Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yung Iriyudin
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pendapatan dalam negeri, pajak, tingkat bunga riil, arus modal asing, shock yang tidak diantisipasi pada nilai tukar perdagangan dan deregulasi perbankan 1983 terhadap pembentukan modal dalam negeri.
Data yang digunakan dalam kajian empiris ini merupakan data runtun waktu (time series) dari tahun I972 sampai 1993. Analisis yang dipergunakan yaitu pendekatan kointegrasi dan model linier dinamis dari model koreksi kesalahan.
Hasil estimasi memperlihatkan bahwa pendapatan dalam negeri memiliki tanda sesuai dengan yang diharapkan, tetapi nilai t-statistik koefisiennya terlihat tidak signifikan. Pajak dan tingkat bunga rill dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh positif terhadap pembentukan modal dalam negeri. Arus modal asing dalam jangka pendek tidak berpengaruh terhadap pembentukan modal dalam negeri tetapi dalam jangka panjang berpengaruh positif. Nilai tukar perdagangan yang tidak diantisipasi baik jangka pendek maupun jangka panjang tidak mampu menjelaskan variasi pembentukan modal dalam negeri.
Kebijaksanaan deregulasi perbankan 1983 berpengaruh positif terhadap pembentukan modal dalam negeri, walaupun signifikannya rendah pada umumnya pelaku ekonomi kurang melakukan penyesuaian terhadap modal dalam negeri sehubungan perubahan kebijakan dan besaran ekonomi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
T15718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrian Hendi Caya
"Pembangunan telah mentranformasi struktur ekonomi Lampung. Hal ini terlihat pada sumbangan Sektor Pertanian pada PDRB yang makin menurun. Dan sejalan dengan itu, Sektor Industri Pengolahan terus berkembang dan meningkat sumbangannya terhadap PDRB.
Studi ini berusaha menjelaskan kinerja Sektor Industri Pengolahan Lampung dengan menjawab pertanyaan pokok: bagaimana posisinya dan pengaruhnya dalam perekonomian Lampung?, bagaimana tingkat produktivitas dan efisiensinya?, dan bagaimana daya saingnya untuk menjadi alternatif lokasi industri dengan mulai jenuhnya industri di Jawa Barat?
Analisis studi ini menggunakan pendekatan input output, aglomerasi, dan makro. Hasil studi menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja Sektor Industri Pengolahan cukup baik dan lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat. Tingkat efisiensi Sektor Industri Pengolahan masih relatif rendah sehingga lebih rendah dibandingkan Jawa Barat. Melalui indikator efisiensi dan produktivitas tenaga kerja tersebut, Sektor Industri Pengolahan Lampung menunjukkan keunggulan dalam industri makanan, minuman, dan tembakau (31), industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit (32), industri bahan galian bukan logam (36), dan industri kimia dan barang-barang dari kimia, minyak bumi, batu bara, karat, dan plastik (35).
Faktor aglomerasi ikut mendorong pengembangan industri pengolahan, yang terlihat pada urban economies dan localization economies. Sektor Industri Pengolahan memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian Lampung yang terlihat pada perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
Berdasarkan studi ini cukup beralasan bila Lampung berkeinginan menjadi alternatif lokasi pengembangan industri pengolahan dengan mulai jenuhnya industri di Jawa Barat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
T15719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Suardhini
"Sejak tahun 1978 Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Sistem ini memungkinkan adanya intervensi bank sentral dalam penetapan
nilai tukar, namun tidak mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu yang tetap. lntervensi bank sentral dalam penetapan nilai tukar pada dasarnya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan sektor perdagangan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, skripsi ini ditujukan untuk mengetahui besar intervensi bank sentral dalam penetapan nilai tukar, serta menganalisis
pengaruhnya terhadap arus perdagangan Indonesia.
Untuk mengetahui besar intervensi bank sentral dalam penetapan nilai tukar akan digunakan model Portfolio Balance, sedangkan untuk melihat pengaruhnya terhadap arus perdagangan Indonesia akan digunakan model yang dikembangkan
oleh Bautista dan Rana.
