Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Istisakinah
"Konsekuensi hemodinamik defek septum atrium sekundum (DSAS) salah satunya adalah hipertensi arterial pulmonal (HAP), yang merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas pascaoperasi. Indeks resistensi vaskular paru (IRVP) merupakan salah satu parameter operabilitas DSAS-HAP. Nilai IRVP < 4 WU.m2(IRVP rendah) dikatakan aman untuk dilakukan penutupan, sedangkan IRVP 4 WU.m2(borderline) berada di area abu-abu dimana mungkin sudah terjadi penyakit vaskular paru. Belum terdapat studi yang membandingkan luaran klinis pasca operasi kedua kelompok IRVP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan IRVP preoperasi terhadap mortalitas dan morbiditas perioperatif pascaoperasi DSAS-HAP. Studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien DSAS-HAP usia 18 tahun yang menjalani operasi penutupan defek. Analisis akhir dilakukan pada 183 pasien (92 kelompok IRVP borderline dan 91 kelompok IRVP rendah). Mayoritas berjenis kelamin perempuan (83,6%) dengan median usia 37 (18-64) tahun. Median IRVP preoperasi adalah 4,3 (0,4-13,5) WU.m2. Nilai IRVP borderline tidak meningkatkan risiko mortalitas pascaoperasi (p = 0,621; OR 0,48, 95% IK 0,04-5,48), namun meningkatkan risiko morbiditas keseluruhan (p= 0,002;  OR 3,28, 95% IK 1,5-6,72). Analisis multivariat memperlihatkan hubungan IRVP borderline (p=0,045; OR 2,63, 95% IK 1,02-6,77) dan tricuspid valve gradient (TVG) preoperasi 64 mmHg (p=0,034; OR 2,77, 95% IK 1,08-7,13) dengan kejadian morbiditas intraperawatan. Tidak terdapat perbedaan kejadian mortalitas pascaoperasi intraperawatan antara pasien IRVP borderline preoperasi dengan IRVP rendah. Nilai IRVP borderline preoperasi dan TVG berkaitan dengan peningkatan morbiditas intraperawatan.

One of hemodynamic consequences of secundum atriap septal defect (ASD) is pulmonary arterial hypertension (HAP), which is a predictor of postoperative morbidity and mortality. Pulmonary vascular resistance index (PVRI) is one of operability parameter for SASD with HAP. Pulmonary vascular resistance index < 4 WU.m2(low PVRI) is said to be safe for closure, while PVRI 4 WU.m2(borderline) is in the gray zone where pulmonary vascular disease may have occurred. Studies comparing clinical outcomes of these PVRI group in secundum ASD with HAP do not yet available. This study aims to determine the impact of preoperative PVRI on perioperative morbidity and mortality after surgical closure of secundum ASD with HAP. This study is a retrospective cohort study in secudum ASD with HAP patients age 18 years old undergoing surgical closure. A total of 183 patients were analyzed (92 borderline PVRI group and 91 low PVRI group). Majority of patient is female (83,6%) with median age 37 (18-64) years old. Median preoperative PVRI is 4,3 (0,4-13,5) WU.m2. Borderline PVRI was not associated with increase risk of postoperative mortality (p = 0,621; OR 0,48, 95% CI 0,04-5,48),but increase the risk of overall morbidity in bivariate analysis (p= 0,002;  OR 3,28, 95% CI 1,5-6,72). Multivariate analysis showed the association of PVRI borderline (p=0,045; OR 2,63, 95% CI 1,02-6,77) and preoperative tricuspid valve gradient (TVG) 64 mmHg (p=0,034; OR 2,77, 95% CI 1,08-7,13) with overall morbidity. There was no difference in the incidence of inhospital mortality between preoperative borderline PVRI patients compared to low PVRI patients. Preoperative borderline PVRI and TVG are associated with increase inhospital morbidity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dexanda Pravian
"ABSTRAK
Latar belakang: External Counter Pulsation (ECP) dapat diaplikasikan sebagai pilihan terapi pada pasien dengan angina refrakter yang tidak adekuat dikendalikan dengan terapi medis, angioplasti perkutan (IPK) ataupun bedah pintas arteri koroner (BPAK). Hasil bervariasi masih diperoleh pada perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien yang menjalani ECP. Metode 2D-Speckle Tracking Echocardiography (2D-STE) dianggap lebih unggul menilai perbaikan klinis, namun hingga kini belum ada penelitian yang mengevaluasi mekanikal ventrikel kiri dengan menggunakan 2D-STE pada pasien yang menjalani protokol standar ECP (35 sesi).
