Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anthony Japnanto
"Astrositoma ialah tumor primer pada bagian intrakranial yang muncul dari sel astrosite otak. Penelitian ini menggunakan metodologi studi retrospective cohort yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia dan indeks proliferasi AgNOR pada pasien astrositoma. Dengan menganalisa data dari 48 pasien pada penelitian ini, dan menggunakan metodologi Spearman’s rho test, data data tersebut dianalisa. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa indeks proliferasi AgNOR dan usia menunjukan korelasi satu sama lain (p < 0.01). Akan tetapi hubungan antara 2 variabel tersebut tidak kuat (koefisien korelasi = 0.504). Insiden tersering untuk kasus astrositoma ialah pada pasien pasien yang berusia diantara 41-50 tahun.

Astrocytoma is a primary intracranial tumor arised from astrocytes cells of the brain and is the most common infiltrating glioma. The research design in this study is retrospective cohort study that aim is about finding relationship of Age and prognostic factor of astrocytoma. There were 48 participants included in this study, and by using Spearman’s rho correlation test statistical analysis, the data were analyzed. The result showed that both AgNOR proliferation index and age in astrocytoma patients showed a significant correlation each other (p <0.01). However, the relation between both variables was not strong (correlation coefficient = 0.504). Further, the most common incidence for astrocytoma case is in 41-50 age group patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Eddy Yunus
"Astrositoma merupakan salah satu tumor otak primer terbanyak dengan mortalitas yang tinggi. Pemeriksaan MRI dan ADC dapat membantu menentukan derajat astrositoma sebelum dilakukan biopsi histopatologi sehingga edukasi mengenai tatalaksana dan prognosis pasien dapat dilakukan lebih dini.
Metode: Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder MRI kepala pasien dengan histopatologi astrositoma. Penilaian astrositoma dilakukan berdasarkan gambaran MRI menggunakan kriteria Dean dkk dan pengukuran ADC untuk seluruh bagian tumor (Ab) dan bagian tumor padat yang menyangat kontras (Ap) serta beberapa sampel (Ar) pada satu potongan terbesar di ADC map. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan nilai diagnostik gambaran MRI dan ADC untuk menentukan derajat astrositoma berdasarkan sensitivitas, spesifisitas, dan kurva receiver operating characteristic (ROC).
Hasil: Parameter gambaran astrositoma pada MRI yang bermakna untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi adalah batas, perdarahan, dan heterogenitas. Penggunaan jumlah skoring kriteria Dean dkk pada gambaran astrositoma dengan nilai batas 7 serta penilaian gambaran astrositoma pada MRI untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi memiliki sensitivitas 90,9% dan spesifisitas 87,5%. ADC dengan menggunakan nilai rerata, minimum, dan maksimum pada Ap serta nilai rerata dan minimum pada Ar berbeda bermakna untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing mencapai 90,9% dan 87,5%.
Kesimpulan: MRI dan ADC memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk menentukan astrositoma derajat rendah dan tinggi.

Astrocytoma is the most frequent primary brain tumor with high mortality. MRI and ADC could determine astrocytoma grading before histopathological biopsy performed, hence patient education for treatment and prognosis could be established more early.
Method: A cross-sectional research is performed using brain MRI of patients with astrocytoma as histopathological diagnosis. Astrocytoma evaluation using MRI image with Dean et al criteria and ADC measurement for all part of tumor (Ab), single (Ap) and multiple (Ar) solid part of tumor that enhance with contrast administration in one axial section of the largest part of the tumor. Data analysis is performed to obtain diagnostic value of MRI image and ADC to determine astrocytoma grade based on sensitivity, specificity, and receiver operating characteristic (ROC) curve.
Result: MRI image parameters that is significant to determine low and high grade astrocytoma are border, hemorrhage, and heterogeneity. The sum of astrocytoma image scoring of Dean et al criteria with cut-off value of 7 and the evaluation of astrocytoma image in MRI to determine low and high grade astrocytoma has 90,9% sensitivity and 87,5% specificity. ADC, for Ap and Ar, is significant to determine low and high grade astrocytoma with sensitivity up to 90,9% and specificity up to 87,5%.
