Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nina Eristiana
"Latar Belakang: Malnutrisi merupakan salah satu predikor luaran pengobatan yang buruk. Indeks masa tubuh (IMT) kurang 18,5 kg/m2 dan ketidakcukupan peningkatan berat badan saat pengobatan berkaitan dengan peningkatan risiko kegagalan pengobatan kematian dan kekambuhan TB. Intervensi gizi tinggi energi dan protein dapat memperbaiki malnutrisi sehingga memperbaiki imunitas, kekuatan otot dan mempercepat konversi.
Metode: Penelitian ini merupakan open label non-randomised clinical trial dan merupakan merupakan uji pendahuluan. Penelitian ini dilakukan di poliklinik MDR RSUP Persahabatan periode April-Desember 2022 pada pasien TB resistan obat (RO) yang mengalami malnutrisi. Kelompok intervensi mendapatkan edukasi gizi dan suplementasi nutrisi oral tinggi energi dan protein (705 kkal dan 31 gram per hari) selama 60 hari sedangkan kelompok kontrol hanya mendapat edukasi gizi selanjutnya dievaluasi perubahan berat badan, waktu koversi, perubahan keluhan dan parameter hematologi.
Hasil: Didapatkan 36 pasien kelompok intervensi dan 34 pasien kontrol. Pemberian suplementasi nutrisi meningkatkan asupan energi total dan protein harian [2012 vs 1596 kkal, p<0,001; 79 vs 58gram, p<0,001] dan meningkatkan berat badan ≥5% pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol [OR:14,518 95%IK (3,778-55,794), p<0,001]. Kelompok intervensi (86,1%) mengalami waktu konversi pada bulan ke-2 dibandingkan kelompok kontrol 70,6% (p<0,114). Perbaikan keluhan batuk dan sesak napas pada kelompok intervensi dibandingkan kontrol [p<0,001 (batuk) dan p<0,001 (sesak)]. Terdapat perbedaan penurunan kadar protein total dan globulin pada kedua kelompok [p:0,038 (protein total) dan p:0,02 (globulin)] pascaintervensi. Protein total dan globulin merupakan reaktan fase akut sebagai petanda inflamasi dan berguna untuk evaluasi respons pengobatan TB dan intervensi nutrisi. Hasil analisis multivariat mendapatkan bahwa pasien dengan penurunan berat badan derajat sedang-berat sebelum pengobatan TB RO akan memiliki kenaikan berat badan ≥5% [aOR: 4,701 95%IK (1,334-16,569), p<0,001], sedangkan pasien yg memiliki keluhan sesak saat aktivitas sebelum pengobatan akan memiliki kesulitan naik berat badan ≥5% setelah dua bulan pengobatan [aOR:0,168 95%IK (0.043-0.797), p:0,074].
Kesimpulan: Intervensi gizi pada pasien TB RO dengan malnutrisi merupakan pendekataan terbaru untuk membantu keberhasilan pengobatan.

Background: Malnutrition is a predictor of poor treatment outcomes. Body mass index (BMI) less than 18.5 kg/m2 and inadequate weight gain during treatment are associated with an increased risk of treatment failure, death and recurrence. Nutritional intervention with high energy and protein can correct malnutrition thereby improving immunity, muscle strength and accelerating conversion.
Methods: This study is an open clinical trial design and is a preliminary test. This research was conducted at the MDR polyclinic at Persahabatan Hospital through the April-December 2022 of malnourished drug resistance (DR)-TB patients. The intervention group received nutriotion education and high energy and protein oral nutritional supplementation (705 kcal and 31gr per day) for 60 days while the control group only received education. This study is to evaluate body weight, conversion time rate, changes in complaints and hematological parameters.