Tujuan: Mengetahui perubahan mekanik ventrikel kiri sesudah dilakukan 35 protokol standar ECP dibandingkan dengan kontrol/sham pada pasien angina refrakter yang tidak ideal menjalani revaskularisasi konvensional (IPK/BPAK).
Metode: Pasien dengan angina refrakter yang tidak dapat dilakukan revaskularisasi lebih lanjut secara konvensional (IPK/BPAK) dirandomisasi menjadi 2 kelompok: kelompok terapi standar ECP (300 mmHg) dan kelompok placebo/sham (75 mmHg). Terapi standar ECP diberikan selama 35 sesi, durasi 1 jam/hari/sesi, selama 5 hari/minggu, selama 7 minggu. Data 2D-STE mencakup strain longitudinal dan post systolic index (PSI) diambil sebelum dan sesudah terapi (dengan double-blind).
Hasil: Terdapat 46 subjek ikut serta dalam penelitian dan tidak ada subjek yang mengalami drop-out. Tiga pasien dieksklusi karena kualitas ekokardiografi sub-optimal. Dua puluh dua subjek disertakan dalam Grup Terapi ECP dan 21 subjek dalam Grup Kontrol (sham). Karakteristik dasar strain homogen sebelum dilakukan perlakuan baik secara global (Grup Terapi 12,42±4,55 vs Grup Sham 12,00±4,92; p 0,774) maupun secara segmental/regional (Grup Terapi 12,63 (0,01-25,16) vs Grup Sham 12,43 (0,01-27,20); p 0,570). Setelah perlakuan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik antar kelompok pada parameter mekanik ventrikel kiri baik secara global (p 0,535) maupun regional (p 0,434). Parameter PSI mengalami perbaikan pada grup Terapi (p 0,049) dan segmen dengan PSI≥20% cenderung mengalami perbaikan strain longitudinal pada grup Terapi dibanding grup Sham (p 0,042).
Kesimpulan: Terapi ECP sebanyak 35 sesi tidak memberikan perbaikan mekanik ventrikel kiri secara global maupun regional/segmental pada pasien angina refrakter yang tidak ideal menjalani revaskularisasi konvensional (IPK/BPAK) dibanding sham.

ABSTRACT
Background: External Counterpulsation (ECP) can be applied as a therapeutic option in patients with debilitating refractory angina inadequately controlled by medical therapy, percutaneous angioplasty (PCI), or coronary artery bypass surgery (CABG). Varied results are still obtained in the improvement of the left ventricular ejection fraction in patients undergoing ECP. The 2D-Speckle Tracking Echocardiography (2D-STE) method is considered superior in assessing clinical improvement, but there has been no study evaluating mechanical parameters of the left ventricle using 2D-STE in patients undergoing the standard ECP protocol (35 sessions).
Objective: To determine the effect of ECP on left ventricular mechanical parameters changes after performing 35 ECP standard protocols compared with sham (control) in patients with refractory angina who are not ideal for conventional revascularization (PCI/CABG).
Methods: We conducted a double-blind randomized control trial. Patients with refractory angina who could not be further revascularized conventionally (PCI/CABG) were randomized into 2 groups: the ECP group (300 mmHg) and the Sham group (75 mmHg). ECP standard therapy was given for 35 sessions, duration of 1 hour/day/session, for 5 days/week, for 7 weeks. 2D-STE data including strain and post systolic index (PSI) were obtained before and after therapy.