Conclusion: MRI and ADC has high sensitivity and specificity to determine low and high grade astrocytoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfikha Handayani
"Latar belakang: Angka ketahanan hidup 5 tahun pasien keganasan ovarium rendah, karena >70% kasus terlambat didiagnosis. Skor Gatot Purwoto merupakan metode prediksi keganasan ovarium pra-bedah. Terdapat rentang yang berbeda cukup jauh antara nilai diagnostik Gatot Purnomo dari beberapa penelitian. Pada aplikasinya penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto (GP) < 4 (rendah) masih terdapat kecurigaan adanya keganasan ovarium sehingga masih dilakukan prosedur potong beku sebagai alat diagnostik intrabedah.
Tujuan: Untuk mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif prosedur potong beku yang dilakukan pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto ≤ 4 dan untuk mengetahui peningkatan nilai diagnostik antara prosedur potong beku dibandingkan dengan skor gatot purwoto pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto ≤ 4
Metode: Uji ini adalah uji diagnostik dengan desain potong lintang. Pasien tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto (GP) < 4 yang dilakukan prosedur potong beku di RSCM selama periode Juli 2008 – Juli 2013 diikutsertakan dalam penelitian ini. Data diambil secara konsekutif dari rekam medik, kemudian dianalisis secara manual dengan menggunakan tabel 2x2 dan rumus parameter diagnostik. Kami menganalisis nilai diagnostik potong beku dibandingkan dengan baku emas yaitu blok parafin. Kemudian kami melihat adakah peningkatan nilai diagnostik prediksi keganasan ovarium jika hanya dilakukan skor GP saja dan jika dilakukan skor GP disertai dengan potong beku
Hasil: Dari 160 orang subyek penelitian didapatkan prosedur potong beku memiliki akurasi yang cukup baik dalam mendiagnosis keganasan ovarium yaitu 78,5%. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi prosedur potong beku pada penelitian ini berturut turut adalah 84,3%, 92,9%, 75%, 95,9% dan 85,5%. Selain itu prosedur potong beku pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi GP ≤4 secara bermakna memberikan manfaat dalam mendiagnosis keganasan ovarium yaitu meningkatkan nilai diagnostik sebesar 15,9% dibandingkan hanya menggunakan skor GP saja tanpa potong beku.
Kesimpulan: Prosedur potong beku memiliki nilai diagnostik yang baik dan masih memberikan manfaat dalam mendiagnosis tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi GP < 4. Skor prediksi GP memberikan nilai diagnostik yang cukup rendah untuk memprediksi keganasan ovarium, sehingga perlu dilakukan perbaikan sistem penilaian prediksi keganasan ovarium.

Background: The 5-year survival rate of patients with ovarian cancer is low, because over 70% of cases are diagnosed in a late stage. Gatot Purwoto score is a method to predict ovarian malignancy prior to surgery. There is a variabel range on the diagnostic values of Gatot Purwoto (GP) score from several studies. In its application, patients with GP prediction score < 4 (low) still has a suspicion for ovarian malignancy, therefore frozen section is still performed as an intraoperative diagnostik tool.
Aim: To obtain the sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of frozen section performed in patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4 and to discover the increase of diagnotic value of frozen section compared to GP score in patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4.
Methods: This is a diagnostic study with cross sectional design. Patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4 who underwent frozen section in RSCM from July 2008 – July 2013 were included in this study. Data were obtained consecutively from medical records, then analyzed manually with 2x2 tables and diagnostik parameter formula. We analyzed frozen section compared to the gold standard (paraffin block). Then we observed if there was an increase of diagnostic value of predicting ovarian malignancy with GP score alone or GP score combined with frozen section.
Result: We obtained 160 subjects. Frozen section had an overall good accuracy in predicting ovarian malignancy (78.5). The sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of frozen section are 84,3%, 92,9%, 75%, 95,9% and 85,5%, respectively. Frozen section also increased the diagnostic value as much as 15,9% compared to GP score alone without frozen section.