Results: There were 36 patients in the intervention group and 34 control patients. Providing nutritional supplementation increased total energy and daily protein intake [2012 vs 1596 kcal p<0.001; 79 vs 58 gr, p<0.001] and increased body weight ≥5% in the intervention group compared to the control [OR:14.518 95% CI (3.778-55.794), p<0.001]. The intervention group (86.1%) experienced conversion time in the 2nd month compared to the control group 70.6% (p<0.114). Improvements in complaints of cough and shortness of breath in the intervention group compared to controls (p<0.001 and p<0.001). There were differences in the decrease in total protein and globulin levels in the two groups (p:0.038 and p:0.02) after the intervention. Total protein and globulin are acute phase reactants as markers of inflammation and are useful for evaluating response to treatment. The results of the multivariate analysis found that patients with moderate-to-severe weight loss before DR-TB treatment would have a weight gain of ≥5% [aOR: 4.701 95% CI (1.334-16.569), p<0.001], whereas patients who had shortness of breath when active before treatment will have difficulty gaining weight ≥5% after two months of treatment [aOR:0.168 95% CI (0.043-0.797), p:0.074].
Conclusion: Nutritional intervention in malnourished DR-TB RO is the latest approach to assist in successful treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustiany
"ABSTRAK
Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia termasuk petugas pengamanan lembaga pemasyarakatan yang memiliki risiko tinggi tertular TB karena berinteraksi dengan warga binaan pemasyarakatan yang merupakan populasi dengan insiden TB yang tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis PPI TB di Lapas tempat penelitian serta melakukan penilaian risiko infeksi tuberkulosis sebelum dan sesudah dilakukan intervensi program PPI TB. Penelitian ini merupakan studi pra dan pasca intervensi yang dilakukan terhadap manajemen dan petugas pengamanan dengan analisis kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa program PPI TB di Lapas tempat penelitian belum dilaksanakan dengan baik kemudian dilakukan intervensi terhadap manajemen dan petugas pengamanan. Terjadi peningkatan pengetahuan yang bermakna p < 0,05 serta peningkatan sikap yang bermakna p < 0,05 setelah diintervensi. Selain itu juga terjadi penurunan risiko penularan TB dari risiko tinggi 13 menjadi risiko rendah 1 . Dengan hasil ini, diharapkan kepada manajemen agar penerapan program PPI TB harus dilakukan kepada petugas pengamanan, petugas lain serta warga binaan pemasyarakatan. Petugas pengamanan harus menggunakan masker respirator saat bersama pasien TB atau yang dicurigai TB.

ABSTRACT
Tuberculosis TB is still one public health problem in Indonesia, including prison guards who have a high risk of contracting tuberculosis because of their interaction with prisoners who are populations with a high incidence of TB.
The purpose of this study was to determine the implementation of TB prevention and infection control program in prison and conduct a risk assessment of tuberculosis infection before and after the prevention and infection control program intervention. This study is a pre and post intervention study conducted on the management and prison guards with quantitative and qualitative analysis.
The results showed that TB prevention and infection control program has not been properly implemented, then researcher conduct interventions for management and prison guards. There was significant increase in knowledge of prison guards.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Fachrucha
"ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering terjadi dan berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengeluarkan pedoman pemberian antibiotik penanganan pasien pneumonia komunitas di Indonesia untuk mengurangi angka kematian pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: untuk mengetahui angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas yang di rawat inap berdasarkan panduan PDPI di RSUP Persahabatan serta pengaruhnya terhadap lama perawatan dan angka mortalitas pasien.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari data rekam medis pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas, yang dirawat di ruang rawat inap Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, periode Juli 2014 sampai dengan Juli 2016.
Hasil: Sampel penelitian 107 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 70,1% dan perempuan 29,9%. Median usia 56 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 96 tahun. Angka kepatuhan dokter terhadap penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman penatalaksanaan pneumonia PDPI pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebesar 70,1%. Angka mortalitas pasien pneumonia komunitas berhubungan secara bermakna dengan kesesuaian pemberian antibiotik dengan pedoman PDPI dan derajat risiko PSI dengan nilai OR berturut-turut 2,93 (95%IK1,23-6,94) dan OR 3.02 (95%IK 1.25-7.29). Kesimpulan: Angka kepatuhan penggunaan antibiotik angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas berdasarkan panduan PDPI berhubungan dengan angka mortalitas pasien.