Results: There were 46 subjects included in the study without any drop-out. Three patients were excluded due to suboptimal echocardiographic images. Twenty-two subjects were included in the ECP group and 21 subjects into the sham group. A homogenous baseline strain was found either globally (ECP group 12.42 ± 4.55 vs Sham group 12.00±4.92; P=0.774) or segmentally/regionally (ECP group 12.63 (0.01-25.16) vs the Sham group 12.43 (0.01-27.20); P=0.570). After treatment, there was no statistically significant improvement between groups in the mechanical function of the left ventricle both globally (P=0.535) or regionally/segmentally (P=0.434). There were improvements in the PSI parameters found in the ECP group (P=0.049) and segments with PSI ≥20% tended to improve longitudinal strains in the Therapy group compared to the Sham group (p 0.042).
Conclusion: 35 sessions of ECP therapy did not improve the global nor regional/segmental left ventricular mechanical parameters in patients with refractory angina who were not ideally suited for conventional revascularization (PCI/CABG) compared to Sham."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yusuf Fathoni
"Latar Belakang: Variabilitas Tekanan Darah (VTD) didefinisikan sebagai rerata variasi tekanan darah sepanjang hari dikur dengan Pemeriksaan Tekanan Darah Ambulatori (PTDA). VTD yang berlebihan berpotensi memicu kejadian kardiovaskular terutama pada pasien kardiovaskular dengan resiko tinggi. VTD jangka pendek digunakan sebagai stratifikasi resiko namun masih terdapat ketidak jelasan VTD manakah yang lebih bermakna untuk melihat luaran kariovaskular terutama pada pasien hipertensi dengan penyakit kardiovaskular
Tujuan: Mengetahui hubungan VTD dengan luaran kardiovaskular pada populasi hipertensi dengan penyakit kardiovaskular yang melakukan pemeriksaan PTDA di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Metode: Sebuah penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian hipertensi dengan penyakit kardiovaskular yang melakukan PTDA
Hasil: Dari total 197 subjek yang memenuhi kriteria inklusi terdapat hipertensi sustained sebesar 139 (70,6%). VTD berupa riser sebesar (30.5%), non-dipper (43.1%), dipper (23.9%) dan extreme dipper (2%). Sedangkan untuk lonjakan tekanan darah pagi hari didapatkan sebanyak (50.8%). Selama pemantauan terjadi luaran kardiovaskular sebesar 16,2%. Analisis multivariat menggunakan cox regression menunjukan bahwa variabilitas tekanan darah tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap luaran kardiovaskular
Kesimpulan: Variabilitas tekanan darah berupa penurunan tekanan darah malam hari, lonjakan tekanan darah pagi hari dan weighted Standard deviation tidak berhubungan degan luaran kardiovaskular pada pengamatan minimal 1 tahun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risca Rini Aryanti
"Latar Belakang: COVID-19 di Indonesia menyebabkan kematian hingga lebih dari 150.000 orang. Salah satu populasi yang mengalami dampak dengan risiko kematian yang tinggi adalah populasi penyakit kardiovaskular. Severitas COVID-19 sering dikaitkan dengan rendahnya rasio PaO2/FiO2 dan tingginya kadar D-dimer. COVID-19 varian Omicron diketahui memiliki angka penyebaran yang lebih tinggi dengan severitas infeksi yang lebih rendah dibandingkan varian sebelumnya. Namun dampak jangka panjang pada pasien COVID-19 varian Omicron, khususnya pada populasi pasien dengan penyakit kardiovaskular masih menjadi pertanyaan. Penelitian ini ingin mengetahui dampak pasca COVID-19 varian Omicron dengan melihat kadar ST2 terlarut dan adanya gangguan paru yang dinilai dengan pemeriksaan spirometri.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan Rasio PaO2/FiO2 dan Kadar D-dimer pada saat admisi terhadap kadar ST2 terlarut dan gambaran spirometri pada pasien pasca COVID-19 varian Omicron dengan penyakit kardiovaskular. Metode: Penelitian berupa studi potong lintang terhadap pasien COVID-19 varian Omicron dengan riwayat komorbid penyakit kardiovaskular yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Diagnosis COVID-19 varian Omicron dilakukan dengan menggunakan metode WGS/SGTF. Pasien dengan kriteria inklusi menjalani pemeriksaan spirometri dan pengukuran kadar ST2 terlarut pada 6 bulan pasca perawatan.
