Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitria Nugrahani
"Pendahuluan: Bidang ortodonti selalu mengalami kemajuan, termasuk di bidang teknologi. Salah satunya adalah berkembangnya model studi digital tiga dimensi yang menggantikan peran model studi konvensional yang terbuat dari stone.
Tujuan Penelitian: Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil pengukuran lebar mesio-distal, jarak interkaninus, dan jarak intermolar gigi pada model studi digital 3D dengan model studi konvensional.
Material dan Metode: Dua belas subyek dengan geligi tidak berjejal dicetak hanya pada rahang atas sebanyak dua kali, dengan menggunakan bahan cetak alginat dan polivinylsiloxane. Cetakan alginat dicor dengan stone untuk memperoleh model studi konvensional, sedangkan cetakan polivinylsiloxane dipindai untuk memperoleh model studi digital 3D. Pemindaian dilakukan menggunakan piranti pemindai laser triangulasi yang dirakit oleh Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB dan perangkat lunak David Laser Scan. Pengukuran lebar mesio-distal gigi, jarak interkaninus, dan jarak intermolar pada model studi konvensional diukur menggunakan kaliper digital, sedangkan pada model studi digital 3D menggunakan software pengukur.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran lebar mesio-distal, jarak interkaninus, dan jarak intermolar pada model studi konvensional dengan model studi digital 3D (p>0.05).
Kesimpulan: Pengukuran pada model studi digital 3D sama akurat dengan model studi konvensional.

Introduction: Orthodontics always develop, including in the field of technology. One of the orthodontic technologies is the development of 3D digital study models that replaces the conventional study models made by stone.
Objective: The aim of this study is to compare the measurements of mesio-distal teeth width, intercanine width, and intermolar width between the 3D digital study models and the conventional study models.
Materials and Methods: Twelve sets of upper arch dental impressions were taken from subjects with non-crowding teeth. The impressions were taken twice, one with alginate and the other with polivinylsiloxane. The alginate impressions were made into conventional study models, whereas polivinylsiloxane impressions scanned to obtain 3D digital study models. Scanning was performed using laser triangulation scanner device assembled by the School of Electrical Engineering and Informatics ITB and David Laser Scan software. Measurements of mesio-distal width, intercanine width, and intermolar width measured on conventional study models using digital calipers, while the 3D digital study models using the measurement software.
Results: There were no significant differences between the measurements of mesio-distal width, intercanine width, and intermolar width between the conventional and 3D digital study models (p> 0.05).
Conclusion: The measurements on 3D digital study models are as accurate as conventional study models.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Chandra Nur Fitrany Fauza
"ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi antara orang awam Indonesia dan orang awam Korea di Jakarta terhadap estetika senyum.
Metode: Komponen senyum yang terdiri dari lebar mahkota, panjang mahkota, buccal corridor, gingival display dan smile arc pada foto senyum dimodifikasi secara digital dengan interval 1mm, sehingga diperoleh 20 foto senyum. Ke-20 foto ini kemudian dinilai oleh 35 orang awam Indonesia dan 35 orang awam Korea di Jakarta menggunakan visual analogue scale.
Hasil: perbedaan persepsi antara orang awam Indonesia dan orang awam Korea yang bermakna dapat ditemui pada panjang mahkota 12mm, buccal corridor 2,5mm dan 3,5mm, gingival display -0,5mm dan smile arc 2mm. Orang awam Indonesia dan orang awam Korea menilai lebar mahkota 8,5mm, panjang mahkota 10mm, buccal corridor 0,5mm, gingival display 0,5mm, smile arc 1mm sebagai komponen senyum yang paling estetis.
Kesimpulan: Orang awam Indonesia menilai panjang mahkota 12mm, buccal corridor 2,5mm dan 3,5mm, gingival display -0,5mm dan smile arc 2mm lebih estetis daripada orang Korea, namun terdapat kesamaan dalam memilih komponen-komponen senyum yang paling estetis.

ABSTRACT
Objectives: To compare the smile aesthetics perception between Indonesian and Korean laypeople.
