Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shirley Mansur
Abstrak :
Tujuan : Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari beberapa metode penapisan keganasan pada tumor ovarium jenis epitelial dengan membandingkan Skor Gatot dan Risk Malignancy Index, serta mengajukan modifikasi Skor Gatot. Metode : Empat ratus satu pasien dengan kecurigaan keganasan ovarium tipe epithelial dimasukkan sebagai subjek penelitian, dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratoris dan ultrasonografi. Dari data tersebut, diambil variabel-variabel yang sesuai dengan Skor Gatot dan Risk Malignancy Index. Dilakukan analisa statistik berupa perhitungan sensitivitas dan spesifisitas serta ROC dan titik potong optimal. Hasil : Dari 401 subjek penelitian, didapatkan bahwa Skor Gatot memiliki sensitivitas 73.7% dan spesifitas 45.6% (p = 0.000; LR 28.830) sedangkan RMI memiliki nilai sensitivitas 72.4%, spesifisitas 35.94% (p = 0.02, LR 9.588) untuk RMI 1 dan nilai sensitivitas 76%, spesifisitas 30.9% (p = 0.05; LR 7.984) untuk RMI 2. Dilakukan modifikasi pada Skor Gatot dengan pembobotan ulang pada tiap variabel, didapatkan hasil Modifikasi Skor Gatot 1 memiliki titik potong pada nilai 28.5 dengan sensitivitas sebesar 60.4% dan spesifisitas sebesar 61.4% (p= 0.000, LR 44.228) dan Modifikasi Skor Gatot 2 memiliki nilai potong pada titik 5.75 dengan kisaran nilai sensitivitas 49.3 – 69.6% dan sensitivitas 51.6-65.2% ( p = 0.000; LR 36.806). Kesimpulan : Skor Gatot dan RMI memberikan hasil yang kurang memuaskan dalam melakukan prediksi keganasan ovarium. Dengan melakukan pembobotan ulang pada tiap variabel pada Skor Gatot, sensitivitas dan, terutama, spesifisitas dapat ditingkatkan dalam mendeteksi adanya keganasan ovarium tipe epitelial. Hal ini ditujukan agar dapat meningkatkan prediksi keganasan pada pasien dalam usia reproduksi.
Objective : The study was designed to evaluate the sensitivity and specificity of several methods in detecting ovarian epithelial malignancy by comparing Gatot Score and Risk Malignancy Index, and also proposing the modification of Gatot Score. Method : Four hundred and one subjects with suspected epithelial ovarian malignancy entered the study and performed anamnesis, physical examinations, laboratories studies and ultrasonography. From the data, we took the variables according to Gatot Score and Risk Malignancy Index. We performed statistic analysis in term of sensitivity, specificity, ROC and optimal cut-off-point. Results : From 401 observation subjects, revealed that Gatot Score possess the sensitivity of 73.7% and specificity of 45.6% (p = 0.000; LR 28.830), while RMI possess the sensitivity of 72.4% and specificity of 35.94% (p = 0.02, LR 9.588) for RMI 1, and the sensitivity of 76% and specificity of 30.9% (p = 0.05; LR 7.984) for RMI 2. Modification to Gatot Score was performed by re-weighting to its all variables, which resulted in Gatot Score Modification 1 with cut-off point of 28.5, sensitivity of 60.4% and specificity of 35.94% (p= 0.000, LR 44.228) and Gatot Score Modification 2 with cut-off point of 5.75, sensitivity range between 49.3 – 69.6% and specificity range between 51.6-65.2% ( p = 0.000; LR 36.806). Summary : Both Gatot Score and RMI resulted in unsatisfactory output in predicting the malignancy of ovary. By reassigning the weighting of all variables in Gatot Score, especially the specificity was improved in detecting the malignancy of epithelial type ovary. This measure was directed for patients in reproductive ages, thus increasing the possibility of true malignancy.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Tanamas
Abstrak :
