Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sammy Yahya
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV. Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP. Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB. ...... Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions. Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects. Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Farah Hilma
Abstrak :
Salah satu peran sistem imunitas terhadap infeksi M.leprae adalah respons makrofag melalui interaksinya dengan vitamin D dan reseptor vitamin D (RVD). Interaksi vitamin D dengan RVD pada berbagai sel imun akan menstimulasi ekspresi katelisidin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) dan kadar plasma RVD serta hubungannya dengan IB pada pasien kusta. Penelitian ini berupa observasional-analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 28 subjek penelitian (SP) menjalani pemeriksaan slit-skin smear kemudian diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Kadar serum 25(OH)D diperiksa dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) dan kadar plasma RVD dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median kadar serum 25(OH)D adalah 12,68 ng/ml (4,88 – 44,74). Median kadar plasma RVD adalah 1,36 ng/ml (0,26 – 8,04). Berdasarkan analisis regresi multivariat, tidak terdapat hubungan antara IB dengan kadar serum 25(OH)D dan kadar plasma RVD (R square = 0,055). Tedapat korelasi positif kuat antara kadar serum 25(OH)D dengan skor pajanan sinar matahari (r = 0,863; p < 0,001). ......One of many immunity system’s roles against M. leprae infection is macrophage response through its interaction with vitamin D and vitamin D receptor (VDR). The interaction between vitamin D and VDR in various immune cells will stimulate the expression of cathelicidin. The objective is to analyze the serum level of 25-hydroxyvitamin D₃ (25(OH)D) and plasma level of VDR as well as their association with IB in leprosy patients. This observational analytic study was performed with cross-sectional design. A total of 28 subjects underwent a slit-skin smear examination and then the diagnosis of leprosy was made based on the cardinal signs. This study also assessed the patient’s sun exposure with weekly sun exposure questionnaire. Serum 25(OH)D level was assessed with chemiluminescent immunoassay (CLIA) method and RVD plasma level was measured by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median serum level of 25(OH)D was 12.68 ng/ml (4.88 – 44.74). Median plasma level of VDR was 1.36 ng/ml (0.26 – 8.04). Based on multivariate regression analysis, there was no significant association between BI and serum level of 25(OH)D and plasma level of VDR (R square = 0.055). There was strong positive correlation between serum level of 25(OH)D and sun exposure score (r = 0.863; p < 0.001).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
Abstrak :
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.
Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Siphra
Abstrak :
Latar belakang: Diabetes melitus (DM) dapat menimbulkan komplikasi kulit kering yang berkorelasi dengan pembentukan ulkus pada pasien DM. Pemakaian pelembap sebagai bagian dari perawatan kaki dapat mencegah pembentukan ulkus. Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan pelembap yang mengandung krim urea 10% dan vaselin album untuk mengatasi kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 68 pasien DM tipe 2 dengan kulit kering pada bulan Juli-Oktober 2018. Setiap subjek penelitian mendapat terapi krim urea 10% atau vaselin album untuk masing-masing tungkai. Perbaikan kulit kering dilihat dari skor klinis specified symptom sum score (SRRC), hidrasi kulit (korneometer) dan fungsi sawar kulit (tewameter) pada minggu kedua dan keempat. Hasil: Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara kelompok krim urea 10% dan vaselin album. Kedua pelembap ini tidak menimbulkan efek samping. Kesimpulan: Kedua jenis pelembap ini sama efektif dan dapat dipertimbangkan untuk terapi kulit kering pada pasien DM tipe 2. ......Background: Diabetes mellitus (DM) could cause xerotic skin which correlates with ulcer formation in DM patients. Daily use of moisturizer as part of foot care were expected to prevent it. Objective: To asses the effectiveness and safety of moisturizers containing 10% urea cream and white petrolatum in overcoming dry skin in type 2 DM patients. Methods: A double blind randomized clinical trial was conducted on 68 diabetes patients with xerotic skin in July-October 2018. Each study subject received 10% urea cream or white petrolatum for each leg. Repair of xerotic skin assessed from the specified symptom sum score (SRRC), skin hydration (corneometer) and skin barrier function (tewameter) in the second and fourth weeks. Results: There was no significant difference in effectiveness between the two groups. Both moisturizers were well tolerated.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Riani
