Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dzaky Alwan Bisyir
"Asas pacta sunt servanda dan syarat sah perjanjian merupakan aspek yang penting guna menentukan keabsahan suatu perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dalam memutuskan terkait pembatalan perjanjian. Namun kenyataannya, Majelis Hakim dalam membatalkan suatu perjanjian menggunakan asas terang dan tunai serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1816 K/Pdt.G/1989 sebagai dasar hukum. Oleh karena itu, penelitian ini terfokus pada penggunaan asas terang dan tunai oleh Majelis Hakim serta perlindungan hukum bagi para pihak dalam pembatalan perjanjian pengikatan jual beli. Guna menjawab fokus utama permasalahan pada penelitian ini tersusun menjadi 2 (dua) rumusan masalah yaitu perlindungan hukum bagi calon pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli apabila dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata serta pertimbangan hakim mengenai asas terang dan tunai maupun ketidakcermatan pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli. Penelitian hukum doktrinal ini digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum dengan studi kepustakaan. Pengumpulan data ini kemudian dilakukan kesesuaian antara satu dengan lainnya agar menghasilkan simpulan yang sistematis, logis, dan efektif guna menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian perlindungan hukum bagi calon pembeli dalam PPJB 63 Tahun 2011 harus melihat dahulu syarat sah perjanjian serta asas-asas perjanjian. PPJB 11a Tahun 2011 berlakunya asas pacta sunt servanda dimana perjanjian ini menjadi undang-undang bagi para pihak. PPJB 63 Tahun 2011 melanggar syarat sah perjanjian mengenai sebab yang halal. Disamping itu, calon penjual wanprestasi atas kesepakatan yang terjalin dalam PPJB 11a Tahun 2011 karena menjual kembali objek tanahnya kepada pihak lain. Selanjutnya calon pembeli yang mendapatkan perlindungan hukum serta melanjutkan perikatan sampai peralihan hak atas tanah yaitu calon pembeli PPJB 11a Tahun 2011, sedangkan calon pembeli PPJB 63 Tahun 2011 tidak mendapatkan perlindungan hukum. Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan menggunakan asas terang dan tunai serta yurisprudensi dalam membatalkan PPJB 63 Tahun 2011. Seharusnya Majelis Hakim mengedepankan syarat sah perjanjian serta asas-asas perjanjian.

The principle of pacta sunt servanda and the legal requirements of an agreement are important aspects to determine the validity of a land sale and purchase binding agreement on land in deciding whether to cancel the agreement. However, in practice, the Judges Panel in canceling an agreement uses the principle of real and cash and Supreme Court Jurisprudence Number 1816 K/Pdt.G/1989 as a legal basis. Therefore, this research focuses on the use of the principles of real and cash by the Judges Panel as well as legal protection for the parties in canceling the binding agreement of sale and purchase. In order to answer the main focus of the problem in this research, it is organized into 2 (two) problem formulations, namely legal protection for prospective buyers in a sale and purchase binding agreement if it is related to Article 1320 of the Civil Code and the judge's consideration of the principle of real and cash and the imprudence of the parties in the sale and purchase binding agreement. This doctrinal legal research is used to collect legal materials with literature studies. This data collection is then carried out in accordance with one another in order to produce a systematic, logical, and effective conclusion to answer the problems raised in this study. The results of the analysis show that the provision of legal protection for prospective buyers in PPJB 63 of 2011 must first look at the legal requirements of the agreement and the principles of the agreement. In PPJB 11a of 2011, the principle of pacta sunt servanda service applies, where this agreement applies as law to the parties. PPJB 63 of 2011 violates the legal requirements of the agreement regarding a lawful cause. Besides that, the prospetive seller defaulted on the agreement in PPJB 11a Tahun 2011 because resold that land object to another party. Furthermore, prospective buyers who get legal protection and continue the engagement to the stage of transferring land rights are prospective buyers of PPJB 11a of 2011, while prospective buyers of PPJB 63 of 2011 do not get legal protection. The consideration of the Judges Panel in the decision used the principles of real and cash and jurisprudence in canceling the PPJB 63 of 2011. The Judges Panel should have prioritized the legal requirements of the agreement and the principles of the agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Triana Kamila