Hasil studi menunjukkan bahwa besar intervensi bank sentral dalam penetapan nilai tukar jika dilihat sebagai variabel yang tidak bisa dijelaskan oleh model
Portfolio Balance adalah 3%. Selanjutnya, analisis perbandingan antara nilai tukar yang diharapkan (expected value) dengan nilai tukar aktual menunjukkan adanya
pola yang sama dengan analisis perbandingan antara nilai tukar nominal dengan
nilai tukar riel.
Jika dilihat pengaruhnya terhadap ekspor terlihat bahwa nilai tukar harapan
memiliki kemampuan yang lebih balk dalam menjelaskan perilaku penerimaan
ekspor Indonesia dibandingkan dengan nilai tukar aktual. Hal mi berarti nilai tukar
harapan Iebih balk dalam menggambarkan daya saing perekonomian domestik.
Sementara jika dilihat pengaruhnya terhadap impor, besarnya koefisien nilai tukar efektif nominal relatif tidak berbeda antara nilai tukar harapan dan nilai tukar aktual.
Namun, secara umum terlihat bahwa nilai tukar .harapan memhliki kemampuan
sedikit Iebih baik dalam menjelaskan permintaan impor dibandingkan dengan nilai
tukar aktual.
Sebagai implikasi studi Bautista di Indonesia, variabel penentu nilai tukar
seperti dinyatakan dalam model Portfolio Balance perlu diperhatikan sebelum bank
sentral menentukan besarnya nilai tukar. Namun, hal ini pada dasarnya hanya
bersifat jangka pendek. Da!am jangka panjang, perlu diperhatikan variabel lain yang
diduga akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia, seperti masalah efisiensi,
diversifikasi serta keberadaan negara pesaing.
Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan nilai tukar dalam menjelaskan
perilaku permintaan impor Indonesia dibutuhkan upaya untuk mengembangkan
industri bahan baku dan barang penolong di dalam negeri, karena ternyata 64%
dari total impor Indonesia sejak tahun 1979-1991 merupakan impor bahan baku
dan barang penolong.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan pendekatan
sistem persamaan simultan untuk menjelaskan pengaruh nilai tukar terhadap arus perdagangan di Indonesia, karena pada dasarnya terdapat keterkaitan yang erat
antara ekspor dan impor. Selain itu juga disarankan untuk menggunakan timbangan
yang lain dalam perhitungan nilai tukar efektif nominal dan riel, yaitu timbangan
yang lebih mencerminkan permintaan dan penawaran terhadap mata uang, bukan
semata berdasarkan pangsa perdagangan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1994
S18777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thia Jasmina
"Sektor keuangan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat terutama setelah deregulasi 1988. Deregulasi 1988 mendorong persaingan antarbank yang semakin ketat, sehingga perbankan dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya. Skripsi ini mencoba mengukur tingkat efisiensi perbankan Indonesia dan menganalisa apakah deregulasi perbankan 1988 dapat mendorong peningkatan tingkat efisiensi tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan metode fungsi biaya frontier dengan mengambil model Bauer-Humphrey (1992). Pendekatan yang digunakan adalah thick frontier den frontier stokastik dengan menggunakan data panel. Tingkat efisiensi perbankan diukur dengan melihat tingkat inefisiensi teknisnya, yaitu mengukur seberapa jauh perbedaan kondisi perbankan Indonesia yang sebenarnya terhadap suatu kondisi optimum. Dalam pendekatan thick frontier fungsi biaya diestimAsi untuk kelompok sampel bank dengan biaya per aset rendah dan bank dengan biaya per aset tinggi. Diasumsikan bahwa bank dengan biaya rendah merupakan bank yang paling efisien dalam skala efisiensi thick frontier. Perbedaan antara dua fungsi biaya tersebut terdiri dari faktor struktur pasar (seperti perbedaan tingkat output, jenis output dan input, harga input dan aset lain-lain) dan faktor inefisiensi. Sedangkan dalam pendekatan frontier stokastik, fungsi biaya diestimpti dengan menggunakan composed error term yang terdiri dari faktor inefisiensi den random error. Berdasarkan pengukuran tingkat inefisiensi perbankan dengan thick frontier dan dengan frontier stokastik, terlihat bahwa efisiensi perbankan Indonesia meningkat setelah deregulasi 1988. