Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agatha Grace
"Latar Belakang: Penyakit Parkinson (PD) merupakan penyakit neurodegeneratif dengan jumlah penderita yang banyak, namun tatalaksana penyakit ini tidak banyak berkembang. Aktivasi sistem nuclear factor erythroid-derived-2-like 2 (Nrf2) telah dibuktikan mampu menghambat patogenesis PD. Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi neuroprotektif andrografolida sebagai salah satu aktivator Nrf2 paling poten pada model PD in vivo yang diinduksi 1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin (MPTP)
Metode: Mencit C3H jantan diinduksi dengan MPTP melalui injeksi subkutan 12 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali dengan jarak 2 jam antar injeksi. Terapi selegilin 10 mg/kgBB/hari dan andrografolida dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dan 5 mg/kgBB/hari diberikan per oral mulai satu hari setelah induksi selama 14 hari. Pada hari ke-15, pemeriksaan perilaku dilakukan kemudian hewan coba diterminasi dan organ otak diambil. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan adalah imunohistokimia terhadap tirosin hidroksilase (TH) dan Nrf2.
Hasil: Selegilin dan andrografolida memperbaiki dengan signifikan defisit motorik akibat induksi MPTP. Perbaikan ini diikuti peningkatan jumlah rerata sel TH-positif di substansia nigra yang signifikan terhadap kontrol. Pemeriksaan ekspresi Nrf2 menunjukkan bahwa kelompok andrografolida memiliki rerata sel Nrf2-positif yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa andrografolida memiliki aktivitas neuroprotektif yang mampu memperbaiki gangguan motorik pada mencit model PD yang dibuktikan dengan perbaikan gambaran histopatologi berupa peningkatan ekspresi TH. Aktivitas neuroprotektif ini dimediasi kerja andrografolida sebagai aktivator Nrf2.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa andrografolida memiliki aktivitas neuroprotektif pada mencit model PD yang diinduksi MPTP melalui sistem yang melibatkan Nrf2.

Background: Parkinson’s disease (PD) is a neurodegenerative disease with abundant number of sufferers but without any progress in therapeutics development. Activation of nuclear factor erythroid-derived-2-like 2 (Nrf2) system has been proven to halt PD pathogenesis. This study aims to discover the neuroprotective potential of andrographolide as one of the most potent Nrf2 activator in in vivo PD model induced by 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP).
Methods: Male C3H mice were induced using MPTP 12 mg/kgBW/injection via 4 subcutaneous injections 2 hours apart. Selegiline 10 mg/kgBW/day, andrographolide 50 mg/kgBW/day and andrographolide 5 mg/kgBW/day were given orally starting from the day after induction for 14 days. On the 15th day, behavior analysis was done then study animlas were sacrificed and brains collected. Further analyses done were immunohistochemistry using antibodies against tyrosine hydroxylase (TH) and Nrf2
Results: Both selegiline and andrographolide ameliorates the MPTP-induced motoric deficits. This amelioration was followed by significant increase of number of TH-positive cells in the substantia nigra. Nrf2 expression examination revealed that both of the andrographolide groups had significantly higher number of Nrf2-positive cells compared to other groups. These results showed that andrographolide has neuroprotective activities which are capable of ameliorating motoric deficits in PD mice model, proven by improvement of histopathologic results of TH-expression. This neuroprotective activity was mediated by andrographolide mechanism of action as an Nrf2 activator.
Conclusion: This study showed that andrographolide has neuroprotective activities in MPTP-induced PD mice model via Nrf2-involving system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arasen
"ABSTRAK
Latar Belakang. Gangguan otonom merupakan gejala yang cukup sering dialami
oleh pasien Parkinson. Gangguan ini sudah dapat ditemukan sejak awal stadium
penyakit. Gangguan otonom meliputi gangguan gastrointestinal, urologi,
kardiovaskular, seksual dan termoregulasi. Untuk mendeteksi gangguan otonom
dapat digunakan kuesioner SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in Parkinson’s
Disease for Autonomic Symptoms). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson di Poliklinik
Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.
Metode. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012.
Hasil. Sebanyak 54 subyek penelitian yang terdiri dari 33 (61,1%) pria dan 21
(38,9 %) wanita diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien Parkinson pada
penelitian ini berusia antara 45-79 tahun. Sebagian besar pasien memiliki durasi
sakit kurang dari 5 tahun (63%), stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%) dan memakai
terapi kombinasi levodopa dengan agonis dopamin (79,6%). Gangguan otonom
didapatkan pada seluruh subyek penelitian. Gangguan otonom yang paling sering
dialami pasien Parkinson adalah masalah urologi berupa nokturia (79,6%) dan
urinary frequency (57,3%), serta masalah gastrointestinal yaitu sialorea (51,9%)
dan mengejan kuat saat buang air besar (50%) Tidak ada pasien yang mengalami
inkontinensia feses atau jatuh pingsan.