ABSTRACT<>br>
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is a common disease and is associated with high morbidity and mortality. Indonesian Society of Respirology has been recommended empiric antibiotic guidelines for patients with community-acquired pneumonia in 2014. These guidelines are designed to reduce the mortality rate of CAP patients. Objective: to determine the compliance rate of antibiotic guidance for inpatient community pneumonia patients based on PDPI antibiotic guidelines in Persahabatan Hospital and its effect on the length of stay and mortality rate CAP patients. Method: This is a retrospective cohort observational study inPersahabatan Hospital. Data were collected from medical records of patients diagnosed with CAP, who were admitted to the Department of Pulmonology and Respiratory Medicine during July 2014 to July 2016. Results: The sample was 107 subjects. Proportion male and female were 70.1% and 29.9%. The median age was 56 years old with a minimum age was 18 years and a maximum age was 96 years. Doctors' compliance rates on PDPI's guidelines for the management CAP patients was 70.1%. The mortality rate of CAP patients was significantly associated with the national guidelines-concordant empiric antibiotic therapy and the class risk of PSI with OR 2.93 (95% IK1,23-6,94) and OR 3.02 (95% IK 1.25-7.29) reversely. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sutera Insani
"ABSTRAK
Metode : Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol berpasangan, dilakukan di ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2018-Maret 2019. Kriteria kasus semua pasien yang terdiagnosis HAP saat perawatan, kriteria kontrol berpasangan adalah, jenis kelamin sama dengan kasus, usia ± 10 tahun dengan kasus dan dirawat di ruang perawatan yang sama dengan kasus. Pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat infiltrat baru dibandingkan dengan foto lama. Pada kelompok kasus dilakukan pemeriksaan biakan sputum dan darah sebagai data pola mikroorganisme HAP.
Hasil : Didapatkan 25 kasus HAP dan faktor risiko HAP dinilai dari 23 pasang subjek penelitia. Faktor risiko intrinsik yang paling berperan pada HAP adalah hipoalbuminemia (OR 5 [IK 95% 3,34-6,63], p=0,039). Faktor ekstrinsik HAP yang paling berperan adalah penggunaan obat lambung dengan (p=0,016). Pola mikroorganisme pasien HAP dari 25 pasien HAP biakan yang tumbuh 19 (78,7% dahak dan 21,3% darah). Lima belas sampel (78,9%) adalah Gram negatif, dan 5 (26,3%) diantaranaya adalah Acinetobacter baumanii. Dari 19 mikroorganisme yang tumbuh terdapat 63,5% MDRO.
Kesimpulan: Hipoalbuminemia adalah faktor risiko yang paling berperan dalam terjadinya HAP serta mikroorganisme terbanyak adalah Acinetobacter baumanii.

ABSTRACT
Background: Hospital acquired pneumonia (HAP) is the second largest cause of nosocomial infections. The pneumonia occurs after 48 hours of inpatient admission in hospital. Risk factors affecting HAP consists of intrinsic and extrinsic factors. Early detection of risk factors would decrease morbidity and mortality in HAP case.
Objectives: This study was to identify risk factors that influence the occurrence of HAP infections and microbiological profile of HAP patients.
Methods: This matched-case control study involved patients treated at regular wards (e.g. not an intensive care ward) of National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia between November 2018 and March 2019. The case and control group were matched for their sex, age (±10 yo), and length of hospital stay (±7 days). Both groups received chest x-ray (CXR) examination while the control group exclusively received sputum and blood culture for microbiology of HAP.
Results: This study involved 25 HAP patients and 23 matched-control patients. The main intrinsic risk factor for HAP was hypoalbuminemia (OR 5.00 [CI95% 3.34-6.63], p=0.039) and the main extrinsic risk factor for HAP was administration of gastric medications (p=0.016). Nineteen out of 25 microbiological samples were collected; of which, 78.7% were collected from sputum culture and 21.3% were collected from blood culture. Fifteen (78.9%) of those were positive for Gram-negative, 5 (26.3%) were positive for Acinetobacter baumanii, and 12 (63.5%) were positive for multi-drug resistance organism."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Murniati
"Latar Belakang:Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan ancaman bagi seluruh dunia termasuk Indonesia, karena memerlukan waktu lama dan biaya yang besar dalam mengobati penyakit tersebut meskipun telah ditangani dengan baik. Data penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa terdapat kekambuhan TB-RO, tapi datanya sangat terbatas. Di Indonesia belum ada data tentang angka kekambuhan TB-RO.
Tujuan: Mengevaluasi pasien TB resisten obat (TB-RO) pasca pengobatan yang datang kontrol pada bulan ke 6, 12, 18, dan 24 di RSUP Persabatan Jakarta.