Conclusion: Frozen section had a good diagnostic value and is still useful in diagnosing suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4. GP prediction score has a quite low diagnostic value in predicting ovarian malignancy, therefore an improved system to predict ovarian malignancy is needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Fadhlina Muharmi
"ABSTRAK
Latar belakang: Tumor sel germinal ovarium maligna (TSGOM) yang gagal sembuh dengan penatalaksanaan konvensional memiliki prognosis buruk. Beberapa kejadian rekuren setelah kemoterapi juga ditemukan. Programmed Death Ligand-1 (PD-L1) terekspresi pada berbagai keganasan dan tumor infiltrating lymphocytes (TILs) serta telah diketahui perannya sebagai faktor prognostik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran ekspresi PD-L1 pada TSGOM dalam menentukan overall survival (OS) dan progression free survival (PFS).
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan desain analisis kesintasan. Data klinis diambil dari rekam medis RSUPN Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2010-Desember 2016 yang diobservasi selama 2 tahun. Data histopatologik diambil dari Departemen Patologi Anatomi RSUPN Cipto Mangunkusumo yang kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia PD-L1.
Hasil: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi PD-L1 pada sel tumor dan TILs dengan 2-year OS (p=0,275) dan PFS (p=0,421) pada TSGOM. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis histopatologik dengan 2-year OS (p=0,002) serta stadium pada 2-year OS (p=0,028) dan PFS (p=0,014).
Kesimpulan: OS dan PFS tidak berhubungan dengan ekspresi PD-L1 pada sel tumor dan TILs pada TSGOM.

ABSTRACT
Background: The prognosis of malignant ovarian germ cell tumors (MOGCT) patients who failed to be cured with conventional therapy is poor. Several recurrent events after chemotherapy were also found. PD-L1 is expressed in various types of malignancy and tumor infiltrating lymphocytes (TILs) and its role is known as a prognostic factor. This study was conducted to determine the role of PD-L1 expression in MOGCT in determining overall survival (OS) and progression free survival (PFS).
Materials and Methods: This is a retrospective cohort study with survival analysis. Clinical data were obtained from medical record in RSUPN Cipto Mangunkusumo since January 2010-December 2016 and observed for 2 years. Histopathological data were obtained from Anatomical Pathology Department and PD-L1 immunohistochemistry staining were performed.
Results: No significant correlation between PD-L1 expression in tumor cells and TILs with 2-year OS (p=0,275) and PFS (p=0,421) in MOGCT. A significant correlation between histopathologic type and 2-year OS (p=0,002) was found. We also found significant correlations between stage and survival outcomes 2-year OS (p=0,028) and PFS (p=0,014).
Conclusion: OS and PFS were not significantly correlated with PD-L1 expression in tumor cells and TILs in MOGCT.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Familia Bella Rahadiati
"ABSTRAK Karsinoma ovarium adalah salah satu keganasan paling mematikan di bidang ginekologik. Penyebab keganasan belum diketahui pasti dan umumnya tidak memiliki gejala klinik yang jelas. Karsinoma ovarium tipe I khususnya karsinoma endometrioid dan karsinoma sel jernih diketahui dapat berasal dari endometriosis. Karsinoma yang berasal dari endometriosis dikenal sebagai endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). Pengembangan model hewan coba karsinoma ovarium yang berhubungan dengan endometriosis diperlukan untuk penelitian dasar dan uji klinik menggantikan jaringan manusia. Pada penelitian ini dikembangkan model hewan coba karsinoma ovarium dengan teknik autoimplantasi dan induksi DMBA. Penelitian ini mengunakan blok parafin dari tikus yang sebelumnya telah mendapatkan operasi plasebo (SHAM), autoimplantasi endometrium, kombinasi autoimplantasi endometrium dan induksi DMBA yang dikorbankan pada minggu ke-5,10, dan 20. Dilakukan penilaian histopatologik dan pulasan imunohistokimia ARID1A dengan penilaian persentase positivitas pada 200 sel. Penelitian ini menghasilkan lesi endometriosis atipik sebanyak 1 (20%) dan karsinoma sel jernih sebanyak 1 (20%) pada implantasi dan induksi DMBA 10 minggu dan karsinoma endometrioid sebanyak 100% pada kelompok induksi DMBA. Pulasan ARID1A tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,313) pada seluruh kelompok perlakuan.