Kesimpulan. Seluruh pasien Parkinson pada penelitian ini mengalami gangguan
otonom. Telah diketahui proporsi gangguan otonom pada pasien Parkinson di
Poliklinik Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.

ABSTRACT
Background. Autonomic symptoms are quite often reported by Parkinson’s
disease patients. These symptomps are found already in early stage of disease.
Autonomic symptomps comprise gastrointestinal, urinary, cardiovascular, sexual
and thermoregulation symptomps. SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in
Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) questionnaire can detect
autonomic dysfunctions. The purpose of this study is to obtain profile of
autonomic symptomps in Parkinson’s disease patients in neurology clinic in
RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN Fatmawati.
Methods: a cross sectional study was conducted between April and June 2012
Results: A total of 54 patients, i.e. 33 (61,1%) man and 21 (38,9 %) woman, were
recruited in this study. The age of patients was between 45 and 79 years. Most
patients have illness duration less than 5 years (63%), Hoehn & Yahr stage 1-2
(63%) and use combination therapy (levodopa with dopamine agonist) (79,6%).
Autonomic symptoms are complained by all patients. Most frequent autonomic
symptomps reported by Parkinson’s disease patients are nocturia (79,6%), urinary
frequency (57,3%), sialorea (51,9%) and strain hard when pass stools (50%).
There are no patients who complained involuntary loss of stools or fainted.
Conclusion. All Parkinson’s disease patients in this study reported autonomic
symtomps. Autonomic symptomps profile has been known in Parkinson’s disease
patients in neurology clinic in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN
Fatmawati"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Amalia
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejang merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor primer intrakranial dan penyebab utama morbiditas terhadap pasien.Pemeriksaan EEG diperlukan untuk menentukan kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor pada MRI yang akan menentukan prognosis kejang serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor. Belum adanya data mengenai kejang pada tumor primer intrakranial serta kesesuaian berdasarkan gambaran EEG dan MRI menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan.Mengetahui kesesuaian antara aktivitas epileptiform pada EEG dan lesi tumor dengan MRI pada pasien tumor primer intrakranial dengan klinis kejang. Metode.Desain penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional).Subyek penelitian adalah semua pasien dengan tumor primer intrakranial yang ada di ruang rawat inap dan rawat jalan neurologi, bedah saraf, radiologi RS Cipto Mangunkusumo yang sudah dilakukan EEG dan MRI.Ditentukan aktivitas epileptiform dan dianalisa kesesuaiannya dengan lokasi tumor berdasarkan MRI. Hasil.Dari 33 subyek dengan tumor primer intrakranial dengan klinis kejang , didapatkan hanya 17 subyek yang menunjukkan aktivitas epileptiform (51,5%), perempuan lebih banyak dari lelaki, dengan rerata usia adalah 34 tahun. Sebagian besar mengalami kejang parsial dan secondary generalized seizure(SGS) merupakan tipe kejang parsial terbanyak (16 dari 17 subyek). Kejang sering ditemukan pada tumor di frontal (11 dari 17 subyek) dan pada jenis tumor primer Low grade(8 dari 17 subyek). Kesesuaian aktivitas epileptiform dengan lokasi tumor didapatkan pada 8 dari 17 subyek dengan lebih banyak yang sesuai pada lobus temporal. Kesimpulan.Dari seluruh pasien tersangka tumor primer intrakranial dengan klinis kejang hanya didapatkan 8 dari 17 subyek yang sesuai antara aktivitas epileptiform pada EEG dengan lesi tumor pada MRI.Gambaran aktivitas epileptiform pada EEG tidak dipengaruhi oleh usia, bentuk bangkitan kejang, jenis tumor, lokasi berdasarkan lobus, lokasi berdasarkan parenkim otak, durasi sakit, dan ukuran tumor.

