Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Danny Maesadatu Syaharutsa
"Latar belakang: Preeklampsia masih menjadi penyumbang angka kesakitan dan kematian maternal dengan insidens sekitar 8,6 di Indonesia. Pola asuhan antenatal dengan melakukan penapisan awal menggunakan faktor maternal dan biofisik terhadap kejadian preeklampsia diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian maternal dan janin.
Tujuan: Memperolah kalkulasi risiko dari faktor maternal dan biofisik terhadap kejadian preeklampsia.
Metode: Studi ini merupakan kohort prospektif dengan melakukan consecutive sampling pada setiap ibu hamil dengan janin tunggal hidup dan tak terdapat kelainan kongenital anomali. Telah dilakukan penapisan pada 878 sampel dengan 8,7% mengalami preeklampsia. Setiap faktor maternal dan biofisik dilakukan analisis bivariat dan yang bermakna dilanjutkan dengan analisis multivariat. Variabel yang bermakna hingga analisis multivariat akan menghasilkan persamaan regresi logistik yang nantinya dapat menghitung a priori risk seorang perempuan mengalami preeklampsia.
Hasil: Faktor maternal berupa riwayat hipertensi kronik dan riwayat preeklampsia di keluarga meningkatkan risiko preeklampsia. Faktor biofisik berupa indeks massa tubuh > 26 kg/m2, tekanan arteri rerata > 95 mmHg, dan indeks pulsatilitas arteri uterina yang tinggi juga meningkatkan risiko preeklampsia. AU-ROC dengan menggunakan faktor maternal dan kombinasi faktor maternal dan biofisik sebesar 63% dan 75%.
Kesimpulan: Kombinasi faktor maternal dan biofisik dapat digunakan untuk menapis seorang ibu hamil untuk mengalami kejadian preeklampsia.

Background: Preeclampsia still contributes for maternal morbidity and mortality with incidence around 8,6% in Indonesia. Antenatal care with screening by using maternal and biophysical factors in predict the preeclampsia event is expected can reduce the number of maternal and fetal morbidity and mortality.
Aim: Obtain the calculation risk from maternal and biophysical factors in predicting preeclampsia.
Methods: We conducted a prospective cohort by performing consecutive sampling in every pregnant woman with singleton live intrauterine with no congenital anomaly. We screened 878 subjects with 8,7% became preeclampsia. Every maternal and biophysical factors were performed bivariate analysis and if statistically significant it continued to multivariate analysis of logistic regression. The equation of the logistic regression model will be performed to calculate the a priori risk of a pregnant woman becoming preeclampsia.
Results: Maternal factors such as chronic hypertension and family history with preeclampsia will increase the risk of preeclampsia. Biophysical factors such as body mass index > 26 kg/m2, mean arterial pressure > 95 mmHg, and high value of pulsatility index of uterine artery will increase the risk or preeclampsia. The AU-ROC value by using maternal factor and combining maternal and biophysical factors were 63% and 75%, respectively.
Conclusion: By combining the maternal and biophysical factors, it can be performed to screen a pregnant woman in preeclampsia event."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tsaniya Meidini Tahsya Hermawan
"Latar Belakang Sindrom Polikistik Ovarium (SAPK) adalah salah satu penyakit metabolic-endokrin yang paling sering ditemui pada Wanita dalam usia reproduktif. Sindrom Polikistik Ovarium merupakan kondisi yang banyak dikaitkan dengan obesitas dan meningkatnya jaringan adiposa, yang bisa diukur dengan lingkar pinggang dan tingkat lemak viseral. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis korelasi dari obesitas dengan jaringan lemak viseral pada pasien sindrom polikistik ovarium dan kontrol pada klinik Yasmin, RSCM Kencana Metode Penelitian ini merupakan studi retrospektif analitik yang menggunakan metode cross-sectional dengan menggunakan data yang diperoleh dari rekam medis di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. Variabel independent merupakan index massa tubuh, sedangkan variable dependen adalah lingkar pinggang dan tingkat lemak viseral pada pasien SOPK dan kontrol. Hasil Penelitian ini menemukan perbedaan yang signifikan pada Lingkar pinggang (LP) dan Tingkat lemak viseral antar parameter IMT yang berbeda. Ketika membandingkan SOPK dan kelompok tidak SOPK pada kelompok yang disesuaikan dengan IMT, hanya kelompok obesitas yang memiliki perbedaan signifikan pada LP dan tingkat lemak viseral. Selain itu, ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara indeks massa tubuh dan lingkar pinggang (p<0,000), serta lemak viseral (p<0,000) pada pasien PCOS. Hasilnya memiliki nilai Korelasi Pearson masing-masing sebesar 0,892 dan 0,871 yang berarti variabel lainnya akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya salah satu variabel. Kesimpulan Hasil dari penelitian ini menemukan adanya korelasi signifikan positif antara jaringan lemak viseral dan IMT pada pasien SOPK.