ABSTRACT Ovarian carcinoma is one of the most deadly malignancies in the gynecologic field. The cause of malignancy is not known for sure and generally do not have clear clinical symptoms. Type I ovarian carcinoma especially endometrioid carcinoma and clear cell carcinoma is known to originate from endometriosis. Carcinoma originating from endometriosis is known as endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). The development of experimental animal models of ovarian carcinoma associated with endometriosis is needed for basic research and clinical trials replace human tissue. In this study an experimental model of ovarian carcinoma was developed with autoimplantation and DMBA induction techniques.This study used paraffin blocks from mice that had previously received placebo surgery (SHAM), endometrial autoimplantation, combination of endometrial autoimplantation and DMBA induction and were sacrificed at 5,10 and 20 weeks. Assessment of ARID1A expression by assessing the percentage of positivity in 200 cells.This study resulted in 1 (20%) atypical endometriosis lesions and 1 (20%) clear cell carcinoma in 10 weeks DMBA implantation and 100% endometrioid carcinoma in the DMBA induction group. ARID1A ekspression did not show a significant difference (p = 0.313) in all treatment groups.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Merinda
"Latar belakang: Kombinasi Handheld Ultrasonography (HHUS) dan Color Doppler Ultrasonography (CDUS) memberikan informasi morfologis dan vaskularisasi lesi, sehingga mampu meningkatkan nilai diagnostik. Modalitas pencitraan baru Automated Breast Ultrasound (ABUS) memiliki keunggulan yaitu akuisisi gambar otomatis, tidak bergantung operator serta waktu penggunaannya lebih singkat dan dilakukan dalam satu kali pemeriksaan. Saat ini ABUS belum banyak digunakan di Rumah Sakit seluruh Indonesia dan penelitian mengenai ABUS masih terbatas. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai ABUS terhadap metode lain yang lebih obyektif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian antara kombinasi HHUS dan CDUS dengan ABUS terhadap hasil patologi anatomi (PA) lesi payudara. Metode: Dilakukan pemeriksaan kombinasi HHUS dan CDUS menggunakan transduser linear 7-12 MHz ultrasonografi GE tipe Logic S8, kemudian dilakukan pemeriksaan ABUS menggunakan transduser konkaf linear 6-12 MHz ABUS GE tipe Invenia. Seluruh pemeriksaan dilakukan sendiri oleh peneliti di Departemen Radiologi RSCM, kemudian dikonfirmasi oleh dokter spesialis radiologi konsultan payudara yakni pembimbing penelitian sebelum pendataan hasil penelitian. Seluruh sampel penelitian telah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi. Kesesuaian hasil pemeriksaan kombinasi HHUS dan CDUS dengan ABUS dianalisis menggunakan uji Mc Nemar. Hasil: Pada penelitian ini, diperoleh 25 sampel lesi payudara dari 22 subyek (rentang usia 35-62 tahun; rerata ± SD usia 46,8 ± 8,3 tahun). Kesesuaian hasil pemeriksaan kombinasi HHUS dan CDUS dengan ABUS didapatkan kesesuaian kuat antara kedua modalitas untuk membedakan lesi jinak, indeterminate, dan ganas dengan nilai Kappa Cohen R 0,870 (p 0,001). Hasil kesesuaian kombinasi HHUS dan CDUS terhadap PA lesi payudara memiliki nilai p 0,082 dan Kappa Cohen R 0,421 (p 0,001) sedangkan hasil kesesuaian ABUS terhadap PA lesi payudara memiliki nilai p 0,189 dan Kappa Cohen R 0,356 (p 0,01). Simpulan: kombinasi HHUS dan CDUS memiliki kesesuaian sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ABUS terhadap hasil pemeriksaan PA dalam menilai lesi payudara jinak, indeterminate dan ganas. Kombinasi pemeriksaan HHUS dan CDUS terhadap pemeriksaan PA memiliki kesesuaian sedang (moderate agreement). Sedangkan pemeriksaan ABUS terhadap pemeriksaan PA memiliki kesesuaian lemah (fair agreement) dalam menilai lesi payudara. Kombinasi pemeriksaan HHUS dan CDUS terhadap ABUS dan HHUS terhadap ABUS memiliki kesesuaian kuat (almost perfect agreement) dalam menilai lesi payudara.

