Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hizkia Graldi Liharyanto P.
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perbedaan respon yang diberikan oleh Masyarakat Timur Laut Thailand dan Masyarakat Selatan Thailand terhadap satu kebijakan yang sama yaitu Kebijakan Pro-Masyarakat Miskin yang diterapkan oleh Thaksin Shinawatra. Kebijakan ini berpihak kepada kedua masyarakat tersebut karena mereka merupakan masyarakat miskin dan kebijakan tersebut menguntungkan mereka. Tetapi pada kenyataannya dari kedua masyarakat tersebut hanya Masyarakat Timur Laut yang mendukung Thaksin Shinawatra, sedangkan Masyarakat Selatan Thailand tidak mendukungnya. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil Pemilihan Umum 2005 dimana dukungan dari Masyarakat Timur Laut Thailand membantu Thaksin dan TRT mendapatkan suara terbanyak.
ABSTRACT
This thesis discusses the different responses given by the Northeastern People of Thailand and the Southern People of Thailand to the same policy namely the Pro-Poor Policy implemented by Thaksin Shinawatra. This policy sided with the two communities because they were poor people and the policy benefited them. But in fact, from the two communities, only the Northeast People supports Thaksin Shinawatra, while the Southern People does not support it. This can be seen from the results of the 2005 General Election where support from the Northeastern People of Thailand helped Thaksin and TRT get the most votes.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paskah Anggelika
Abstrak :
Penelitian ini akan mengkaji mengenai keberhasilan gerakan anti pemerkosaan di India dalam mendorong amandemen undang-undang hukum pidana India pada tahun 2013. Gerakan ini muncul setelah terjadinya kasus pemerkosaan yang terjadi pada seorang mahasiswi berumur 23 Tahun yang bernama Jyoti Singh. Insiden tersebut telah memunculkan protes besar dari masyarakat India terhadap kasus pemerkosaan yang sering terjadi kepada perempuan India. Mereka menuntut pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan kepada perempuan sehingga peristiwa serupa tidak terulang kembali. Gerakan ini juga meminta pemerintah untuk mempertegas sistem hukum terkait pemerkosaan, khususnya undang-undang hukum pidana. Terdapat tuntutan kepada pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap undang-undang pidana yang mengatur hukuman terhadap pelaku pemerkosaan. Mereka meminta agar para pelaku bisa mendapatkan hukuman maksimal yaitu hukuman mati. Pada akhirnya gerakan ini berhasil mendorong pemerintah untuk mengamandemen undang-undang hukum pidana tersebut pada tahun 2013. Dalam mengkaji keberhasilan gerakan anti pemerkosaan ini, penulis menggunakan teori struktur kesempatan politik, mobilisasi sumber daya, dan framing. Penelitian ini juga akan menggunakan metode penelitian kualitatif. ...... This study will examine the success of the anti rape movement in India in pushing for an amendment of Indian criminal law in 2013. This movement emerged after the rape case that occurred in a 23 year old student named Jyoti Singh. The incident has sparked massive protests from Indian society over the frequent rape case against Indian women. They demanded the government to provide protection for women so that similar events do not happen again. The movement also asked the government to reinforce the legal system related to rape, particularly in criminal law. There was a demand to the government to amend the criminal law that governs the punishment of perpetrators of rape. They asked that the perpetrators can get the maximum sentence of death penalty. In the end, the movement succeeded in encouraging the government to amend the criminal law law in 2013. In examining the success of this anti rape movement, the author uses the theory of opportunity politics structure, resource mobilization, and framing. This research uses qualitative method.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Darmawan
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014
324.65 IKH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Meisca Rafinda
Abstrak :
Peningkatan kasus pemerkosaan di India terjadi terus-menerus setiap tahunnya membuat isu ini signifikan untuk diteliti. Penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial baru,  perspektif feminisme radikal dan politik tubuh untuk menjelaskan peranan feminis dan gerakan perempuan India. Pemerkosaan di India dilihat sebagai manifestasi budaya patriarki yang mengakar di dalam masyarakat India. Fokus dari penelitian ini adalah melihat peranan feminis dan gerakan perempuan India dalam memengaruhi pembentukan undang-undang yaitunya Undang-Undang Anti Pemerkosaan di India tahun 2013. Feminis dan gerakan perempuan India berharap pengesahan undang-undang yang baru dapat menjadi solusi dalam mengatasi persoalan perempuan. Akan tetapi, pengesahan undang-undang ini tidak dapat mengatasi pemerkosaan di India yang dibuktikan dengan data statistik meningkatnya pemerkosaan di India setiap tahunnya pasca disahkannya Undang-Undang Anti Pemerkosaan di India tahun 2013. ...... The increasing of rape cases in India each year makes this phenomenon becomes significant in India. This research employs theory of new social movements, the perspective of radical feminism dan body politics to explain the role of feminism and the impact of Indian womans movement. Rape is seen as a manifestation of Patriarch Culture that rooted in the Indian society. This research aims to see the role of feminism and the Indian womans movement in the formulation of Anti-Rape Law in 2013. Feminist and the women in India build upon this Law as a solution to rape cases that happened in India. But as a matter of fact, this Law is not a solution for the rape cases, its proven with the statistics data that that there is still escalation each year even if the Law itself is passed in 2013.