Metode: Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang terhadap pasien TB-RO yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol di poli MDR RSUP Persahatan Jakarta mulai bulan April 2017 sampai Desember 2017. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan foto toraks dan biakan sputum. Mencatat data pengobatan dan hasil-hasil pemeriksaan terkait data yang diperlukan dalam dalam rekam medis pasien.
Hasil: Didapatkan 60 subjek penelitian dengan rerata usia 42,3 + 12,5 tahun, berjenis kelamin laki-laki 31 (51,7%) dan perempuan 29 (48,3%), dengan rerata IMT 21,75+ 4,34. Dari hasil foto toraks didapatkan gambaran dominan lesi luas dan hasil kultur sputum semua pasien yang diteliti tidak ditemukan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis.
Kesimpulan: Tidak ditemukan kekambuhan pada pasien TB resisten obat yang yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol pasca pengobatan di RSUP Persahabatan Jakarta.

Objective: This study aimed to evaluate DR-TB patients which was biannually performed for two-years (e.g. at the 6th, 12th, 18th, and 24th mos) after treatment completion.
Methods: This cross-sectional study involved DR-TB patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia, between April and December 2017. The post-treatment evaluation during the 6th, 12th, 18th, and 24th mos included clinical, chest x-ray (CXR) and sputum culture examination.
Results: Sixty patients were observed in this study, 31 (51.7%) were males and 29 (48.3%) were females. The mean age was 42.3+12.5 yo and the mean body mass index was 21.75+4.34. Fourty nine (81.7%) patients showed extensive lesions per CXR and none of the patient showed Mycobacterium tuberculosis growth per sputum culture.
Conclusion: There was no recurrence of DR-TB from patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia during two-years post-treatment evaluation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yanita Novalina Ursula
"Latar Belakang: Tuberkulosis resistan obat (TB-RO) masih menjadi masalah kesehatan global, penyakit utama penyebab kematian kasus infeksi tunggal terbanyak setelah Corona virus disease 2019 (COVID-19). Tahun 2021 secara global terdapat 167.000 orang dengan TB Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant (MDR/RR) terkonfirmasi, 162.000 memulai terapi. Angka keberhasilan global pengobatan TB RR/MDR sebesar 60%, sedangkan di Indonesia sebesar 47%. WHO merekomendasikan paduan bebas injeksi untuk TB-RO tahun 2019 meningkatkan angka keberhasilan 60% menjadi 73% dan menurunkan angka putus berobat 17,3% menjadi 9,9%. Pengobatan OAT all-oral direkomendasikan di Indonesia sejak 2020 termasuk paduan individual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran pengobatan TB-RO dengan paduan individual all-oral serta faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB-RO di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli TB-RO RSUP Persahabatan Oktober 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien TB-RO yang mendapatkan paduan individual all-oral dan memulai terapi Januari2020-Desember 2021 di poli TB-RO RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 162 subjek penelitian dengan karakteristik median usia 44 (18−74) tahun, 61,7% laki-laki dan 52,5% subjek dengan IMT<18,5 kg/m2. Komorbid terbanyak adalah DM tipe 2 dengan proporsi 37%. Jenis resistansi terbanyak TB-MDR 45,1% dengan proporsi bacterial load terbanyak BTA negatif (25,9%). Proporsi konversi biakan sputum ≤ 2 bulan 56,2%. Terdapat 86,4% subjek mengalami intoleransi obat dengan proporsi terbanyak gastrointestinal 66,2%. Luaran berhasil sebesar 43,2%, meninggal 40,1%, putus berobat 13,6% dan gagal 3,1%. Analisis multivariat mendapatkan bacterial load dan kecepatan konversi merupakan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB-RO.
Kesimpulan: Luaran berhasil pasien TB-RO yang menggunakan paduan individual all-oral 43,2%, meninggal 40,12%, gagal 3,09% dan putus berobat 13,6%. Bacterial load,BTA ≤1+ dan kecepatan konversi ≤ 2 bulan merupakan faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB-RO dengan paduan individual all-oral. Nilai odds masing-masing faktor berturut-turut aOR:2,35 (95%IK: 1,12-4,90) dan aOR: 2,2 (95%IK: 1,05-4,61).