"Dalam pelaksanaan tugas dan jabatan notaris pengganti, kemungkinan terdapat kesalahan berupa pelanggaran dalam pembuatan akta sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor 13/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/V/2024 dimana terlapor sebagai notaris pengganti dalam membuat Akta PPJB tidak mematuhi ketentuan UUJN dan menjadikan akta tersebut sebagai dasar penjaminan objek tanah jual beli didalamnya melalui pembuatan SKMHT dalam perpanjangan kredit oleh pembeli di Bank. MPW menyatakan terlapor terbukti bersalah melanggar UUJN namun tidak memberikan sanksi apapun karena telah berakhir masa jabatannya. Permasalahan yang diteliti adalah kedudukan hukum Akta PPJB sebagai dasar penjaminan hak atas tanah pada pengajuan kredit di bank serta bentuk tanggung jawab notaris pengganti setelah berakhir tugas dan jabatannya. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan hukum Akta PPJB yang menjadi dasar bagi terlapor menjaminkan tanah dalam perjanjian kredit atas permintaan calon pembeli adalah batal demi hukum karena melanggar syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata berupa sebab yang halal. Notaris pengganti setelah berakhir masa jabatannya berdasarkan Pasal 65 UUJN tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukannya. Namun, terlapor dalam hal ini tidak dikenakan sanksi apapun dikarenakan ketiadaan pengaturan mengenai hal tersebut sehingga pengadaan peraturan menjadi sebuah urgensi.

In carrying out the duties, an acting notary may commit violation especially in the drafting of authentic deeds, as seen in the decision of the Regional Supervisory Assembly (MPW) of the DKI Jakarta Province Number 13/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/V/2024. In the decision, the acting notary as the reported party failed to comply with the provisions of the Notarial Law in drafting the PPJB deed and use it as the basis for pledging the land by making SKMHT for the prospective buyer’s loan extension in Bank. MPW stated that the reported party was proven guilty of violating the UUJN but did not impose any sanctions because his term of office had ended. The issues being studied are the legal standing of the PPJB deed as the basis for pledging the land in loan extension as well as the responsibility of the acting notary who is proven to be guilty for violating the Notarial Law after the end of his term of office. This research uses a doctrinal research form with an explanatory typology. The research shows that the legal standing of the PPJB deed above is null and void because it has violated the valid requirements of an agreement as stipulated in Article 1320 of the Civil Code regarding the admissible cause. An acting notary according to Article 65 of the Notarial Law can still be held accountable for violations committed even after the end of his term of office. However, in the decision above, the acting notary was not imposed any sanctions due to the absence of regulations so that the provisions of regulations become an urgency."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Richardo
"Kasus sengketa tanah merupakan salah satu permasalahan yang terjadi pada hukum terkait pertanahan di Indonesia, permasalahan tersebut timbul akibat perselisihan antar individu, individu berhadapan dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Permasalahan sengketa tentu membutuhkan penyelesaian melalui jalur mediasi atau gugatan yang dikenal melalui lembaga pengadilan negeri yang berkaitan dengan perdata atau pidana dan pengadilan tata usaha negara yang berkaitan dengan penerbitan sertipikat hak milik oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional. Salah satu contoh kasus yang terjadi terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 158/K/TUN/2022 yang terjadi di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Pada kasus ini menganalisis bagaimana hubungan hukum sertipikat hak milik penggugat & milik tergugat dan riwayat penerbitan sertipikat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal dengan tipologi eksplanatoris dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Dari analisis putusan tersebut dapat diketahui bahwa penggugat merupakan pemegang sertipikat tanah terbit lebih dahulu pada tahun 1982 yang dibeli dari Setia Arhiap seluas 48.330 m2 pada tahun 2006 nomor sertipikat 28243/Desa Limbung dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Kabupaten Pontianak, dan atas dasar Akta Jual Beli dilakukan pemindahan nama kepada WP (Penggugat) di Kantor Pertanahan Nasional namun pada tahun 2017 telah diterbitkan sertipikat oleh Pejabat Kantor Pertanahan Kubu Raya atas nama NV seluas 7.500 m2 pada tahun 2017 dengan nomor 10112/Desa Limbung. Penggugat mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak hingga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta namun gugatan pada tingkat pertama dan tingkat banding tersebut ditolak sehingga penggugat mengajukan kasasi di Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung berpendapat putusan di tingkat pertama dan banding adalah keliru dan membatalkan sertipikat milik tergugat serta mencoret dari daftar buku tanah.