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan rata-rata tingkat inefisiensi teknis perbankan; dari 38,47% menjadi 33,55% dengan pendekatan thick frontier dan dari 49,84% menjadi 39.84% dengan pendekatan frontier stokastik. Dari basil pengukuran dengan thick frontier dapat disimpulkan bahwa tingkat inefisiensi perbankan setelah deregulasi 1988 mengalami penurunan pada tahun 1989 dan 1990, dan kemudian terjadi peningkatan yang cukup tajam pada tahun 1991. Peningkatan ini diperkirakan sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang overheated dan kebijakan tight money policy. Dari pengukuran dengan frontier stokastik dapat disimnpulkan bahwa sebelum deregulasi 1988, terdapat perbedaan rata-rata tingkat inefisiensi teknis yang mencolok antara kelompok bank pemerintah, bank swasta nasional dan bank asing. Bank pemerintah mempunyai rata-rata tingkat inefisiensi teknis tertinggi (63,47%), kemudian diikuti oleh bank swasta nasional (48,39%) dan bank asing (43,91%). Kondisi di atas terutama disebabkan oleh kebijakan perbankan sebelum deregulasi 1988 yang memberikan berbagai kelebihan dan fasilitas pada bank pemerintah (seperti subsidi kredit program dan KLBI, monopoli dana deposito BUNT), sehingga bank pemerintah memegang pangsa pasar terbesar dalam perbankan Indonesia. Kurangnya persaingan antarbank pada periode tersebut, menghambat peningkatan efisiensi perbankan dalam menjalankan kegiatannya. Pada periode setelah deregulasi 1988, terjadi penurunan tingkat inefisiensi untuk semua kelompok bank, dimana tingkat inefisiensi teknis bank pemerintah menjadi sebesar 38,31%, bank swasta nasional sebesar 40,30% dan bank acing sebesar 39,54%. Deregulasi 1988 membuka pasax perbankan Indonesia lebih luas. Suasana baru dengan persaingan yang lebih ketat memaksa bank-bank di Indonesia untuk beroperasi lebih efisien. Berdasarkan perhitungan nilai standar deviasi tingkat inefisiensi perbankan, dapat disimpulkan bahwa penyebaran tingkat inefisiensi perbankan Indonesia semakin kecil. Akan tetapi berdasarkan kelompok kepemilikan bank, terlihat bahwa standar deviasi bank pemerintah mengalami peningkatan, sedangkan untuk bank swasta relatif tetap den untuk bank asing mengalami penurunan standar deviasi. Dalam kondisi pasar perbankan yang semakin kompetitif, untuk dapat meningkatkan tingkat efisiensi perbankan Indonesia harus diciptakan suatu kondisi persaingan yang sehat. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah menghilangkan kebijakan yang masih membatasi gerak perbankan dan menguntungkan kelompok bank tertentu. Masalah restrukturisasi dan privatisasi bank pemerintah juga merupakan faktor yang patut dipertimbangkan. Di samping itu untuk kelompok bank pemerintah terdapat bank yang sangat efisien dan bank yang sangat tidak efisien. Suatu tindakan ekstrim dapat dilakukan dengan menggabungkan bank-bank pemerintah sehingga bankyang tidak efisien dapat "dibantu" oleh bank yang lebih efisien. Saran ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa setelah deregulasi 1988, spesialisasi togas bank pemerintah sudah tidak diperlukan. Di sisi lain, pihak perbankan diharapkan untuk lebih tanggap dalam menghadapi perubahan struktur pasar yang semakin kompetitif, antara lain dengan meningkatkan proses penambahan modal, memperbaharui kemampuan teknis, manajerial dan operasional."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1995
S18959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliadi Widjaja
"The literature is trying to explain the effectiveness of monetary policy in Indonesia in influencing the exchange rate under fixed and flexible exchange rate regime. The analysis is combined with their capital mobility relationship. The explanation based on the Mundell's famous trinity : The incompatible among fixed exchange rate, independent monetary policy and perfect capital mobility. The object of the research is Indonesia exchange rate experience between 1970-1994. Under the condition of sticky domestic price level and uncovered purchasing power parity, by using the two-countries asset-market model, the estimation of Indonesia exchange rate movement under fixed exchange rate regime (1971.1-1978.3) proved the Mundell's theorem, that the monetary policy does not compatible with the fixed exchange rate, while the liberalization of capital account did not followed by the opening of capital market, which made the condition of imperfect capital mobility because the capital is easy to move out but hard to move in. The condition was exacerbated with the financial repression at the time. Meanwhile under the preliminary period of flexible exchange rate, besides the imperfect capital mobility condition issue whis is