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is still the global health problem, the leading cause of death in the single infectious case after Corona virus disease 2019 (COVID-19). Globally, there were 167.000 confirmed cases of Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant tuberculosis (MDR/RR-TB) in 2021 and 162.000 started treatment. Global success rate for MDR/RR-TB treatment reach 60% while in Indonesia 47%. In 2019 WHO recommended injection-free regimen that increase treatment success rate of DR-TB treatment from 60% to 73% and lower lost to follow up (LTFU) cases 17,3% to 9,9%. Indonesia started all-oral regimen in 2020 consist of shorter and longer regimen. Aim of this study is to observe outcomes of drug-resistant tuberculosis (DR-TB) treated with long term all-oral regimen and factors that influence the success rate of DR-TB treatment at Persahabatan Hospital Jakarta.
Metods: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records. It carried out in October 2022 at DR-TB clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of DR-TB patients enrolled with long-term all-oral regimen treatment by January 2020-December 2021 which met the inclusion criteria.
Results: There were 162 subjects with median of age 44 (18-74) years old, 61,7% were male, and 52,5% subject were malnutrition. Proportion of DM type 2 comorbid was 37%. MDR-TB were found in 45,1% of subject with the high proportion of negative smear bacterial load (25,9%) as baseline. Amount of sputum Mtb culture conversion within 2 months reached 56,2%. There were 86,4% subjects experiencing drug intolerance with the highest proportion being gastrointestinal 66,2%. Outcomes of the long-term DR-TB treatment were successful 43,2%, died 40,1%, dropped-out 13,6% and failed 3,1%. Multivariate analysis found that bacterial load and time of sputum conversion were factors that associated with DR-TB success rate treatment.
Conclusion: Outcomes of drug-resistant tuberculosis (DR-TB) treated with long term all-oral regimen 43,2% cured, 40,12% died, dropped-out from treatment 13,6% and failed 3,1%. Bacterial load ≤1+ and time of sputum conversion ≤2 months were factors that associated with DR-TB success rate treatment with adjusted aOR:2,35 (CI95% :1,12-4,90) and aOR:2,2 (CI95% : 1,05-4,61) respectively.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismulat Rahmawati
"Latar belakang: Tatalaksana tuberkulosis resistan obat membutuhkan obat antituberkulosis suntik lini kedua yang menyebabkan efek samping ototoksik menetap. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens ototoksik pada pasien tuberkulosis resistan obat dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien TB resistan obat yang sedang mendapat obat kanamisin atau kapreomisin sebagai bagian paduan obat pada pengobatan tahap awal periode Januari-September 2017 di RSUP Persahabatan. Ototoksik ditentukan berdasar kriteria American Speech Language and Hearing Association (ASHA) tahun 1994 dengan membandingkan nilai audiometri dasar sebelum pengobatan dan saat penelitian.
Hasil: Sebanyak 72 pasien ikut pada penelitian ini. Ototoksik didapatkan pada 34 pasien (47,2%). Ototoksik pada bulan pertama pengobatan yaitu 5 subjek (14,7%) dan 19 subjek 56 tanpa keluhan gangguan pendengaran. Ototoksik lebih sering didapatkan pada penggunaan kanamisin (47,9%) dibandingkan kapreomisin (36,8%). Terdapat berhubungan bermakna antara faktor usia dan ototoksik dengan peningkatan risiko sebesar 5 pada setiap penambahan usia 1 tahun, p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). Kelompok subjek dengan komorbid DM dan peningkatan kreatinin serum didapatkan prevalens ototoksik lebih tinggi meskipun tidak bermakna secara statistik. Faktor jenis kelamin, IMT, riwayat penggunaan OAT suntik, status HIV dan total dosis obat juga tidak didapatkan hubungan bermakna dengan ototoksik.
Kesimpulan: Ototoksik merupakan efek samping yang sering terjadi pada pengobatan fase awal pasien TB resistan obat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan lebih baik.

Background: The treatment of drug resistance tuberculosis needs second line injection antituberculosis drug that associated with irreversible ototoxic. The aim of this study is to know the prevalence of ototoxicity in tuberculosis drug resistance patients and the contributing factors. Methods: This is a cross sectional study among drug resistance TB patients who receive kanamysin or capreomycin as a part of drug regimen during intensive phase in January to September 2017 at Persahabatan hospital. Ototoxic defined according to American Speech Language and Hearing Association (ASHA) 1994 criteria by comparing baseline audiometric examination before treatment with current result.