Background: Combinations of Handheld Ultrasonography (HHUS) and Color Doppler Ultrasonography (CDUS) provide morphological information and vascularity of lesions, so as to increase diagnostic values. The new imaging modalities of Automated Breast Ultrasound (ABUS) have the advantage of automatic image acquisition, no operator dependence and the examination time is shorter. At present ABUS is not widely used in hospitals throughout Indonesia and research on ABUS is still limited. So it is necessary to do research on ABUS on other methods that are more objective. Objective: This study aimed to assess the suitability between the combination of HHUS and CDUS with ABUS on the results of Pathological Anatomy (PA) of breast lesions. Methods: A combination of HHUS and CDUS was examined using linear transducer 7-12 MHz GE ultrasonography Logic type S8, then ABUS was examined using a 6-12 MHz linear concave transducer GE Invenia ABUS type. All examinations were carried out by the researchers in the Radiology Department of the RSCM, then confirmed by the radiology specialist breast consultant before the data collection. All research samples have been examined for anatomical pathology. The suitability of the HHUS and CDUS combination results with ABUS was analyzed using the Mc Nemar test. Results: In this study, 25 samples of breast lesions were obtained from 22 subjects (age range 35-62 years; mean ± SD age 46.8 ± 8.3 years). The suitability of the results of the combination of HHUS and CDUS with ABUS found a strong match between the two modalities to distinguish benign, indeterminate, and malignant lesions with Kappa values 0.870 (p 0.001). The results of the suitability of the combination of HHUS and CDUS on PA breast lesions have Kappa values 0.421 (p 0.001) whereas the results of ABUS conformity to PA breast lesions have Kappa values 0.356 (p 0.01). Conclusion: The combination of HHUS and CDUS examination against PA examination has moderate agreement while the ABUS examination of PA examination has fair agreement in breast assessment. The combination of examining HHUS and CDUS against ABUS and HHUS against ABUS has a almost perfect agreement in assessing breast lesions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ayu Woro Setyaningrum
"Adrenomedulin merupakan peptida dengan berbagai aktivitas biologi baik pada keadaan fisiologis maupun pada keganasan. Pada keganasan adrenomedulin berperan sebagai faktor stimulasi proliferasi, menghambat apoptosis, serta menginduksi angiogenesis. Ekspresi adrenomedulin terutama dipengaruhi oleh hipoksia sehingga adrenomedulin banyak ditemukan pada berbagai tumor solid. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ekspresi Adrenomedulin jaringan karsinoma payudara invasif NST baik yang metastasis dan non-metastasis, serta dilihat hubungan adrenomedulin dengan jumlah mitosis dan apoptosis yang dilakukan dengan memeriksa ekspresi Caspase-3.
Metode penelitian: pada 50 kasus karsinoma payudara invasif NST dengan 25 sampel non-metastasis (N0) dan 25 sampel sisanya adalah sampel metastasis (N1) dilakukan pemeriksaan ekspresi adrenomedulin dan Caspase-3 dengan pulasan imunohistokimia, serta jumlah mitosis dengan pulasan HE.