caused by the not-well developing capital market, there is also a sequencing issue which impede the monetary policy. The issue was due to the lateness of the government to move the financial barriers under financial repression : The peg of interest rate and the peg of credit ceiling. While the flexible exchange rate regime had begun on the late of 1978, the financial repression barriers just removed out in the mid of 1983. One compulsory macro-economic condition which has to be fulfilled in order the monetary policy to have effectiveness in influencing the exchange rate under the flexible regime is the ability of interest rate to move up and down as needed. Otherwise, the result is somewhat alike with the monetary policy under the fixed exchange rate. This is shown up by the estimation in the period 1978.3-1983.2. This also explain why the 1982 monetary policy did not have the influence on the nominal exchange rate fluctuation, but succesfully made the inflation move slowlier. The estimation under flexible exchange rate after 1983 shows that the monetary policy is compatible with the flexible exchange rate, but still before 1988, the capital market had not been developed. The capital market was develop after the 1988 deregulation policy and it was integrated with the international market after 1992. This explain that some of the monetary policy had have the influence on the small fluctuation of the nominal exchange rate. Among those are the 1987 sterilitation policy and the 1990 tight money policy. While the 1991 sterilization policy, did not create any fluctuation on the nominal exchange rate. A small apreciation at the end of 1993 1 believed, was caused by the movement of short run capital. The estimation for the causality of the monetary policy and capital mobility to the exchange rate has shown that for the observation period, the monetary policies which have the effect on the variance of the exchange rate are the removed of the peg of the interest rate out, the sterilization policy and the 1988 reserve requirement policy. Capital mobility did not have the effect to the exchange rate variance."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
S19203
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adria Sudarma Kartahadimadja
"Krisis perbankan telah melanda Indonesia sejak tahun 1997 lalu. Pengalaman ini merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu hal yang menarik dari krisis perbankan ini adalah indikator dini krisis perbankan. Adapun indikator dini tersebut berupa kondisi-kondisi yang tercermin dalam perubahan perilaku variabel ekonomi yang mengarah pada terjadinya krisis perbankan. Dengan menggunakan kasus yang terjadi di Indonesia, kita dapat melakukan suatu penelitian mengenai indikator dini krisis perbankan. Dalam meneliti krisis perbankan, seringkali kita dihadapkan pada keterbatasan informasi tentang perbankan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, digunakan suatu pendekatan dengan menggunakan indikator-indikator yang informasinya cenderung mudah untuk diperoleh. Pengujian dilakukan dengan suatu pendekatan ekonometri dengan metode ordinary least square (OLS). Indikator-indikator dini krisis perbankan yang didapatkan, diharapkan dapat memberikan tanda peringatan kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam sektor perbankan. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa variabel yang disertakan dalam pengujian signifikan sebagai indikator dini krisis perbankan untuk kasus Indonesia (1984.1-1998.3). Variabel-variabel yang signifikan tersebut sangat tergantung dari periode data yang digunakan (misalnya tahunan, kwartalan, atau bulanan), variabel ekonomi yang dipilih, penggunaan metode ekonometri (misalnya OLS, logic, atau probit), dan faktor-faktor lainnya yang bersifat given. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat beberapa indikator ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator dini krisis perbankan di Indonesia. Namun hasil yang lebih baik dapat dicapai, dengan melakukan pengujian menggunakan data mikroekonomi perbankan, sehingga hasil yang didapat menjadi lebih detail. Penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
S19251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dharma Priyambada