Results: Seventy two patients were included in this study. The prevalence of ototoxicity was found in 34 patients (47,2%). Ototoxic found in 5 subjects (14,7%) during the first month of treatment and 19 subjects 56 without hearing disturbance complain. Ototoxic in kanamisin group (47,9%) is more frequent compared with capreomisin (36,8%). Ototoxicity was associated with age, the risk increases 5 every 1 year older p=0,029 aOR:1,050 IK95% (1,005-1,096). The prevalences of ototoxicity are higher in diabetes and increasing serum creatinin patients but statistically not significance. Sex, body mass index, the history of using injectable antiTB drug, HIV status and total dosis were not associated with ototoxicity.
Conclusion: Ototoxicity is common in intensive phase of drug resistance tuberculosis treatment. Further study needed to determine the association of contributing factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tina Reisa
"Pendahuluan: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) merupakan masalah kesehatan global dan sebagai hambatan dalam upaya pengendalian tuberkulosis (TB) di dunia. Infeksi sekunder adalah infeksi yang terjadi pada saat terinfeksi kuman lain atau sedang dalam terapi untuk jenis kuman lain. Infeksi sekunder pada pasien TB dapat disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi imunitas individu. Koinfeksi dengan organisme lain dapat berperan dalam progresivitas TB dan mempengaruhi luaran terapi TB. Data mengenai pola mikroorganisme pasien TB RO dengan infeksi saluran napas bawah di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui pola mikroorganisme pada pasien TB RO dengan infeksi saluran napas bawah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif kohort di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta Indonesia secara total sampling diperoleh dari Januari 2018 hingga Desember 2018. Kami meninjau rekam medis 84 pasien dengan diagnosis TB RO dengan infeksi saluran napas bawah dan 66 status rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 66 pasien yang termasuk dalam penelitian ini 65,2% infeksi saluran napas bawah bronkiektasis terinfeksi. Status HIV reaktif berhubungan dnegan kejadian infeksi saluran napas bawah pada pasien TB RO (p=0,001). Gangguan fungsi ginjal dan gangguan fungsi hati juga berhubungan bermakna dengan kejadian infeksi saluran napas bawah (p=0,041 dan p=0,046). Klebsiella pneumonia adalah mikroorganisme terbanyak yaitu 15,2%. Kuman multidrug resistant obat (MDRO) ditemukan sebanyak 56% dengan mikroorganisme MDRO terbanyak adalah Acinetobacter baumanii. Waktu konversi sputum memiliki rerata 2,96 ± 1,83 bulan. Kematian < 30 hari ditemukan sebanyak 30,3% dan ada hubungan yang bermakna antara infeksi saluran napas bawah dan kematian < 30 hari pada pasien TB RO (p=0,025).
Kesimpulan: Infeksi saluran napas bawah pada TB RO yang paling banyak adalah bronkiektasis terinfeksi dengan pola mikroorganisme gram negatif serta kuman MDRO banyak ditemukan. Kejadian infeksi saluran napas bawah berhubungan bermakna terhadap kematian < 30 hari pada pada pasien TB RO.

Introductions: Secondary lower respiratory tract infection (LRTI) in drug-resistant (DR) tuberculosis (TB) patients may alter disease progression and therapy outcomes. Specimen microorganism patterns of the lower respiratory tract from DR-TB patients in Indonesia is yet to be known.
Aims: To identify the specimen microorganism patterns of the lower respiratory tract from DR-TB patients and the factor that influenced it.
Methods: We performed a retrospective cohort analysis of DR-TB patients with LRTI treated in National Respiratory Referral Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between January and December 2018. We reviewed the records of 84 DR-TB patients with LRTI. The subjects were 66 patients who met the inclusion criteria.