Abstrak :
Latar belakang: Akne vulgaris (AV) merupakan kelainan kulit akibat peradangan kronik folikel pilosebasea yang sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda. Pada pasien perempuan didapatkan prevalensi AV yang lebih tinggi dan dampak psikososial yang lebih berat. Beberapa studi meneliti terdapat hubungan antara peningkatan kadar homosistein dengan derajat keparahan AV, namun peran homosistein dalam patogenesis AV masih belum jelas. Kadar homosistein ditentukan oleh multifaktor sehingga temuan di Indonesia dapat berbeda dibandingkan penelitian terdahulu. Secara fisiologis, kadar homosistein pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Tujuan: Mendapatkan data kadar homosistein plasma pada pasien perempuan dengan AV ringan (AVR), AV sedang (AVS), dan AV berat (AVB) serta mengetahui korelasi kadar homosistein plasma dengan berbagai derajat keparahan AV. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 46 subjek penelitian (SP), direkrut secara consecutive sampling, yang terdiagnosis AV berdasarkan kriteria Lehmann pada bulan April-Juni 2019. Setiap SP akan diambil darahnya untuk dilakukan pemeriksaan kadar homosistein plasma dengan metode chemiluminescent microparticle immuno assay (CMIA). Hasil: Pada pasien perempuan dengan AV didapatkan rerata kadar homosistein plasma kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, dan 6,95 (1,14) μmol/L. Terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein plasma dengan derajat keparahan AV (r=-0,0964, p=0,524). Kesimpulan: Kadar homosistein plasma ditemukan lebih rendah pada kelompok AVS dan AVB. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin rendah kadar homosistein plasma, maka semakin berat derajat keparahan AV. ......Background: Acne vulgaris (AV) is a skin disorder caused by chronic inflammation of pilosebaceus that is primarily found in adolescents and young adults. In female patient, there is a higher prevalence of AV and more severe psychosocial impact. Several studies have investigated association between the levels of serum homocysteine and severity of AV, but the role of homocysteine in AV is not clearly understood. Homocysteine levels are thought to be affected by varying factors, so it is assumed that homocysteine levels in Indonesian people will yield a different results. Physiologically, female has a lower homocysteine levels. Objective: This study aims to know the levels of homocysteine plasma in female patients suffering from mild, moderate, and severe AV, also its correlation with the degree of AV severity. Methods: This cross-sectional study included 46 subjects, recruited by consecutive sampling, who have been diagnosed with AV based on Lehmann criteria on April-June 2019. Blood sample will be taken from each subject to measure homocycsteine plasma levels by using chemiluminescent microparticle immuno assay method (CMIA). Results: In female patients, the mean plasma homocycteine levels of mild, moderate, and severe groups were respectively 7,39 (1,84) μmol/L, 7,14 (1,73) μmol/L, and 6,95 (1,14) μmol/L. There was no significant corelation between plasma homocysteine levels and the degree of acne severity (r=-0,0964, p=0,524). Conclusion: Levels of plasma homocysteine was found lower on moderate and severe AV groups. The lower the levels of plasma homocysteine, the more severe the the degree of acne severity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Peppy Fourina
Abstrak :
Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar. Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH). Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019 hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25- hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan. Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13- 34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL. Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r = 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak berhijab. ......Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never specifically conducted in hijab wearing women. Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH). Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March 2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group. Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70 (6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30 ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62 (3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the NH group (p = 0,308). Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and hair loss in both groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arleen Rainamira A.