Introduction Polycystic ovary syndrome (PCOS) is one of the most common metabolic-endocrine disease that can be found in women in reproductive age. Polycystic ovary syndrome is a condition that is closely correlated to obesity and increase of adipose tissue, which can be measured by waist circumference and visceral fat level. Thus, this study aims to analyse the correlation of obesity with waist circumference and visceral fat in polycystic ovary syndrome and control patients. . Method This research is a retrospective analytical study that uses cross-sectional method and utilize medical records from patients in Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. The independent variable is the body mass index, meanwhile the dependent variable is the waist circumference and visceral fat level. Results This research has found a significant difference in WC and VF among different BMI parameters. When comparing PCOS and the control group in their BMI-matched group, only the Obese group had a significant difference in WC and VF. Additionally, it is found that there is a significant correlation between body mass index and waist circumference (p<.000), as well as visceral fat (p<.000) in PCOS patients. The result has Pearson Correlation values of 0.892 and 0.871, respectively, which means the other will be higher as one variable increases. . Conclusion This research has found that there is a significant positive correlation between visceral adipose tissue and body mass index in PCOS patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Octaviani
"

Latar Belakang: Radioterapi merupakan tatalaksana utama kanker serviks, baik dalam bentuk Concurrent Cisplatin-based Chemoradiation Therapy (CCRT) maupun Radiation Therapy (RT). Radioterapi dapat menyebabkan toksisitas terutama pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius. Namun, belum ada data mengenai insidensi, derajat, durasi, dan keluhan tersering toksisitas, serta faktor risiko yang mendasarinya di Indonesia.

Tujuan: Mengevaluasi insidensi, derajat, keluhan terkait, dan durasi toksisitas radioterapi pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius, serta faktor risiko yang mendasarinya.

Metode: Studi kohort retrospektif ini dilakukan pada subjek kanker serviks stadium lanjut (stadium FIGO ≥IIB) yang menjalani radioterapi, baik CCRT maupun RT, selama tahun 2018. Data dikumpulkan secara randomisasi rekam medis Departemen Radioterapi selama berlangsungnya radioterapi. Uji prevalensi dilakukan untuk mendapatkan angka insidensi, derajat, durasi, dan keluhan tersering toksisitas. Uji Chi-Square dilakukan untuk mendapatkan hubungan faktor risiko dengan terjadinya toksisitas, serta perbedaan toksisitas antara penerima perlakuan CCRT dan RT.

Hasil: Dari 106 subjek, didapatkan 58% insidensi toksisitas, dengan sebaran 42% toksisitas gastrointestinal, 5% toksisitas genitourinarius, dan 12% keduanya. Dari 54% toksisitas gastrointestinal, terdapat 45% toksisitas derajat 1 dan 9% toksisitas derajat 2, dengan keluhan 34% mual-muntah, 34% diare, 11% diare berdarah, serta 2% diskezia. Seluruh toksisitas genitourinarius merupakan derajat 1, dengan keluhan 86% disuria dan 14% hematuria. Toksisitas mulai timbul pada hari ke-17 (95% IK; 5-84 hari) dan dirasakan selama 15 hari untuk toksisitas gastrointestinal (95% IK; 5-65 hari) dan selama 13 hari untuk toksisitas genitourinarius (95% IK; 2-65 hari). Toksisitas radioterapi lebih tinggi pada subjek dengan IMT ³18 kg/m2 (p 0,378), pendidikan SMP ke bawah (p 0,065), pekerjaan usaha kecil/ibu rumah tangga (p 0,366), dan paparan rokok (p 0,027). Toksisitas muncul terutama pada CCRT dibandingkan dengan RT (75% vs 56%, p 0,265) dengan adanya korelasi kuat antara terjadinya kedua toksisitas (Sperman’s Rho 1,0 vs 0,264; p 0,006).