Methods: Twenty smile photograps with altered features were used. Altered features included the following: crown width, crown length, buccal corridor, gingival display and smile arc. These photographs were assessed by 35 Indonesian laypeople and 35 Korean laypeople in Jakarta using a visual analogue scale.
Results: Significant differences in perception between Indonesian laypeople and Korean laypeople were found at 12mm crown length, 2,5mm dan 3,5mm buccal corridors, -0,5mm gingival display and 2mm smile arc. Indonesian and Korean laypeople assesed 8,5mm crown width, 10mm crown length, 0,5mm buccal corridor, 0,5mm gingival display and 1mm smile arc as the most aesthetic smile components.
Conclusion: Indonesian laypeople assesed 12mm crown length, 2,5mm and 3,5mm buccal corridor,-0,5mm gingival display and 2mm smile arc more aesthetically than Koreans, but there were similarities in choosing the most aesthetic components."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Livia Yonathan
"Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi korelasi antara polimorfisme gen Bone Morphogenetic-2 (BMP-2) rs1005464 dan rs235768 dengan pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial pada maloklusi skeletal kelas I, II, dan III; dan untuk mengetahui kerentanan Bone Morphogenetic Protein-2 (BMP-2) terhadap tipe wajah dan arah pertumbuhan. Bahan dan Metode: Populasi subjek terdiri dari 150 pasien ortodontik dewasa yang menjalani perawatan ortodontik di Klinik Spesialis Ortodontik Fakultas Kedokteran Gigi dan Mulut Universitas Indonesia. Subjek dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan kasus maloklusi skeletal kelas I, II, dan III; tipe wajah (mesofacial, dolichofacial, brachyfacial) dan arah pertumbuhan wajah (normal, hyperdivergent, hypodivergent) dikonfirmasi dengan radiografi sefalometrik lateral. Ekstraksi DNA dilakukan dengan potongan rambut subjek, metode polymerase chain reaction, dan Sanger sequencing digunakan untuk menganalisis subjek. Koefisien korelasi Pearson dan regresi logistik berganda dihitung untuk menganalisis korelasi dan kerentanan BMP-2 rs1005464 dan rs235768, pohon filogenetik dibuat untuk mengevaluasi evolusi gen. Hasil: Distribusi genotip BMP-2 rs1005464 dan rs235768 menunjukkan distribusi yang konsisten, menunjukkan bahwa varian tersebut dapat menjadi bioindikator genetik pola pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial. Koefisien korelasi Pearson menunjukkan bahwa BMP-2 rs1005464 dan rs235768 berkorelasi signifikan dan kerentanan dengan pasien maloklusi skeletal kelas I, II, dan III. Sanger sequencing menunjukkan adanya distribusi yang konsisten polimorfisme gen BMP-2 rs1005464 dan rs235768 dan pohon filogenetik menunjukkan BMP-2 rs1005464 memiliki kecenderungan maloklusi skeletal kelas I dan III sedangkan BMP-2 rs235768 terhadap maloklusi skeletal kelas II. Kesimpulan: Studi ini menunjukkan bahwa BMP-2 rs1005464 dan rs235768 berkorelasi signifikan, dan kerentanan terhadap pola pertumbuhan dan perkembangan Kraniofasial pada Maloklusi Skeletal kelas I, II, dan III.