Land disputes frequently occur in Indonesia, arising from conflicts between individuals, individuals versus groups, and groups versus groups. These disputes often require resolution through civil court involving civil or criminal case and administrative courts related to the issuance of land ownership certificates by officials of the National Land Agency. One notable case is found in the Supreme Court Decision Number: 158/K/TUN/2022, which took place in Sungai Raya District, Kubu Raya Regency. In this case, the author analyses correlation between the land ownership certificates of the plantiff and defendant, and whether the issuance history of the certificates complies with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration. This study employs a doctrinal research method with a explanatory typology, utilizing secondary data. From the analysis of decision, it is revealed the plaintiff holds and earlier land certificate issued in 1982, Purchased from Setia Arhiap, covering and area of 48,330 m2 in 2006 with certificate number 28243/Village of Limbung, in the presence of Land Deed Official Pontianak Regency. Based on the Sale and Purchased deed, the name was transferred to WP (the plaintiff) at the National Land Agency. However, in 2017, certificate was issued by the Kubu Raya Land Office in the Name of NV for an area 7,500 m2 with certificated number 10112/Village of Limbung. The Plaintiff filed a lawsuit at the Administrative Court of Pontianak, which was subsequently rejected by the High Administrative Court of Jakarta at both the first instance and appellate levels. The plaintiff then filed for cassation at the Supreme Court, which opined that the decisions at the both the first instance and appellate levels were erroneous, thus annulling the defendant certificate and striking it from the land book."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Pramatama
"Tanda tangan yang dibuat secara elektronik seharusnya dapat diterapkan dalam pembuatan akta autentik oleh notaris di Indonesia. Karena pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah dapat diterapkan pembuatan dokumen secara elektronik dengan ditanda tangani secara elektronik. Kewenangan dari notaris yang ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris tidak ada larangan untuk notaris apabila akta autentik dibuat dan ditanda tangani secara elektronik. Sementara di Perancis akta autentik elektronik sudah diterapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis Tahun 2016 dan tidak ada keraguan dari notaris untuk menerapkan akta autentik secara elektronik dengan ditanda tangani secara elektronik. Penelitian ini menggunakan metode studi komparatif. Hasil penelitian bahwa terdapat perbedaan penerapan dalam pembuatan akta autentik secara elektronik dengan ditanda tangani secara elektronik baik di Indonesia maupun di Perancis dan Notaris Indonesia harus tetap berhati-hati dalam proses pengesahan dan pembukuan tanda tangan elektronik oleh para pihak agar tidak dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Signatures made electronically should be applied in making authentic deeds by notaries in Indonesia. Because the Law on Electronic Information and Transactions can already be applied to make documents electronically signed electronically. The authority of the notary specified by the Notary Public Office Law does not prohibit the notary from making and signing authentic deeds electronically. While in France electronic authentic deeds have been applied in the French Civil Code of 2016 and there is no hesitation from notaries to apply electronic authentic deeds with electronic signatures. This research uses a comparative study method. The result of the research is that there are differences in the application in making authentic deeds electronically signed electronically both in Indonesia and in France and Indonesian Notaries must remain careful in the process of authorizing and recording electronic signatures by the parties so as not to be considered unlawful and cause the agreement to be invalid."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nareswari Kencana
"PTSL merupakan program pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka mempercepat serta menambah jumlah pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Selain untuk mempercepat laju pendaftaran tanah di Indonesia PTSL juga difungsikan untuk memberikan jaminan kepastian hukum serta kesejahteraan hak atas tanah masyarakat. Dalam prakteknya, PTSL khususnya di Tangerang Selatan terdapat beberapa permasalahan. Untuk menganalisis permasalahan yang terjadi tersebut maka dalam penelitian ini diangkat dua rumusan yaitu faktor-faktor penyebab terjadinya permasalahan dalam pelaksanaan PTSL di Tangerang Selatan, yang kedua, upaya yang diperlukan dalam penyelesaian permasalahan PTSL di Tangerang Selatan. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut digunakan metode penelitian normatif dengan dukungan data empiris berupa wawancara kepada Pejabat Kantor Pertanahan Kota Tangerang Selatan serta masyarakat yang mengikuti kegiatan PTSL. Hasil analisis dalam penelitian ini yaitu penyebab permasalahan yang terjadi dalam PTSL di Kota Tangerang Selatan adalah karena kurangnya kelengkapan berkas, alas hak atas tanah yang belum jelas, adanya syarat biaya PPH dan BPHTB yang tidak dapat terpenuhi, syarat pembuatan akta tanah yang tidak dapat terpenuhi, kendala sumber daya manusia di Kantor Pertanahan Tangerang Selatan yang bertugas menangani PTSL, banyaknya tanah yang terlantar, serta belum optimal nya penerapan asas Contradictur Delimitatie. Kemudian upaya yang diperlukan adalah mengoptimalkan pelaksanaan dari segi substansi hukum, budaya hukum dan struktur hukum yang terlibat dalam PTSL di Tangerang Selatan. Kemudian saran yang diberikan adalah rekonstruksi Permen PTSL terkait aturan jangka waktu pelaksanaan, jumlah pelaksana PTSL dan terkait aturan Pajak PPH serta BPHTB, menggiatkan sosialisasi kepada masyarakat serta memperbaiki kualitas serta kuantitas anggota pelaksana PTSL.

