Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tangkilisan, Yuda Benharry
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas upaya pelayaran dan perdagangan Amerika Serikat menerobos kebijakan merkantilistik Hindia Belanda di kepulauan Indonesia melalui diplomasi kurun waktu 1784 hingga 1855. Pelayaran Amerika Serikat ke kepulauan Indonesia bermula pada tahun 1784 dalam perjalanan menuju Kanton, Cina. Perdagangan bermula pada tahun 1786 pada saat sebuah kapal Amerika Serikat membeli barang untuk diperdagangkan di Kanton. Pola perdagangan iintas lautan Amerika Serikat adalah Ekspor, Reekspor dan Berantai. Dalam pola Perdagangan Berantai, kepulauan Indonesia merupakan Salah satu tempat persinggahan. Diplomasi Amerika Serikat membuka peiabuhan dan osar Hindia Belanda dilakukan dengan tindakan imperialistik. Hasilnya adalah Perjanjian 1855 yang mengatur tentang perwakilan konsuler Amerika Serikat di Hindia Belanda. Metodologi yang digunakan berasal dari teori Diplomasi, Imperialisme, Perdagangan (Pasar) Bebas dan Struktudsme. Selain data kualitatii kerangka anaiisis memakai juga data kuantitatif. Hasil akhir memperlihatkan bahwa Perjanjian 1855 merupakan pinlu masuk kepentingan ekonomi Amerika Serikat yang lebih luas di kepulauan Indonesia. Untuk Hindia Belanda, perjanjian ilu melapangkan jalan ekspansi kolonialnya di pulau Sumatera. Dampak langsung terhadap perdagangannya terhambat oleh Perang Saudara (1861-1865). Selain itu, politik dan diplomasi ekonomi luar negeri Amerika Serikat walau berlandaskan doktrin pasar bebas, tidak mengabaikan peranan pemerintah. Kemudian, walau berstatus negeri jajahan, pemerintah Hindia Belanda memiliki kebijakan yang terkadang tidak selalu selaras dengan Negeri Induk (Belanda).

ABSTRACT
This dissertation analizes efforts of American shipping and commerce breaking the Netherlands Indies mercantilistic policies in Indonesian Archipelago by means of diplomacy in the times of 1784 to 1855. American shipping to Indonesian Archipelago began in 1784 in a voyage for Canton, China. The commerce began in 1786 when an American ship bought some goods to trade for Canton. American overseas trading patterns were Export, Reexport and Network Commerce. The last mentioned treated Indonesian archipelago as a part of a commercial network that centered at Canton. American diplomacy opened the Netherlands Indies ports and market by an imperialistic way. It resulted in Treaty 1855 that allowed the Americans to establish a consulate office at Batavia. The methodology consists of several points of view, i.e nom Diplomacy, Imperialism, Free Trade or Free Market and Structurist theories. The analysis based on qualitative and quantitative data. Final results show that the Treaty 1855 was an entry point for the widespread of American economic interests in the whole of Indonesian archipelago- However, its direct impact in commerce was disturbed by the Civil War (1861-1865). For the Netherlands Indies, it encouraged expansive motives in Sumatera. Beside these, it shows that even though the United States of America is a liberal state, the role of government in international economics is still great. The last is that as a colonial state the Netherlands Indie had its own policy and did not entirely depended on the Netherlands."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D1669
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muslimin A.R. Effendy
"ABSTRAK
Disertasi ini mengenai kesultanan Bima dengan fokus kajian pada dinamika politik antar elite dan fragmentasi kekuasaan dalam mempertahankan kedaulatan di tengah ancaman dan tantangan dari luar dan dalam. Studi mempersoalkan bagaimana kesultanan Bima dapat bertahan di saat elite terfragmentasi dalam penguasaan sumberdaya, dan dampaknya pada integrasi dan perubahan secara struktural. Fokus kajian dimulai dari tahun 1905 saat penetrasi kekuasaan kolonial melalui kekuatan militer, yang menunjukkan melemahnya kontrol Sultan atas politik dan ekonomi di Bima. Adapun masa akhir kajian tahun 1957, yakni sejak diberlakukannya UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Bima sebagai daerah otonom baru, menggantikan sistem birokrasi kesultanan Bima.