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Rahayu
Abstrak :
Penelitian ini berupaya menggambarkan perbedaan pemberian dukungan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan pemberian dukungan antara pengurus dengan keputusan partai menunjukkan terjadinya konflik internal di PKB. Hal ini merujuk pada teori konflik Maswadi Rauf yang menyatakan bahwa salah satu bentuk konflik adalah konflik lisan berupa perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadhilah Arini
Abstrak :
Represi merupakan salah satu strategi efektif yang dapat dimanfaatkan oleh suatu rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, pemanfaatan represi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan memiliki biaya (cost) yang tinggi khususnya terhadap legitimasi bagi rezim. Oleh karena itu, represi umumnya dijadikan sebagai sebuah strategi paling akhir yang dimanfaatkan oleh rezim. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengapa suatu rezim akhirnya memilih untuk memanfaatkan represi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan. Pemaparan terhadap hal tersebut akan dilakukan melalui kasus di Kamboja pada konteks pemilu tahun 2018. Pada konteks pemilu tahun 2018, rezim berkuasa Cambodia Peoples Party (CPP) memanfaatkan represi untuk memenangkan pemilu dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Hal tersebut terlihat ketika dalam menghadapi pemilu tahun 2018, rezim melakukan penutupan dan penjualan paksa media independen, membubarkan partai oposisi utama Cambodia National Rescue Party (CNRP), serta membatasi hak politik dan sipil masyarakat dengan mengamandemen Konstitusi Kamboja dan UU Hukum Pidana pada awal tahun 2018. Merujuk kepada teori represi yang dipaparkan oleh Joshua dan Edel, penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan kondisi yang melatarbelakangi penggunaan represi oleh suatu rezim; karakteristik rezim, karakteristik negara, dan karakteristik tantangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa represi merupakan strategi yang dibutuhkan dan efektif bagi rezim CPP. Represi dibutuhkan oleh rezim ketika strategi alternatif yang tersedia berdasarkan karakteristik rezim CPP tidak lagi berfungsi efektif. Sementara itu rezim juga dihadapkan pada tantangan keberadaan CNRP dalam arena pemilu. Memiliki kedekatan dengan angkatan bersenjata, rezim akhirnya memanfaatkan represi untuk memenangkan pemilu tahun 2018 dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Penggunaan represi tersebut juga didasari oleh kesatuan angkatan bersenjata atas dasar hubungan personal dengan pemimpin rezim, Hun Sen, serta kapasitas angkatan bersenjata yang luas menjadikan represi sebagai strategi efektif. ...... Repression is one of the most effective strategy that can be used by a regime to stay in power. Yet, using repression as a strategy to stay in power would be too costly especially for regimes legitimacy. Hence, repression mostly seen as the last option for a regime. This research aims to understand why regime choose repression as a strategy to stay in power, using the case of Cambodia in the context of 2018 general election. In the context of 2018 general election, the regime in power Cambodia Peoples Party (CPP) used repression to win 2018 Cambodia National Election. The use of repression could be seen when the regime: closed and sold independent media; dissolved the main opposition party, Cambodia National Rescue Party (CNRP); and restricted peoples political and civil right by amending Cambodia Constitution and Penal Code in early 2018. Using Joshua and Edels Theory of Repression, this research explains all the circumstances that lead to the use of repression by a regime: regime characteristics, state characteristics, and challenge characteristics. This research concludes by arguing that repression is needed and effective for CPP to win 2018 Cambodia National Election in order to stay in power. Repression is needed especially when all of alternative strategies were no longer effective for CPP Regime. Regime also faced a challenge in the presence of CNRP in election arena. In addition, CPP Regime has a close ties with armed forces. Therefore, CPP regime used repression to win 2018 National Election. In addition to that circumstances, Cambodia armed forces has a cohesion determined by personal ties with Hun Sen and a large capacity to repress.  
