antara asupan cairan dengan peningkatan hidrasi kulit. Metode: Penelitian ini merupakan deskriptif analitik potong lintang yang dilakukan pada lansia berusia 65-80 tahun di panti Tresna Werdha Budi Mulia 3. Pengukuran dilakukan dengan menilai asupan cairan selama 7 hari. Pada hari ke-9 dilakukan penilaian status hidrasi melalui Urine Specific Gravity (USG), kekeringan kulit melalui Specified Symptom Sum Score (SRRC), dan karakteristik sawar kulit melalui Transepidermal Water Loss (TEWL) dan Skin Capacitance (SCap). Hasil: Sebanyak 67 SP mengikuti penelitian ini dengan median usia 70 tahun. Terdapat korelasi negatif lemah bermakna antara status hidrasi dengan asupan cairan (nilai p <0,0001). Terdapat korelasi negatif lemah bermakna antara asupan cairan pada lansia dengan SRRC (p<0,0001). Tidak terdapat korelasi antara asupan cairan pada lansia dengan TEWL dan SCap (p = 0.613 and p = 0.060). Kesimpulan: Asupan cairan yang adekuat dapat meningkatkan kelembapan kulit. Rekomendasi asupan cairan dari Kementerian Kesehatan Indonesia dapat dianjurkan pada lansia. ......Background: Water plays a crucial role in human life. Inadequate water intake can result in various issues in humans. Dehydration most commonly occurs in the geriatric, leading to dry skin and various skin problems. The skin plays a vital role in preventing bodily desiccation. Water constitutes around 30% of the skin and contributes to its resilience, elasticity, and durability. Currently, there is insufficient data to establish a definitive relationship between fluid intake and improved skin hydration. Methods: This study is a cross-sectional analytical descriptive study conducted on elderly individuals aged 65-80 years at the Tresna Werdha Budi Mulia 3 nursing home. Measurements were performed by assessing fluid intake over a 7-day period. On the 9th day, assessments were conducted for hydration status using Urine Specific Gravity (USG), skin dryness through the Specified Symptom Sum Score (SRRC), and skin barrier characteristics using Transepidermal Water Loss (TEWL) and Skin Capacitance (SCap). Results: Sixty-seven subjects participated in this study, with a median age 70 years. There was a statistically significant weak negative correlation between hydration status and fluid intake (p-value < 0.0001). Additionally, other parameters also showed significant weak negative correlations between hydration status and SRRC with p-values of <0.0001. Nevertheless, there was no significant difference observed in the correlation between fluid intake and both TEWL and SCap value (p = 0.613 and p = 0.060). Conclusion: Adequate fluid intake can enhance skin moisture. The recommendations of fluid intake from the Indonesian Ministry of Health can be advised for the geriatric population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariska Silviani
Abstrak :
Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit inflamasi kulit kronis pada area yang banyak mengandung kelenjar sebasea, terutama area skalp, yang ditandai plak eritematosa dan skuama. Lipid darah diduga dapat memengaruhi derajat keparahan DS. Penelitian sebelumnya di berbagai negara tentang kadar lipid darah pada pasien DS menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data kadar profil lipid darah pasien DS pada skalp serta melakukan analisis korelasi kadar profil lipid darah dengan derajat keparahan DS pada skalp. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong-lintang. Tiga puluh pasien DS pada skalp usia 18–59 tahun yang memenuhi kriterian penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian derajat keparahan penyakit menggunakan skor modifikasi Seborrheic Dermatitis Area Severity Index (SDASI) dan dilakukan pengukuran kadar lipid darah yang mencakup kadar trigliserida, kolesterol total, low-density lipoproteins (LDL), dan high-density lipoproteins(HDL). Median kadar trigliserida adalah 83 mg/dL, rerata kadar kolesterol total adalah 175,53 mg/dL, rerata kadar LDL adalah 114,77 mg/dL, dan median kadar HDL adalah 45,50 mg/dL. Berdasarkan analisis Pearson, tidak terdapat korelasi antara kadar trigliserida dengan derajat keparahan DS pada skalp (r=0,291; p=0,119). Terdapat korelasi positif kuat yang bermakna antara kadar kolesterol total dengan derajat keparahan DS pada skalp (r=0,860; p<0,001).Terdapat korelasi positif sangat kuat yang bermakna antara kadar LDL dengan derajat keparahan DS pada skalp (r=0,980; p<0,001). Tidak terdapat korelasi antara kadar HDL dengan derajat keparahan DS pada skalp (r=-0,068; p=0,723). ......Seborrheic dermatitis (SD) is a chronic inflammatory skin disease in sebaceous glands rich area, especially the scalp area, which is characterized by erythematous plaques and scales. Blood lipids are thought to affect the severity of SD. Previous studies in various countries about blood lipid levels in SD patients showed varying results. This study aims to know the levels of blood lipid profile in patients suffering scalp SD, also to analyze its correlation