Kesimpulan:  Insidensi toksisitas radioterapi pada sistem gastrointestinal dan genitourinarius adalah 56% yang bersifat sementara dan tidak berat. Besar IMT, status ekonomi rendah, dan paparan rokok meningkatkan terjadinya toksisitas. Tindakan CCRT memiliki toksisitas lebih tinggi dibandingkan RT. 

Key Words: CCRT, RT, toksisitas gastrointestinal, toksisitas genitourinarius, faktor risiko toksisitas, kanker serviks


Background: Regardless the toxicity effect of radiotherapy (CCRT/RT) mainly to gastrointestinal and genitourinary system, there is no data of the toxicity in Indonesia.

Objective: Evaluate the incidence, degree, duration, and most frequent complaints, as well as the contributing risk factors. 

Methods: This retrospective cohort study was conducted on FIGO stage ≥IIB) cervical cancer, who underwent radiotherapy in 2018. Data were randomly collected from the Radiotherapy Department's medical records. 

Results: From 106 subjects, there was 58% toxicity. Of the 54% gastrointestinal toxicity, there are 45% grade 1 and 9% grade 2, with 34% complaint of nausea and vomiting, 34% diarrhea, 11% hematochezia, and 2% dyschezia. All of genitourinary toxicity was grade 1, with 86% complaint of dysuria and 14% hematuria. Toxicity occured on the 17th day (95% CI; 5-84 days) and disappeared in 15 days for gastrointestinal toxicity (95% IK; 5-65 days) and 13 days for genitourinary toxicity (95% IK; 2- 65 days). Toxicity was more exist in subjects with BMI ³18 kg/m2 (p 0.378), low education (p 0.065), entrepreneur/housewife (p 0.366), and cigarette exposure (p 0.027). Toxicity appeared mainly in CCRT compared to RT (75% vs 56%, p 0.265) with a strong correlation between the occurrence of the two toxicities (Sperman’s Rho 1.0 vs 0.264; p 0.006).

Conclusion: The incidence of radiotherapy toxicity in the gastrointestinal and genitourinary systems was 56%, which was temporary and light. Large BMI, low economic status, and cigarette exposure increased the incidence of toxicity. Toxicity of CCRT treatment would be greater that RT alone.

Key Words: CCRT, RT, gastrointestinal toxicity, genitourinary toxicity, risk factors for toxicity, cervical cancer