Results: Most subjects (65.2%) were co-diagnosed with infected bronchiectasis. Factors related to LRTI in DR-TB were the detection of human immunodeficiency virus (HIV) antigen (p=0.002) and impaired renal function (p=0.041) and liver function (p=0.046) from the blood test. The microorganism patterns found in the specimens were multidrug-resistant (MDR) (56.0%), which Klebsiella pneumonia (15.2%) and Acinetobacter baumanii (9.1%) predominated. The average sputum conversion time of subjects was 2.96±1.83 months. The <30 days-mortality was found in 30.3% subjects and was correlated with LRTI (p=0.025).
Conclusions: The most common LRTI in DR-TB was infected bronchiectasis. The most common specimen microorganism pattern in DR-TB was MDR Gram- negative microorganisms. This study showed a correlation between LRTI and the
<30 days-mortality in DR-TB.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maelanti Norma
"Latar Belakang: Infeksi MRSA merupakan salah satu penyebab infeksi didapat di rumah sakit dan berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, lama rawat dan biaya perawatan yang tinggi. Prevalens infeksi MRSA pasien ICU di RSUP Persahabatan mengalami kenaikan pada semester 2 tahun 2022 sebanyak 25,27% (naik 68,46%) dibandingkan semester 1 tahun. Penyebaran MRSA di ruang perawatan intensif/intensive care unit (ICU) sebagai tolak ukur infeksi di rumah sakit. Tenaga kesehatan berisiko tinggi tertular dan menularkan MRSA di rumah sakit sehingga diperlukan skrining kolonisasi MRSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan faktor-faktor yang memengaruhi kolonisasi MRSA pada tenaga kesehatan di ICU RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang di lakukan di ICU RSUP Persahabatan pada bulan Mei 2023. Subjek penelitian yang memiliki kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi mengisi kuesioner mengenai faktor risiko individu, pekerjaan dan demografi. Pemeriksaan usap hidung dilakukan pada 150 subjek penelitian terdiri dari dokter dan perawat di ICU. Deteksi MRSA dengan pemeriksaan PCR menggunakan XPERT® MRSA NXG untuk mendeteksi gen SCCMecA atau MecC. Selanjutnya karakteristik subjek, proporsi MRSA pada dokter dan perawat serta faktor-faktor yang memengaruhi dievaluasi.
Hasil: Penelitian ini diikuti 150 subjek penelitian. Proporsi kolonisasi MRSA pada dokter dan perawat sebesar 4%. Proporsi kolonisasi MRSA pada dokter sebesar 1(0,66%), pada perawat sebesar 5(3,3%). Variabel – variabel independen pada penelitian ini tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kolonisasi MRSA (p>0.05). Namun dalam penelitian ini terdapat proporsi kolonisasi MRSA yang besar di ruang ICU Tulip yaitu sebesar 4(18,2%) dari 21 subjek penelitian.
Kesimpulan: Terdapat proporsi kolonisasi MRSA pada tenaga kesehatan yang rendah di ICU, namun didapatkan peningkatan proporsi kolonisasi MRSA pada tenaga kesehatan di ruang ICU Tulip. Perawat dan laki-laki menunjukkan risiko kolonisasi MRSA yang lebih tinggi.

Background: MRSA infection is one of the causes of hospital-acquired infections and is associated with mortality, morbidity, long length of stay, and high treatment costs. The prevalence of MRSA infection in ICU patients at Persahabatan Hospital increased within the second six month of 2022 by 25.27% (up 68.46%) compared to the first six month of 2022. The disseminated of MRSA in intensive care units (ICU) as a measure of infection in hospitals. Health care workers are at high risk of colonizing and transmitting MRSA in hospitals, screening of carriers is required for prevention of MRSA infection. The aims of this study are to determine the proportion and factors asscociated with MRSA colonization in health care workers in the ICU at Persahabatan Hospital.
Method: This study used a cross-sectional design and was carried out in the ICU at Persahabatan Hospital in May 2023. Respondens who had inclusion criteria and no exclusion criteria filled out a questionnaire regarding individual, occupational, and demographic risk factors. Nasal swab were collected from 150 respondens who followed by doctors and nurses in the ICU. MRSA detection by PCR examination using XPERT® MRSA NXG to detect the SCCMecA or MecC gene. Furthermore, subject characteristics, the proportion of MRSA in doctors and nurses and associated factors were evaluated.