PTSL is a land registration program implemented by the government in order to accelerate and increase the number of land registrations throughout Indonesia. In addition to accelerating the pace of land registration in Indonesia, PTSL also functions to provide guarantees of legal certainty and the welfare of community land rights. In practice, PTSL, especially in South Tangerang, has several problems. To analyze the problems that occur, in this study two formulations are raised, namely the factors that cause problems in the implementation of PTSL in South Tangerang, second, the efforts needed to solve PTSL problems in South Tangerang. To answer the formulation of the problem, normative research methods were used with the support of empirical data in the form of interviews with South Tangerang City Land Office officials and the community participating in PTSL activities. The results of the analysis in this study are that the causes of the problems that occur in PTSL in South Tangerang City are due to a lack of completeness of files, the grounds for land rights are not yet clear, there are requirements for PPH and BPHTB fees that cannot be fulfilled, requirements for making land deeds that cannot be fulfilled, human resource constraints at the South Tangerang Land Office in charge of handling PTSL, the large amount of abandoned land, and the not yet optimal application of the Contradictur Delimitatie principle. Then the effort needed is to optimize the implementation in terms of legal substance, legal culture and legal structure involved in PTSL in South Tangerang. Then the advice given was the reconstruction of the PTSL Ministerial Regulation related to the rules for the implementation period, the number of PTSL implementers and related to the PPH and BPHTB Tax rules, intensifying outreach to the community and improving the quality and quantity of PTSL implementing members."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Melati
"Rencana Umum Tata Ruang merupakan suatu pedoman yang diciptakan guna memberikan arahan tentang wilayah-wilayah pembangunan yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Pedoman ini sangat penting untuk membagi suatu wilayah, dengan tujuan pemerataan pembangunan dengan tetap memperhatikan dampak sosial serta lingkungan yang terjadi di masyarakat. Rencana Umum Tata Ruang ini diperbaharui secara berkala oleh pemerintah guna mengikuti perkembangan, sehingga dapat terus menyesuaikan kebutuhan yang ada di masyarakat. Rencana Umum Tata Ruang, selain harus sesuai dengan hak atas tanah yang dimiliki, juga perlu penyesuaian dengan peruntukkan pemanfaatan tanah oleh subjek hukum pemilik tanah tersebut. Perubahan ini dapat dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan agar tidak menimbulkan suatu ketidaksesuaian antara peraturan dengan fakta di masyarakat, dengan tujuan agar tetap mengedepankan kepastian hukum. Dalam proses pra-peralihan hak atas tanah, perlu kesesuian antara peruntukkan dalam Rencana Umum Tata Ruang dengan tujuan pemanfaatan lahan yang akan dilakukan. Perubahan peruntukkan ini tanpa memperhatikan kondisi lapangan dengan cermat dapat menimbulkan suatu inkonsistensi dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Inkonsistensi ini juga menimbulkan suatu ketidakpastian dalam hukum, sehingga tidak memberikan suatu pedoman yang dapat dijadikan acuan yang baik di masyarakat. Pentingnya penyesuaian ini untuk menentukan apakah suatu tanah dapat digunakan bagi tujuan yang dimaksudkan oleh subjek hukum yang bersangkutan.

