Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jansen Tangketasik
"Masalah pengelolaan hutan tidak hanya terletak pada aspek manajemen, teknik budidaya, dan pengolahan hasil hutan, melainkan juga mencakup aspek sosial-budaya yang berhubungan dengan status dan batas kawasan hutan, kewenangan dan kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah. Kepentingan masyarakat lokal dan pemerintah atas hutan bersifat kompleks karena dipengaruhi kewenangan dan kesejarahan, nilai sosial, ekonomi, dan ekologi sumberdaya hutan. Tarik menarik kepentingan dan hak penguasaan hutan antara negara dan masyarakat lokal memperlihatkan wujud bekerjanya kekuasaan melalui relasirelasi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Bekerjanya kekuasaan memengaruhi strategi dan hubungan yang dijalankan kedua pihak untuk mewujudkan tujuan melalui proses ruang lobi dan negosiasi yang akhirnya melahirkan suatu titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan individu menjadi kepentingan bersama.
Kerangka pemikiran demikian memunculkan pertanyaan: (1) Bagaimana masyarakat lokal dan aparat pemerintah memerankan diri sebagai representasi individu dan representasi otoritas institusi dalam penguasaan hutan? (2) Bagaimana para pihak memerankan otoritas secara berubah-ubah dalam penguasaan sumberdaya hutan? (3) Bagaimana kekuasaan bekerja dan strategi untuk memenangkan proses pembuatan konsensus baru melalui proses negosiasi mencari titik temu berupa akomodasi dan integrasi kepentingan antar-para pihak dalam menyelesaikan konflik? (4) Apa implikasi teoritis memahami hubungan kekuasaan dan strategi dinamis antarpihak dalam pembentukan ruang-ruang negosiasi baru pada penguasaan sumberdaya hutan? Untuk mempelajari bagaimana kekuasaan bekerja dalam praktek-praktek sosial pengelolaan hutan maka teori kekuasaan Michel Foucault dan teori strukturasi Anthony Giddens menjadi inspirasi konseptual. Metode kerja dan analisis memberi penekanan pada tekanan yang terjadi sekarang serta melakukan penelusuran historis (history recall) melalui teknik wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Penelitian lapangan berlangsung dari bulan Agustus 2007 hingga Juli 2009 pada para pihak yang terlibat dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Kajian ini memperlihatkan, dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antarpihak dipengaruhi klaim otoritas masing-masing pihak berbasis hukum negara dan adat. Dualisme kekuasaan dengan basis hukum berbeda tersebut terlihat dalam strategi yang dijalankan. Para agen memerankan strategi peran ganda dengan cara mengedepankan kekuatan regulasi formal yang berasal dari negara atau pemerintah dan kekuatan norma-norma adat dan simbol simbol tongkonan untuk mencapai tujuannya. Usaha menonjolkan regulasi formal dan simbol negara bertujuan menciptakan suatu order kepada masyarakat. Namun, pada saat tertentu simbol kekuatan lokal seperti tongkonan beserta adat istiadatnya ditonjolkan untuk meraih kepatuhan masyarakat dan menawar kekuasaan negara. Hal ini menunjukkan, kekuasaan yang ada pada setiap agensi mampu memengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa sehingga ia dapat mengubah jalannya peristiwa tersebut sesuai dengan tujuannya. Hubungan kekuasaan dan peran agensi dalam penguasaan sumberdaya hutan terjadi secara kompleks dan berkaitan. Meski menyandang status kawasan hutan negara dengan sistem tata kelola yang diatur negara, namun masyarakat lokal terus menguasai sumberdaya hutan berdasarkan hukum adat, kebiasaan, dan simbol legitimasi yang dimiliki. Situasi itu melahirkan klaim masing-masing agensi sesuai otoritas yang dimilikinya sebagai pemerintah atau penguasa adat. Dominasi negara memunculkan elit lokal untuk melakukan negoisasi dan renegoisasi penguasaan sumberdaya dengan basis legitimasi hukum adat, kebiasaan, dan simbol yang dimiliki masing-masing. Pada sisi lain, kajian ini memperlihatkan, dinamika penguasaan hutan dan hubungan kekuasaan yang terbangun antarpihak tidak hanya dipengaruhi klaim otoritas yang melekat pada masing-masing pihak. Dinamika hubungan yang terjadi ikut dipengaruhi konsekuensi modernitas yang berlangsung di sekitarnya. Kekuatan pasar, intervensi teknologi, perubahan waktu dan ruang sangat berdampak kepada aktivitas sosial dan berimplikasi kepada penilaian-penilaian sosial ekonomi masyarakat. Situasi di mana masing-masing agensi mengklaim sebagai penguasa dengan basis hukum negara dan norma adat melahirkan perubahan dinamis dalam interaksi antaragensi yang terlihat dalam pola hubungan konflik, perlawanan, dan klaim-klaim sumberdaya hutan. Meski demikian, hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam realitas pengelolaan hutan oleh negara sering bersifat cair dan dapat dinegosiasikan dengan masyarakat dalam suatu ruang negosiasi baru.