Secara struktural, kekuasaan di Bima dijalankan oleh dua kelompok elite, yaitu Mawa?a Bilmana (?yang membawa kebijaksanaan?) dan Manggampo Donggo (?yang menghimpun?). Konvensi antar kelompok menggariskan bahwa tureli nggampo atau raja bicara (perdana menteri) diambil dari kelompok Mawa?a Bilmana, sedangkan Sultan dari kelompok Manggapo Donggo. Pada dasarnya, kedua kelompok elite ini berpandangan sama dalam memperjuangkan kepentingan dou (rakyat) dan dana (negara), meski berbeda dalam cara dan visi politik dalam mengelola kekuasaan. Temuan studi menunjukkan bahwa konvensi menyangkut distribusi kekuasaan tersebut dilanggar sultan.
Pendorong utamanya adalah melemahnya dukungan bangsawan Mawaa Bilmana,sementara di sisi lain sultan semakin lemah dalam menggalang kekuatan internal pendukung otoritasnya. Kondisi inilah yang melahirkan kebutuhan sultan akan perlunya dukungan eksternal guna mempertahankan kekuasaannya. Hal ini tercermin dari keputusan sultan untuk beraliansi dengan kekuatan luar demi mempertahankan kekuasaannya dari tekanan bangsawan lokal. Keputusan Sultan ini ditentang bangsawan Mawa?a Bilmana yang berpandangan bahwa persekutuan dengan kekuatan luar akan dapat merusak tatanan tradisional dan mengancam kedaultan negara. Langkah sultan tersebut juga menimbulkan perlawanan dari para elite baru, yakni kaum terpelajar. Bahkan, kelompok ini menuntut agar tatanan ?feudal? diubah dengan sistem baru yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan dalam format ?negara berdaulat?, yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Menariknya, meski atmosfer perubahan menggema, para elite baru ini justru tetap mengharap kehadiran figur bangsawan untuk memimpin dan mempersatukan rakyat yang terpolarisasi berdasarkan kepentingan dan politik aliran. Harapan ini terkabul dengan tampilnya Putra Muh. Salahudin bernama Abdul Kahir menjadi pemimpin daerah (1954-1959, 1960- 1964). Bahkan, di era demokratisasi ini, hadirnya Ferry Zulkarnaen anak Abdul Kahir menjadi Bupati Bima (2005-2010, 2010-2015) menunjukkan bahwa kelompok bangsawan Manggampo Donggo masih memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Sultan dianggap mampu menjadi hawo ro ninu (?menaungi dan melindungi?) rakyat untuk menciptakan keteraturan sosial guna mewujudkan kepentingan rakyat dan negara.

ABSTRACT
This study of Bima?s Kingdom is focused on political dynamic at elite level which?s reflected a kind of fragmentation of powers for supporting principles of ?kedaulatan/democracy?. Problem statement of this study is how was Bima?s kingdom able to survive facing the challenge waves, internally and externally. Moreover, how were the impacts of power struggle on social integration as well as structural change. Period of study is started in 1905 when the colonial power had started to penetrate by military/army force. The significant of 1957 was related to the changing system of beuracracy from feodal (Kesultanan Bima) to legal-rational (Kabupaten Bima as an autonomy district) due to implementing UU no.1/1957 on Local Government Principles.
Structurally, regarding the history of Bima, there were two dominant ruler groups: (1) Mawa?a Bilmana (the Wisdom givers) and (2) Manggampo Donggo (the pollers). Their roles had been based on a political concensus that a Lord of Speech (Prime Minister) would be from Mawa?a Bilmana group, Soultan (the King) would be from Manggampo Donggo. This convention had been ruled for inter-generations. Basically, both of elite groups had similar point of views for fulfilling people?s (dou) interests as well as country/state (dana). In fact, they had different visions in a matters of managing economic resources and politic of government which was stimulated the broken of Elite?s convention. Finding study has shown that the main cause factor was related to the Soultan?s basis of power at local level has been corrupted. Therefore, He tried to allie with external forces, such us: Ducth, Japan, NICA, NIT. Lord of Speech perceived its negatively which could treat Bima?s traditional structure, and also the freedom of Bima.