ABSTRAT
Background.Seizures are a common symptom in primary intracranial tumors and a major cause of morbidity to the patient. EEG examination is necessary to determine the suitability of the seizure focus to the location of the tumor on MRI that will determine the prognosis of seizures as well as a lot of factors that affect compatibility between focal seizures with tumor location. The absence of data on seizures in primary intracranial tumors and suitability based on EEG and MRI picture is the basis of this study. Purpose.Knowing the correspondence between epileptiform activity on EEG and MRI tumor lesions in patients with primary intracranial tumors with clinical seizures. Method.Design research is a cross-sectional study (cross-sectional). Subjects were all patients with primary intracranial tumors that exist in the inpatient and outpatient neurology, neurosurgery, radiology Cipto Mangunkusumo already done EEG and MRI. Epileptiform activity determined and analyzed for compliance with the location of the tumor by MRI. Result. From 33 subjects with primary brain tumors with clinical seizures, obtained only 17 subjects demonstrated epileptiform activity (51.5%), more women than men, with a mean age was 34 years. Most had partial seizures and secondary generalized seizures (SGS) is a type of partial seizure majority (16 of 17 subjects). Seizures are often found in tumors in the frontal (11 of 17 subjects) and the type of primary tumor Low grade (8 of 17 subjects). Suitability of epileptiform activity by tumor location obtained in 8 of 17 subjects with more appropriate in the temporal lobe. Conclusion.From all patients suspected of primary brain tumors with clinical seizures obtained only 8 of the 17 subjects that fit between epileptiform activity on EEG with tumor lesions on MRI. Picture of epileptiform activity on EEG was not influenced by age, shape seizures, tumor type, location based lobes, based on the location of the brain parenchyma, duration of illness, and tumor size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uly Indrasari
"Latar belakang - Mikroangiopati serebral merupakan salah satu komplikasi vaskular pada Diabetes Mellitus (DM). Salah satu parameter pada Transcranial Doppler (TCD) yang menilai adanya resistensi distal dari arteri yang diperiksa yang dapat merefleksikan adanya mikroangiopati di otak adalah Pulsatility Index (PI). Penelitian ini menghubungkan antara rerata PI arteri serebri media (Middle Cerebral Artery/MCA) dengan kejadian retinopati diabetik yang merupakan komplikasi yang paling spesifik dan tersering pada DM tipe 2.
Tujuan - Untuk mengetahui perbedaan rerata nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 di otak pada penyandang DM tipe 2 beserta titik potongnya pada kurva ROC dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode - Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 60 subyek DM tipe 2 tanpa komplikasi makrovaskular, terdiri dari 29 pasien retinopati dan 31 pasien tanpa retinopati dari poliklinik rawat jalan endokrin RS Cipto Mangunkusumo periode November 2013 ? April 2014. Dilakukan pemeriksaan TCD untuk menilai PI MCA. Usia, riwayat hipertensi, dislipidemia, lama menyandang DM tipe 2 dan HbA1c dianalisis sebagai faktor perancu.
Hasil - Pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati memiliki nilai rerata PI arteri serebri media yang lebih tinggi secara bermakna (1,17±0,25) dibandingkan dengan penyandang DM tipe 2 tanpa retinopati (1,05±0,26) dengan p=0,001. Usia, riwayat hipertensi, dislipidemia, lama menyandang DM tipe 2 dan HbA1c tidak berhubungan terhadap perubahan rerata PI MCA (p=0,187; p=0,608; p= 0,734; p=0,159; p=0,548). Titik potong nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati adalah pada nilai PI ≥ 1,025 dengan sensitifitas 70% dan spesifisitas 54%.
Simpulan - Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan rerata nilai PI MCA secara bermakana antara kelompok dengan dan tanpa retinopati dengan nilai titik potong nilai PI MCA pada penyandang DM tipe 2 dengan retinopati adalah pada nilai PI ≥ 1,025 dengan sensitifitas 70% dan spesifisitas 54%.

Background - Cerebral microangiopathy is one of the most important complications in diabetes mellitus. Elevation in pulsatility index (PI) as measured by Transcranial Doppler (TCD) have been postulated to reflect increased vascular resistance distal of artery being examined. This study correlate PI mean of middle cerebral artery (MCA) with retinal mikroangiopathy which is the most common and specific in diabetic patients.
Objective - To determine differences in PI MCA group with and without retinopathy in type 2 diabetic patients and to find the cuttpoint value at ROC curve.
Methods - The study was carried out in sixty diabetic patients (with no other vascular abnormality), divided into 2 group, 29 type 2 diabetic patients with retinopathy and 31 diabetic patients without retinopathy. TCD was performed to record pulsatility index of MCA then analyzed to find the cuttpoint value. Ages, duration of diabetes, HbA1c levels, history of hypertension and dyslipidemia was analyzes as a confonding factor.
Results - The PI of MCA are significantly higher in diabetic patients with retinopathy than without retinopathy (P=0.001) with cutt of point at PI> 1,025 with 70% sensitivity and 54% spesificity. Age, HbA1c level, diabetes duration, history of hypertension and dislipidemia does not have a meaningful relationship with change cerebral status (p = 1.000, p = 0.657, p = 0.354, p = 0.538).