Results: There were 150 respondents in this study. The proportion of MRSA colonization among doctors and nurses was 4%. The proportion of MRSA colonization in doctors were 1 (0.66%), and the proportion of MRSA in nurses were 5 (3.3%). There were no independent variables that significantly associated MRSA colonization (p > 0.05). However, there was a large proportion of MRSA colonization found in the Tulip ICU, 4 (18.2%) of the 21 respondents. Conclusion: There was a low proportion of MRSA colonization among health care workers in the ICU, but there was an increase in the proportion of MRSA colonization among health care workers in the Tulip ICU. Nurses and men showed a higher risk of MRSA colonization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Aldiani
"Latar belakang dan tujuan : Semua jenis paduan pengobatan TB RO bukan tanpa efek samping sehingga direkomendasikan implementasi farmakovigilans dan pengawasan serta tata laksana keamanan obat secara aktif terhadap efek samping. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian efek samping yang paling sering yakni efek gastrointestinal (GI) dan efek samping yang dapat berakibat fatal yakni efek kardiovaskular yang terjadi pada pasien TB RO yang mendapatkan paduan jangka pendek (STR) di poliklinik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain kohort prospektif yang dilakukan bulan Agustus 2019-Januari 2021 dengan metode consecutive sampling pada pasien TB RO yang mendapatkan STR di poliklinik paru RSUP Persahabatan. Pasien dalam pengobatan STR akan diikuti selama masa pengobatan 9-11 bulan untuk evaluasi subjektif dan objektifnya sampai terjadinya luaran pengobatan.
Hasil : Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 68 orang dengan karakteristik dasar yaitu median usia 37 tahun, laki-laki (67,6%), status gizi kurang (52,9%) dan komorbid diabetes (17,6%). Luaran putus berobat cukup tinggi (26,5%) Hampir seluruh subjek mengalami efek gastrointestinal (95,6%) seluruhnya muncul pada fase intensif dan dominan derajat ringan. Efek samping GI akan semakin menurun setelah fase intensif. Hanya sebagian subjek yang mengalami efek kardiovaskular (41,2%) dan trennya semakin lama kejadiannya semakin meningkat. Terdapat satu subjek dengan luaran meninggal dunia pada efek samping kardio derajat berat. Pada efek samping GI tidak ada kecenderungan faktor yang menyebabkan, sementara durasi pengobatan yang mencapai 9 bulan yang mempengaruhi efek samping kardiovaskular (p=0,001).
Kesimpulan : Pada penelitian ini efek samping GI terjadi pada hampir seluruh pasien namun trennya akan menurun setelah fase intensif. Sementara efek samping kardiovaskular dapat berakibat fatal dan trennya akan meningkat seiring berjalannya pengobatan. Durasi pengobatan yang lebih panjang dapat secara bermakna menyebabkan timbulnya efek samping kardiovaskular.

Background : All types of drug-resistant (DR) tuberculosis (TB) treatment are not without effects, thus implementation of pharmacovigilance and active drug safety monitoring and management against adverse events are highly recommended. This study was conducted to determine the incidence gastrointestinal (GI) adverse events and cardiovascular adverse events that occur in DR TB outpatients who received short-term regimen (STR) at the Persahabatan General Hospital.
Methods : This study was an observational study with a prospective cohort design that was conducted between August 2019 and January 2021 with consecutive sampling of DR TB outpatients who received STR at Persahabatan General Hospital. Patients on STR treatment will be followed for a 9 to 11 months treatment period for subjective and objective evaluation of treatment outcomes
Result : There were 68 subjects eligible for this study with general characteristics median age of 37 years, male (67.6%), malnutrition status (52.9%), and having diabetes comorbid (17.6%). The default case was quite high in this study (25.6%). Almost all subjects experienced GI adverse events (95.6%) which appeared in the intensive phase with predominant mild degree of GI symptoms. The GI adverse events was decrease after the intensive phase. Only some of the subjects experienced cardiovascular effects (41.2%) and the trend increasing over time. There was one death as treatment outcome in a sever cardiovascular adverse events. In GI adverse events, there was no trend of causal factors, while the treatment duration of up to 9 months correlated with cardiovascular side effects (p = 0.001).
Results : In this study, it was found that GI adverse events were common but its occurrence decreased over time after intensive phase. The cardiovascular adverse events could be fatal and tis occurrence showed to be increase as treatment progresses.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>