Hasil : ada perbedaan bermakna ekspresi Adrenomedulin pada jaringan karsinoma payudara invasif NST metastasis dengan non-metastasis (p=0,002) dan terdapat korelasi (koefisien korelasi Spearman 0, 490) antara ekspresi adrenomedulin dengan metastasis, ada perbedaan bermakna ekspresi Caspase-3 pada jaringan karsinoma payudara invasif NST metastasis dengan non-metastasis (p=0,038) dan ada korelasi (koefisien korelasi Spearman 0, 327) antara ekspresi Caspase-3 dengan metastasis, namun tidak ada perbedaan bermakna jumlah mitosis pada jaringan karsinoma payudara invasif NST metastasis dengan non-metastasis (p=0,004) dan tidak ditemukan korelasi (koefisien korelasi Spearman 0,188) antara mitosis dengan metastasis, tidak ada perbedaan bermakna antara ekspresi adrenomedulin dengan ekspresi Caspase-3 (p=0,697) maupun dengan mitosis (p=0,711) pada jaringan karsinoma payudara invasif NST metastasis dengan non-metastasis.

Adrenomedullin is a peptide hormone with many biological activities either in physiological conditions or malignancy. Adrenomedullin in malignancy acts as a factor in stimulating proliferation, inhibiting apoptosis, and induces angiogenesis. Its secretion is influenced by hypoxia condition and cytokine secretion. Adrenomedullin is found in variety of solid tumors. The purpose of this study was to analyze the expression of adrenomedullin in invasive carcinoma NST of the breast tissue both metastatic and non-metastatic, and its relations with mitosis count and apoptosis.
Methods: in 50 cases of invasive carcinoma NST of the breast with 25 samples of non-metastatic (N0) and 25 metastastic (N1) samples were examined for the expression of adrenomedullin and Caspase-3 that investigated by immunohistochemistry staining, and mitosis count by HE staining. Apoptosis was investigated by the expression of caspase-3.
Results: There is significance differences of Adrenomedullin expression in breast invasive cancer NST tissue with metastasis compare to non-metastasis (p = 0.002) and correlation between the expression of adrenomedullin with metastasis to regional lymph node (Spearman coefficient correlation 0.490), there is significance differences of Caspase-3 expression in breast invasive cancer NST tissue with metastasis compare to non-metastasis (p = 0.038) and there is correlation between the expression of Caspase-3 with metastasis to regional lymph node (Spearman coefficient correlation 0.327), but there isn‟t significance differences in mitosis count between metastasis and non-metastasis (p = 0.906), there is no correlation between the expression of adrenomedullin and the expression of Caspase-3 (Spearman coefficient correlation 0.089) and mitosis (Spearman coefficient correlation 0.099).
Conclusion: adrenomedullin expression are found correlate to metastasis to the lymph nodes in breast cancer invasive NST, but there were no correlation with mitosis and apoptosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Familia Bella Rahadiati
"Latar belakang: Karsinoma ovarium adalah salah satu keganasan paling mematikan di bidang ginekologik. Penyebab keganasan belum diketahui pasti dan umumnya tidak memiliki gejala klinik yang jelas. Karsinoma ovarium tipe I khususnya karsinoma endometrioid dan karsinoma sel jernih diketahui dapat berasal dari endometriosis. Karsinoma yang berasal dari endometriosis dikenal sebagai endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). Pengembangan model hewan coba karsinoma ovarium yang berhubungan dengan endometriosis diperlukan untuk penelitian dasar dan uji klinik menggantikan jaringan manusia. Pada penelitian ini dikembangkan model hewan coba karsinoma ovarium dengan teknik autoimplantasi dan induksi DMBA.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini mengunakan blok parafin dari tikusyang sebelumnya telah mendapatkan operasiplasebo (SHAM), autoimplantasi endometrium, kombinasi autoimplantasi endometrium dan induksi DMBAyangdikorbankan pada minggu ke-5,10, dan 20. Dilakukan penilaian histopatologik dan pulasan imunohistokimia ARID1A dengan penilaian persentase positivitas pada 200 sel.
Hasil: Penelitian ini menghasilkan lesi endometriosis atipik sebanyak 1 (20%) dan karsinoma sel jernih sebanyak 1 (20%)pada implantasi dan induksi DMBA 10 minggu dan karsinoma endometrioidsebanyak 100% pada kelompok induksi DMBA. Pulasan ARID1A tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,313) pada seluruh kelompok perlakuan.