Conclusions - There are significant differences beetwen mean of pulsatility index in diabetic patients with and without retinopaty. The Cuttpoint are at PI > 1,025 with 70% sensitivity and 54% spesifisity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Yogaswara
"Latar belakang: Untuk menentukan sindrom epilepsi selain anamnesis juga diperlukan adanya bukti gelombang elektroensefalografi (EEG) yang spesifik. Salah satu cara dengan melakukan teknik hiperventilasi (HV) untuk membangkitkan abnormalitas gelombang EEG. Stimulasi hiperventilasi dapat menimbulkan bangkitan umum dan parsial. Dengan mengetahui hal tersebut dapat menentukan terapi dan prognosis pasien epilepsi.
Tujuan: Mengetahui waktu terjadinya gelombang epileptiform tertinggi selama durasi HV 5 menit pada pemeriksaan EEG untuk meningkatkan manfaat pemeriksaan penunjang yang mendukung kearah diagnosis epilepsi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif secara historis menggunakan teknik hiperventilasi selama 5 menit saat pemeriksaan EEG untuk mencari aktivitas epileptiform pada EEG pasien epilepsi dan atau dengan bangkitan epileptik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Dari 70 subyek penelitian didapatkan paling banyak tipe bangkitan parsial dengan sindrom epilepsi lobus temporal sebagai jenis sindrom terbanyak. Pada menit ke-2 stimulasi hiperventilasi terjadi aktivitas epileptiform paling banyak sedangkan pada menit ke-1 dan ke-5 terdapat aktivitas epileptiform paling sedikit. Terdapat hubungan yang bermakna antara bangkitan terkontrol obat dengan aktivitas epileptiform dan atau dengan bangkitan epileptik (p=0.043). Pada subyek yang tidak terkontrol obat mempunyai resiko mengalami aktivitas epileptiform 0.22 kali lebih besar dibandingkan dengan yang terkontrol obat. Sedangkan faktor lainnya seperti jenis sindrom, tipe, onset dan frekuensi bangkitan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0.119; p=0.392; p=0.636; p=1.000).
Simpulan: Penelitian saat ini menunjukkan aktivitas epileptiform paling banyak terdapat pada menit ke-2 stimulasi hiperventilasi. Terdapat kecenderungan pasien epilepsi yang tidak terkontrol obat mempunyai resiko mengalami aktivitas epileptiform 0.22 kali lebih besar dibandingkan dengan yang terkontrol obat pada pemeriksaan hiperventilasi selama 5 menit.

Background: Diagnosis of epilepsy syndrome beside clinical judgement is also required specific wave evidence from electroencephalography (EEG). One of the method is to perform the hyperventilation techniques (HV) which can generate wave EEG abnormalities. Stimulation of hyperventilation can cause general and partial seizures. By knowing these things, we can determine further treatment and prognosis of the epilepsy patients.
Objective: To determine the highest timing of the wave emergence during 5 minutes hyperventilation in the EEG to improve the benefits of supporting the investigation towards the diagnosis of epilepsy.
Methods: The study was conducted using a historical prospective study design. All samples were collected in Cipto Mangunkusumo Hospital and undergo EEG with 5 minutes hyperventilation technique to look for epileptiform activity.
Results: From 70 subjects obtained, most of it are partial seizures with temporal lobe epilepsy syndrome as the most syndrome types. In the 2nd minute of hyperventilation stimulation occurs epileptiform activity most widely while at minute 1 and 5 are less epileptiform activity. There is a significant relationship between controlled drug patients with epileptiform activity and or with epileptic seizures (p = 0.043). In subjects who are at risk of uncontrolled drug had epileptiform activity 0.22 times larger than the controlled drug. While other factors such as the type of syndrome, type, onset and frequency of seizure showed no significant difference (p = 0.119, p = 0.392, p = 0636, p = 1.000).