Hubungan yang tercipta saat penguasaan hutan ada dalam kekuasaan Tongkonan juga sering bersifat cair dan dinegosiasikan. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut berlangsung atau bekerjanya hubungan kekuasaan dalam suatu proses strukturasi antara agensi dan budaya berupa simbol-simbol relasi, gagasan, keyakinan, nilai dan norma terhadap perubahan dalam suatu dialektik menuju ruang akomodasi dan integratif sebagai suatu kompromi dalam ruang negosiasi baru. Dinamika yang berlangsung dalam hubungan kekuasaan seperti dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan yang bekerja secara dinamis melalui suatu proses interaksi sosial para agensi dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dalam tindakannya dipengaruhi oleh dimensi kesadaran praktis (practical consciousness). Kesadaran praktis ini merupakan seperangkat pengetahuan yang secara implisit digunakan oleh para pelaku bertindak di dalam menghadapi situasi usaha penguasaan hutan yang terjadi secara terus menerus yang lambat laun menjadi struktur. Ketika kesadaran praktis ini dibawa kedalam konteks budaya dan struktur yang bertstrukturisasi dengan tindakan penguasaan sumberdaya hutan maka reproduksi gagasan, identitas, nilai dan norma akan berlangsung secara dinamik dan inovatif yang secara terus menerus berproses (procesual) dalam suatu dialektika struktur dan tindakan. Dalam kompleksitas kepentingan antarpihak, situasi tersebut mendorong lahirnya negosiasi dan konsensus baru dalam suatu ruang negosiasi baru penguasaan hutan. (*).

Problems emerged in the management of forest resources are not only emphasized on management, silviculture technique, and forest industrial aspects, but also include socio-cultural aspects related to forest border and status, and authority or interest for local people and government. Interests of local communities and state government toward forest resources are complex. These situations are mainly affected by state authority and historical aspects among them, and values of forest resources such as economic, social and ecological ones. Different point of views and interests on rightbased forest resource control between state government and local communities, emerge because of power exercises among stakeholders on managing social aspects on forest resources. The exercise of power affects the strategies and relationships among them in order to achieve common goals. Achieving the goals is carried out through negotiations and dialogues in order to reach consensus to accommodate and integrate individual interest to become collective agendas.
The framework of this study, then, comes out with some research questions: (1) How do local communities and personnel of state government, as individual and institutional representatives, exercise their roles on forest resource control? (2) How do stakeholders exercise their roles interchangeably on forest resource control? (3) How do the exercise of power from state government, and what are strategies to achieve new agreement through negotiations in order to reach common goals on accommodation and integration of interests among them for conflict resolutions? (4) What are theoretical implications on the study of power relations and dynamic strategies among stakeholders on formulating new form of negotiations for managing forest resources?. In order to analyze the exercise of power in the social aspects of managing forest resources among stakeholders, the conceptual framework are inspired from theory of power from Michael Foucault and structuration theory from Anthony Giddens. Methods and analysis on this study emphasize on current situation and historical recall through in depth interviews and purposive participatory observation. Field study related with forest resources management and utilization and involved stakeholders, has been accomplished in Tana Toraja, South Sulawesi from August 2007 to July 2009. Result of this study shows that the dynamic of forest resource control, and social interactions among agents, is affected by authority claims among actors based on state and customary laws. Dualism of power based on the different laws, emerged from the executed strategies. These agents exercise double role strategy through relying on the power of state formal regulation and the power of customary law and tongkonan symbols in order to reach their goals. Efforts to exercise formal regulations and symbols of state, have an objective to achieve social order. However, in certain cases, local symbol of power such as tongkonan and its customary law, is exercised in order to gain social obedience and to compete with state power. In fact, the power from each agent is able to influence and intervene situations so that it can alter the situations in line with intended objectives.
The interrelationship of power and roles of agents on forest resource control is very complex and related each other. Indonesian Republic State law stated that forest resources are state domain or state property. On the other hand, local people has been controlling forest resource based on customary laws and legitimated local symbols. So, every agents exercise their claims on the resources based on their authority, whether they are as a state government or as a local leaders. State dominations, then, develop local elites in order to negotiate on the forest resource control based on customary laws, local values, norms, and customary symbols. On the other hands, the study for dynamic of forest resource control and power relationship among actors is not only caused by claim authority embedded from each actor, but also other factors. The dynamic of interrelationship is also influenced by the development of modernity. The power of markets, technology interventions, and social changes are strongly affects social activities and causes social-economic valuation of the community.