The General Spatial Plan is a guideline created by the government to provide direction regarding development areas that can be carried out by the community. These guidelines are very important for dividing an area, with the aim of equitable development while taking into account the social and environmental impacts that occur in the community. This General Spatial Plan is updated periodically by the government to keep abreast of developments, so that it can continue to adjust to the needs of the community. The General Spatial Plan, apart from having to be in accordance with the rights to the land owned, also needs to be adjusted to the allotment of land use by the legal subject of the land owner. This change can be made while taking into account the real conditions in the field so as not to cause a discrepancy between regulations and facts in society, with the aim of continuing to prioritize legal certainty. In the pre-transfer process of land rights, it is necessary to match the designations in the General Spatial Plan with the intended use of the land. Changes to this designation without careful attention to field conditions can lead to an inconsistency in carrying out a legal action. This inconsistency also creates an uncertainty in the law, so that it does not provide a guideline that can be used as a good reference in society. This needs to be given special attention to solve it, in order to provide the best solution for the interests of various parties by providing legal certainty as a basis for carrying out legal actions that will be carried out. The importance of this adjustment is to determine whether a land can be used for the purpose intended by the legal subject related. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Halida Saputri
"Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terkadang ada yang melakukan tindak pidana penggelapan dan menjadi terdakwa sebagaimana kasus yang terjadi di Bandung ketika seorang Notaris menggelapkan uang titipan kliennya. Penelitian ini membahas mengenai penerapan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 374 KUHP yang digunakan majelis hakim dalam putusan Nomor 212/Pid.B/2021/PN Bdg dan tanggung jawab notaris yang melakukan tindak pidana penggelapan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan tipologi penelitian deskriptif analitis yang menggunakan data hasil studi dokumen. Metode yang digunakan dalam menganalisis data berupa metode kualitatif. Simpulan dari penelitian ini adalah hakim tidak mempertimbangkan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, sehingga sanksi yang diberikan sama dengan tuntutan dari jaksa, yaitu berdasarkan Pasal 374 KUHP. Padahal sesungguhnya Pasal 415 KUHP yang sudah ditarik dan dirumuskan ulang oleh Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) lebih tepat untuk digunakan, karena merupakan ketentuan khusus bagi Notaris sebagai pejabat umum. Selain pertanggungjawaban secara pidana, Notaris juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Klien yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi baik secara material maupun imateril kepada Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi pun dapat dibebankan kepada Notaris berupa sanksi pemberhentian secara tidak hormat.

Notary, in carrying out their duties, sometimes commit embezzlement crimes and become defendants, as was the case in Bandung when a notary embezzled money entrusted by his client. This research discusses the application of Article 372 of the Criminal Code (KUHP) and Article 374 of the Criminal Code which was used by the panel of judges in decision Number 212/Pid.B/2021/PN Bdg and the responsibility of a notary who committed the crime of embezzlement. The form of research used is doctrinal with an analytical descriptive research typology that uses data from document studies. The method used in analyzing the data is a qualitative method. The conclusion of this study is that the judge does not consider the notary's position as a public official, so the sanctions given are the same as the demands of the prosecutor, which is based on Article 374 of the Criminal Code. In fact, Article 415 of the Criminal Code which has been withdrawn and reformulated by Article 8 of Law Number 31 of 1999 jo. Law Number 20 of 2001 concerning Corruption Eradication (Tipikor Law) is more appropriate to use, because it is a special provision for Notaries as public officials. In addition to criminal liability, a Notary can also be held civilly liable based on unlawful acts he has committed. Clients who are harmed can file a claim for compensation both materially and immaterially to the Notary. Administrative accountability can also be imposed on a notary in the form of dishonorable dismissal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhimas Prabu Anggoro Putro
"Akses jalan pada bidang tanah merupakan hak yang diatur di UUPA dan KUHPerdata. Ketidakjelasan mengenai status akses jalan dapat menyebabkan potensi sengketa di kemudian hari. Tujuan penelitian tesis ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis pelaksanaan pemberian akses jalan pada Putusan Perkara Nomor 69/Pdt.G/2019/PN.Smn dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga untuk memberikan tindak lanjut atas pertimbangan hakim mengenai pelaksanaan pemberian akses jalan sebagaimana pada Putusan a quo. Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (kepustakaan) dengan analisis secara kualitatif terhadap data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial menegaskan bahwa pemilik tanah harus memperhatikan kepentingan umum. Dalam Putusan a quo, Penggugat telah memberikan akses jalan kepada Tergugat, namun oleh Tergugat disalahgunakan untuk pembangunan garasi pribadi, yang mana bertentangan dengan permohonan semula untuk akses jalan. Tindak lanjut atas pertimbangan hakim yang dapat dilakukan adalah perlu dilakukan proses jual beli antara penggugat dan tergugat di hadapan PPAT, sehingga menjadi dasar pemberian akses jalan yang sah dan menciptakan kepastian hukum atas tanah. Saran dari penelitian ini adalah Pemerintah diharapkan dapat menyusun dan menerbitkan peraturan yang secara spesifik mengatur tentang mekanisme pemberian akses jalan diatas tanah hak milik, bagi Majelis Hakim diharapkan mengupayakan agar terjadi kepastian atas status hak atas tanah dalam perkara serupa, yaitu dengan memerintahkan agar jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT, dan pemohon akses jalan diatas tanah hak milik orang lain diharapkan dapat menggunakan lahan yang diperolehnya sesuai dengan peruntukannya, agar sengketa dapat dihindarkan.