Objectives:The purpose of this study was to evaluate the correlation between Bone Morphogenetic-2 (BMP-2) gene polymorphisms rs1005464 and rs235768 with craniofacial growth and development in skeletal malocclusion classes I, II, and III; and to determine the susceptibility of Bone Morphogenetic Protein-2 (BMP-2) against the facial types and growth direction. Materials and Methods: The subject population consisted of 150 adult orthodontic patients who underwent orthodontic treatment at the Orthodontic Clinic Specialist for the Dental Oral Education University of Indonesia. Subjects were divided into groups based on cases of skeletal malocclusion classes I, II, and III; facial types (mesofacial, dolichofacial, brachyfacial) and the direction of facial growth (normal, hyperdivergent, hypodivergent) were confirmed by lateral cephalometric radiograph. DNA extraction was carried out by haircuts of the subjects, polymerase chain reaction method, and Sanger sequencing was used to analyze the subjects. Pearson correlation coefficients and multiple logistic regression were calculated to analyze the correlation and susceptibility of BMP-2 rs1005464 and rs235768, a phylogenetic tree was made to evaluate the evolution of the gene. Result: The genotyping distribution of BMP-2 rs1005464 and rs235768 showed a consistent distribution, indicating that these variants can be a genetic bioindicator of the growth pattern and development of craniofacial. Pearson correlation coefficients indicated that the BMP-2 rs1005464 and rs235768 were significantly correlated and susceptibility with skeletal malocclusion classes I, II, and III patients. Sanger sequencing showed there was a consistent distribution of gene polymorphisms of BMP-2 rs1005464 and rs235768 and the phylogenetic tree shows BMP-2 rs1005464 has a tendency to skeletal malocclusion classes I and III while the BMP-2 rs235768 against skeletal malocclusion class II. Conclusion: This study indicated that the BMP-2 rs1005464 and rs235768 are significantly correlated, and susceptibility to growth patterns and development of Craniofacial in Skeletal Malocclusion classes I, II, and III."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Sitti Nur Rakhmayanti
"Latar belakang: Janji temu perawatan ortodonti merupakan sesuatu yang dianggap penting karena mempengaruhi lama waktu perawatan ortodonti, perawatan ortodonti memerlukan waktu berbulan-bulan hingga tahunan untuk menyelesaikan perawatan dengan interval kunjungan rutin 4-6 minggu. Ortodontis merupakan salah satu pekerjaan yang sangat rentan terpapar Covid-19 karena berkontak langsung dengan pasien. Dengan adanya pandemi Covid-19 mempengaruhi segala aspek kehidupan salah satunya adalah psikologis seseorang yaitu kecemasan terhadap terpaparnya virus Covid-19. Kecemasan adalah munculnya sebuah perasaan yang tidak menyenangkan, tidak enak, khawatir dan gelisah pada diri seseorang yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, dan lingkungan sosial. Belum ada penelitian yang membahas hubungan kecemasan di era pandemi Covid-19 terhadap janji temu perawatan ortodonti di kota kendari. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan mengenai pandemi virus corona terhadap kesediaan untuk menghadiri janji temu perawatan ortodonti. Metode: Penelitian ini dilakukan di Kota Kendari menggunakan metode cross-sectional. Kuesioner dari disebar kepada 72 pasien ortodonti dari beberapa klinik di Kota Kendari, menggunakan kuesioner daring. Hasil: Didapati adanya hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan di era pandemi Covid-19 terhadap janji temu perawatan ortodonti di Kota Kendari dan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan di era pandemi Covid-19 terhadap janji temu perawatan ortodonti di Kota Kendari dilihat berdasarkan usia dan jenis kelamin Kesimpulan: Pandemi Covid-19 terbukti berdampak pada kecemasan pasien menghadiri janji temu perawatan ortodonti kecemasan pasien

Background: Orthodontic care appointments are important because they affect the length of orthodontic care, orthodontic care take months to years to complete with regular visit intervals of 4-6 weeks. Orthodontist is one of the jobs that are very vulnerable to exposure to covid-19 due to direct contact with patients. With covid-19 pandemic affects all aspects of life, one of which is an individual's psychological anxiety against exposure to the covid-19 virus. Anxiety is the appearance of an unpleasant, uncomfortable, worried and restless feeling in a person that is influenced by several factors including age, gender, and social environment. There has been no research that discusses the relationship of anxiety in the covid-19 pandemic era to orthodontic care appointments in the city of kendari. Objective: To determine the relationship of anxiety levels regarding the coronavirus pandemic to the willingness to attend orthodontic care appointments. Method: This research was conducted in Kendari City using cross-sectional method.¬ Questionnaires were circulated to 72 orthodontist patients from several clinics in Kendari City, using online questionnaires. Result: There was a meaningful relationship between anxiety levels in the Covid-19 pandemic era to orthodontic care appointments in Kendari City and there was a meaningful relationship between anxiety levels in the Covid-19 pandemic era to orthodontic care appointments in Kendari City viewed based on age and gender Conclusion: Pandemic Covid-19 proved to have an impact on the anxiety of patients attending orthodontic care appointments of emergency patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grahita Aditya
"ABSTRAK
Straight Wire Appliance (SWA) merupakan sebuah sistem perawatan ortodonti
yang dirancang untuk memperoleh in-out, inklinasi dan angulasi akhir gigi-geligi
yang ideal. Perbedaan sudut torque dan nilai preskripsi akan mempengaruhi
inklinasi akhir gigi-geligi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi
torque braket MBT slot 0,022? yang beredar di Indonesia. Penelitian dilakukan
menggunakan SEM terhadap sudut torque antara basis braket dengan dasar slot
braket kaninus atas pada 3 produk ortodonti setelah diposisikan tegak lurus optik.