"Runtuhnya sistem Bretton Woods pada tahun 1973 menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang dapat menimbulkan ketidakpastian. Akibatnya banyak negara yang melakukan campur tangan dalam penentuan nilai tukar atau distorsi nilai tukar. Distorsi nilai tukar ini dapat menyebabkan overvaluation atau undervaluation mata uang dalam negeri, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pendapatan nasional. Artinya, nilai tukar dapat mempengaruhi ekspor yang kemudian mempengaruhi pendapatan nasional. Di lain pihak, nilai tukar juga dapat mempengaruhi impor, termasuk impor barang modal, yang selanjutnya mempengaruhi investasi dan ekspor yang untuk kemudian mempengaruhi pendapatan nasional. Tulisan ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui seberapa besar distorsi nilai tukar. 2. Menginvestigasi hubungan yang timbul antara distorsi nilai tukar dengan pendapatan nasional. 3. Menginvestigasi mekanisme atau jalur bagaimana distorsi nilai tukar mempengaruhi pendapatan nasional. Untuk itu, penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap: 1. Menganalisis distorsi nilai tukar yang terjadi. 2. Menganalisis dampak distorsi nilai tukar pada pendapatan nasional. Untuk menganalisis distorsi nilai tukar, akan ditentukan lebih dahulu nilai tukar yang akan terjadi jika tanpa distorsi. Kemudian, untuk menganalisis dampak distorsi nilai tukar pada pendapatan nasional akan digunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa selama periode penelitian terjadi overvaluation maupun undervaluation. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa dengan menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5 persen, overvaluation tidak berpegaruh positif pada impor dan tidak berpengaruh negatif pada ekspor, sedangkan undervaluation tidak berpengaruh negatif pada impor dan tidak berpengaruh positif pada ekspor. Di samping itu, ternyata nilai tukar tidak berpengaruh pada ekspor dan impor. Secara ringkas, distorsi nilai tukar yang terjadi dalam periode penelitian tidak berpengaruh pada pendapatan nasional. Hasil penelitian mengindikasikan perlunya kebijakan nilai tukar, terutama untuk mencegah terjadinya overvaluation. Penulis menyarankan perluasan model yang digunakan dengan dimasukkannya variabel-variabel non-kuantitatif yang relevan dalam menerangkan ekspor-impor ke dalam analisis."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1995
S18929
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Sebagaimana diketahui bahwa peranan industri manufaktur sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia,baru menunjukkan hasilnya menjelang berakhirnya PELITA III. Namun demikian, karena struktur produksi manufaktur saat itu sangat rentan terhadap external shock, maka kontribusinya bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi cenderung menurun. Kemudian pada saat memasuki PELITA IV, sejalan dengan diimplementasikannya kebijaksanaan deregulasi. (reformasi) ekonomi, laju pertumbuhan sektor industri manufaktur meningkat pesat dan share-nya dalam GDP juga semakin membesar. Menjelang berakhirnya PELITA V, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dibela ekspor sempat terganggu, dengan melemahnya ekspor komoditi non migas andalan.
Banyak faktor yang menyebabkan merosotnya ekspor komoditi tersebut, salah satunya adalah tingkat daya saing, yang dimanifestasikan dalam ukuran efisiensi produktif. Oleh karena itu, penyelidikan dalam thesis ini mencoba untuk menganalisis perubahan kinerja spesifik (efisiensi produktif) industri manufaktur sehubungan dengan diimplementasikannya kebijaksanaan deregulasi selama periode tahun 1984-94, dan agar dapat dibandingkan dengan keadaan selama periode pra deregulasi, maka rentang analisisnya dipilih dari tahun 1981-94.
Penelitian empiris yang khusus memfokuskan pengaruh deregulasi terhadap kinerja spesifik industri manufaktur Indonesia, belum banyak dilakukan, diantaranya yang paling menonjol adalah penelitian Miranda S. Goeltom (1992}. Salah satu hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa reformasi ekonomi berdampak positif terhadap kinerja spesifik perusahaan manufaktur, baik perusahaan kecil, konglomerat, maupun perusahaan berorientasi ekspor. Sementara penelitiannya Rinaldi (1994) mengungkapkan bahwa reformasi ekonomi berpengaruh terhadap kinerja spesifik industri manufaktur Indonesia. Sedangkan penelitian empiris lainnya hanya menganalisis hasil estimasi efisiensi teknis industri manufaktur Indonesia, sebagaimana dilakukan Pitt and Lee (1982} den Hill and Kalirajan (1991).