Background: Ovarian carcinoma is one of the most deadly malignancies in the gynecologic field. The cause of malignancy is not known for sure and generally do not have clear clinical symptoms. Type I ovarian carcinoma especially endometrioid carcinoma and clear cell carcinoma is known to originate from endometriosis. Carcinoma originating from endometriosis is known as endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). The development of experimental animal models of ovarian carcinoma associated with endometriosis is needed for basic research and clinical trials replace human tissue. In this study an experimental model of ovarian carcinoma was developed with autoimplantation and DMBA induction techniques.
Materials and methods: This study used paraffin blocks from mice that had previously received placebo surgery (SHAM), endometrial autoimplantation, combination of endometrial autoimplantation and DMBA induction and were sacrificed at 5,10 and 20 weeks. Assessment of ARID1A expression by assessing the percentage of positivity in 200 cells.
Results: This study resulted in 1 (20%) atypical endometriosis lesions and 1 (20%) clear cell carcinoma in 10 weeks DMBA implantation and 100% endometrioid carcinoma in the DMBA induction group. ARID1A ekspression did not show a significant difference (p = 0.313) in all treatment groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florinda Ilona
"ABSTRAK
Latar belakang: Frekuensi tumor ovarium serosum ganas menempati urutan tertinggi dari seluruh keganasan ovarium di dunia barat 80-85 , sesuai dengan arsip Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia FKUI /Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM selama 10 tahun 2004-2013 , sebanyak 200 kasus 21,4 dari seluruh keganasan ovarium. GLUT-1 dapat digunakan sebagai penanda perangai biologik tumor ovarium serosum. Tujuan penelitian ini membandingkan ekspresi GLUT-1 pada tumor ovarium serosum borderline dan ganas serta faktor risiko.Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri atas 17 kasus untuk masing masing kelompok tumor ovarium serosum borderline dan ganas. Dilakukan pulasan GLUT-1 dengan penilaian berdasarkan intensitas dan jumlah sitoplasma dan/atau membran sel yang terpulas. Dilakukan penghitungan histoscore dan persentase setiap kasus dan dinilai ekspresi GLUT-1 berdasarkan titik potong kemudian dikelompokkan menjadi ekspresi rendah dan tinggi.Hasil: Pulasan GLUT-1 ekspresi rendah sama banyak dengan ekspresi tinggi. Sebagian besar kelompok tumor ovarium serosum borderline menunjukkan ekspresi rendah. Kelompok tumor ovarium serosum ganas sebagian besar menunjukkan ekspresi tinggi. Perbedaan ekspresi GLUT-1 antara tumor ovarium serosum borderline dan ganas, secara statistik bermakna p ABSTRACT
Background : The frequency of serous malignant tumors of ovary occupies the highest order of all ovarian malignancies in the western world 80-85 , in accordance with Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine University of Indonesia / Cipto Mangunkusumo hospital datas, for 10 years 2004-2013 , as many as 200 cases 21.4 of all ovarian malignancies. GLUT-1 can be used as a marker in differentiating biological behaviour of serous ovarian tumor. The aim of the study was to compare expression of GLUT-1 in serous borderline and malignant tumours of the ovary. Methods : This was cross-sectional study. Sample consists of 17 cases for each group, serous borderline and malignant tumor of ovary, stained with GLUT-1 antibody. Quantification was based on the intensity and distribution of cytoplasm and/or cell membrane. The appraisal was done with estimating histoscore and percentage of each case. Calculation result was assessed by GLUT-1 expression, based on the point of intersection and then grouped into low and high expression.Result : The GLUT-1 low expression results are equal with high expression. Low grade expression found in majority cases of serous borderline ovarian tumors group. Groups of serous malignant ovarian tumors largely exhibit high expression. These differences in Glut-1 expression among the borderline and malignant cases, are statistically significant p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisna Novika
"Latar belakang: Histeroskopi office merupakan sebuah alat penunjang
diagnostik terbaru yang makin marak digunakan dalam praktik sehari-hari.