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Inezia Al Kahfi
Abstrak :
Penelitian ini membahas partisipasi politik jemaah Salafi di DKI Jakarta pada Pemilihan Presiden 2019. Penelitian ini menggunakan konsep ideologi dan teori partisipasi politik. Penelitian ini menjelaskan Islam dengan pemahaman para salaf yaitu generasi terbaik umat Islam sebagai ideologi yang dapat mempengaruhi tindakan politik jemaah Salafi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam untuk memperoleh data primer serta data sekunder melalui buku, artikel jurnal, dan media daring. Temuan dari penelitian ini adalah terdapat beberapa ustaz Salafi yang membolehkan jemaah untuk mengikuti pemilihan umum dengan membawakan dalil agama. Peneliti juga menemukan jemaah Salafi yang berpartisipasi dalam Pemilihan Presiden 2019. Bahkan terdapat ustaz yang menganjurkan jemaah untuk memilih dalam pemilihan umum dibandingkan tidak memilih. Jemaah Salafi menilai pada saat Pemilihan Presiden 2019 terjadi polarisasi dalam masyarakat menjadi dua kubu. Dalam memilih di antara kedua calon, jemaah tidak hanya memperhatikan profil calon presiden saja melainkan juga memperhatikan pendukung dari calon presiden yang akan dipilih. Mereka memiliki kecenderungan untuk memilih calon presiden yang mayoritas pendukungnya adalah muslim, yaitu Prabowo Subianto. Jemaah Salafi juga menerima hasil akhir suara dan menekankan untuk tetap taat kepada presiden terpilih yang memimpin pemerintahan, selama bukan untuk melanggar syariat agama. ......This study discusses the political participation of Salafi in DKI Jakarta in the 2019 Presidential Election. This study uses the concept of ideology and political participation theory. This study explains Islam with the understanding of the salaf, namely the best generation of Muslims as an ideology that can influence the political actions of Salafi congregation. This study uses a qualitative method by conducting in-depth interviews to obtain primary and secondary data through books, journal articles, and online media. The findings of this study are that there are several Salafi ustadh who allow congregations to take part in general elections by presenting religious arguments. The researcher also found Salafi congregation participating in the 2019 Presidential Election. There were even ustadh who suggested the congregation to vote in general elections instead of not voting. The Salafi congregation views that during the 2019 Presidential Election there was polarization in society into two camps. In choosing between the two candidates, the congregation does not only pay attention to the profile of the presidential candidate but also pays attention to the supporters of the presidential candidate to be elected. They have a tendency to vote for a presidential candidate whose majority of supporters are Muslims, namely Prabowo Subianto. The Salafi congregation also accept the final results and an appeal to remain obedient to the elected president who leads the government, as long as it does not violate religious law.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Nabilah
Abstrak :
Skrispi ini membahas terjadinya transisi demokrasi di Myanmar. Dengan mengacu kepada teori Samuel P. Huntington mengenai faktor pendorong demokratisasi dan pola transisi demokrasi, skripsi ini berargumen bahwa transisi demokrasi di Myanmar terjadi karena diinisasi oleh rezim yang sedang berkuasa, dan dipengaruhi beberapa faktor pendorong, yaitu 1) krisis legitimasi, 2) faktor ekonomi, 3) perubahan keagamaan, 4) perubahan kebijakan pelaku eksternal dan 5) efek demonstrasi. Melalui penelitian kualitatif dan studi literatur skripsi ini menemukan bahwa proses transisi demokrasi di Myanmar dimulai setelah liberalisasi awal yang dilakukan oleh rezim militer pada tahun 2007, dan dilanjutkan oleh pemerintahan baru yang dipimpin Thein Sein pasca pemilihan umum 2010. Sepanjang 2011-2016, pemerintahan Thein Sein yang melibatkan koalisi militer dan sipil transisi demokrasi terbatas di Myanmar melalui penerapan kebijakan reformasi politik dan ekonomi. Dari temuan tersebut skripsi ini menyimpulkan bahwa pola transisi demokrasi Myanmar yang diinisiasi oleh rezim militer dan diterapkan secara terbatas dibawah pengaruh kuat militer dan pelibatan kelompok opisisi dalam pemerintahan Thein Sein merefleksikan ciri model transformasi. ......This thesis discusses the