Abstrak :
Latar Belakang: Rambut memiliki berbagai fungsi, salah satunya sebagai perkiraan usia individu. Kanitis, atau uban, merupakan tanda penuaan yang muncul pada rambut yang umumnya terjadi pada dekade ke-4 kehidupan. Kanitis prematur (KP) merupakan istilah munculnya kanitis sebanyak 5 helai rambut sebelum usia 25 tahun pada ras Asia. Etiologi penyakit KP belum sepenuhnya dipahami dan dianggap sebagai kelainan multifaktorial. Defisiensi mikronutrien tertentu, meliputi besi dan seng, diperkirakan berperan dalam munculnya KP. Oleh karena itu, diperkirakan kadar besi dan seng dalam serum dan rambut dapat mencerminkan risiko terjadinya KP pada seseorang. Tujuan: Menganalisis perbedaan rerata kadar besi dan seng rambut dan serum KP dibandingkan populasi sehat dan menganalisis korelasi antara kadar besi dan seng rambut dan serum pasien KP dengan derajat keparahan KP. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain kasus kontrol dan dilakukan matching jenis kelamin dan usia. Populasi target penelitian adalah pasien KP dan individu sehat yang diambil dengan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian. Nilai p<0,05 dianggap signifikan secara statistik. Hasil: Diantara 32 sampel kelompok KP, 7 orang mengalami KP ringan, 14 orang mengalami KP sedang, dan 11 orang mengalami KP berat. Diperoleh perbedaan kadar seng rambut yang bermakna secara statistik antara kelompok KP dengan kelompok sehat (184,03 vs. 231,83; p=0,01). Perbedaan parameter lainnya ditemukan tidak bermakna secara statistik. Tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar besi dan seng serum maupun rambut terhadap kejadian atau derajat keparahan KP. Data tambahan, ditemukan korelasi positif lemah antara indeks massa tubuh (IMT) dengan derajat keparahan KP (rρ= 0,392; p=0,026). Riwayat KP keluarga merupakan faktor risiko KP (aOR 14,829; 95% IK 3,073–71,566, p=0,001). Setiap penurunan 1 unit (µg/g) kadar seng rambut, kemungkinan mengalami KP meningkat (aOR 1,007; 95% IK 1,001–1,013, p=0,022). Kesimpulan: Kadar seng rambut pada kelompok KP lebih rendah dan berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat, namun tidak ditemukan perbedaan rerata yang bermakna pada parameter lainnya. Tidak ditemukan korelasi antara kadar besi dan seng rambut dengan serum, maupun dengan derajat keparahan KP. ......Background: Hair has various functions, one of which is an estimate of an individual's age. Canities, or gray hair, is a sign of aging that appears on the hair and generally begins to occur in the 4th decade of life. Premature canities (PC) is a term for the appearance of gray hair as much as 5 strands of hair before the age of 25 years in Asian ethnicity. The etiology of PC is not fully understood and is considered a multifactorial disorder. Certain micronutrient deficiencies, including iron and zinc, are thought to play a role in the development of PC. Therefore, it is predicted that iron and zinc levels in serum and hair can reflect a person's risk of developing PC. Aim: To analyze the difference in mean serum and hair levels of iron and zinc between subjects with PC and healthy controls and to assess their correlation with the severity of PC. Method: This study is an analytic observational study with a case-control design and matched according to age and gender. The target population of the study was patients with PC and healthy individuals who were recruited by consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria. Appropriate statistical analysis was performed to prove the research hypothesis. A p-value of <0.05 is considered statistically significant. Results: Among the 32 subjects of the PC group, 7 subjects had mild PC, 14 subjects had moderate PC, and 11 subjects had severe PC. There was a statistically significant difference in hair zinc levels between the PC group and the healthy controls (184.03 vs. 231.83; p=0.01). Differences in other parameters were found to be not statistically significant. There was no statistically significant correlation between serum and hair iron and zinc levels on either the incidence or the severity of PC. A weak positive correlation between body mass index (BMI) and the severity of PC (rρ= 0.392; p= 0.026) was obtained. Family history of PC is a risk factor for PC with an aOR 14,829; 95% CI 3.073–71,566, p=0.001. In addition, for every 1 µg/g decrease in hair zinc levels, the probability of experiencing PC increased (aOR 1.007; 95% CI 1.001–1.013, p=0.022). Conclusion: Hair zinc levels in the PC group were lower and statistically significant compared to the healthy controls but no significant difference was found in other parameters. There was no correlation between hair iron and zinc levels with serum, nor with the severity of PC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Clarissa Wiraputranto