Latar Belakang : WHO melaporkan angka persalinan preterm mencapai 15 juta persalinan dan menyumbang kematian neonataus hingga 1 juta kasus. Berbagai faktor yang berhubungan dengan kematian neonatus terkait ketuban pecah dini sudah banyak diteliti, namun hubungannya terhadap kematian neonatus belum konsisten di berbagai literature. Peneliti ingin meneliti hubungan faktor-faktor tersebut di RSCM. Metode : Penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan rekam medis ibu dan neonatus yang mengalami kasus ketuban pecah dini preterm (<37 minggu) dari tahun 2013-2017 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Luaran neonatus yang dinilai adalah nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5, Respiratory Distress Syndrome, sepsis neonatorum, dan kematian neonatus. Data dianalisis secara univariat dan multivariat. Hasil : Terdapat 1336 kasus ketuban pecah dini preterm dalam periode 5 tahun, namun hanya 891 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor utama yang terkait morbiditas dan mortalitas neonatus dengan kasus ketuban pecah dini adalah usia kehamilan, dimana usia <28 minggu memiliki RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 dan berat badan lahir <1000 gr memiliki RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Sepsis secara klinis meningkat risiko kematian neonatus RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01. Kesimpulan : Usia kehamilan yang semakin muda dan berat badan lahir yang semakin rendah meningkatkan risiko morbiditas dan kematian neonatus
Background :  WHO reported the rate of preterm labor are 15 million cases and contributed to 1 million neonatal death. Factors contributed to neonatal death in preterm premature rupture of membrane has been reported in many literatures, however the results are inconsistent. The Authors want to analyze factors contributing to neonatal death in RSCM Method : This is a retrospective cohort using medical records of both mother and neonatal of preterm premature rupture of membrane from 2013-2017 in RSCM. Neonatal outcome analyzed in this study are minute-1 and minute-5 APGAR, respiratory distress syndrome, neonatal sepsis, and neonatal death. Data was analyzed with univariate and multivariate analysis. Result : There was 1336 cases of preterm premature rupture of membrane during 5 years period. However, only 891 cases analyzed in this study. Main factors contributed to morbidity and mortality in preterm premature rupture of membrane are gestational age and birth weight, which gestational age <28 weeks has RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 and birth body weight <1000 gr has RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Clinically sepsis increases neonatal mortality RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01. Conclusion : Younger gestational age and lower birth weight increase the risk of neonatal morbidity and mortality.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
Abstrak :
Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer. Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks yang dilakukan pembedahan primer di RSCM Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43 subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek (37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19 subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar. Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4 musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan histologi musinosum. Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium lanjut. ......Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring. Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment, accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive random sampling were used. Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%) has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesn't have metastasis to the appendix. From eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I subjects has mucinous histology. Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be considered done on surgery whether in early or late stadium.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ganot Sumulyo