occurrence of democratic transition in Myanmar. Referring to Samuel P. Huntington’s theory regarding the driving factors for democratization and the pattern of democratic transition, this thesis argues that the democratic transition in Myanmar occurred because of the initiatied by the ruling regime and influenced by several factors, such as 1) legitimacy crisis, 2) economic factors, 3) religious changes, 4) changes in policies of external actors and 5) demonstration effects. Through qualitative research and literature study, this thesis finds that the democratic transition process in Myanmar began after the initial liberalization carried out by the military regime in 2007, and continued by a new government led by Thein Sein after the 2010 general election. During 2011-2016, Thein Sein’s government involving military and civil coalitions of limited democratic transition in Myanmar through the implementation of political and economic reform policies. From these findings, this thesis concludes that the pattern of Myanmar’s democratic transition initiated by the military regime and implemented in a limited manner under the strong influence of the military and the involvement of opposition groups in Thein Sein’s government reflects the characteristics of the transformation model.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Humaira Yasmin Darmawan
Abstrak :
Referendum kemerdekaan merupakan salah satu mekanisme yang digunakan sebuah komunitas bangsa dalam memperjuangkan pengakuan terhadap identitasnya. Dari berbagai referendum kemerdekaan yang terjadi pada abad ke-21, hampir seluruhnya memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi yang ditunjukkan dari angka voter turnout di atas mayoritas, kecuali referendum kemerdekaan Catalunya pada tahun 2017. Sejak tahun 2000-an, dinamika dan ketegangan sosial, politik, dan ekonomi antara Catalunya dengan Spanyol memunculkan tuntutan otonomi yang lebih besar, bahkan kemerdekaan. Kampanye kemerdekaan yang diorganisasi di tingkat akar rumput maupun elite akhirnya berujung pada penyelenggaraan referendum pada 1 Oktober 2017 oleh Pemerintah Otonom Catalunya. Namun, referendum tersebut hanya dihadiri oleh 43% dari seluruh pemilih sah. Penelitian ini mendalami alasan rendahnya angka turnout dalam referendum tersebut dengan menggunakan tesis Máiz tentang faktor-faktor politik dalam mobilisasi nasional dan etnis. Penelitian ini menemukan bahwa prakondisi etnis dalam gagasan tentang bangsa Catalunya digunakan oleh massa dan dimanipulasi oleh para elit yang mencari dukungan elektoral dalam berbagai pemilu tingkat regional. Hubungan dua arah yang saling mempengaruhi di antara keduanya membantu melebarkan peluang politik gerakan pro-kemerdekaan. Namun, kampanye pro-kemerdekaan tersebut hanya populer di kalangan masyarakat yang memang mendukungnya. Sebagian masyarakat lain menjadi silent majority yang tidak melihat insentif material dengan kemerdekaan Catalunya sebagaimana dikampanyekan oleh massa dan para elite politik. ......An independence referendum has become one of the mechanisms employed by a national, historic minority to achieve recognition of their identity. Since the 21st century, generally all independence referendums saw a high number of voter turnout except the peculiar case of the Catalan independence referendum in 2017. Catalonia has seen social, political, and economic tensions with the Spanish government which have escalated a greater demand for autonomy and independence since the 2000s. Independence campaigns were organized and sustained for years at the grassroot and elite level and culminated in the October 1st independence referendum by the Catalan Autonomous Government. The referendum, however, only saw the participation of 43% of the total eligible voters. Utilizing Máiz’s thesis on political factors in explaining the ethnic and national mobilization, this research seeks to explain the low turnout number of the Catalan referendum. This research found that the ethnic preconditions of the Catalan nation is used by the masses and manipulated by elites who pursued electoral support in regional elections. The two-way relationship between pro-independence masses and the political elites influenced each other and helped broaden the movement’s political opportunity. However, the pro-secession campaign was only popular among the population who support it, while the rest of the Catalan people became a silent majority who did not see the material incentive of declaring an independence as promoted by the other group and politicians.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Ashari