The friction between Soultan and Lord of Speech reflected the disability of government for managing economic as well as security matters. Moreover, it also shown the different interests of both. Actually, it could be understandable if there was an assumption that the power of Soultan should be maintained by hand in hand with alliens forces, particularly for handling internal challenges. Soulthan policy was also critised by new elites (such us: educated peoples) who asked the changing of the feodal structure into a new system, a kind of ?demokratic state? which recognized and democratic values as well as people?s power. Interestingly, eventhough the authority of Lords/Manggampo Donggo was going down and down by time even the political climates was changed, but peoples (including new elite group) still dreamed for having a figure (Soultan) who would not be only capable to lead them, but also able to integrate Bima?s peoples which had been fragmented in order of interests.
The dream was come true by promoted a son of Muhammad Salahudin which named Abdul Kahir was lead Bima as major (1954-1959, 1960- 1964). Moreover, during democratizaion era, the lords is still playing significant roles which proved by Ferry Zulkarnaen (son of Abdul Kahir). Ferry has been elected as Major of Bima District (2005-2010, 2010-2015). This fact has reflected that Manggampo Donggo has still strong and significant roles in society, particularly at grassroots level. Peoples have perceived that Soutan has able to create hawo ro ninu or ?to accomodate and protect? peoples (dou)."
Depok: 2011
D1180
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farida R. Wargadalem
"ABSTRAK
Disertasi ini menguraikan tentang terjadinya perebutan kekuasaan di Kesultanan Palembang. Dalam perebutan kekuasaan tersebut melibatkan dua saudara kandung (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II), juga melibatkan dua negara asing yaitu Inggris dan Belanda. Penelitian ini menggunakan pendekatan Narativisme untuk menjelaskan terjadinya konflik (internal dan eksternal) di Kesultanan tersebut. Kajian ini menemukan bahwa kehadiran Inggris pada April 1812 di Kesultanan Palembang, memunculkan permusuhan antara dua orang kakak beradik tersebut, sehingga Palembang jatuh ke tangan Inggris. Sejak itu permusuhan dua bersaudara terus berlangsung sampai keduanya wafat. Sesuai isi Traktat London (1814), dinyatakan Inggris harus keluar dari Palembang, sehingga Palembang kembali berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran Belanda di Kesultanan Palembang, menyebabkan Belanda membagi tiga kekuasaan yairu Belanda, Sultan Badaruddin II, dan adiknya Sultan Najamuddin II. Kembalinya pasukan Inggris dari Bengkulu, menyebabkan konflik di Palembang menjadi semakin rumit. Konflik yang terjadi tidak saja antara dua saudara kandung, tetapi juga antara Sultan Najamuddin II dan Belanda, serta Belanda dan Inggris. Perang, merupakan alternatif penting yang terjadi di Kesultanan Palembang. Dua kali peperangan (1819) dimenangkan oleh Palembang, namun pada peperangan ketiga (1821), Palembang harus mengakui keunggulan kekuatan militer Belanda. Sejak itu Kesultanan Palembang berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Usaha Sultan Najamuddin III untuk melakukan perlawanan mengalami kegagalan, sehingga kesultanan itu dihapuskan (1825).

ABSTRACT
This dissertation describes about the occurrence of. The seizure involved two brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II) and two foreign countries, those are England and Netherland. This research used Narrativism approach in order to explain the occurrence of conflict (external and internal) in that Sultanate. It was found that the attendance of British in April 1812 in Palembang Sultanate led to a hostility between the two brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II). It made Palembang was under the power of British. The hostility between the two brothers continued until both of them passed away. Based on the London Treaty (1814), it was stated that British had to leave out Palembang so that Palembang was returned back to the power of Dutch colonial. The Dutch then divided Palembang Sultanate into three powers, the Dutch, Sultan Badaruddin II, and his brother Sultan Najamuddin II. However, the return of British from Bengkulu led to a more complicated conflict in Palembang. The conflict was not only between the two brothers, but also between Sultan Najamuddin II and the Dutch and between the Dutch and the British. Finally, the war was the only option for the conflict in Palembang Sultanate. The war happened three times, the first and second war (1819) were won by Palembang, however the Dutch military power conquered the power of Palembang Sultanate in the third war (1821). Since then, the Palembang Sultanate was under the control of the Dutch colonial government. It was Sultan Najamuddin III who continued fighting against the Dutch, however the struggle failed. Finally, Palembang Sultanate was completely removed (1825)."