Penggunaan alat ini memudahkan penegakkan diagnosis dan tatalaksana kasus
perdarahan uterus abnormal. Namun, sering kali ditemukan perbedaan interpretasi
temuan histeroskopi sehingga diperlukan keseragaman kriteria penilaian. Saat ini
telah dikenal sebuah sistem skoring temuan histeroskopi yang dikenal sebagai
skor hysteroscopy cancer (HYCA) untuk evaluasi patologi pada kasus perdarahan
uterus abnormal, terutama kasus keganasan endometrium.
Tujuan: (1) Mengetahui akurasi Skor HYCA sebagai metode skrining adanya
kanker endometrium pada perdarahan uterus abnormal. (2) Mengetahui
kesesuaian inter dan intraobserver dalam penilaian Skor HYCA pada evaluasi
perdarahan uterus abnormal menggunakan histeroskopi office.
Metode: Desain observasional cross sectional. Peneliti membandingkan skoring
HYCA dengan hasil histopatologi untuk menilai keakuratan skor dalam skrining
kasus karsinoma endometrium. Dilakukan uji kesesuaian intra dan inter observer
dalam menentukan skor HYCA dari rekaman video histeroskopi.
Hasil : Rekaman 87 video histeroskopi dengan 4 video dieksklusi karena tidak
dapat dinilai. Penelitian ini tidak terdapat pasien false negative, 18 pasien false
positive, dan sebelas kasus keganasan endometrium. Pasien dengan keganasan
memiliki median usia 57 tahun sesuai usia pasca menopause. Subjek dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu pasaien dengan keganasan dan bukan keganasan
endometrium. Body mass index (BMI) pasien tidak berbeda secara bermakna pada
kedua kelompok yaitu BMI 25 kg/m2 pada pasien keganasan endometrium dan
IMT 24 kg/m2 pada kasus bukan keganasan. Nilai kesesuaian (Kappa)
intraobserver A 0.824 dan observer B 0.837. Nilai kesesuaian interobserver 0.732.
Sensitivitas 100%, spesifitas 75 %, akurasi 78.31% dan tingkat kesesuaian
terhadap hasil patologi dengan nilai Kappa 0.44.
Kesimpulan: Metode penapisan menggunakan skoring HYCA memiliki nilai
sensitivitas yang tinggi. Angka spesifitas yang rendah ini menunjukkan skoring
HYCA ini tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnostik.

Background: Office hysteroscopy is one of the most frequent diagnostic tool
used in diagnosing and treating women with abnormal uterine bleeding.
Unfortunately, we often found interpretation findings variability that should be
standardized. Therefore there is scoring system, known as HYCA score, to
evaluate pathology findings in abnormal uterine bleeding, especially in
endometrial malignancy.
Aim: (1) To determine the accuracy of the HYCA score as a method of screening
for endometrial cancer in abnormal uterine bleeding. (2) To determine the inter
and intra-observer suitability in the HYCA Score assessment in the evaluation of
continued abnormal bleeding using hysteroscopic office.
Method: Observational cross sectional study. We compared the results of HYCA
score to histopathological findings to assess the accuracy of HYCA scores for
screening tool in endometrial carcinoma. Intra and inter-observer suitability tests
carried out for HYCA score assessment from hysteroscopy video recordings.
Result: There were 87 hysteroscopy video recordings from (bulan) to (bulan), 4
videos were excluded due to low quality videos. In this study, there weren't any
patients assessed as false negative, 18 patients were assessed as false positive and
11 patients were having endometrial malignancy. Median age was 57 years old,
corresponded to menopausal ages. Subjects than divided to malignant and non
malignant cases. Body mass index wes not significantly different between two
groups, 25 kg/m2 iand 24 kg/m2 respectively. The intraobserver (Kappa)
suitability value for observer A was 0.824 and B was 0.837. The interobserver
compatibility value is 0.732. Sensitivity was 100%, specificity was 75%,
accuration value was 78.31% and level of conformity to histopathology with
Kappa value was 0.44.
Conclusion : High sensitivity finding showed HYCA score as a good screening
tool rather than diagnostic tool showed by poor spesificity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>