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Adinda Novianti
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker ovarium menjadi penyebab mortalitas yang tinggi pada wanita. Di Indonesia, kanker ovarium menempati urutan ketiga keganasan pada sistem reproduksi wanita dengan angka kejadian 4,27 dari 100.000 wanita. Di Indonesia, kejadian OCCC dari seluruh tipe histopatologi keganasan ovarium adalah 11-14%. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membahas mengenai karakteristik klinikopatologi pasien OCCC. Hal ini disayangkan mengingat besarnya masalah yang mungkin terjadi pada pasien OCCC. Pertumbuhan OCCC yang lambat dan karakteristiknya yang tidak berespons dengan kemoterapi memerlukan tindakan operasi yang benar-benar bersih. Hal ini perlu dilakukan agar angka rekurensi dan komplikasi yang tinggi dapat diturunkan karena apabila terjadi rekurensi, maka dapat dicurigai pasien mengalami resistensi kemoterapi. Pentingnya pengetahuan mengenai karakteristik klinikopatologi OCCC diperlukan dalam hal diagnosis dan tatalaksana pasien. Oleh sebab itu penelitian ini bermaksud untuk memberikan gambaran lebih lanjut mengenai karakteristik klinikopatologi pasien OCCC yang berobat di RSUPN Ciptomangunkusumo.
Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik klinikopatologi pasien ovarian clear cell ovarium di Indonesia
Metode: Dari tahun 2010-2015, 80 pasien dengan ovarian clear cell carcinoma teridentifikasi melalui data rekam medis dan INASGO yang didapatkan dari pasien yang berobat di RS Cipto Mangunkusumo
Hasil: Rerata usia pasien OCCC adalah 53 tahun dengan jumlah paritas terbanyak adalah 0 (46,2%). Stadium IC sebanyak 46,2% dengan riwayat operasi complete surgical staging sebesar 71,25% dan sebanyak 55% pasien OCCC melakukan kemoterapi namun tidak komplit. Jenis kemoterapi yang sering digunakan adalah multiple drug CT-platinum analogue taxane compound full course completed sebesar 10 kasus (4.4%). Hasil patologi anatomi ditemukan metastasis paling banyak pada omentum sebesar 47,5%. Respons kemoterapi komplit ditemukan pada 47,5% kasus dan status pasien ditemukan paling banyak hidup dengan penyakit sebesar 47,5%.
Kesimpulan: OCCC paling banyak ditemukan pada usia 53 tahun dengan paritas paling banyak adalah 0. Stadium ditemukan paling banyak pada stadium awal yaitu IC dengan terapi yang dilakukan juga sejalan yaitu complete surgical staging. Sebanyak 55% pasien OCCC melakukan kemoterapi namun tidak komplit dengan regimen yang paling banyak digunakan adalah multiple drug CT-platinum analogue taxane compound full course completed. Diferensiasi histopatologi ditemukan paling banyak adalah poor or undifferentiated dan metastasis ditemukan paling banyak pada omentum. Ditemukan sebanyak 47,5% respon terapi komplit dan sebanyak 47,5% pasien hidup dengan penyakit. Sebagian besar hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan namun penelitian lanjutan tetap perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan menggunakan data primer"
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Reza Tiansah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Keguguran berulang memiliki dampak psikologis yang besar, didefinisikan sebagai keguguran dua kali atau lebih. Sekitar 10-15% dari semua kehamilan yang secara klinis berakhir dengan keguguran. Sekitar 2% wanita mengalami dua kali keguguran dan 0,4-1% wanita mengalami tiga kali secara berturut-turut. Prevalensi dan variasi data di setiap negara berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola karakteristik subjek di poliklinik kebidanan Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode : Data dikumpulkan selama 5 tahun dari 2013 hingga 2017. Peserta adalah pasien dengan riwayat keguguran berulang yang tercatat di poliklinik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo kemudian data dianalisis secara statistik deskriptif. Hasil: Prevalensi keguguran berulang sebesar 28 kasus. Usia termuda yang mengalami keguguran berulang adalah 25 tahun sedangkan usia tertua 46 tahun. 80% kasus merupakan keguguran berulang primer, 20% kasus merupakan keguguran berulang sekunder. Terdapat 30% kasus dengan Indeks massa tubuh normal, 6.67% underweight, 36.67% overweight dan 26.67% dengan obesitas. Pemeriksaan ACA didapatkan 7.1% hanya ACA IgG positif, 14.3% hanya ACA IgM positif, 7.1% ACA IgG dan IgM positif dan 71.4% ACA IgG dan IgM negatif. Kesimpulan:. Karakteristik pasien keguguran berulang pada penelitian ini sangat beragam.

ABSTRACT
Background: Recurrent miscarriage has a large psychological impact, defined as twice or more miscarriages. About 10-15% of all pregnancies that clinically end in miscarriage. About 2% of women experience two miscarriages and 0.4-1% of women experience three times in a row. The prevalence and variation of data in each country is different. This study aims to describe the pattern of subject characteristics in polyclinic of the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo. Method: Data was collected for 5 years from 2013 to 2017. Participants were patients with a history of recurrent miscarriages recorded in the polyclinic of the National Center General Hospital Cipto Mangunkusumo then the data were analyzed descriptively. Results: The prevalence of recurrent miscarriages was 28 cases. The youngest age to experience a recurrent miscarriage is 25 years while the oldest age is 46 years. 80% of cases are primary recurrent miscarriages, 20% of cases are secondary recurrent miscarriages. There are 30% of cases with a normal body mass index, 6.67% underweight, 36.67% overweight and 26.67% with obesity. ACA examination found 7.1% only ACA IgG positive, 14.3% only ACA IgM positive, 7.1% ACA IgG and IgM positive and 71.4% ACA IgG and IgM negative. Conclusion:. The characteristics of recurrent miscarriage patients in this study are very diverse."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gregorius Tanamas
"Latar Belakang : WHO melaporkan angka persalinan preterm mencapai 15 juta persalinan dan menyumbang kematian neonataus hingga 1 juta kasus. Berbagai faktor yang berhubungan dengan kematian neonatus terkait ketuban pecah dini sudah banyak diteliti, namun hubungannya terhadap kematian neonatus belum konsisten di berbagai literature. Peneliti ingin meneliti hubungan faktor-faktor tersebut di RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan rekam medis ibu dan neonatus yang mengalami kasus ketuban pecah dini preterm (<37 minggu) dari tahun 2013-2017 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Luaran neonatus yang dinilai adalah nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5, Respiratory Distress Syndrome, sepsis neonatorum, dan kematian neonatus. Data dianalisis secara univariat dan multivariat.
Hasil : Terdapat 1336 kasus ketuban pecah dini preterm dalam periode 5 tahun, namun hanya 891 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor utama yang terkait morbiditas dan mortalitas neonatus dengan kasus ketuban pecah dini adalah usia kehamilan, dimana usia <28 minggu memiliki RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 dan berat badan lahir <1000 gr memiliki RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Sepsis secara klinis meningkat risiko kematian neonatus RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Kesimpulan : Usia kehamilan yang semakin muda dan berat badan lahir yang semakin rendah meningkatkan risiko morbiditas dan kematian neonatus