Depok: 2012
D1262
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
"ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan
daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan
NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,
sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan
daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan
struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris
pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan
terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan
strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data
menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki
kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,
melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak
otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,
yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat
uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.
Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi
yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam
konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar
penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan
pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.
Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu
adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan
ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi
pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi
pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.
Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa
teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah
masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,
swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,
Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed
dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of
progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.
Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian
kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan
dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi
makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya
menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi
yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis
yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-
peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan
darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat
Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan
masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.
Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and
accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling
bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-
tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi
sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem
perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang
tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh
dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah
yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat
dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-
Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di
dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil
dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang
Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling
memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi
orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain."
2007
D1657
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulasman
"ABSTRAK
Revolusi di Sukabumi tidak bisa dipisahkan dari revolusi Indonesia, karena revolusi di tingkat lokal merupakan bagian integral dan revolusi nasional. Untuk menjelaskan revolusi di Sukabumi, maka diajukan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor pendorong terjadinya revolusi di Sukabumi?
2. Bagaimana proses terjadinya revolusi di Sukabumi?
3. Bagaimana peranan kyai dan pesantren dalam revolusi di Sukabumi?
Berdasarkan perspektif sosiologis, gerakan revolusi di Sukabumi 1942-1946 dapat dikategorikan sebagai aksi sosial. Gerakan yang terjadi di Sukabumi dapat dikategorikan pada collective action. Hal ini terlihat dari tahap-tahap gerakan-gerakan yang dilakukan kelompok islam, sosialis, komunis, nasionalis, apakah mereka itu pemuda, kaum biokrat, tokoh agama, tentara dari Resimen II TKR Sukabumi, maupun masyarakat yang tergabung dalam kelasykaran, merupakan aksi kolektif, dimana kepentingan bersama merupakan tujuan tidak terpisahkan dari gerakan perlawanan.
Sudi ini digunakan metodologi dan endekatan strukturis dari Christoper Lioyd, yang merupakan gabungan antara deskripsi dan analisis.
Ruang lingkup penelitian disertasi ini adalah daerah Sukabumi masa revolusi pada tahun 1945 sampai dengan 1946. Wilayah yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kotamadya Sukabumi. Dalam lingkup tersebut yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini tidak hanya mengenai suatu peristiwa tertentu, melainkan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah itu dan perkembangan beberapa aspek kehidupan dalam masyarakat sejak pasca proklamasi kemerdekaan sampai dengan peristiwa penghadangan terhadap konvoi pasukan Sekutu. Penelitian ini bertujuan rekonstruksi dan explanasi peristiwa secara komprehensif dan holistik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah."
2007
D1852
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setia Gumilar
"Dalam perjuangannya di Kabupaten Garut, posisi ulama mempunyai peran yang signifikan. Hampir setiap masa atau periode sejarah, ulama di Garut berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang agama. Pada masa orde baru, ulama di Garut diposisikan oleh pemerintah untuk senantiasa berada dalam jalur yang sebenarnya, yaitu aspek keagamaan. Tetapi seiring dengan perubahan masa, ulama di Garut berusaha kembali menunjukkan jati dirinya dalam posisi yang tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga pada aspek politik. Oleh karena itu telah terjadi pergeseran gerakan ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ulama di Garut pada periode 1998-2007 tidak hanya berkemampuan dalam bidang keagamaan semata, tetapi ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi 4 tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiograpi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya (Orba) ulama kecenderungannya hanya bergerak dalam koridor keagamaan. Pada kurun waktu 1998-2007 gerakan ulama merambah pada aspek lain, diantaranya politik. Gerakan politik ulama pada kurun waktu ini diantaranya berusaha untuk menyatukan kembali keberadaannya yang dipahami telah mengalami kerenggangan akibat pertarungan politik nasional. BKUI menjadi media untuk menyatukan kembali posisi ulama. Kemudian, gerakan politik ulama di Garut berusaha untuk menjadikan syari?at Islam sebagai landasan berperilaku di kabupaten Garut. LP3SyI menjadi media untuk upaya tersebut. Gerakan lain adalah gerakan anti korupsi dengan diwujudkan dalam keseriusanya memberikan masukan dan koreksi terhadap APBD baik dalam proses perencaaan ataupun pelaksanaannya.