Situation, in which each agents exercise their claims based on state and customary laws, has caused dynamic change on agents? social interaction on conflicts, resistances and claims over forest resource control. On the other hand, power relationship in the state forest resource control is often flexible and negotiable with local people in a new room of negotiations. The interrelationship emerged in Tongkonan is also flexible and often negotiable. These can be inferred that the social interaction process of power relationship in the structuration between agents and culture (symbols, ideas, beliefs, values, and norms) toward dialectic change on accommodation and integration, perceived as a compromise on new room of negotiation.
The dynamic of power relationship shows that the dynamic power exercises through social interaction process among agents in the management and utilization of forest resource, are caused by dimension of practical consciousness. The practical consciousness is a set of knowledge that implicitly used continuously by agents in order to act toward the forest resource control so that it become structure in the local community. When the practical consciousness is emerged in the culture and structure of forest resource control, the reproduction of ideas, identities, values, and norms will be procesual dynamically and innovatively in dialectic structure and actions. In the complexity of interest among actors, the situation will cause the emergence of new consensus and negotiation in the context of new room of negotiation for forest resource control.(*)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D628
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Suarga
"Penelitian ini menjelaskan suatu permasalahan sosial yang ditemukan di era reformasi yaitu bagaimana proses yang terjadi ketika para pihak mulai mempersoalkan pemahaman tentang illegal logging dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia khususnya temuan pada kasus Adelin Lis di Sumatera Utara, seorang pengusaha yang memiliki izin resmi namun dituntut secara pidana di dalam wilayah kerjanya sendiri, karena setelah jatuhnya rezim Orde Baru muncul pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan sistem serta aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedoman bersama dalam bingkai aturan perundangan negara buatan para rimbawan.
Dalam merangkai penjelasan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh maka penelitian ini bertujuan untuk pertama memahami bagaimana para pihak melakukan perang wacana tentang illegal logging sehingga kemudian illegal logging tersebut bisa memiliki definisi ganda yaitu ia merupakan sebuah pelanggaran administratif tapi juga bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran pidana, sehingga untuk itu pulalah penelitian ini kemudian memilih rimbawan dan pihak-pihak lain yang berbeda konsep sebagai subyek kajian. Kedua, kehidupan berbangsa di Indonesia dalam 14 (empat belas) tahun terakhir pasca reformasi diwarnai dengan proses transisi demokratisasi yang memberikan ruang teramat luas bagi kebebasan berekspresi serta masuknya pengaruh global ke dalam segala aspek termasuk sektor kehutanan, pengelolaan sumber daya hutan dan tata aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedomannya. Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam penerapan konsep-konsep wacana yang berideologikan pengaruh global sebagaimana diungkapkan di atas ternyata memiliki muatan persaingan kepentingan yaitu utamanya kepentingan persaingan usaha yang bermotifkan ekonomi. Ketiga, perkembangan spesialisasi ilmu dalam ilmu Antropologi semakin berkembang dan dinamis, salah satunya adalah penggunaan teori analisa diskursus.
Analisa diskursus merupakan alternatif yang semakin populer belakangan ini karena mampu menggelar proses argumentatif secara scientific terhadap proses-proses legitimasi kekuasaan metode masa kini yang lebih mengedepankan proses penyebaran informasi melalui media. Asumsi dasar dari perkembangan teori diskursus belakangan ini adalah karena sejarah dan manusia ditentukan oleh adanya knowledge production (pengetahuan yang diproduksi) dan pemahaman atas berbagai hal yang terjadi di dunia yang diinterpretasi secara kolektif (Arts dan Buizer, 2009: hal. 340). Dalam sebuah ?pertarungan? sosial, antropologi mampu menyajikan proses konstruksi para pihak ketika mereka berkompetisi secara holistik, bukan sekedar membuktikan siapa pihak yang menang atau yang kalah. Analisa diskursus menyajikan proses konstruksi argumentatifnya dengan cara yang lebih runut serta rinci.