Conclusions: The present study showed epileptiform activity are most common in the 2nd minute stimulation hyperventilation. There is a tendency of uncontrolled epilepsy patients who are at risk of experiencing epileptiform activity 0.22 times greater than the drug controlled patients during 5 minutes hyperventilation techniques.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
"ABSTRAK
Latar Belakang. Visual Evoked Potentials VEP digunakan untuk menilai jaras visual dari nervus optikus hingga korteks visual. Respon VEP normal terhadap stimulus adalah munculnya gelombang defleksi positif pada latensi sekitar 100 milidetik. Gelombang VEP dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiologis dan non-fisiologis yang sebagian dapat dikontrol sebagian lagi tidak, sehingga diperlukan referensi nilai normal latensi dan amplitudo gelombang VEP untuk di setiap laboratorium.Metode. Studi ini dilakukan secara potong lintang pada 110 subyek sehat yang terdiri dari 55 subyek laki-laki dan 55 subyek perempuan berusia antara 18 hingga 55 tahun.Hasil. Pada perekaman dengan ukuran kotak 32 rsquo;, nilai batas atas latensi gelombang P100 pada adalah 117 milidetik pada laki-laki dan 119 milidetik pada perempuan. Nilai batas atas perbedaan latensi interokular pada perekaman dengan ukuran kotak yang sama adalah 10,96 milidetik untuk laki-laki dan 10,2 milidetik untuk perempuan. Tidak ada perbedaan bermakna antara latensi gelombang P100 pada kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi terdapat perbedaan amplitudo P100 yang bermakna antara kelompok laki-laki dan perempuan.Kesimpulan. Pada penelitian ini, jenis kelamin mempengaruhi amplitudo gelombang P100 tetapi tidak mempengaruhi latensi. Kata kunci: Visual Evoked Potentials, P100, latensi, amplitudo

ABSTRACT
Background. Visual Evoked Potentials VEP are used to assess the visual pathways through the optic nerves and brain. A normal VEP response to a stimulus is a positive occipital peak that occurs at a mean latency of 100 ms. The value of VEP parameters can be affected by physiological and non physiological factors that some can be controlled, some others not. Thus, every laboratory need its own normative values.Methods. The study was a cross sectional study involving 110 normal healthy subjects consist of 55 males and 55 females which age ranging from 18 to 55.Results. Upper normal limit of P100 latencies values in recording at checker size of 32 rsquo are 117 ms in male and 119 ms in female. Upper normal limit of interocular latencies difference values in recording at checker size of 32 rsquo are 10,96 ms in male and 10,2 ms in female. No significant differences of P100 latencies between male and female but there is significant differences in amplitudes.Conclusions. In our population, gender is an important factor affecting P100 amplitudes but not P100 latencies. Keywords Visual Evoked Potensials, P100, latency, amplitude "
2016
T55591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haznim Fadhli
"ABSTRAK
Latar belakang: Nilai normal Kecepatan Hantar Saraf KHS pada saraf perifer, dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis, antara lain usia, tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan faktor non fisiologis seperti teknik pengukuran dan suhu. Referensi nilai normal tiap laboratorium elektrofisiologi berbeda-beda, sehingga dibutuhkan penelitian untuk memperoleh referensi nilai normal KHS yang sesuai dengan populasi di Indonesia, khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangukusumo Jakarta..Metode:Penelitian ini merupakan penelitian prospektif. Responden sehat didapatkan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi diambil secara concecutive, usia 18-60 tahun sebanyak 210 subyek. Dilakukan penapisan neuropati perifer dengan wawancara dan kuesioner Brief Peripheral Neuropathy Screening Tool BPNS Tool . Subyek yang memenuhi persyaratan dilakukan pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf KHS motorik dan sensorik pada ekstremitas atas dan bawah, meliputi n.medianus, n.ulnaris, n.radialis, n.peroneus, dan n.suralis. Hasil:Didapatkan sebanyak 210 dari 215 subyek yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek penelitian terdiri dari 91 sampel ekstremitas laki-laki dan 119 sampel perempuan. Subjek diambil pada usia dewasa rentang 18-60 tahun, dengan nilai tengah 33 tahun. Subyek terbanyak usia 31-40 tahun, sebanyak 68 sampel 32,4 , jenis kelamin wanita sebanyak 119 sampel 56,7 . Usia subyek dengan nilai tengah 33 22,0-53,4 tahun, dengan tinggi badan subyek 1,6 1,49;1,74 m, dan nilai tengah indeks massa tubuh IMT 24.84 18,5- 31,3 kg/m2.Nilai kecepatan hantar saraf KHS digunakan nilai tengah, dengan batas bawah persentil lima dan batas atas persentil sembilan puluh lima. Nilai KHS motorik pada n.medianus 60 50;73,2 m/det, n.ulnaris 66,6 53;80 m/det, pada n.radialis 67 48,1; 81,8 m/det. n.peroneus 55 39,6;69,8 m/det, n.tibialis 59,5 46,5;75 m/det. Hasil pemeriksaan sensorik, didapatkan KHS sensorik pada n.medianus 66,3 49,6;83 m/det, n.ulnaris 52 41,5;70 m/det, n.radialis 46,7 38,4: 59 m/det. n.peroneus superfisialis 62 44;82 m/det, pada n.suralis 62 48;79 m/det. Kesimpulan:Nilai normal kecepatan hantar saraf motorik pada n.medianus ge;50 m/det, n.ulnaris ge;53 m/det, n.radialis ge;48 m/det, n.peroneus ge;40 m/det, n.tibialis ge;46 m/det. Nilai normal kecepatan hantar saraf KHS pada saraf sensorik pada n.medianus ge; 50 m/det, n.ulnaris ge; 41 m/det, n.radialis ge;38 m/det, n.peroneus superfisialis ge;44 m//det, n.suralis ge;48 m/det.