The change that occurs in Garut Regency has positioned Islamic scholars to have a significant role in various aspect of lives, especially in religious affairs, almost in every age or period of Islamic scholar?s history. On new order era, Islamic scholars in Garut were positioned by Government to be in the right tract, namely religious aspect. However, along with the changing period, Islamic scholars in Garut have attempted to reposition their identity, which is not only limited to religious but also in political aspect. This shows that there has happened a movement shift of the Islamic scholars in Garut in the period of 1998-2007.
The research is to verify that Ulama in Garut starting from 1998-2007 are not only capable of operating reilgious affairs but political affairs as well. The method of this research employed historical method consisting of Heuristic, critical, interpretation, anf historiography stages.
The findings showed that in the previous period (New order era), Islamic scholars tended to only move in religious corridor. Meanwhile, in the period of 1998-2007, Islamic scholars? movement reached other aspects, such as politic. In this period, through BKUI (a uniting media for Islamic scholars? position), Islamic scholars? movements were aimed to reunite their position which was considered as experiencing a gap as a result of national political chaos. Then, Islamic scholars? movement in Garut attempted to create syari‟at Islam (Islamic Law) as behavior base in Garut regency through media called as LP3SyI. Other movement is anti corruption action by seriously providing inputs and feedbacks to APBD (Regional Budgeting) both in the planning process and the implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2095
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulasman
"ABSTRAK
Revolusi di Sukabumi tidak bisa dipisahkan dari revolusi Indonesia, karena revolusi di tingkat lokal merupakan bagian integral dan revolusi nasional. Untuk menjelaskan revolusi di Sukabumi, maka diajukan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor pendorong terjadinya revolusi di Sukabumi?
2. Bagaimana proses terjadinya revolusi di Sukabumi?
3. Bagaimana peranan kyai dan pesantren dalam revolusi di Sukabumi?
Berdasarkan perspektif sosiologis, gerakan revolusi di Sukabumi 1942-1946 dapat dikategorikan sebagai aksi sosial. Gerakan yang terjadi di Sukabumi dapat dikategorikan pada collective action. Hal ini terlihat dari tahap-tahap gerakan-gerakan yang dilakukan kelompok islam, sosialis, komunis, nasionalis, apakah mereka itu pemuda, kaum biokrat, tokoh agama, tentara dari Resimen II TKR Sukabumi, maupun masyarakat yang tergabung dalam kelasykaran, merupakan aksi kolektif, dimana kepentingan bersama merupakan tujuan tidak terpisahkan dari gerakan perlawanan.
Sudi ini digunakan metodologi dan endekatan strukturis dari Christoper Lioyd, yang merupakan gabungan antara deskripsi dan analisis.
Ruang lingkup penelitian disertasi ini adalah daerah Sukabumi masa revolusi pada tahun 1945 sampai dengan 1946. Wilayah yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kotamadya Sukabumi. Dalam lingkup tersebut yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini tidak hanya mengenai suatu peristiwa tertentu, melainkan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah itu dan perkembangan beberapa aspek kehidupan dalam masyarakat sejak pasca proklamasi kemerdekaan sampai dengan peristiwa penghadangan terhadap konvoi pasukan Sekutu. Penelitian ini bertujuan rekonstruksi dan explanasi peristiwa secara komprehensif dan holistik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah."
2007
D627
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
"ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan
daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan
NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,
sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan
daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan
struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris
pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan
terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan
strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data
menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki
kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,
melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak
otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,
yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat
uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.
Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi
yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam
konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar
penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan
pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.
Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu
adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan
ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi
pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi
pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.
Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa
teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah
masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,
swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,
Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed
dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of
progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.
Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian
kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan
dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi
makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya
menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi
yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis
yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-
peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan
darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat
Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan
masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.
Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and
accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling
bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-
tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi
sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem
perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang
tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh
dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah
yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat
dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-
Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di
dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil
dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang
Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling
memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi
orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain."