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan dengan kematian tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Seringkali pasien dating dengan stadium lanjut dan memerlukan penanganan segera. Akan tetapi, terdapat berbagai penyebab terjadinya pemanjangan waktu tunggu operasi. Hal ini mungkin dapat menyebabkan perburukan klinis saat dilakukan tindakan operatif pada pasien. Tujuan: Menentukan hubungan antara lama waktu tunggu operasi dengan perburukan klinis pada pasien kanker ovarium stadium lanjut. Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia pada Januari 2019 hingga Juni 2019. Pasien kanker ovarium stadium lanjut yang dilakukan tindakan operatif diikutsertakan pada penelitian. Pasien yang terbukti tidak memiliki kanker ovarium stadium lanjut pada pemeriksaan histopatologi atau memiliki penyakit komorbiditas berat lainnya dieksklusi dari penelitian. Karakteristik dasar, waktu tunggu, status performa berdasarkan ECOG score, kadar haemoglobin dan albumin dasar, status nyeri, dan indeks massa tubuh dikumpulkan dan dilakukan analisis secara statistik. Hasil: Didapatkan 90 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Didapatkan 25,6% subyek mengalami perburukan status performa, 11,1% mengalami perburukan haemoglobin, 61,1% mengalami perburukan albumin, 14,4% mengalami perburukan nyeri, 32,2% mengalami perburukan indeks massa tubuh, dan 77,8% mengalami perburukan klinis. Didapatkan nilai cutoff 73 hari untuk menentukan pemanjangan waktu tunggu operasi. Kesimpulan Terdapat hubungan bermakna antara waktu tunggu terapi dengan perburukan klinis pasien kanker ovarium stadium lanjut. ......Background: Ovarian cancer is one of the highest fatalities for cancer in women worldwide. Patients often come in an advanced stage and require immediate treatment. However, there are various causes for the extension of the waiting time for surgery. This might cause clinical deterioration during the operation. Objective: To determine the relationship between the length of time waiting for surgery and clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer. Methods: A retrospective cohort study conducted at the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia from January 2019 to June 2019. Patients with advanced stages of ovarian cancer who performed operative measures were included in the study. Patients who were proven not having advanced ovarian cancer on histopathological examination or had other severe comorbidities were excluded from the study. Baseline characteristics, waiting time, performance status based on ECOG score, haemoglobin and albumin levels, pain status, and body mass index were collected and analyzed statistically. Results: There were 90 study subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. A total of 25.6% of subjects experienced a worsening of performance status, 11.1% experienced worsening of hemoglobin, 61.1% experienced worsening of albumin, 14.4% experienced worsening pain, 32.2% experienced a worsening of body mass index, and 77.8% experiencing clinical deterioration. A cutoff value of 73 days is obtained in order to determine the lengthening of the operating waiting time. Conclusion There is a significant relationship between the waiting time of therapy with clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandhy Prayudhana
Abstrak :
Tujuan : Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar serum petanda biologik: Interleukin-6, Tumor Necrosis Factor-alpha, Matrix-Metalloproteinase-2 Dan Vascular Endothelial Growth Factor pada endometriosis stadium I-II dan stadium III-IV. Metode : Empat puluh pasien endometriosis yang terdiagnosis berdasarkan laparoskopi diambil sampel serum sebelum operasi untuk pemeriksaan petanda biologik. Pemeriksaan petanda biologik dilakukan di akhir penelitian dengan cara ELISA. Rerata dari kadar serum dilakukan uji T tidak berpasangan. Variabel yang terdapat perbedaan bermakna dilakukan pemeriksaan ROC dan ditentukan titik potong optimal. Hasil : Rerata kadar serum petanda biologik: IL-6, TNF-a, MMP-2 dan VEGF pada subjek dengan stadium endometriosis I-II dan III-IV adalah [1,39 vs 1,33] pg/ml (p>0,05); [1,5 ±0,47 vs 1,49±0,29] pg/ml (p>0,05); [152,04 ± 27,32 vs 140,98 ± 28,08] ng/ml (p>0,05) dan [238,78 vs 426,57] pg/ml (p<0,05). Perbedaan rerata VEGF memiliki nilai AUC 74,5%. Titik potong optimal VEGF ≥ 323,95 pg/ml dengan sensitivitas 71,4% dan spesifisitas 69,2%. Kesimpulan : Kadar serum IL-6, TNF-a dan MMP-2 tidak berbeda bermakna pada perempuan endometriosis stadium I-II dan stadium III-IV. Hanya kadar VEGF yang memiliki perbedaan rerata yang bermakna.