Dalam penelitian ini ingin memperlihatkan bagaimana pentingnya Antropologi terhadap spesialisasi analisa diskursus, dan begitu pula sebaliknya bagaimana pentingnya analisa diskursus terhadap Antropologi secara umum. Keempat atau terakhir, adalah tujuan praktis dalam pembentukan maupun pertarungan wacana persoalan illegal logging ke depan. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perdebatan serta variasi pemahaman para pihak tentang illegal logging ini sesungguhnya memiliki makna kepedulian masyarakat dunia tentang lingkungan yang lebih besar. Masing-masing pihak memiliki intensi atau niat yang baik yaitu mereka peduli tentang masa depan dunia yang lebih baik sehingga untuk itu dibutuhkan pengelolaan lingkungan khususnya sumber daya hutan yang lebih bertanggung jawab demi kepentingan bersama. Seperti yang telah diungkapkan lebih awal, konsep-konsep yang membentuk tinjauan konseptual dalam penelitian ini adalah konsep analisa wacana dan konsep legitimasi diskursus yang memiliki muatan ideologi neoliberalisme.
Adapun pemahaman prinsipiil yang saya mengerti dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana memecahkan suatu topik yang kompleks atau substansi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan detail demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Arts dan Buizer, 2009: hal. 341), kemudian menjalankan suatu tindakan melalui rangkaian proses yang telah dianggap mantap dan seringkali rutin ketika mencoba mengkonversi suatu pemaknaan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (Sokal dan Bricmont, 1998 dalam Humphreys, 2009: hal. 319), dan memasukkan unsur norma serta nilai dalam kategori relatifisme moral untuk mendalami bagaimana sesungguhnya diskursus tetap diklaim atau dianggap etis oleh kelompok tertentu tanpa perlu memiliki dasar ilmiah sebagaimana lazim dilakukan pada klaim pengetahuan yang bersifat epistemik (Humphreys, 2009: hal.320). Kedua pokok pemahaman atas konsep di atas merupakan kriteria data yang saya butuhkan untuk mempelajari dan memahami analisis wacana dan legitimasi diskursif.
Kedua pokok pemahaman di atas pula selanjutnya saya coba untuk kemudian memandu saya dalam merekonstruksi seputar putusan pengadilan kasus Adelin Lis sebagai entry point dalam memasuki ranah dialektika persoalan diskursus tentang illegal logging sehingga benar data yang saya ambil adalah data legitimasi diskursif. Adapun hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah pertama, pertarungan diskursus illegal logging yang terjadi adalah antara para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai pedoman dasar penerapan aturan serta pengelolaan sumber daya hutan yaitu memanfaatkan konsep Pembangunan Hutan Produksi Lestari serta metode Tebang Pilih Tanam Indonesia (jalur formal) dengan para pihak yang menggunakan diskursus global sebagai pedoman dasar pengelolaan hutan yaitu penerapan konsep-konsep biodiversity, sustainable development dan governance (jalur non formal).
Para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai basis pemahaman pengelolaan hutan berpendapat kalau illegal logging adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa mengantongi sehelai izinpun, sedangkan para pihak yang menggunakan basis diskursus global melihat siapapun termasuk pemilik izin apabila dianggap ?merusak? maka mereka dikatakan tetap ?liar? dan oleh karenanya tetap dianggap melakukan illegal logging. Kesimpulan kedua, dijelaskan bahwa dalam membangun diskursus illegal logging menggunakan referensi kasus Adelin Lis adalah dengan pertama mencermati, mengulas kembali serta mempelajari berbagai diskusi diskursus yang terjadi seputar proses hukum di ranah peradilan negara dan kedua mencermati, mengulas kembali serta mempelajari diskusi diskursus yang terjadi dalam konteks ditemukannya legitimasi diskursif pada berbagai diskursus yang bermuatan ideologi neoliberalisme yang sangat sarat dengan konsep-konsep globalisasi dan menggunakan moda teknologi informasi masif seperti media elektronik internet blogs yang berdaya jangkau lintas ruang dan waktu.
Kedua pihak yang berseteru dapat dikatakan membangun simulacra-simulacra yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul tanpa memiliki konteks sejarah awalnya. Para rimbawan dalam menetapkan kawasan hutan misalnya, banyak ditemukan melakukannya hanya di atas meja tanpa melakukan penelitian lapangan sehingga banyak kawasan hutan yang ditetapkan ternyata tidak berhutan lagi atau sudah berupa perkotaan. Para pihak yang menchallenge rimbawan juga membangun simulacra dalam menyebarkan konsep illegal logging nya seperti para blogger yang bukan berlatar belakang kehutanan namun aktif berkampanye masalah lingkungan hanya berdasarkan referensi informasi digital pula meski selalu memiliki pesan-pesan humanis lingkungan yang dikemas secara rapih didistribusikan dalam media yang menggunakan teknologi informasi masa kini yang sangat masif dan berdaya sebar sangat cepat dalam jumlah yang sangat besar pula dengan biaya sangat murah di internet. Kesimpulan ketiga, adalah dengan menjelaskan kalau relasi serta koalisi para pihak terbentuk setelah mencatat dan merangkum hasil diskusi dari proses diskursus yang diangkat oleh dua pertanyaan penelitian sebelum ini, yaitu koalisi terbentuk sebagai wujud pengejawantahan dari persaingan usaha skala global dimana kedua koalisi adalah para pihak yang ingin memperebutkan akses penguasaan sumber daya hutan untuk tetap dimanfaatkan sebagai usaha berbasiskan kepentingan ekonomi.