Uji statistik menyatakan terdapat perbedaan signifikan antara braket Agile Abzil
3M Unitek (-3,69°) dan Versaden (-3,85°) dengan preskripsi (-7°), namun tidak
terdapat perbedaan signifikan antara braket Ormco (-7,68°) dengan preskripsi.

ABSTRACT
Straight Wire Appliance (SWA) was designed to facilitateideal in-out, inclination
and angulation of the teeth. Variations between actual brackettorque valuesand
prescription values are considered essential to providing proper tooth inclination.
This study aims to determine the accuracy of the slot.022" MBT brackets
marketed in Indonesia. The measurement was conducted using the SEM to the
torque angle between the base of bracket and slot. Statistical analysis indicated
significant differences between Agile Abzil 3M Unitek (-3.69°) and
MBTprescription (-7°), as also Versaden (-3.85°).No significant differences found
between the Ormco bracket (-7.68°) and MBT prescription."
2012
T31125
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Yunia Arsie
"ABSTRAK
Pendahuluan: Masa remaja adalah suatu saat dimana seseorang mencari jati
dirinya. Hubungan sosial dengan orang lain menjadi hal yang tak terpisahkan
dalam masa ini, dan seringkali susunan gigi-geligi, berpengaruh terhadap
perlakuan sosial yang diterima seorang remaja dari lingkungannya. Berbagai
penelitian telah menemukan maloklusi gigi anterior atas berdampak negatif
terhadap relasi sosial remaja. Meskipun demikian, penelitian seperti ini masih
jarang ditemukan di Indonesia.
Material dan metode: Subjek berasal dari 2 SMP di Jakarta Timur, sebanyak 173
orang, yang dibagi menjadi 4 macam karakteristik oklusi: gigi anterior atas
berjejal, gigi anterior atas bercelah, dan gigi anterior atas protrusif, menggunakan
kuesioner PIDAQ (Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire).
Hasil: Analisis menunjukkan adanya perbedaan bermakna dalam dampak
terhadap rasa percaya diri antara remaja oklusi normal dengan maloklusi gigi
berjejal, bercelah, maupun protrusif, serta perbedaan bermakna antara dampak
psikologis yang dimiliki remaja oklusi normal dengan gigi bercelah.
Kesimpulan: Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan serta perawatan
ortodonti dini pada remaja dengan maloklusi agar dapat mencegah timbulnya
gangguan perkembangan psikososial remaja.

Abstract
Introduction: Adolescence is a one of significant periods in one?s life. Relating
with others in this phase has become an inseparable aspect, and often physical
appearance, especially facial and dental, considerably determines the quality of
social treatment received from one?s surrounding. Several studies have found the
role of upper anterior malocclusion in rendering negatively one?s social
connection with his peers. Despite the quite fascinating findings, such studies are
relatively rare to be found in Indonesian context.
Material and method: impact of various anterior occlusion on adolescent
psychosocial from SMP 51 and SMP 195 in East Jakarta area by using PIDAQ
(Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire). Two school were
contacted and 173 subjects participated, classified into four occlusal
characteristics: normal, upper anterior crowding, upper anterior spacing, and
upper anterior protruding.