Purpose : The focus of this study is to compare serum biomarkers of : interleukin-6, tumor necrosis factor-alpha, matrix-metalloproteinase-2 and vascular endothelial growth factor in endometriosis stage I-II and stage III-IV. Method : Forty endometriosis patient was diagnosed by laparoscopy. Serum sample was taken before the surgery. The serum biomarkers were analyzed with ELISA method at the end of research. Mean of serum biomarkers were tested with unpaired T test. Variable that had significant mean different was thorough ROC measurement and determined the optimal cut of point. Result : Mean serum biomarkers level of IL-6, TNF-a, MMP-2 and VEGF of endometriosis stage I-II and stage III-IV were [1,39 vs 1,33] pg/ml (p>0,05); [1,5 ±0,47 vs 1,49±0,29] pg/ml (p>0,05); [152,04 ± 27,32 vs 140,98 ± 28,08] ng/ml (p>0,05) and [238,78 vs 426,57] pg/ml (p<0,05). Mean different of VEGF have AUC 74,5%. Optimal cut of point for VEGF ≥ 323,95 pg/ml with sensitivity 71,4% and spesificity 69,2%. Conclusion : Mean serum level of IL-6, TNF-a and MMP-2 are not different between endometriosis stage I-II and stage III-IV. Only VEGF has significant mean different.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Febrina Inpresiana
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan stigma tenaga kesehatan Indonesia, khususnya Jakarta mengenai Ibu HIV yang melaksanakan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya (PMTCT) Metode : Seratus tiga tenaga kesehatan yang bekerja di bidang obstetri dan ginekologi pada RSCM, RS. Fatmawati, RSU Tangerang dan RS Persahabatan terutama yang bekerja di kamar bersalin, ruang rawat, poliklinik dan ruang operasi yang diambil dari data rumah sakit dengan cara consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi , dilakukan wawancara terpimpin . Kuesioner tersebut telah dilakukan validasi pada tiga puluh orang tenaga kesehatan . Dari jawaban kuesioner tersebut akan menggambarkan data pengetahuan tentang HIV dan PMTCT, stigma , ketakutan dan diskriminasi tenaga kesehatan , yang kemudian akan dilakukan analisa bivariat serta multivariat yang terkait dengan stigma tenaga kesehatan tersebut. Hasil : Kami mendapatkan tingkat pengetahuan yaitu 89 orang (80,9%) memiliki pengetahuan yang baik mengenai HIV/AIDS. Akan tetapi pengetahuan khusus mengenai PMTCT responden memiliki pengetahuan yang buruk, hanya 8 orang (7,7%) yang menjawab benar. Dalam penelitian ini juga didapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan yaitu tipe tenaga kesehatan, umur, lama berkerja, serta tingkat pendidikan. Penelitian kami juga mendapatkan stigma (skor stigma tinggi) pada 65 responden (63,1%). Dilakukan analisis untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya stigma dan didapatkan umur, lama menjadi tenaga kesehatan, lama bekerja di RS saat ini, tingkat pendidikan serta keikutsertaan pelatihan HIV/AIDS. Kami mendapatkan skor ketakutan dibagi menjadi ketakutan rendah pada 47 responden (42,7%) dan ketakutan tinggi pada 63 responden (57,3%). Pada penelitian ini tidak didapatkan responden yang menyatakan tidak pernah pada 9 buah pertanyaan tentang diskriminasi, sehingga semua responden dikategorikan sadar melakukan diskriminasi. Kesimpulan : Pada penelitian ini kami mendapatkan hampir semua responden memiliki stigma terhadap HIV/AIDS. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya stigma maka diperlukan pelatihan HIV/AIDS untuk semua tenaga kesehatan yang modulnya disesuaikan dengan umur, tingkat pendidikan serta jenis tenaga kesehatan yang terlibat.