Abstrak :
Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) adalah peradangan kronik pilosebasea yang umum terjadi pada semua usia, terutama remaja dan dewasa muda serta dapat memengaruhi psikologis pasien. Tata laksana AV merupakan sebuah tantangan karena keberagaman dalam menentukan diagnosis dan pilihan terapi antar negara. Indonesia mempunyai beberapa pedoman tatalaksana AV yang mempunyai similaritas antara lain konsensus IAEM 2015, PPK Perdoski dan PPK RSCM di tahun 2017. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas terapi standar AV berdasarkan panduan praktik klinis di Indonesia. Metode: Penelitian merupakan studi observasional analitik secara retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan rekam medis tahun 2017-2019. Sampel penelitian merupakan rekam medis pasien AV baru yang diikuti selama 3 bulan dan dengan metode total sampling. Data subjek yang diambil termasuk karakteristik sosiodemografi, karakteristik klinis, diagnosis, terapi berdasarkan PPK RSCM 2017, dan hasil terapi. Studi dan analisis dilakukan pada bulan April 2023 hingga Juli 2023. Hasil: Terdapat 131 SP yang memenuhi kriteria, 63,4% AV sedang, 20,6% AV ringan, dan 16% AV berat. Sebagian besar SP (92,4%) mempunyai AV dengan awitan sebelum usia 25 tahun. Median lama sakit AV yaitu 48 bulan. Riwayat terapi AV sebelumnya ditemukan pada 58% SP dan riwayat konsumsi obat akne pada 16% SP. Faktor risiko terbanyak berupa riwayat AV pada orang tua. Terapi utama paling banyak digunakan yaitu kombinasi retinoic acid, benzoyl peroxide, antibiotik topikal dan antibiotik oral pada 22,2% SP. Terapi standar AV secara bermakna menurunkan median jumlah lesi noninflamasi (25 vs. 8; p<0,001), median jumlah lesi inflamasi (10 vs. 2; p<001), median jumlah lesi total (41 vs. 10; p<0,001) setelah 3 bulan terapi, dengan median penurunan ketiga jumlah lesi lebih dari 50%. Proporsi derajat keparahan AV berbeda secara bermakna pada 3 bulan (p<0,001), dimana AV ringan meningkat (20,6% vs 93,1%) dan AV sedang atau berat menurun (sedang = 63,6% vs. 6,1%; berat = 16% vs. 0,8%). Kesimpulan: Terapi standar AV berdasarkan PPK di Indonesia efektif dalam mengurangi jumlah lesi noninflamasi, lesi inflamasi, dan lesi total, dan menurunkan derajat keparahan AV. ......Background: Acne vulgaris is a prevalent chronic inflammation of the pilosebaceous unit affecting all ages, especially teenagers and young adults, and often leads to psychological impairment. Management of acne vulgaris has been challenging due to various diagnostic parameters and treatment options across nations. Several treatment guidelines are available in Indonesia, of which have similarities among one another, such as consensus by Indonesian Acne Expert Meeting in 2015 and clinical practice guidelines by the Indonesian Society of Dermatology and Venereology and by Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in 2017. Objective: This study aims to investigate the effectiveness of standard therapy for acne based on the clinical practice guidelines in Indonesia Methods: This is an analytical retrospective observational study using medical records from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital between 2017 – 2019. Research samples were medical records of new acne patients followed for 3 months by a total sampling technique. Extracted data included sociodemographic and clinical characteristics, diagnosis, and therapy based on the clinical practice guideline by Dr.Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in 2017 and the results. This study was conducted from April 2023 to July 2023. Results: There were 131 subjects included, of which 63,4% were with moderate acne, 20,6% with mild acne, and 16% with severe acne. Most participants (92,4%) experienced acne for the first time before 25 years old. The median duration from the first occurrence of acne to the visit was 48 months. History of topical and oral acne therapy was found in 58% and 16% of participants, respectively. History of acne in parents was the most reported risk factor. Most subjects (22,2%) received a combination of retinoic acid, benzoyl peroxide, topical antibiotic, and oral antibiotic. Standard therapies significantly reduced the median of non-inflammatory lesions (25 vs. 8; p<0,001), inflammatory lesions (10 vs. 2; p<001), and total lesions (41 vs. 10; p<0,001) after a 3 month-therapy, with the median of reduction for all type of lesions over 50%. The proportion of acne severity differed significantly after three months (p<0,001), with an increasing proportion of mild acne (20,6% vs 93,1%) and decreasing percentage of moderate and severe acne (moderate = 63,6% vs. 6,1%; severe = 16% vs. 0,8%). Conclusion: Standard therapy for acne vulgaris in clinical practice guidelines in Indonesia is effective for noninflammatory lesions, inflammatory lesions, and total lesions, as well as acne severity after 12 weeks.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Kusumawardhani