Background :  WHO reported the rate of preterm labor are 15 million cases and contributed to 1 million neonatal death. Factors contributed to neonatal death in preterm premature rupture of membrane has been reported in many literatures, however the results are inconsistent. The Authors want to analyze factors contributing to neonatal death in RSCM
Method : This is a retrospective cohort using medical records of both mother and neonatal of preterm premature rupture of membrane from 2013-2017 in RSCM. Neonatal outcome analyzed in this study are minute-1 and minute-5 APGAR, respiratory distress syndrome, neonatal sepsis, and neonatal death. Data was analyzed with univariate and multivariate analysis.
Result : There was 1336 cases of preterm premature rupture of membrane during 5 years period. However, only 891 cases analyzed in this study. Main factors contributed to morbidity and mortality in preterm premature rupture of membrane are gestational age and birth weight, which gestational age <28 weeks has RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 and birth body weight <1000 gr has RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Clinically sepsis increases neonatal mortality RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Conclusion : Younger gestational age and lower birth weight increase the risk of neonatal morbidity and mortality."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanty Olivia Febrianti Jasirwan
"Pengantar: Zigot tiga pronukleus (3PN) merupakan salah satu hasil dari fertilisasi abnormal yang sering yang diamati dalam teknologi fertilisasi in vitro, dan biasanya tidak dikultur dan ditransfer atas pertimbangan risiko kelainan kromosom. Namun, informasi mengenai perkembangan dan komposisi genetik embrio 3PN tersebut bermanfaat untuk mempertimbangkan apakah embrio tersebut dapat ditransfer atau tidak apabila tidak didapatkan embrio 2PN ataupun embrio yang dihasilkan sangat sedikit.
Tujuan: Untuk mengetahui status kromosom embrio 3PN dan menganalisis hubungan antara morfologi embrio 3PN dan status kromosomnya.
Hasil: Tiga puluh zigot 3PN dari 16 pasangan/siklus intracytoplasmic sperm injection (ICSI) diperoleh selama periode 6 bulan. Biopsi dilakukan pada embrio 3PN hari ke-5/6 dan selanjutnya dilakukan skrining genetik menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Dari 30 embrio 3PN tersebut, 66,7% memiliki kromosom yang abnormal. Pada tahap pembelahan, tidak didapatkan hubungan antara semua parameter morfologi embrio 3PN dengan status kromosomnya. Sebaliknya, pada tahap blastokista, derajat ekspansi blastokista <3 memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara bermakna daripada derajat ekspansi lainnya (90%, P = 0,05). Begitu pula dengan derajat intracellular mass (ICM) dan trofektoderm (TE), embrio dengan derajat ICM bukan A dan TE bukan A memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara signifikan (masing-masing 100,0%, P = 0,001 dan 93,3%, P = 0,001).
Kesimpulan: status kromosom embrio 3PN berhubungan secara bermakna dengan parameter morfologinya pada tahap blastokista, sehingga penilaian morfologi embrio 3PN pada tahap blastokista dapat digunakan bersama-sama dengan preimplantation genetic screening (PGS) dalam menyeleksi embrio yang euploid supaya dapat ditransfer apabila tidak didapatkan embrio 2PN lainnya.