ABSTRACT<>br>
Background The normal value of nerve conduction velocity NCV in peripheral nerves, is influenced by physiological factors, including age, height and body mass index, and non physiological factors such as measurement and temperature techniques. Reference to the normal values of each electrophysiological laboratory is different, so research is needed to obtain references to normal NCV values that are appropriate to the population in Indonesia, especially in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Method This research is a prospective study. Healthy respondents were obtained according to the inclusion and exclusion criteria were taken concecutive, aged 18 60 years as many as 210 subjects.Peripheral neuropathy screening was performed by interview and questionnaire of the Brief Peripheral Neuropathy Screening Tool BPNS Tool . Subjects meeting the requirements were examined for motor and sensory velocity NCV at the upper and lower extremities, including n.medianus, n.ulnaris, n.radialis, n.peroneus, and n.suralis. Result There were 210 out of 215 subjects who met the inclusion criteria. The subjects consisted of 91 samples of male limbs and 119 female samples. Subjects were takenat an adult age range of 18 60 years, with a median of 33 years. Most subjects aged 3140 years, as many as 68 samples 32.4 , gender of women as much as 119 samples 56.7 . Age of subjects with a mean of 33 22.0 53.4 years, with a subjectheight of 1.6 1.49, 1.74 m, and a median body mass index IMT of 24.84 18.5 31.3 kg m2.The value of nerve conduction velocity NCV is used in the middle value, with thelower limit of the fiveth percentile and the upper limit of the ninety five percentile.The value of motor KHS at n.medianus 60 50 73,2 m s, n.ulnaris 66.6 53 80 m s, on n.radialis 67 48,1,81,8 m det. n.peroneus 55 39,6,69,8 m s, n.tibialis 59,5 46,5,75 m s. The results of sensory examination, obtained sensory KHS atn.medianus 66.3 49.6 83 m s, n.ulnaris 52 41,5 70 m s, n.radialis 46,7 38.4 59 m s. n.peroneus superfisialis 62 44 82 m s, on n.suralis 62 48 79 m s. Conclusion The normal value of motor neural conduction velocity in n.medianus ge 50 m s, n.ulnaris ge 53 m s, n.radialis ge 48 m s, n.peroneus ge 40 m s, n.tibialis 46 m s. In the sensory nerves is obtained nerve velocity n.medianus ge 50 .m s, n.ulnaris ge 41 m s, n.radialis ge 38 m s, n.peroneus superfisialis ge 44 m s, n.suralis ge 48 m s. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Suryakusuma
"ABSTRAK
Latar Belakang. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan jenis tumor kepala dan leher yang paling sering ditemukan, dan angka kejadiannya di Indonesia sendiri terbilang cukup tinggi. Paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI merupakan defisit neurologi yang sering dijumpai pada pasien KNF dan merupakan salah satu penanda infiltrasi intrakranial. Pemeriksaan neurologi klinis terhadap saraf kranial merupakan salah satu prosedur evaluasi pasien KNF pasca terapi standar. Metode. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain pra-pasca. Subjek penelitian adalah semua pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI yang telah menjalani radioterapi lengkap di Departemen Radioterapi RSUPNCM antara 2 bulan – 6 bulan sebelumnya. Dilakukan wawancara, pengisian kuesioner serta pemeriksaan neuro-oftalmologi klinis. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0. Hasil. Diperoleh 32 subjek pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI. Terapi standar KNF di RSUPNCM memberikan perbaikan pada paresis saraf kranial sebagai berikut: perbaikan paresis saraf kranial III sebesar 86% (membaik komplit 57%, membaik parsial 29%), perbaikan paresis saraf kranial IV sebesar 100%, perbaikan lesi saraf kranial V(1,2,3) sebesar 57% (membaik komplit 36%, membaik parsial 21%), dan perbaikan paresis saraf kranial VI sebesar 43%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara perbaikan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI dengan faktor terkait penderita (usia dan jenis kelamin), faktor terkait penyakit (respons massa tumor KNF pasca radioterapi, durasi paresis saraf kranial, derajat keterlibatan saraf kranial dan subtipe histologi WHO), maupun dengan faktor terkait tatalaksana (teknik radioterapi dan pendekatan kemoterapi). Kesimpulan. Perbaikan paresis saraf kranial pasca radioterapi dapat dinilai secara objektif dengan pemeriksaan neurologi klinis sehingga perlu secara rutin dilakukan pemeriksaan neurologi klinis pra maupun pasca terapi sebagai salah satu standar evaluasi pasien KNF di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

ABSTRACT