Koalisi pertama adalah para pihak yang menganggap Adelin Lis sebagai pengusaha resmi memiliki izin sah dan hanya melakukan pelanggaran administratif karena yang didakwakan masih berada dalam wilayah kerja sesuai izinnya, sedangkan koalisi kedua tetap menganggap Adelin Lis melakukan tindak pidana illegal logging karena tetap dianggap merusak hutan yang dikelolanya. Dari perspektif Antropologis dapat disimpulkan akhirnya kalau koalisi pertama adalah pihak yang mempertahankan interest positivis legalistik, sedangkan koalisi kedua adalah pihak yang berpedoman pada interest post-konstruktivis legalistik.

This research is about a social problem where certain parties systematically challenging the existing forestry legal system in particular on illegal logging issue raised out of a legitimate and licensed businessman (Adelin Lis) being prosecuted on a case within his own concession in North Sumatera. This problem discovered in the reform era, where there are concerns and dissatisfactions among group of parties towards the existing forestry legal and management system as well as practices.
To explain the research problem clearly, the purpose of this research are first, to understand how the discourse battle on illegal logging could end up having at least two definitions; as an administrative or civil case but also as a criminal case. Then the subjects of this research are foresters and parties or inviduals that challenged them. Secondly, there are global content within the concept used by the parties that challenged the existing forestry legal system so the next purpose of the research is to find out how those global content concept that are brought up actually have economic purposes. Thirdly, the expansion of specialization of Anthropology discipline are very dynamic, one of which is discourse analysis. So another purpose of this research is to show how important Anthropology towards discourse analysis specialization, and vice versa how important is discourse analysis towards Anthropology in general. Lastly, would be the practical purpose of this research, that is how variation of illegal logging interpretation is actually an expression of good intentions by all parties involved in this battle, that people of the world are more and more concerns about environment and how forest resources in particular needs to be managed more wisely for the sake of future generations.
The two main conceptual framework are discourse analysis and discursive legitimacy which has neoliberalism ideology content (Humphreys, 2009). Understanding both concepts would be the criteria to guide me to search deeply into collecting primary data, reconstructing Adelin Lis court trial and gathering other secondary data on illegal logging by making sure that information I collected are indeed discursive legitimacy material. The research findings are, first, the illegal logging discourse battle is between those using existing forestry legal system such as Sustainable Forest Management (PHPL) and Indonesian Selective Cutting and Planting System (TPTI) that I consider as using formal scheme as their reference base, against those using global concept such as biodiversity, sustainable development and governance (Arts and Buizer, 2009) or using non formal scheme as their reference base, in managing forest resource as well as forest law enforcement.
Those using existing forest legal system as reference base strongly describe that illegal logging is strictly for illegal offenders that do not have a single license at all, while the challengers think that illegal loggers are described as for anyone who destroys forest including license holder or concession owner. Second finding is, beside in depth interviews illegal logging discourse constructions in Adelin Lis case are done through two processes, one is reconstructing court trial proceedings, and two is collecting discourses from media in particular electronic blogs.
Both parties involved in the battle constructed simulacra. Foresters for example created forest land use mapping out of a simple desktop without going into the field, therefore the reference maps used in the existing forestry legal system can be easily challenged. On the other hand, bloggers that happen to be the challengers do not have any forestry basic knowledge whatsoever, are broadcasting their discourses on webs based only on electronic references collected digitally as well. The digital discourses presented are professionally packaged filled with popular humanistic and green messages. The third or last finding is, new power relation and coalition formed from the whole research proceedings. All parties involved in the battle agreed that the entire discourse of illegal logging have economic purposes.
The first coalition describes Adelin Lis, a legitimate licensed businessman, only conducted an administrative offense since the case against him were carried out within the boundary of his concession. While the second coalition describes Adelin Lis conducted a criminal offense, eventhough he is a licensed businessman but he is destroying the forest. In an Anthropological prespective, the first coalition is considered to be the positive-legalist interests, while the second coalition is the post constuctive-legalist interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1331
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library