Introduction: Three pronuclear (3PN) zygote is one of the most frequently abnormal fertilization observed in IVF/ICSI technology, which are usually discarded as there are concerns about their abnormal chromosomal constitution. However, because in certain cases there are no other embryos available, new information would be valuable to consider transferring or discarding them.
Aim: To analyze the chromosomal constitution 3PN embryos and to investigate the relationship between its morphology and the chromosomal status.
Results: Thirty 3PN zygotes from 18 cycles were reviewed during a 6-month period. Biopsy was performed on day 5/6 which were subsequently screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. Of the 30 3PN embryos, 66.7 % were chromosomally abnormal. At the cleavage stage, there were no association between all morphological features and chromosomal status. In contrast, at blastocyst stage, a grade <3 blastocyst expansion had significantly higher chromosomal abnormality than the other grade of expansions (90%, P=0.05). As regards to intercellular mass (ICM) and trophectoderm (TE), embryos with grade non-A ICM and TE had a significantly higher chromosomal abnormality (100.0%, P=0.001 and 93.3%, P=0.001 respectively).
Conclusion: chromosomal status and 3PN embryo morphology are linked at the blastocyst stage, and thus morphology asessment of 3PN blastocysts can be used in conjunction with PGS to select which embryo should be transferred when no other embryos from 2PN ICSI zygotes are available.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Aginta Mega Lestari Br.
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui pencapaian IPSG oleh tenaga kesehatan di departemen obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang di RSCM dengan menggunakan kuisioner. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dan data yang diperoleh diolah secara statistik.
Hasil: Dari data yang dikumpulkan sejak Mei hingga Agustus 2018 didapatkan pencapaian International Patient Safety Goals(IPSG) oleh tenaga kerja di departemen obstetri dan ginekologi di RSCM yaitu untuk IPSG 1 92,4%, IPSG 2 94,4%, IPSG 3 95,1%, IPSG 4 88,7%, IPSG 5 88,7% dan IPSG 6 84,9 %. Lama bekerja di unit yang bersangkutan, lama kerja sejak lulus, harapan gaji yang diterima, supervisi yang dirasakan oleh tenaga kesehatan dan tingkat pendidikan terakhir tenaga kesehatan memiliki hubungan yang bermakna terhadap pencapaian IPSG.
Kesimpulan: Pencapaian IPSG oleh tenaga kesehatan di departemen obstetri dan ginekologi RSCM adalah cukup tinggi. Pencapaian yang cukup tinggi tersebut berhubungan dengan beberapa karakteristik, faktor psikologis dan faktor organisasi.