Meskipun beberapa penyelidikan terdahulu menunjukkan adanya pengaruh positif reformasi ekonomi terhadap perbaikan efisiensi teknis, tetapi belum diungkapkan pola perubahan efisiensi produktif industri manufaktur Indonesia selama diimplementasikannya kebijaksanaan dereguiasi. Untuk itu, penyelidikan dalam thesis ini akan menganalisis hal tersebut, dengan cara mendekomposisi efisiensi produktif menjasi efisiensi teknis, alokatif, dan skala, sebagaimana telah dilakukan Yong and Kalirajan (1995) dalam menyelidiki pola perubahan efisiensi produktif industri besi dan baja China, tetapi dalam thesis ini akan digunakan data panel.
Ada dua pendekatan untuk mengestimasi efisiensi produktif, pertama menggunakan panel data analysis dengan composed error model, dimana disturbance error didekomposisi menjadi tiga variat unobservable, sebagaimana dilakukan Miranda S. Goeltom (1992), Cornwell, Schmidt, and Sickles (1990), Hsiao (1986), Schmidt and Sickles (1984), dan Hausman and Taylor (1981). Kedua, menggunakan stochastic frontier model, dalam hal ini distrurbance error didekomposisi menjadi one-sided error yang menampung firm-specific effects dan two-sided error yang menampung random noise. Aplikasi model stochastic frontier tersebut dalam estimasi efisiensi produktif telah berkembang luas, sejak pertama kali Farrel (1957) mengusulkannya.
Dalam thesis ini, untuk mengestimasi efisiensi produktif diaplikasikan model stochastic frontier production function, dengan one-sided error diasumsikan berdistribusi half-normal (Aigner et al, 1977; Stevenson, 1980; Pitt and Lee, 1981, Jondrow et al, 1982, Kalirajan and Tse, 1989; Hill and Kalirajan, 1991; Yong and Kalirajan, 1995), dan berdistribusi eksponensial (Meeusen. and van den Smack, 1977; Aigner et al, 1977; Jondrow et al, 1982). Sedangfungsi praduksinya merupakan fungsi produksi translog dan Cobb-Douglas, dengan variabel tidak babas gross value added dan variabel bebas terdiri dari input modal kerja, modal investasi, dan jumlah tenaga kerja.
Karena data yang dianalisis merupakan data panel, maka efisiensi teknis diestimasi dengan menggunakan formulasi sebagaimana diusulkan Battese and Coelli (1988), Kalirajan and Tse (1989), Hill and Kalirajan (1991) dan Yong and Kalirajan (1995), sedangkan estimasi efisiensi alokatif dan skala menggunakan formulasi yang diusulkan Khumbakar et al (1989) den Yong and Kalirajan (1995).
Proses estimasi diawali dengan analisis data panel untuk mengestimasi parameter fungsi produksi translog, yang menunjukkan bahwa fixed effect model signifikan. Karena nilai estimasi koefisien model empiris fungsi produksi tersebut hampir semuanya negatif, maka pengujian model estimasi selanjutnya gagal, sehingga model estimasi empiris fungsi produksi translog didrop. Kemudian analiais data panel dilanjutkan dengan mengestimasi parameter fungsi produksi Cobb-Douglas, yang hasilnya menunjukkan bahwa fixed effect model signifikan.
Melalui pengujian kesamaan elastisitas produksi dan restrikai CBTS, diperoleh hasil bahwa model empiric fungsi produksi Cobb-Douglas signifikan memiliki elastisitas sama dengan satu, dan nilai estimasi elastisitas pada periode pra deregulasi dan periode deregulasi berbeda signifikan. Sedangkan perubahan elastisitas produksi selama periode deregulasi, untuk input modal kerja dan modal investasi menunjukkan pola semakin meningkat, sedangkan input tenaga kerja semakin menurun.
Oleh karena asumsi elastisitas sama dengan satu terpenuhi, maka estimasi parameter model stochastic frontier fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dilakukan. Dalam hal ini, motode MLE digunakan untuk mengestimasi parameter model stochastic frontier tersebut, yang nilai estimasinya merupakan hasil iterasi dari pendekatan Davidon-Fletcher-Powell dengan starting value ODS estimates bersangkutan.