ABSTRACT
Objective : To capture descriptive of knowledge level and stigma among health care provider in Indonesia that focused in Jakarta concerning HIV positive mother who received PMTCT program. Methode : one hundred and three health care provider who worked at Obstetric and gynecologic divivion at Fatmawati hospital, Tangerang hospital and Persahabatan hospital and served in delivery room, ward, outpatient clinic, and operating theatre consisting doctors, nurses and midwives were interviewed with quesioner that measure knowledge, fear, stigma and discrimination among them. Data were analyzed to get factors that related to stigma. Result : Good level of knowledge was found in 89 providers (80,9%), only 8 providers (7,7%) have good knowledge in PMTCT. High level of stigma was measured in 65 providers (63,1%). Factors that related to level of knowledge are type of service provider, age, length of time as provider and level of education. We found factors that related to stigma are age, length of time as provider, length of time in current job, level education and trained in HIV/AIDS. We get a scared scores were divided into low fear in 47 respondents (42.7%) and fear of height in 63 respondents (57.3%). In this study found no respondents who claimed never to 9 questions about discrimination, so that all respondents are categorized conscious discrimination. Conclusion : we revelead that almost all provider have stigma in HIV.AIDS. Training in HIV/AIDS is important to reduce stigma and the programs should be adjusted with age, level of education, and type of service providers.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Gozali
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu model prediksi diagnosis adenomiosis berdasarkan faktor risiko, tanda dan gejala klinis.

Metode : Penelitian ini merupakan uji diagnostik, didapatkan 62 subjek penelitian dari data sekunder rekam medis dari pasien yang terdiagnosis adenomiosis dari pemeriksaan patologi anatomi dan 62 subjek yang didiagnosis bukan adenomiosis berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi sebagai kontrol. Faktor risiko, tanda dan gejala klinis yang diteliti adalah usia, paritas, indeks massa tubuh, dismenorea, perdarahan uterus abnormal, massa uterus, disparunea, dan infertilitas. Dan dilakukan uji statistik dengan menggunakan analisa bivariat setiap variabel. Variabel-variabel yang dianggap bermakna selanjutnya akan dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik. Dari faktor risiko yang didapatkan akan dibuat model prediksi diagnosis adenomiosis.

Hasil : Berdasarkan analisa bivariat dan analisa multivariat dengan regresi logistik pada variabel yang dinilai didapatkan hanya dismenorea yang menjadi faktor risiko adenomiosis dengan OR 12.972 dan nilai P <0.001. Didapatkan dari dismenorea nilai sensifiitas 91%, nilai spesifisitas 78%, nilai prediksi positif 66% dan nilai prediksi negatif 86%.

Kesimpulan : Hanya dismenorea yang memiliki hubungan yang bermakna terhadap adenomiosis dibandingkan non adenomiosis.Suatu model prediksi diagnosis adenomiosis tidak dapat dibentuk karena tidak ada variabel lain seperti usia, IMT, Paritas, disparunea, PUA, maupun infertilitas yang bermakna.
ABSTRACT
Objectives : We sought to formulate a predictive model for diagnosis of Adenomyosis by means of risk factors, clinical signs and symptoms.

Method : This was a diagnostic study.From medical record, We obtained 62 subjects diagnosed as Adenomyosis with another 62 patients as control subjects. Both groups have had proven diagnosis by pathology examination. Age, parity, body mass index, dysmenorrhea, abnormal uterine bleeding, uterus mass, dyspareunia, and infertility were the items researched. For statistical analysis, bivariate analysis was done for every variable. Significant associations will further be analyzed with logistic regression to formulate a predictive model for diagnosis of Adenomyosis.

Result : from bivariate analysis, followed by logistic regression, only dysmenorrhea stands out as risk factor for Adenomyosis. Odds ratio for dysmenorrhea was 12.972 with P value <0.001. Sensitivity and specificity for dysmenorrhea to diagnose Adenomyosis were 91% and 78%,respectively. Positive predictive value 66%. Negative predictive value 86%.