Abstrak :
Bedah kimia trichloroacetic acid (TCA) memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan larutan bedah kimia lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pelembap dalam mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split face yang dilakukan di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian global peneliti (PGP), penilaian subjektif pasien (PSP), pemeriksaan indeks eritema (IE), transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada hari ke-0, 3, dan 7. Subjek penelitian (SP) merupakan wanita dengan diagnosis penuaan kulit (rata-rata usia 46,7 tahun). Sebanyak 27 SP dirandomisasi untuk mendapatkan krim intervensi (krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan shea butter) atau krim vehikulum pada salah satu sisi wajah pasca-tindakan bedah kimia TCA 15%. Terdapat penurunan nilai PGP, PSP, kadar TEWL, dan IE pada kelompok intervensi pada hari ke-3 dan 7 dibandingkan dengan kelompok vehikulum, namun tidak signifikan secara statistik. Kadar SCap meningkat signifikan pada hari ke-7 pada pasien yang mendapat krim intervensi dibandingkan dengan krim vehikulum. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan pada penelitian ini. Krim campuran ekstrak spent grain wax, argan oil, dan sheabutter  aman digunakan dan dapat mengurangi efek samping pasca-bedah kimia TCA. ......TCA chemical peel has more side effects than other chemical peel solutions. This study aims to assess the effectiveness safety of a post-peel cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter in reducing TCA peel side effects. A randomized, placebo-controlled, double-blinded, split face trial on women undergoing TCA 15% chemical peels. Assessment for global investigator assessment (GIA), subject self-assessment (SSA), erythema index, transepidermal water loss (TEWL), and skin capacitance (SCap) was conducted on days 0, 3, and 7. Twenty-seven patients (mean age 46.7 years) were recruited. There were significant improvements in GIA and SSA scores on both groups, but it is not different between the treatment groups. There were erythema index and TEWL improvement on days 3 and 7 compared to baseline, however, there were no differences between groups. The SCap measurement showed significant improvement in skin capacitance on both groups on day 7, but it was better improvement within intervention group. No adverse effects were reported. Cream containing spent grain wax, argan oil, and shea butter showed higher skin capacitance levels but did not significantly affect erythema index, TEWL, clinical and subjective assessments after TCA chemical peeling. 
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rinadewi Astriningrum
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko vaginosis bakterial pada populasi wanita penjaja seks di Tangerang. Faktor risiko vaginosis bakterial pada WPS penting diketahui untuk dapat menyusun strategi pencegahan terhadap vaginosis bakterial. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan studi potong lintang. Subyek penelitian adalah wanita penjaja seks di kabupaten Tangerang, provinsi Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi vaginosis bakterial di Tangerang tergolong tinggi (131 dari 189 subyek didiagnosis vaginosis bakterial; 69.31%). Semakin banyak jumlah pasangan, tindakan bilas vagina, dan semakin muda usia wanita penjaja seks meningkatkan risiko vaginosis bakterial. ......This study aim to determine the prevalence of bacterial vaginosis and analyze risk factors of bacterial vaginosis in female sex workers in Tangerang. Knowledge about risk factor of bacterial vaginosis in high-risk population is important to formulate prevention strategies against bacterial vaginosis. The study design is analytical cross-sectional study. The study subjects are female sex workers in Tangerang district, Banten province. Result shows that prevalence of bacterial vaginosis in Tangerang is high (131 out of 189 subjects were diagnosed as bacterial vaginosis; 69.31%). The higher the number of sexual partners, vaginal douching, and the younger the age group of female sexual workers increase the risk of bacterial vaginosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>