Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Danu Permana
Abstrak :
Sebelum masuk dan berkembangnya agama Buddha, masyarakat Jepang telah mempunyai suatu sistem kepercayaan tradisional. Sistem kepercayaan ini, secara konseptual belum tertata dengan baik, Bahkan keberadaannya sebagai agama asli orang Jepang pun tidak disadari oleh masyarakat Jepang sendiri. Hal ini disebabkan karena kepercayaan ini dianggap sebagai bagian dari tradisi kehidupan sehari-hari, terutama sebagai kanshu (kebiasaan) atau shuzoku (adat istiadat). Sistem kepercayaan ini kemudian dinamakan sebagai ko-shinto (Shinto kuno). Ko-shinto bukan merupakan prinsip moral atau doktrin-doktrin yang bersifat filosofis, melainkan sistem pemujaan kepada alam yang berkaitan dengan sumber kehidupan utama masyarakat Jepang waktu itu, yaitu pertanian. (Ishida Ichiro, 1963: 18) Oleh karena itu, berkembanglah pemikiran pemikiran yang beranggapan bahwa: (1) benda-benda dan tumbuh-tumbuhan mempunyai jiwa; (2) alam semesta merupakan kumpulan kekuatan ghaib (supernatural), baik benda - benda yang terdapat di alam (misalnya, matahari, bulan, gunung, sungai, dan Sebagainya) maupun benda-benda buatan manusia (seperti, pedang, tombak, dan sebagainya) serta kekuatan mantera-mantera yang berasal dan orang-orang tertentu, yang dipercaya memiliki kekuatan ghaib (seperti itako dan gomiso, sebutan bagi dukun di dalam tradisi Jepang); dan (3) arwah atau roh prang yang telah meninggal bersemayam di gunung-gunung, di pantai, dan sebagainya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T16835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ligia Emila Muchtar
Abstrak :
ABSTRAK
Apabila orang berkunjung atau hidup di Jepang, maka akan terkesan dengan banyaknya ragam hadiah dan barang-barang yang dikemas dengan indah dan menggunakan kertas pembungkus yang terkesan mewah yang tidak murah.

Bila kita lebih lama lagi tinggal di Jepang, akan dapat menyaksikan kegiatan sosial khususnya mengenai beredarnya hadiah-hadiah pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk orang-orang tertentu pula. Tata cara kegiatan sosial yang berhubungan dengan peredaran pemberian hadiah telah dibakukan dalam berbagai terbitan, diantaranya seperti yang diterbitkan NHK dengan judul Kurashi no Echiketto (Etiket Kehidupan) atau dalam buku Shin Otsukiau Jiten (Kamus Pergaulan Terbaru), Salaryman in Japan, atau pada buku Japanese Family & Culture terbitan JTB.

Dalam buku-buku tersebut diatas diterangkan bagaimana tatacara memberi dan membalas pemberian yang selalu muncul dan melibatkan setiap lelaki - perempuan dalam kehidupan orang Jepang sejak seorang anak lahir, balita, dewasa, menikah, menjadi orangtua, dan menjadi kakek nenek yang sampai akhir hayatnya penuh dengan keterlibatan aneka ragam pemberian.

Salah satu buku mengenai etiket orang Jepang yang disebut diatas yaitu dalam Kurashino Bunka jinrui Baku atau antropologi budaya kehidupan (1984;152-156), mencoba mengelompokkan aneka ragam pemberian dalam 5 kategori. Adapun kelima kategori tersebut adalah sebagai berikut:

Nenchugyoji Toshiteno Zoto atau pertukaran hadiah yang dilakukan sepanjang tahun.

Nenchugyoji toshiteno zoto ini meliputi; pemberian orang tua kepada anak-anak pada setiap akhir tahun, pemberian anak kepada ayah pada setiap hari ayah dan hari ibu, pemberian dipertengahan dan akhir tahun antara anak buah kepada atasan di tempat kerja, murid kepada guru, yunior kepada senior, tetangga yang muda kepada tetangga yang tua.

Jinsei no Tsukagirei to Zoto atau pemberian dalam upacaraupacara keluarga.

Jinsei no tsukagirei to zoto ini melibatkan sanak keluarga yang dekat. Adapun kesempatan-kesempatan tersebut seperti pemberian pada upacara kehamilan 4 bulan hingga kelahiran anak. Selanjutnya pemberian pada perayaan ulang tahun pertama hingga hari dewasa anak yang waktunya ditetapkan oleh pemerintah Jepang. Kemudian pemberian pada perayaan pertama kali masuk sekolah hingga lulus sekolah. Setelah perayaan kelulusan ini disusul dengan pemberian pada upacara perkawinan pada usia perkawinan 25 dan 50 tahun. Terakhir pemberian kepada keluarga terdekat bila usia telah mencapai 60 tahun, 77 tahun, 88 tahun dan terakhir 99 tahun. Pemberian pada upacara-upacara keluarga ini di Jepang, biasanya hanya melibatkan kalangan keluarga dekat (keluarga inti)?
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library