2007
D839
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
"Disertasi ini menunjukkan dinamika politik lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat sebagai akibat dari kebijakan politik kolonial Belanda antara 1851-1915. Fokus kajian disertasi ini adalah menganalisis sikap Kerajaan Larantuka terhadap kebijakan politik kolonial Belanda, Misi Katolik Belanda, penduduk negeri pegunungan, dan kerajaan lokal sekitarnya.Kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja-rajanya melakukan strategi politik sekutu dan seteru dalam mempertahankan kedaulatannya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Selama Abad ke-17 hingga abad ke-18, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis dan para Kapiten Mayor dari keluarga Portugis Hitam, keluarga da Hornay dan da Costa untuk menghadapi kekuatan Belanda VOC dan Kerajaan Muslim Lima Pantai Solor Watan Lema. Pada abad ke-19, Kerajaan Larantuka dipaksa menerima hasil perjanjian Portugal dan Belanda yang dimulai sejak 1851 dan disetujui pada 20 April 1859. Perjanjian tersebut berisi penyerahan wilayah Flores dan Kepulauan Solor-Alor kepada Belanda. Sejak saat itu, Kerajaan Larantuka menjadi kerajaan bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda kemudian mengikat kontrak dengan Kerajaan Larantuka pada 28 Juni 1861, namun Korte Verklaring tersebut masih memberikan keleluasaan Kerajaan Larantuka untuk menjalankan pemerintahan secara otonom/zelfbesturende.Raja-raja Larantuka sejak 1851 melakukan perubahan strategi politik sekutu dan seterunya sebagai upaya tetap mempertahankan kedaulatannya. Perubahan kebijakan politik sekutu dan seteru yang dilakukan oleh Kerajaan Larantuka itu berbeda dengan periode pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Kerajaan Larantuka pada periode 1851-1915, menjalankan politik sekutu dan seterunya dengan tidak menetap. Kerajaan Larantuka bersekutu dengan penguasa lokal Belanda, dengan meminta bantuan Residen Timor dan daerah Taklukannya untuk menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Lima Pantai. Kebijakan bersekutu dengan Belanda juga dilakukan oleh Kerajaan Larantuka ketika menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya di pegunungan yang mengancam wilayah inti kerajaan di sekitar Larantuka. Dalam beberapa kasus yang lain Kerajaan Larantuka justru bersekutu dengan Kerajaan Muslim Lima Pantai untuk menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya sendiri, di Solor dan Adonara. Dalam menghadapi kebijakan politik kolonial Belanda yang menjadi seteru karena masalah intervensi Residen dan pejabat sipil Belanda di Larantuka, Raja Larantuka bersekutu dan bekerjasama dengan pihak misi Katolik Belanda di Larantuka, meskipun dalam kasus lain Raja dan pihak misi Katolik berseteru terutama tentang masalah poligami raja dan perilaku raja yang masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang dianggap lsquo;kafir rsquo; oleh misi Katolik Larantuka. Secara umum persekutuan antara raja Larantuka dan para pastor Katolik Belanda pada akhirnya menunjukkan persekutuan yang lsquo;abadi rsquo; sampai diasingkannya Raja Don Lorenzo II DVG pada tahun 1904, yang dianggap membangkang terhadap kebijakan kolonial Belanda. Strategi sekutu dan seteru juga dipengaruhi oleh mitos konflik Demon-Paji, konflik dua bersaudara di jaman dahulu akibat bermacam sebab, tetapi terutama karena konflik memperebutkan istri, sehingga muncul istilah ldquo;Perang Tikar Bantal rdquo;. Demon menurunkan penduduk Kerajaan Larantuka yang beragama Katolik sedangkan Paji menurunkan penduduk Kerajaan Lima Pantai yang beragama Islam. Kedaulatan kerajaan-kerajaan di kawasan Flores dan Kepulauan Solor berakhir dengan adanya penataan wilayah yang dilakukan Belanda dengan mengintegrasikannya ke dalam Keresidenan Timor dan daerah Taklukannya pada tahun 1915.