Conclusion : We found only dysmenorrhea with strong association with Adenomyosis. Thus, no predictive model for diagnosis of Adenomyosis can be made. Variables such as age, body mass index, parity, dyspareunia, abnormal uterine bleeding and infertility did not show any significance statistically.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hertia Triarani
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas insidens retensi urin pascahisterektomi total per vaginam, dan per abdominam, serta menilai perbandingan insidens retensi urin pada prosedur per vaginam dan per abdominam. Penelitian ini adalah penelitian analitik komparatif dengan desain kohort prospektif dan retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan insidens retensi urin tidak meningkat pada histerektomi per vaginam. Dengan hasil ini diharapkan memperbaiki tatalaksana pascahisterektomi per vaginam yang lebih baik. Namun penelitian ini menyarankan bahwa dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar, menggunakan desain kohort prospektif, dan mengukur volume urin pascaberkemih (PVR) preoperatif.
ABSTRAK
The focus of this study is to establish the incidence of postoperative urinary retention after performing vaginal hysterectomy, and abdominal hysterectomy, also to compare postoperative urinary retention between vaginal and abdominal hysterectomy. This research is comparative analytic interpretive, using design of prospective and retrospective cohort study. The study result is postoperative urinary retention did not increase by vaginal hysterectomy. Knowing this will improve management of postoperative hysterectomy cases. The researcher suggests for the next research will be using prospective cohort, with large amount of samples, and evaluate post-void residual volume (PVR) preoperatively.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Nurul Hidayah
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai dampak asam laktat sebagai terapi ajuvan yang mengatasi gangguan kenyamanan dengan cepat. Merupakan studi eksperimental tersamar tunggal yang dilakukan di Poliklinik Obstetri Ginekologi RSCM dan beberapa klinik swasta Mei 2012 - Juni 2013. Subjek dengan skor gangguan kenyamanan awal ≥5 mendapatkan terapi antimikroba kombinasi dan dikelompokkan dalam empat kelompok. Pada kelompok A vagina dibersihkan dengan larutan asam laktat 1%, dan cebok vagina dengan larutan asam laktat 1%; kelompok B vagina dibersihkan dengan larutan asam laktat 1%, dan cebok vagina dengan air bersih; kelompok C vagina dibersihkan dengan NaCl 0,9%, dan cebok vagina dengan larutan asam laktat 1%; kelompok D vagina dibersihkan dengan NaCl 0,9%, dan cebok vagina dengan air bersih. Dihitung perubahan skor gangguan kenyamanan setelah 24 jam. Sejumlah 81 subjek dianalisa (25 subjek kelompok A, 26 kelompok B, 15 kelompok C, dan 15 kelompok D). Karakteristik subjek keempat kelompok tidak berbeda signifikan. Rerata skor gangguan kenyamanan awal keempat kelompok tidak berbeda signifikan (p = 0.26). Perbaikan skor gangguan kenyamanan pada kelompok uji A lebih baik dibandingkan C ( p= 0.009), dan B lebih baik dibandingkan C (p = 0,04). Disimpulkan bahwa perbaikan skor gangguan kenyamanan signifikan pada kelompok dengan pembersihan vagina menggunakan asam laktat.