Result: There is significant difference between adolescents with normal occlusion
and those suffering from malocclusions, either crowding, spacing, or protruding.
Moreover, there is a significant psychological impact difference between
adolescents with normal dentition and those who have upper anterior spacing.
Conclusion: It can be concluded that anterior malocclusion has the possibility to
affect adolescents psychological condition. Therefore, it is deemed necessary to
take preventive action as well as early orthodontic treatment on adolescents
suffering from malocclusions in order to nullify the impact on their psychosocial
development."
2012
T31383
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cinta Nurindah Sari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Psikososial merupakan kondisi yang meliputi aspek psikis dan sosial. Estetika wajah dapat menentukan perlakuan sosial yang diterima seorang individu dari lingkungannya. Gigi-geligi merupakan komponen penting dalam estetika wajah. Susunan gigi-geligi buruk dapat mengakibatkan berbagai masalah terkait fungsi maupun psikososial, namun dapat diatasi oleh perawatan ortodonti. Meskipun demikian, seringkali individu belum sadar akan kebutuhan perawatan ortodontinya. Ditemukan kontradiksi pada berbagai hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan status psikososial dan kebutuhan perawatan ortodonti, terutama pada usia remaja. Tujuan: Mengetahui hubungan status psikososial dengan kebutuhan perawatan ortodonti menggunakan PIDAQ dan IOTN pada siswa SMAN 27 Jakarta Pusat. Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 95 remaja. Diberikan kuesioner PIDAQ untuk mengetahui status psikososial dan IOTN-AC untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti secara subjektif, serta digunakan IOTN-DHC untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti secara objektif. Hasil: Nilai signifikansi uji chi-square antara status psikososial dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-AC yaitu p = 0,001 dan nilai signifikansi uji chi-square antara status psikososial dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-DHC yaitup = 0,140. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status psikososial berdasarkan PIDAQ dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-AC dan tidak terdapat hubungan antara status psikososial berdasarkan PIDAQ dengan kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan IOTN-DHC pada siswa SMAN 27 Jakarta Pusat.

ABSTRACT
Background: Psychosocial is a condition involves psychological and social aspects. Facial aesthetics affects how someone is treated by their surrounding. Teeth arrangement is an important component in facial aesthetics. Misaligned teeth often cause various problems, but can be overcome by orthodontic treatment. However, individuals are often not aware of their orthodontic treatment needs. Previous studies show contradictory results on association of psychosocial status and orthodontic treatment need. Objective: To determine whether psychosocial status associated with orthodontic treatment need using PIDAQ and IOTN in students of SMAN 27 Jakarta.Methods: This cross-sectional study comprised 95 adolescents. PIDAQ was given to assess psychosocial status and IOTN-AC was given to assess subjective treatment need. IOTN-DHC was used to assess objective treatment need. Results: The significance value of chi-square test between psychosocial status and orthodontic treatment need based on IOTN-AC is p = 0.001 and the significance value of chi-square test between psychosocial status and orthodontic treatment need based on IOTN-DHC is p = 0.140. Conclusion: There is an association between psychosocial status based on PIDAQ and orthodontic treatment need based on IOTN-AC and no between psychosocial status based on PIDAQ and orthodontic treatment need based on IOTN-DHC in students of SMAN 27 Jakarta."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almas Edita Ramadhanti
"

Latar belakang: Maloklusi merupakan masalah gigi dan mulut dengan prevalensi terbayak ke-3 di dunia, menurut WHO. Keadaan ini tidak diimbangi dengan adanya kesadaran mengenai maloklusi dan efek buruknya. Masih banyak anak-anak dan remaja yang belum mengetahui mengenai maloklusi dan menganggap hal tersebut normal. Kesadaran terhadap maloklusi ini dapat memengaruhi kebutuhan perawatan ortodonti. Tujuan: Mengetahui hubungan antara tingkat kesadaran maloklusi dengan kebutuhan perawatan ortodonti pada remaja, korelasi komponen ICON dengan kebutuhan perawatan, dan korelasi komponen kuesioner dengan kesadaran maloklusi Metode: dilakukan penelitian potong lintang pada 56 remaja berusia 12-15 tahun. Subjek diberikan kuesioner mengenai kesadaran maloklusi dan kemudian dilakukan pencetakan rahang dan pembuatan model studi untuk dinilai kebutuhan perawatan ortodontinya berdasarkan ICON. Hasil: Berdasarkan uji Chi-square, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kesadaran maloklusi dengan kebutuhan perawatan ortodonti (P>0,05). Berdasarkan uji Kendall’s tau-b, komponen estetika dental dan pertanyaan mengenai masalah pada gusi mempunyai korelasi paling besar terhadap kebutuhan perawatan dan kesadaran maloklusi. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kesadaran mengenai maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada remaja, kompnen estetika dental dan pertanyaan mengenai masalah pada gusi mempunyai korelasi paling besar.