Background. Nasopharyngeal Cancer (NPC) is the most prevalent head and neck cancer, and its incidence in Indonesia is quite high. Third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies are often found in NPC patients and signify intracranial infiltration. Clinical neurological examination for cranial nerves is one method of evaluating NPC patients after they receive standard management. Methods. This is an observational study with a pre-post design. The subject of this study were all NPC patients with third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies who receive full radiotherapy regimen at the Department of Neurology, Cipto Mangunkusumo National Hospital 2-6 months prior to evaluation. Patients were then interviewed, asked to fill in questionnaires and went through clinical neuro-ophthalmological evaluation. Data was analyzed using SPSS 17.0. Results. There were 32 NPC patients included in this study. Standard management at Cipto Mangunkusumo National Hospital improve the outcome of third cranial nerve palsy in 86% of subjects (57% complete recovery, 29% partial recovery), 100% improvement of the fourth cranial nerve palsy, 86% improvement of the fifth cranial nerve palsy (36% complete recovery, 21% partial recovery), and 43% improvement of the sixth cranial nerve palsy. However, there were no statistically significant correlations between the improvement of the cranial nerves with patients related factors (age and sex), with disease related factors (NPC primary tumor response to radiotherapy, duration of cranial nerves palsy, degree of cranial nerves involvement and WHO histological subtypes), or with treatment related factors (radiotherapy techniques and chemotherapy approaches). Conclusion. The recovery of cranial nerve palsy after radiotherapy could be objectively evaluated with clinical neurological examination. Therefore, clinical neurological examination should be viewed as the standard evaluation for NPC patients pre as well as post therapy."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Samanta
"Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius yang dapat menyebabkan kematian, kecacatan fisik dan kecacatan mental. Cedera kepala dapat menyebabkan sel astrosit rusak sehingga mengeluarkan protein S 100B yang dapat dideteksi didalam darah perifer, sehingga dapat dipakai untuk memprediksi tingkat keparahan cedera kepala yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kadar protein S 100B dengan tingkat keparahan cedera kepala.
Metode. Desain penelitian adalah potong lintang untuk mengetahui kadar protein S 100B pada pasien cedera kepala akut onset kurang dari 24 jam. Subyek penelitian sejumlah 85 pasien yang datang berobat ke Instalasi Gawat Darurat RSCM sejak bulan maret ? juni 2015. Dilakukan penilaian GCS, lamanya tidak sadarkan diri, lamanya amnesia pasca trauma dengan bantuan alat TOAG, pemeriksaan CT Scan dan pemeriksaan serum protein S 100B.
Hasil. Didapatkan kadar rerata protein S 100B serum 0,77 μg/L, rerata durasi amnesia 21,22 jam, rerata nilai GCS 13. Terdapat perbedaan kadar protein S 100B pada CKR (rerata 0,4175) dibandingkan dengan pada CKS dan CKB (1,0722) (p=0,020), nilai titik potong kadar protein S 100B pasien yang meninggal 0,765 μg/L (p= 0,002).
Simpulan. Kadar rerata protein S 100B pada cedera kepala ringan lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein S 100B pada cedera kepala sedang dan berat, semakin tinggi kadar protein S 100B akan semakin tidak baik keluaran pasien cedera kepala.

Background. Traumatic brain injury is still a serious community health problem can cause death, physical and mental disability. Protein S 100B release from destructive astrocyte from brain injury and detected in the peripheral blood, so that protein S 100B can serve as predictor of severity traumatic brain injury. This research aimed to find association between protein S 100B with traumatic brain injury severity.
Method. This was a cross sectional study focusing to protein S 100B value from acute traumatic brain injury patients with onset < 24 hours. Eighty five patients were recruited from emergency room RSCM. GCS value, duration of post traumatic amnesia with TOAG tools, duration loss of consciousness, brain CT scan and concentration serum protein S 100B were record.
Results. The mean concentration serum Protein S 100B were 0.77, mean PTA duration were 21,22 hours, and the mean GCS were 13. There is a significant differentiation value of concentration protein S 100B from mild trumatic brain injury compare moderate and severe traumatic brain injury (p=0,020), cut off point for death patients was 0,765 μg/L.