Road access on land is a right regulated in the UUPA and Civil Code. Unclear status of access roads can lead to potential disputes later on. The purpose of this thesis research is to identify and analyze the implementation of granting road access in Case Decision Number 69/Pdt.G/2019/PN.Smn compared to applicable laws and regulations and also to provide follow-up on the judge's consideration regarding the implementation of granting road access as in the a quo Decision. This thesis uses normative legal research methods (literature) with qualitative analysis of secondary data. The results showed that Article 6 of UUPA regarding social functions affirms that landowners must pay attention to the public interest. In a quo Decision, the Plaintiff had granted access road to the Defendant, but by the Defendant misused it for the construction of a private garage, which contradicted the original application for road access. Follow-up on the judge's consideration that can be done is the need for a sale and purchase process between the plaintiff and defendant before the PPAT, so that it becomes the basis for providing legal road access and creating legal certainty over land. The suggestion from this study is that the Government is expected to compile and issue regulations that specifically regulate the mechanism for granting road access on freehold land, for the Panel of Judges it is expected to seek certainty over the status of land rights in similar cases, namely by ordering that the sale and purchase be carried out by the parties before the PPAT, and applicants for road access on land owned by others are expected to be able to use the land they have acquired in accordance with its designation, so that disputes can be avoided."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Renata Patricia
"Perubahan pengaturan Modal Dasar Perseroan Terbatas berpengaruh terhadap profesi Notaris karena Notaris merupakan satu-satunya pejabat umum yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang Jabatan Notaris untuk membuat Akta Pendirian Perseroan Terbatas dan melakukan Penyuluhan Hukum atas perbuatan hukum tersebut. Dalam melakukan Penyuluhan Hukum mengenai Pendirian Perseroan Terbatas, selain Notaris harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, Notaris tidak dapat mengesampingkan asas-asas hukum dan prinsip-prinsip yang relevan, seperti: asas kepastian hukum, prinsip kehati-hatian, dan prinsip Good Corporate Governance, karena walaupun Notaris membuat akta secara formil, Notaris perlu memperhatikan substansi akta secara materiil agar di kemudian hari Notaris tidak terseret dalam suatu sengketa hukum sebagai turut tergugat. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah doktrinal yaitu dengan mengumpulkan data sekunder berupa bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan, mengelompokan lalu memilahnya. Selanjutnya, data tersebut dikelompokkan, dipilah, diinterpretasi, serta diverifikasi dengan cara melakukan wawancara kepada Notaris sebagai narasumber. Kemudian, penulis menganalisisnya dan menuliskannya dalam penelitan ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa apabila Notaris memberikan Penyuluhan Hukum yang mengatakan bahwa Perseroan Terbatas dapat didirikan dengan Modal Dasar sejumlah Rp1,00 (satu rupiah) dan Modal Disetor sejumlah 25% (dua puluh lima persen) dari Modal Dasar tersebut yakni Rp0,25 (nol koma dua puluh lima rupiah), hal ini bertentangan dengan Prinsip Good Corporate Governance, khususnya Asas Keberlanjutan dan Asas Akuntabilitas; sedangkan di sisi lain, apabila Notaris memberikan Penyuluhan Hukum yang mengatakan bahwa Perseroan Terbatas tidak dapat didirikan dengan Modal Dasar sejumlah Rp1,00 (satu rupiah), Notaris menyalahi ketentuan Pasal 109 Angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja mengenai perubahan ketentuan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, saran yang dapat Penulis berikan adalah bahwa dalam perumusan ketentuan Modal Dasar Persoan Terbatas, pemerintah harus memperhatikan aspek nonhukum, yaitu ekonomi, yang dapat disesuaikan dengan jenis usahanya.