 


Background: Malocclusion is the third most common oral problem in the world. This situation is not supported with an adequate awareness of malocclusion. There are still children and adolescents who are not aware about malocclusion and consider the situation is normal. Awareness of malocclusion can influence the need for orthodontic treatment. Objectives: Discover the relationship between malocclusion awareness and orthodontic treatment needs among adloescent, correlation between ICON components and treatment needs, and correlation between questionaire component with awareness of malocclusion Methods: A cross-sectional study was done towards adolescents aged 12-15. They were given questionaire about awareness of malocclusion and jaws impressing were also done which were used to make study models in order to determine the treatment needs according to ICON. Result: According to Chi-square test, there is no statistically significant difference between awareness of malocclusion and orthodontic treatment needs (P>0,05).  Based on Kendall’s tau-b test dental aesthetic and question about gum problems have the greatest correlation toward treatment needs and malocclusion awareness. Conclusion: There is no relationship between malocclusion awarenes and orthodontic treatment needs among adolescent. Dental aesthetic and question about gum problems have the greatest correlation toward treatment needs and malocclusion awareness.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninis Yekti Wulandari
"Pendahuluan: Alpha-actinin-3 (ACTN3) merupakan protein pengikat aktin yang mempengaruhi kinerja otot serta proporsi jenis serat otot. Secara spesifik, ACTN3 bertindak sebagai isoform spesifik dari protein fast twitch yang hanya diekspresikan pada serat otot tipe II dan merupakan bagian dari alat kontraktil serat glikolitik pada otot rangka manusia, termasuk otot mastikasi. Penelitian terdahulu telah menghubungkan antara jenis serat otot ke dalam perkembangan kraniofasial yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi. Tujuan: Mengetahui korelasi antara polimorfisme gen ACTN3 R557X dan Q523R terhadap pola skeletal pada sub-populasi Indonesia. Metode: Subyek merupakan pasien dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III yang menjalani perawatan ortodontik di RS Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Amplifikasi sekuens DNA dilakukan pada folikel rambut pasien dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan analisis polimorfisme genetik gen ACTN3 dilakukan dengan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Pola skeletal ditentukan berdasarkan analisis radiografi sefalometri awal menggunakan sudut ANB (Anteroposterior), Facial axis dan Sudut Gonion (Vertikal). Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara polimorfisme gen ACTN3 R557X dan Q523R dengan maloklusi skeletal kelas I, II, dan III, pertumbuhan vertikal wajah serta arah pertumbuhan 1/3 muka bawah. Namun ditemukan bahwa ACTN3 R557X dan Q523R pada sub-populasi Indonesia mengalami linkage disequilibrium.