Hasil estimasi parameter model stochastic frontier tersebut menunjukkan bahwa selama periode pra deregulasi, komponen error yang dipengaruhi faktor internal secara signifikan lebih besar daripada komponen error yang barsifat acak, sedangkan selama periode deregulasi secara tidak signifikan komponen error yang bersifat acak lebih basar daripada yang dipengaruhi faktor internal. Sehingga, variasi perbedaan gross value added aktual dengan potensialnya, selama periode pra deregulasi, dipengaruhi efisiensi produktif, sedangkan selama periode deregulasi tidak demikian. Dalam arti, kebijaksanaan deregulasi yang diimplementasikan dapat meningkatkan kinerja spesifik industri manufaktur dengan pola yang konsisten dan kontinu.
Berdasarkan hasil estimasi parameter model stochastic frontier tersebut, selanjutnya diestimasi ukuran efisiensi produktifnya. Selama periode pra deregulasi, rata-rata efisiensi teknis industri manufaktur berkisar antara 61.78% dan 63.72%, yang pada periode deregulasi meningkat menjadi berkisar antara 81.61% dan 83.02%. Rata-rata efisiensi alokatif untuk kedua periode tersebut, menunjukkan bahwa input modal kerja maupun investasi under-utilized dibandingkan input tenaga kerja. Namun demikian, selama periode deregulasi, rata-rata efisiensi alokatif tenaga kerja dan modal kerja meningkat sebesar 53%, dan rata-rata efisiensi alokatif tenaga kerja dan modal investasi meningkat sebesar 50% dibanding periode pra deregalasi. Sedangkan rata-rata efisiensi skala untuk kedua periode tersebut menunjukkan nilai negatif, yang berarti perusahaan (kelompok) industri dalam menetapkan harga outputnya cenderung melebihi biaya marjinalnya, sehingga cenderung berproduksi lebih rendah dari skala produksi optimumnya.
Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa. kebijaksanann deregulasi dapat meningkatkan efisiensi produktif secara teknis dan alokatif, tetapi tidak secara skala. Dengan kata lain, kebijaksanaan deregulasi yang telah diimplementasiken hanya berpengaruh terhadap mekanisme pasar faktor dan pasar uang semata-mata, tetapi tidak berpengaruh terhadap mekanisme pasar barang. Oleh karena itu, selama periode deregulasi, perubahan efisiensi teknis maupun alokatif menunjukkan pola yang semakin meningkat secara konsisten dan kontinu, sedangkan efisiensi skala menunjukkan pola yang menurun.
Kelemahan dari hasil penyelidikan dalam thesis ini terutama bersumber dari data yang dianalisis,karena data tersebut selain sangat agregatif (kelompok industri berkode ISIC tiga digit), juga mengandung random noise cukup besar yang mungkin bersumber dari kesalahan pengukurun, time-lag, peramalan, maupun konsepsualisasi, maka hasil estimasi efisiensi produktif tersebut akan berbias ke atas (up-ward bussed) juga presisinya kurang baik.
Agar diperoleh hasil estimasi yang memiliki presisi dan akurasi lebih baik, maka perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut dengan menggunakan data hingga firm-level, den juga agar diperoleh mutu hasil estimasi efisiensi alokatif dan skala yang lebih baik perlu digunakan shadow price untuk input faktor maupun output. Dalam hal ini, shadow price bisa diambil dari harga impor atau international price input faktor maupun output bersangkutan."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nashihin
"ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk (i)mengukur pengaruh aglomeration economies, yaitu : urbanization economies (UE) dan localization economies (LE) terhadap perbedaan produktivitas antar daerah sektor industri kertas. Selanjutnya, dari dua faktor aglomerasi tersebut, ingin diketahui faktor apa yang dominan dalam menentukan perbedaan produktivitas antar daerah sektor indsutri ini. (ii) Untuk mengetahui apakah pengaruh urbanization economies terus bertahan atau tidak sejalan dengan peningkatan ukuran daerah.
Estimasi dilakukan dengan model translog. Hasil estimasi menunjukkan bahwa model translog kurang sesuai dengan data set industri kertas yang dipakai dalam tesis. Hal ini terlihat nilai elastisitas input yang negatif dan masalah kolinearitas.