Changes in the regulation of the Authorized Capital of Limited Liability Companies affect the Notary profession because Notaries are the only public officials who are given the authority by the Law to make Deeds of Establishment of Limited Liability Companies and provide legal counselling on these legal acts. In conducting legal counseling regarding the establishment of a limited liability company, apart from the Notary having to refer to statutory regulations, the Notary cannot ignore relevant legal principles, such as: the principle of legal certainty, the principle of prudence, and the principle of Good Corporate Governance because even though the Notary makes a formal deed, the Notary needs to pay attention to the material substance of the deed so that in the future the Notary is not dragged into a legal dispute as a co-defendant. The research method used in writing this thesis is doctrinal, namely by collecting secondary data in the form of legal materials through literature study, grouping and then sorting them. Next, the data is grouped, sorted, interpreted, and verified by conducting interviews with Notaries as resource persons. Then, the author analyzed it and wrote it in this research. The results of this research show that if a Notary provides legal counselling which states that a Limited Liability Company can be established with authorized capital of IDR 1.00 (one rupiah) and paid-up capital of 25% (twenty five percent) of the authorized capital, namely IDR 0.25, this is contrary to the Principles of Good Corporate Governance, especially the Principle of Sustainability and the Principle of Accountability; Meanwhile, on the other hand, if the Notary provides legal counselling stating that a Limited Liability Company cannot be established with authorized capital of IDR 1.00 (one rupiah), the Notary is violating Article 109 Number 3 Law Number 6 of 2023 concerning Job Creation regarding changes to the provisions of Article 32 paragraph 1 of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies Thus, the advice that the author can give is that in formulating the provisions on the authorized capital of limited liability companies, the government must pay attention to non-legal aspects, namely economics, which can be adjusted to the type of business."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azarine Gantari
"Hadirnya sebuah fenomena di Indonesia awal tahun 2022 bernama Ghozaly Everyday melahirkan gagasan baru dalam perkembangan teknologi khususnya di bidang perdagangan berbasis digital. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana transaksi yang berlangsung di sebuah platform digital dengan menggunakan mata uang digital yang mana menimbulkan sebuah urgensi tersendiri tidak hanya bagi masyarakat namun juga kepada para praktisi hukum agar dapat memberikan keselasrasan antara keberlakuan hukum dengan perkembangan teknologi itu sendiri. Sebuah urgensi lahir disaat terjadinya peralihan kepemilikan Non-Fungible Token tersebut melalui teknologi blockchain yang mana mengenyampingkan Notaris sebagai pejabat umum yang berperan juga sebagai Trusted Third Party yang berfungsi sebagai penjamin hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hadirnya blockchain tidak mampu menggantikan Notaris sebagai pejabat umum yang bertanggungjawab atas kepastian pemahaman para pihak atas kehendaknya dalam melakukan transaksi ataupun pengalihan hak milik atas kepemilikan sebuah NFT.

The presence of a phenomenon in Indonesia in early 2022 called Ghozaly Everyday gave birth to new ideas in technological development, especially in the field of digital-based commerce. The main problem in this research is how transactions take place on a digital platform using digital currency, which creates a special urgency not only for the public but also for legal practitioners so that they can provide harmony between legal enforcement and the development of technology itself. An urgency arises when the ownership of the Non-Fungible Token is transferred through blockchain technology, which excludes the Notary as a public official whose role is also as a Trusted Third Party which functions as a legal guarantor. This research uses a doctrinal research method with library study data collection techniques with a qualitative approach. The research results reveal that the presence of blockchain is unable to replace the Notary as a public official who is responsible for ensuring the understanding of the parties regarding their wishes in carrying out transactions or transferring property rights to the ownership of an NFT."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>