Abstrak :
Ditetapkannya PKPU No.20 Tahun 2018 yang mengatur mantan narapidana korupsi, mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tidak dapat menjadi caleg pada Pemilu 2019 menuai pro dan kontra. KPU telah meminta kepada partai politik untuk mengganti nama bakal caleg yang merupakan mantan narapidana korupsi, namun masih saja ada parpol yang mencalonkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg di tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bawaslu, Komisi II DPR dan Kemendagri bersepakat mengembalikan persyaratan caleg ke Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Partai Gerindra sebagai parpol yang kerap menyuarakan anti korupsi, merekrut 22 bakal caleg mantan narapidana korupsi pada Pemilu 2019. Proses rekrutmen oleh Partai Gerindra berlangsung tertutup dan tidak terdapat penelusuran rekam jejak dalam mekanisme rekrutmen caleg tersebut. Terbitnya Putusan Mahkamah Agung kemudian memperbolehkan caleg mantan narapidana korupsi ikut serta pada Pemilu 2019. Penelitian metode kualitatif dengan desain studi kasus ini menggunakan teori rekrutmen partai politik Barbara Geddes (1994), Almond & Powell (1966), Almond & Coleman (1961), dan teori modal Kimberly L Casey, Pierre Bourdieu, Robert D. Putnam. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Partai Gerindra yang ingin memperoleh banyak suara dan kursi pada Pemilu 2019, cenderung pragmatis dalam merekrut caleg mantan narapidana korupsi yang memiliki modal politik, sosial dan finansial serta populer. Caleg mantan narapidana korupsi memanfaatkan celah hukum, yaitu PKPU No.20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan UU Pemilu No.7 Tahun 2017. Partai Gerindra tidak melakukan penelusuran rekam jejak bakal calon anggota legislatif  serta tetap melakukan rekrutmen terhadap mantan narapidana korupsi. Partai Gerindra sudah seharusnya melaksanakan proses demokratisasi sendiri di dalam tubuh mereka sehingga fungsi-fungsi ideal partai politik bisa dijalankan.
With the enactment of PKPU No.20 of 2018 which regulates ex-convicts of corruption, drug trafficking inmates and sexual crimes against children can not be candidates in the 2019 elections reaping pros and cons. KPU has asked political parties to change the names of prospective candidates who are former convicts of corruption, but there are still political parties that nominate ex-convicts of corruption to be candidates at the Provincial and Regency/City DPRD levels. Bawaslu, Commission II of House of Representatives and the Ministry of Home Affairs agreed to return the candidates requirements to Article 240 Paragraph 1 letter g of Law No.7 of 2017 concerning Elections. Gerindra Party as a political party that often voiced anti-corruption, recruiting 22 candidates for former corruption convicts in the 2019 election. The recruitment process by the Gerindra Party was closed and there was no track record in the recruitment mechanism of the candidates. The issuance of the Supreme Courts Decision then allowed candidates for ex-convicts of corruption to take part in the 2019 elections, This qualitative research method with case study design uses the theory of recruitment of political parties Barbara Geddes (1994), Almond & Powell (1966), Almond & Coleman (1961 and the modality theory of Kimberly L. Casey, Pierre Bourdieu, Francis Fukuyama. The findings of this study indicate that the Gerindra Party, which wants to get a lot of votes and seats in the 2019 Election, tend to be pragmatic in recruiting candidates for ex-convicts of corruption who have political, social and financial capital and are popular. Where candidates for ex-convicts of corruption use legal loopholes, namely PKPU No. 20 of 2018 contradicts with the Election Law No. 7 of 2017. The Gerindra Party did not search any track record of prospective legislative candidates and continued to recruit former corruption convicts. The Gerindra Party should have carried out their own democratization processes so that the ideal functions of political parties can be carried out.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T55372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>