with the severity of scalp SD. This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty scalp SD patients age 18–59 years old who meet all inclusion and exclusion criteria were recruited in this study. Assessment of the disease severity using modified Seborrheic Dermatitis Area Severity Index (SDASI) score and measurements of blood lipid levels which include triglycerides, total cholesterol, low-density lipoproteins (LDL), and high-density lipoproteins (HDL) levels were performed. Median triglyceride level was 83 mg/dL, mean total cholesterol level was 175.53 mg/dL, mean LDL level was 114.77 mg/dL, and median HDL was 45.50 mg/dL. Based on Pearson analysis, there was no correlations between triglyceride levels and scalp SD severity (r=0.291; p=0.119). There was a significant strong positive correlation between total cholesterol levels and scalp SD severity (r=0.860; p<0.001). There was a significant very strong positive correlation between LDL levels and scalp SD severity (r=0.980; p<0.001). There was no correlations between HDL levels and scalp SD severity (r=-0.068; p=0.723).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Daniaty
Abstrak :
Latar belakang: Hampir sebagian besar pasien kanker akan memiliki keluhan kulit, rambut, dan kuku (KRK) terkait efek samping kemoterapi yang diberikan. Antrasiklin merupakan kemoterapi yang banyak digunakan pada pasien kanker. Meskipun jarang mengancam nyawa, kelainan KRK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kelainan tersebut. Waktu timbulnya manifestasi kelainan KRK pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin juga beragam munculnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, ECOG, dan anemia dengan manifestasi klinis KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan kohort prospektif yang diikuti dalam dua siklus pertama kemoterapi berbasis antrasiklin. Sebesar 65 pasien kanker berusia di atas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi siklus pertama berbasis antrasiklin di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Semua SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatovenereologikus, dan dokumentasi klinis sampai sebelum kemoterapi siklus ke-3. Pencatatan faktor risiko, jenis, dan waktu timbulnya kelainan dilakukan apabila ditemukan manifestasi KRK. Hasil: Kelainan kulit terbanyak berupa xerosis dan hiperpigmentasi. Anagen effluvium ditemukan pada 89,2% pasien kemoterapi. Melanonikia dan xanthonikia ditemukan pada 87,7% pasien. Xerosis ditemukan dengan median (minimum-maximum) 7 (2-56) hari, anagen effluvium timbul dalam median (minimum-maximum) 13(1-27 hari), dan melanonikia dengan median (minimum-maximum) 23(1-65) hari. Tidak terdapat hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin. Kesimpulan: Semua pasien memiliki kelainan KRK. Kelainan yang paling cepat timbul adalah xerosis, diikuti anagen effluvium, dan melanonikia. Tidak ditemukan hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin. ......Background: Nearly most cancer patients experience skin, hair, and nail complaints due to chemotherapy side effects. Anthracycline-based chemotherapy is widely utilized in cancer care. While rarely life-threatening, cutaneous, hair, and nail alterations can significantly impact quality of life. Several risk factors influence these disorders. The onset timing of skin, hair, and nail manifestations varies among cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy. This study analyses the association between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with clinical manifestations of skin, hair, and nails in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Methods: This is an analytical descriptive study involving a prospective cohort followed during the first two cycles of anthracycline-based chemotherapy. A total of 65 cancer patients aged above 18, receiving the first cycle of anthracycline-based chemotherapy at RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, were enrolled. All subjects underwent anamnesis, dermatovenereological examination, and clinical documentation before the third chemotherapy cycle. Risk factors, type, and onset time of abnormalities were recorded upon detection of skin, hair, and nail manifestations. Results: All patients presented with skin, hair, or nail abnormalities. The most rapidly occurring abnormalities were xerosis, followed by anagen effluvium and melanonychia. No correlation was found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Conclusions: The most frequent skin abnormalities observed were xerosis and hyperpigmentation. Anagen effluvium was detected in 89.2% of chemotherapy patients. Melanonychia and xanthonychia were found in 87.7% of patients. Xerosis had a median (min-max) onset of 7 (2-56) days, anagen effluvium manifested within a median (min- max) of 13 (1-27) days, and melanonychia with a median (min-max) onset of 23 (1-65) days. There was no association found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>