Background: The protein alpha-actinin-3 (ACTN3) is an actin-binding protein that influences muscle performance and the proportion of muscle fiber types. Moreover, it also acts as a specific isoform of fast twitch protein that is only expressed in type II muscle fibers and forms part of the contractile apparatus of fast glycolytic fibers in human skeletal muscle, including masticatory muscle. Previous study has incorporated muscle fiber type to craniofacial development that may lead to malocclusion. Aim: To determine the correlation between polymorphisms of ACTN3 R557X and Q523R gene on skeletal patterns in Indonesian Sub-Populations. Methods:  Subjects were patients with class I, II and III skeletal malocclusion undergoing orthodontic treatment at the Faculty of Dentistry Hospital, University of Indonesia. DNA sequence amplification was carried out on the patient's hair follicles using Polymerase Chain Reaction (PCR), while genetic polymorphism analysis of the ACTN3 gene was carried out using Restriction Fragment length Polymorphism (RFLP). The skeletal pattern was determined by initial cephalometric radiographic analysis using the ANB angle (Anteroposterior), Facial axis and Gonion angle (Vertical). Conclusion: There is no correlation between the ACTN3 R557X and Q523R gene polymorphisms with skeletal malocclusion class I, II, and III, vertical facial growth and growth direction of the lower third of the face. However, it is found that ACTN3 R557X and Q523R in the Indonesian sub-population experience linkage disequilibrium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angeline Pandora Djuhadi
"Latar Belakang: Inklinasi gigi insisivus merupakan titik utama dalam menentukan rencana perawatan demi mewujudkan hasil yang estetis dan seimbang. Profil wajah seseorang sangat mempengaruhi persepsi estetika dan penampilan. Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan inklinasi gigi insisivus dengan profil jaringan keras dan lunak wajah masih sangat jarang dilakukan, terutama pada pasien dengan maloklusi kelas II. Di sisi lain, pasien dengan maloklusi skeletal kelas II seringkali memiliki masalah pada inklinasi gigi dan profil wajah sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi inklinasi gigi insisivus rahang atas dan bawah terhadap profil jaringan keras dan lunak wajah pada pasien maloklusi skeletal kelas II.Metode: Pengambilan sampel penelitian berupa radiograf sefalometri lateral digital pasien dengan skeletal kelas II yang diperiksa dengan alat yang terstandarisasi dari suatu klinik yang sama kemudian dilakukan identifikasi landmark dan analisis sudut dengan aplikasi OneChep untuk diperoleh data berupa besar sudut inklinasi insisivus dari analisis Eastman, profil jaringan keras wajah dari analisis Down, dan profil jaringan lunak wajah dari analisis Holdaway. Analisis data dengan uji korelasi Pearson. Hasil: Uji korelasi Pearson antara inklinasi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap seluruh parameter uji profil jaringan keras dan lunak wajah menunjukkan angka signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan skeletal kelas II. Tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang bawah terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap profil jaringan lunak dan keras wajah pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II.

Background: Incisors inclination is one of the main point on deciding the treatment plan to bring an aesthetic and balanced result. Facial profile also have a great impact on the perception of aesthetic and appearance. In Indonesia, research about the correlation of incisors inclination with facial profile is rarely done, especially in patient with class II skeletal malocclusion. On the other hand, patient with class II skeletal malocclusion usually have problems regarding incisors inclination and facial profile. Hence, research about the correlation on incisors inclination with soft and hard tissue facial profile is really important to conduct. Objective: Determine the correlation of incisors inclination with soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion. Method: 52 sample of lateral cephalometric radiograph from patient with class II skeletal malocclusion from standardized lab were analyzed with an application called OneChep to gain the data of incisors inclination from Eastman analysis, hard tissue facial profile from Down analysis, and soft tissue facial profile from Holdaway analysis. Then, the data was tested for correlation using Pearson Correlation test. Result: Pearson correlation test on class II skeletal malocclusion patient showed the significance value between maxillary and mandibular incisors inclinations towards hard and soft tissue facial profile were >0.05 on each of the parameter. The parameters used on hard tissue facial profile were facial angle and angle of convexity from Down analysis. The parameter used on soft tissue facial profile was soft tissue facial angle by Holdaway analysis. Thus, there were no correlation between maxillary incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle, also no correlation between mandibular incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle in patient with class II skeletal malocclusion. Conclusion: There were no correlation between maxillary and mandibular incisors inclination toward soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>