The dissertation discusses the dynamic of local politics in East Flores region, Solor Islands and West Timor as a result of Dutch Colonial political policies between 1851 1915. The focus of dissertation is to analyze the response of Larantuka Kingdom about the policy of Dutch colonial politics, Dutch Catholic Mission, the people of Mountain country and surrounding local kingdom.The Kingdom of Larantuka that led by several kings conducted allied and enemy political strategy to defense the kingdom in fighting againts other powers that threatened their sovereignty. During the 17th until 18th century, the Kingdom of Larantuka allied with Portuguese and a couple of local commanders from black Portuguese family, da Hornay and da Costa to fight againts the VOC and Kingdom of Lima Pantai Solor Watan Lema. In 19th century, Kingdom of Larantuka was forced to accept the result of Portuguese and Dutch agreement which was started since 1851 and was ratified on April 20, 1859. The agreement was about the transfer of Flores region and Solor Alor Islands from Portuguese to the Dutch. Since the ratification of the agreement, the Kingdom of Larantuka became one of Dutch colonial government conquered areas. Subsequently, the colonial government binded a political contract with the Kingdom of Larantuka on June 28, 1861, however, the contract or Korte Verklaring still provided discretion to the kingdom to run autonomous administration or zelfbesturende. Since 1851, the Kings of Larantuka Kingdom conducted some changes of their allied and enemy political strategy as efforts to maintain the kingdom sovereignty. The change of the strategy was different with the policies which were taken by the kingdom in 17th and 18th centuries. During 1851 1915, the Kingdom of Larantuka applied temporary allied and enemy political strategy. The Kingdom of Larantuka allied with local Dutch rulers and asked for Resident of Timor and with their conqured areas to fight againts their enemies, Kingdoms of Lima Pantai. The allied policy with the Dutch was also conducted with the Kingdom of Larantuka when they overcame the rebellion of their vassals in mountain that threatened the center of the kingdom area around Larantuka. However, later in some cases, precisely the Kingdom of Larantuka allied with Kingdoms of Lima Pantai to fight against the rebellion of their vassals in Solor and Adonara. To response the Dutch colonial political policies that became the enemy because of Resident and Dutch civil officers intervention in Larantuka, the King of Larantuka allied and cooperated with Dutch Catholic Mission party in Larantuka although in other case the king and Catholic Mission had different opinion especially about the king poligamy and the king behavior who still practised their achestor beliefs that were considered lsquo heathen rsquo by Larantuka Catholic Mission. In general, the ally between the King of Larantuka and Dutch Catholic priests finally showed forever ally until the excile of the King Don Lorenzo II DVG in 1904 who was considered to resist to Dutch colonial policy. The strategy of allied and enemy was also influenced by myth of Demon Paji conflict. The conflict was about the two brothers in ancient time because of various causes, especially the rivalry to get wife that rose the term of lsquo the war of sleeping met and pillow rsquo. Demon desecended Catholic people of Larantuka Kingdom and Paji descended Islamic people of the Lima Pantai Kingdoms. The sovereignty of kingdoms in Flores region and Solor Islands came to end with the existence of the region structuring that was conducted by the Dutch colonial government by integrating the areas into the Residency of Timor and its conqured areas in 1915.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2355
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Achdian
"Disertasi ini membahas perkembangan politik pergerakan nasional Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan politik kewargaan di kota kolonial Surabaya sepanjang periode 1906 sampai berakhirnya kekuasaan kolonialisme Belanda pada Maret 1942. Kiprah politik kaum pergerakan antikolonial di Indonesia tidak dapat disangkal telah menjadi tema besar dalam kajian sejarah Indonesia modern. Namun, bagaimana pandangan politik dan kiprah mereka terkait lingkungan kota tempat mereka tinggal sampai sekarang tetap menjadi pembahasan yang relatif terabaikan dalam kajian sejarah Indonesia. Disertasi ini dengan demikian memberi sumbangan dengan menunjukkan peran aktif kaum pergerakan dalam dinamika politik kota dan visi mereka tentang hak-hak kewargaan orang Indonesia di dalamnya.

This disertation is an effort to describe the engagement of Indonesian nationalist with the idea and practices of modern citizenships in the colonial city of Surabaya during the periods of 1906 until the end of Dutch colonialism. Although the study on Indonesian nationalist movement has already been an extensive study in the literature of anticolonial movement in the early twentieth century, however the nature of political engagement of nationalist activists with modern ideas and citizenships in the urban politics is still a relatively underdeveloped. By showing the nature of engagement and participation of nationalist politics in the colonial city of Surabaya, this dissertation is therefore has become an effort to fulfill this gap in the existing literatur."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2411
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>