Dengan hasil seperti di atas, analisis selanjutnya menggunakan model Cobb-Douglas (CD). Sebelum menggunakan model CD ini, model translog diuji terlebih dahulu dengan merestriksi homotetik-homogen dan ternyata restriksi diterima. Dengan menggunakan fungsi produksi CD ini, dua komponen aglomerasi, LE dan UE, berpengaruh signifikan dan berbeda arah terhadap tingkat output industri kertas di Indonesia. LE menunjukkan pengaruh yang negatif, sedangkan UE menunjukkan pengaruh yang positif.
Dari hasil estimasi fungsi produksi, dapat dihitung perbedaan produktivitas antar daerah industri kertas di Indonesia. Dengan mendekomposisi perbedaan total produktivitas antar daerah tersebut menjadi dua komponen, yaitu localization economies (LE) dan urbanization economies (UE) maka dapat diketahui peranan (share) masing-masing komponen.
Share LE lebih besar dari share UE dalam menjelaskan perbedaan total produktivitas antar daerah, yaitu masing-masing 72,8% dan 27,2%. Tetapi perlu diingat, bahwa koefisien LE dalam fungsi produksi bertanda negatif, sementara koefisien UE positif. Walaupun peranan LE lebih besar dari UE dalam menjelaskan perbedaan total produktivitas antar daerah tetapi karena koefisien LE yang negatif, maka hal ini berarti, keuntungan aglomerasi masih banyak ditentukan oleh UE.
Di samping peranan LE yang dominan, juga terlihat adanya pola yang menunjukkan bahwa peranan LE semakin meningkat. Pola ini terlihat pada daerah-daerah yang produktivitasnya di bawah base region. Hal ini berarti produktivitas perusahaan pada daerah-daerah tersebut semakin jauh di bawah produktivitas base region. Sementara itu, untuk daerah-daerah yang produktivitasnya di atas base region tidak menunjukkan pola-pola tertentu
Peningkatan jumlah penduduk suatu daerah ternyata tidak diikuti dengan urbanization economies yang semakin besar. Dengan menggunakan dummy variable untuk daerah-daerah: (i) dengan penduduk kurang dari 1 juta, dan (ii) dengan penduduk lebih dari 1 juta dan metode dummy yang slope shifter, hasil estimasi menunjukkan bahwa slope koefisien urbanization economies untuk penduduk besar tidak berbeda secara signifikan dengan koefisien penduduk kecil.
Pada beberapa penelitian menunjukkan, keuntungan dari urbanization ini pada suatu titik tertentu akan hilang. Untuk itu, digunakan dummy variable untuk daerah-daerah: (i) dengan penduduk kurang dari 1 juta, (ii) dengan penduduk antara 1 juta sampai 2 juta, dan (iii) dengan penduduk lebih besar dari 2 juta. Dengan menggunakan metode dummy yang slope shifter, hasil estimasi menunjukkan bahwa urbanization economies tetap masih berlaku. Seperti pada di atas, koefisien urbanization economies tidak berbeda secara signifikan antara ketiga koefisien dummy tersebut. Ini berarti, hipotesa yang menyatakan bahwa pada titik tertentu urbanization economies akan hilang tidak mendapat pembenaran secara empiris di Indonesia, khususnya untuk indutri kertas."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella, Laura Grace
"Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara berkembang telah meningkatkan pendapatan per kapita, namun pada sisi lainnya juga meningkatkan ketidakmerataan dalam ekonomi. Sektor keuangan berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Namun berdasarkan hasil temuan empiris, ketidakmerataan juga terus meningkat dengan adanya pembangunan keuangan. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa daerah dengan akses keuangan yang tinggi memiliki tingkat ketidakmerataan yang lebih rendah akibat pembangunan keuangan. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem keuangan yang bersifat inklusif sehingga seluruh kelompok masyarakat mendapatkan manfaat dari jasa keuangan.

Economic development which done by the developing countries has increased income per capita, otherwise it also creates inequality in economic. Financial sector has been successful to boost economic development in order to reduce poverty in Indonesia. However, based on empirical findings, inequality is also increased by the financial development. This research found that regions with high financial access make a lower inequality because of financial development. Therefore, it needs an inclusive financial system which can benefit every people when using financial service."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S44038
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library