ABSTRAK
This study evaluated the effect of lactic acid as adjuvant therapy. Single blinded experimental study using validated questionnaire done in obstetrics and gynecology clinic Cipto Mangunkusumo Hospital and several private clinic from May 2012 to June 2013. Subject having initial discomfort score ≥5 was being treated with combined antimicrobial treatment and being classified into four groups (group A: 1% lactic acid vaginal toilette and 1% lactic acid self vaginal wiping; group B: 1% lactic acid vaginal toilette and clean water self vaginal wiping; group C: NaCl 0.9% vaginal toilette and 1% lactic acid self vaginal wiping; group D: NaCl 0.9% vaginal toilette and clean water self vaginal wiping). We measure the change of discomfort score within 24 hours. We analyzed 81 subjects (25 in group A, 26 in group B, 15 in group C, and 15 in group D). The subject’s character was not significanty different. The mean initial discomfort score was not significantly different (p= 0.26). We found that the reduction score of discomfort was significant in group A compared to group C (p= 0.009), and in group B compared to group C (p= 0,04). There is significant relieve of discomfort in those having vaginal toilette using lactic acid.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Darmawan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang Persalinan preterm bukan hanya merupakan masalah kesehatan dengan kejadian yang tinggi (11,1%) tetapi juga penyebab tertinggi (30%) kematian bayi di Indonesia. Faktor risikonya antara lain periodontitis dan kemungkinan karies dentis. Hal ini menunjukkan pentingnya kesehatan gigi dan mulut pada saat kehamilan. Namun, perilaku ibu hamil untuk memeriksakan kesehatan gigi dan mulut masih buruk. Tujuan Mengetahui perbandingan prevalensi periodontitis dan karies dentis serta pengetahuan, sikap, perilaku kesehatan gigi mulut antara ibu dengan persalinan preterm dengan persalinan spontan. Metode Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan pendekatan pengambilan sampel seperti kasus kontrol. Kelompok kasus adalah ibu hamil yang mengalami persalinan preterm dan kelompok kontrol adalah ibu hamil yang yang bersalin spontan. Diagnosis periodontitis berdasarkan kriteria Community Periodontal Index (CPI). Diagnosis karies berdasarkan adanya karies pulpa. Penilaian pengetahuan, sikap, dan perilaku kesehatan gigi dan mulut dengan kuisioner. Karakteristik demografik dan variabel perancu dikontrol dengan analisis multivariat. Hasil Didapatkan 182 subjek penelitian yang terdiri dari 83 subjek kasus dan 79 pasien kontrol. Prevalensi periodontitis lebih tinggi pada kelompok persalinan preterm namun tidak bermakna sebagai faktor risiko persalinan preterm (55,4 % vs 54,4 %, p 0,089). Prevalensi karies dentis lebih tinggi pada persalinan preterm namun juga tidak bermakna sebagai faktor risiko persalinan preterm (62.7 % vs 59,5 %, p 0,680.). Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai kesehatan gigi mulut pada ibu hamil kedua kelompok. Kesimpulan Prevalensi periodontitis dan karies dentis pada populasi ini cenderung tinggi. Prevalensi tersebut lebih tinggi pada persalinan preterm namun bukan merupakan faktor risiko persalinan preterm pada populasi ini. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan, sikap, dan perilaku kesehatan gigi mulut antara pada ibu hamil yang mengalami persalinan preterm dibandingkan kontrol.
ABSTRACT
Backgrounds Preterm labor is not only one of health problems with high incidence (11.1%), but also the most cause of perinatal death (30%) in Indonesia. The risk factors are periodontitis and dental caries which assumed. This condition emerges the importance of oral health during pregnancy. However, the behavior of pregnant women for routine oral health evaluation is poor. Objectives To compare the prevalence of periodontitis and dental caries, knowledge, attitudes, and behaviors about oral health between women with preterm labor and spontaneous labor. Methods This study was a cross sectional study with case-control sampling approach. Case group were pregnant women who experience preterm labor and the control group were women with spontaneous labor. Diagnosis of periodontitis was according to Community Periodontal Index (CPI) criteria. Diagnosis of caries was based on the presence of caries pulp. Assessment of knowledge, attitudes, and behaviors of oral health were using questionnaires. Demographic characteristics and confounding variables were controlled using multivariate analysis. Results One hundred and eighty two subjects were obtained, consisted of 83 cases subjects and 79 control subjects. The prevalence of periodontitis was higher but not significant as risk factor for preterm labor (55.4% vs. 54.4%, p 0.089). The prevalence of caries was not significantly different (62.7% vs. 59.5%, p 0.680.). There were no significant differences between knowledge, attitudes and behaviors of oral health in two groups of pregnant women. Conclusions Prevalence of periodontitis and dental caries were relatively high. Both prevalences were higher among preterm group, but were not significant risk factors in this population. There were no significant differences between knowledge, attitudes, and behaviors of oral health among preterm group and control.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>