Hasil dan Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan rasio PaO2/FiO2 dengan median 454 dan kadar D-dimer 790ng/mL. Mayoritas pasien menunjukkan gambaran gangguan resktriktif. Kadar ST2 terlarut pasca perawatan memiliki median 2716,8pg/mL. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D-Dimer terhadap kadar ST2 terlarut maupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19. Hal ini dapat dikaitkan dengan severitas COVID-19 yang lebih rendah sehingga tidak terdapat hubungan bermakna terhadap parameter admisi serta hubungan pengukuran 6 bulan pasca COVID-19 dengan kemungkinan adanya perbaikan fibrosis.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara rasio PaO2/FiO2 dan kadar D- Dimer terhadap kadar ST2 terlarut ataupun gambaran spirometri pada 6 bulan pasca COVID-19 varian Omicron.

Introduction: COVID-19 in Indonesia has caused more than 150,000 deaths. One of the affected populations with a high risk of death is the cardiovascular disease population. The severity of COVID-19 is associated with a low of PaO2/FiO2 ratio and the increased levels of D-dimer. Omicron variant is known to have higher transmission with less severe infection than the previous variant. However, research related to long term effect post COVID-19 with Omicron variant in cardiovascular population is not yet known.
Aim: This study was conducted to determine the relationship of PaO2/FiO2 ratio and D- dimer levels at admission to sST2 levels and spirometry profile in post COVID-19 variant Omicron patient with cardiovascular disease.
Method: Research in the form of a cross-sectional study was conducted on Omicron variant COVID-19 patients with a history of comorbid cardiovascular disease who were treated at the Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital (RSJPDHK). The diagnosis of COVID-19 is carried out using the WGS/SGTF method. Patients undergo spirometry examination and measurement of sST2 levels at 6 month after hospitalization.
Results and Discussion: This study shows a PaO2/FiO2 ratio with a median of 454 with D-dimer levels 790 ng/mL. The majority of patients have a restrictive patterns. The median sST2 value in Omicron variant COVID-19 patients at 2716.8 pg/mL. There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry profile at 6 months after COVID-19 infection. This can be associated with lower COVID-19 severity so that there is no significant association with inflammatory parameters such as PaO2/FiO2 ratio and D-dimer levels, as well as the relationship between measurements 6 months post COVID-19 and the possibility of fibrosis improvement.
Conclusion: There was no significant relationship between the ratio of PaO2/FiO2 and D-Dimer levels to sST2 levels and spirometry abnormality at 6 months post COVID-19 variant Omicron.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sari Dewi
"Latar Belakang : Rasio netrofil-limfosit (NLR) sudah banyak diteliti memiliki hubungan yang erat dengan luaran penyakit kardiovaskular. Hal ini berhubungan dengan proses inflamasi yang dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsi dari jantung yang dapat dinilai dengan salah satunya fraksi ejeksi (EF). Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP memiliki resiko untuk mengalami perubahan EF yang berhubungan dengan NLR saat admisi.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR rendah dengan peningkatan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri pada pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan data dilaporkan dalam bentuk deskriptif dan analitik korelasi. Dilakukan analisa hubungan NLR admisi pasien STEMI yang mendapatkan IKPP dengan EF ≤50% yang di ambil dengan ekokardiografi selama perawatan, akan kemudian dilakukan ekokardiografi kembali pada bulan ke-3.