Conclusion. The mean serum Protein S 100 B from mild trumatic brain injury lower than moderate and severe traumatic brain injury higher consentration of protein S 100B have bad outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Chitra
"Latar belakang: Terdapat beberapa metode pengukuran TIK, baik invasif maupun noninvasif. Metode invasif pengukuran TIK kadang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tenaga ahli. Untuk itu, metode noninvasif pemeriksaan TIK telah banyak dikembangkan. Salah satunya adalah sonografi ONSD. Menurut studi sebelumnya, ONSD memiliki korelasi yang kuat, serta sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam memprediksi peningkatan TIK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan pemeriksaan ONSD menggunakan ultrasonografi dalam mendeteksi peningkatan TIK pada pasien dengan infeksi otak.Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menilai korelasi antara nilai ONSD menggunakan ultrasonografi dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi. Terdapat 43 subjek tersangka infeksi otak yang telah dilakukan pemeriksaan sonografi ONSD sesaat sebelum dilakukan pengukuran tekanan pembukaan lumbal pungsi. Tekanan pembukaan lumbal pungsi diperiksa dengan menggunakan intravenous IV tubing, three way stopcock, dan penggaris ukur. Tekanan pembukaan dikatakan meningkat jika lebih dari 20 cmH2O. Pemeriksaan ONSD dilakukan pada kedua mata dengan menggunakan ultrasonografi dengan frekuensi transmit sekitar 7-15MHz.Hasil: Didapatkan usia rata-rata subjek adalah 35 tahun. Sebagian besar subjek adalah HIV positif 55,8 . Jenis infeksi otak terbanyak adalah meningitis TB yaitu 28 kasus 65,1 . Keluhan terbanyak yang dialami subjek adalah sakit kepala 79,1 dan demam 88,4 . Defisit okulomotor berupa paresis nervus abdusen atau nervus okulomotorius didapatkan pada 8 subjek 18,6 . Median tekanan pembukaan subjek yaitu 18 cmH2O rentang 7- 81 cmH2O , dimana 16 subjek 37,2 dengan tekanan di atas 20 cmH2O. Nilai ONSD pada tekanan pembukaan meningkat lebih lebar dibandingkan ONSD pada tekanan pembukaan normal 6,09 0,59 vs 5,58 0,55mm . Terdapat perbedaan ONSD yang bermakna antara tekanan pembukaan meningkat dan normal p=0,02 . Berdasarkan hasil uji Spearmen didapatkan hubungan antara ONSD dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi p= 0,002 dengan derajat korelasi sedang r= 0,452 . Model regresi ONSD terhadap tekanan pembukaan lumbal pungsi adalah y= -36,488 9,936x.Kesimpulan: ONSD berkorelasi sedang dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi.

Background There are several methods of measuring increased intracranial pressure, both invasive and noninvasive. The invasive method of measuring intracranial pressure sometimes can not be performed because of limited tools and experts. For that reason, noninvasive methods of intracranial pressure examination have been widely developed today. One of the noninvasive method is ONSD sonography. According to previous studies, ONSD has a strong correlation, as well as good sensitivity and specificity in predicting increased intracranial pressure. This study aims to determine the usefulness of ONSD examination using ultrasonography in detecting increased intracranial pressure in patients with cerebral infection.Method This study used cross sectional design and assessed the correlation between ONSD value using ultrasonography with opening pressure of lumbar puncture. There were 43 suspected cerebral infection subjects who had performed ONSD sonographic shortly before opening pressure swere measured. The opening pressure is examined using intravenous IV tubing, three way stopcock, and a measure ruler. The opening pressure is interpreted to increase if the pressure exceeds 20 cmH2O. The ONSD examination is performed on both eyes using ultrasound with a transmitting frequency of about 7 15MHz.Result The average age of the subject was 35 years. Most of the subjects were HIV positive 55.8 . The most common type of cerebral infection is TB meningitis 28 cases, 65,1 . The most common chief complaints were headache 79.1 and fever 88.4 . An oculomotor deficit paresis of the abduscen nerve or oculomotor nerve was obtained in 8 subjects 18.6 . The median of opening pressure was 18 cmH2O range 7 81 cmH2O , where 16 subjects 37.2 with pressure above 20 cmH2O. The ONSD value at the increased opening pressure was wider than ONSD at normal opening pressure 6.09 0.59 vs 5.58 0.55mm . There was a significant ONSD difference between increased and normal opening pressure p 0.02 . Based on Spearmen test results obtained the relationship between ONSD with puncture lumbar opening pressure p 0,002 with medium degree of correlation r 0.452 . The ONSD regression model of predicting opening pressure of lumbar puncture is y 36,488 9,936x.Conclusion ONSD correlated moderately with opening pressure of lumbar puncture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library