ABSTRACT
Objective: To know the IPSG achievement by medical staff at obstetry and gynecology department on Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) and to know the other factors that influence the achievement.
Method: This research used cross sectional design with randomized sampling. Data that fulfilled the inclusion criteria were collected and analyzed.
Results: From the data that we collected since May until August 2018 conclude that the International Patient Safety Goals (IPSG) achievement by medical staff at obstetry and gynecology department on RSCM are 92,4% for IPSG 1, 94,4% for IPSG 2, 95,1% for IPSG 3, 88,7% for IPSG 4 and 84,9% for IPSG 5. There was a correlation between the length of time working in the same unit, length of time since graduation, the salary that the medical staff expected, supervise, and the last education of the medical staff with IPSG achievement.
Conclusion: IPSG achievement by medical staff at obstetry and gynecology on RSCM is high. The achievement is correlate with some of the characteristics, psychological and organization."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Quamila Fahrizani Afdi
"Latar Belakang: Respon ovarium setelah stimulasi ovarium terkendali (SOT) merupakan salah satu langkah penting untuk menentukan kesuksesan Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) terutama Fertilisasi In Vitro (FIV). Melalui SOT dapat terlihat seberapa banyak oosit yang dapat digunakan dalam TRB. Kelompok perespon buruk memiliki respon ovarium yang tidak normal dan memiliki angka kegagalan kehamilan yang tinggi terkait dengan penurunan kualitas dan juga kuantitas oosit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai faktor (usia, IMT, endometriosis, dan riwayat pembedahan di daerah ovarium) terhadap respon ovarium pada FIV, sehingga konseling untuk pencegahan serta pertolongan secepatnya dapat diberikan pada kelompok yang berisiko menjadi perespon buruk. Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan desain cross sectional retrospektif yang menggunakan data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang memengaruhi respon ovarium di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam 5 tahun (2013 sampai dengan 2017). Dipakai dua definisi perespon buruk, setelah suatu prosedur SOT, dalam penelitian ini yaitu berdasarkan jumlah oosit (kriteria Bologna) dan kriteria Poseidon. Hasil: Dari tahun 2013-2017 terdapat 749 pasien yang memenuhi kriteri inklusi. Berdasarkan jumlah oosit yang dihasilkan terdapat 188 pasien (25%) perespon buruk dan 561 pasien (75%) perespon normal. Faktor usia, endometriosis, riwayat operasi di daerah ovarium secara signifikan berhubungan dengan kelompok perespon buruk (p< 0,001), walaupun dalam analisis multivariat hanya usia yang secara signifikan memprediksi perespon buruk (p= 0,004). Berdasarkan kriteria Poseidon, terdapat 262 orang subyek (35%) termasuk dalam kelompok non Poseidon (perespon normal). Terdapat 7 orang (0,9%) sesuai dengan grup  Poseidon 1a, 64 orang (8,5%) termasuk dalam grup Poseidon 1b, 30 orang (4%) dalam kelompok grup Poseidon 2a, 113 orang (15,1%) sesuai dengan grup Poseidon  2b, 73 orang (9,7%) sesuai dengan grup Poseidon 3, dan 200 orang sisanya (26,7%) sesuai dengan grup Poseidon 4. Masing-masing faktor memiliki pengaruh tersendiri terhadap grup Poseidon. Endometriosis merupakan determinan yang signifikan untuk grup Poseidon 1 dan 4. Riwayat operasi merupakan determinan signifikan untuk grup Poseidon 2 dan 3, sedangkan peningkatan IMT justru menurunkan risiko seorang wanita masuk kedalam grup Poseidon 3. Endometriosis dan riwayat operasi daerah ovarium tidak dapat dikatakan memiliki hubungan langsung terhadap kelompok Poseidon 1 dan 2 karena adanya variasi individu yang mendasari pembagian kelompok Poseidon tersebut. Kesimpulan: Berdasarkan temuan diatas maka faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam memprediksi respon ovarium seorang wanita setelah SOT pada FIV, karena memiliki pengaruh yang signifikan. Hal tersebut penting sebagai pertimbangan untuk melakukan konseling dan menentukan tatalaksana yang lebih jauh.

Background: The ovarian response after a controlled ovarian stimulation (COS) is one important step to determine the success of assisted reproductive technology (ART), especially In Vitro Fertilization (IVF). Through COS, it can be seen how much oocytes can be used in ART. Poor responders have a bad ovarian response and have a high rate of pregnancy failure associated with a decrease in quality and also oocyte quantity.
Objective: This study aims to see the effect of various factors (age, BMI, endometriosis, and history ovarian surgery) on the ovarian response in IVF, therefore counseling for prevention and management can be given for those who has the risk to become a poor responder.

Methods: This is a retrospective cross-sectional research that uses secondary data with the aim to determine the relationship of factors that affecting ovarian response at Yasmin Clinic, Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 5 years (2013 to 2017). Two definitions of poor response were used (after a COS procedure) in this study; based on the number of oocytes (Bologna criteria) and Poseidon criteria. Results: From 2013-2017 there were 749 patients who met the inclusion criteria. Based on the number of oocytes produced there were 188 patients (25%) poor responder and 561 patients (75%) normo responder. Age, endometriosis, and history of ovarian surgery were significantly associated with a poor response group (p <0.001), although in the multivariate analysis only age that significantly predicted poor response (p = 0.004). Based on Poseidon criteria, there were 262 subjects (35%) included in the non Poseidon group (normo responder). There were 7 people (0.9%) according to the Poseidon 1a group, 64 people (8.5%) included in the Poseidon 1b group, 30 people (4%) in the Poseidon 2a group, 113 people (15.1%) according with the Poseidon 2b group, 73 people (9.7%) according to the Poseidon 3 group, and the remaining 200 people (26.7%) in accordance with the Poseidon group 4. Each factor has its own influence on the Poseidon group. Endometriosis is a significant determinant for the Poseidon group 1 and 4. The surgical history is a significant determinant for the Poseidon group 2 and 3, while an increase in BMI actually decreases the risk of a woman entering the Poseidon group 3. Endometriosis and surgical history cannot be said to have a direct relationship with the group Poseidon 1 and 2 because of individual variations underlying the division of the Poseidon group.

Conclusions: on the findings above, these factors become important in predicting a woman's ovarian response after SOT on IVF, due to their significance effect. This becomes important as a consideration for counseling and deciding better management.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>