Hasil : Total sampel penelitian adalah 58 subjek dengan 91,4% merupakan laki-laki. Rerata nilai EF I 42% dan EF ke-2 45,9%. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan NLR <7 dan >7. Terdapat perbedaan proporsi antara kedua kelompok yang ditunjukan dengan nilai p sebesar 0,05. Subjek yang mempunyai kadar NLR >7 lebih beresiko sebesar 4,30x untuk tidak mengalami perbaikan. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perbaikan EF pada penelitian ini adalah NLR <7 dengan OR sebesar 6,56 (1,31-32,84) setelah dikontrol oleh variable lekosit dan multivesel diseases.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara NLR dengan perbaikan EF ventrikel kiri pada Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP

Background : The neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) has been widely studied to have a close relationship with cardiovascular disease outcomes. This is related to the inflammatory process that can cause structural and functional changes of the heart which can be assessed by ejection fraction (EF). STEMI patients who receive Primary PCI are at risk for experiencing changes in EF related to NLR at admission.
Objective: To determine the relationship between low NLR and increased left ventricular ejection fraction (EF) in STEMI patients who receive primary PCI.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort and the data were reported in descriptive and analytic form. An analysis of the relationship between NLR admissions for STEMI patients who received primary PCI with an EF 50% or below were carried out by echocardiography during treatment, then echocardiography was performed again in the 3rd month.
Results: The total sample of the study ware 58 subjects with 91.4% of males. The mean score for EF I was 42% and EF 2 was 45.9%. Patients were divided into 2 groups with NLR <7 and >7. There is a difference in the proportion between the two groups as indicated by a p-value of 0.05. Subjects who have NLR levels > 7 are 4,30x more at risk for not experiencing improvement. The most dominant factor influencing the improvement of EF in this study was NLR <7 with an OR of 6.56 (1.31-32.84) after being controlled by leukocyte and multivesel diseases variables.
Conclusion: There is a relationship between NLR and left ventricular EF improvement in IMA-EST patients who received PCI
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Udani Sari Ratih
"Salah satu penyakit degeneratif dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada lansia adalah penyakit jantung koroner. Bedah arteri pintas koroner merupakan intervensi bedah yang sering dilakukan untuk mengatasi arteri yang tersumbat. Radikal bebas yang terbentuk saat operasi dapat mempengaruhi hasil operasi dan berdampak terhadap lama rawat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan parameter stres oksidatif dan penuaan seluler serta kaitannya dengan lama perawatan di ICU. Penelitian ini menggunakan 27 subjek lansia yang menjalani bedah arteri pintas koroner di RS. Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Dilakukan pengambilan sampel darah pra operasi, 24 jam pasca operasi dan 4 hari pasca operasi. Pemeriksaan kadar MDA dengan metode Will’s, TSOD dan TAOC dengan metode colorimetrik, IL-1β dan IL-18 dengan metode bead-based multiplexing, SA-β-Gal dengan metode Fluorometrik. Didapatkan perbedaan yang signifikan pada pengukuran MDA dan IL-18 pada pengambilan sampel 24 jam dan 4 hari pasca operasi dibandingkan dengan kadar MDA dan IL-18 pra operasi. Didapatkan korelasi negatif antara kadar TSOD pra operasi dengan lama rawat di ICU dengan r = -0,417 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar TSOD pra operasi akan semakin singkat lama perawatan di ICU.

One of the degenerative diseases with high morbidity and mortality rates in the elderly is coronary heart disease. Coronary artery bypass surgery is a common surgical intervention to address blocked arteries. Free radicals formed during the surgery can affect the surgical outcomes and impact the length of hospital stay. This study aims to investigate changes in oxidative stress parameters and cellular aging, and their association with the length of ICU stay. The study involved 27 elderly subjects undergoing coronary artery bypass surgery at the National Cardiovascular Center Harapan Kita. Blood samples were taken pre-operatively, 24 hours postoperatively, and 4 days postoperatively. MDA levels were measured using Will's method, TSOD, and TAOC using colorimetric methods, IL-1β and IL-18 using bead-based multiplexing, and SA-β-Gal using fluorometric methods. Significant differences were found in MDA and IL-18 measurements at 24 hours and 4 days post-operatively compared to pre-operative levels. A negative correlation was found between pre-operative TSOD levels and the length of ICU stay, with r = -0.417, indicating that higher pre-operative TSOD levels are associated with a shorter ICU stay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library