Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bram Michael Joshua
"Tidak semua masyarakat di Indonesia memiliki akses ke perbankan, sehingga timbul berbagai penghimpunan dana masyarakat yang berbasis lembaga keuangan non-bank dan lembaga keuangan lainnya yang dapat membantu permasalahan perolehan dana dari bank serta diikuti dengan sistem teknologi dan informasi yang mulai berkembang pesat di Indonesia. Salah satu bentuk yang muncul ditengah kebutuhan masyarakat dalam akses perolehan dana, yaitu peer-to-peer lending.
Akhir - akhir ini ramai diberitakan oleh media bahwa muncul masalah terkait penetapan suku bunga Peer-to-peer lending. Hal ini disebabkan oleh penetapan bunga yang dilakukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dirasa cukup tinggi, yakni 0,8 % per hari. Penetapan bunga pinjaman peer-to-peer lending diteteapkan oleh asosiasi yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan penetapan bunga yang menjadi kewenangan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mana adalah pelaku usaha penyelenggara usaha Peer-to-peer lending yang menjadi anggota asosiasi, dapat membuat celah bagi pelaku usaha untuk melakukan praktik usaha tidak sehat, khususnya praktik kartel. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini adalah
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Dari peneletian ini penulis berpendapat tindakan penetapan bunga pinjaman yang dilakukan oleh AFPI tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli ataupun terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Otoritas Jasa Keuangan memang mebiarkan penetapan bunga peer-topeer lending diserahkan kepada asosisasi dan masing – masing penyelenggara karena peer-to-peer lending di Indonesia masih tergolong baru dan masih dalam tahap awal, sehingga dibutuhkan keleluasaan dalam menjalankan usahanya sehingga usaha peer-to-peer lending dapat berkembang dan maju kedepannya di Indonesia
Not all people in Indonesia have access to banks, resulting in a variety of public fund raising based on non-bank financial institutions and other financial institutions that can help with the problem of obtaining funds from banks and followed by technology and information systems that are starting to develop rapidly in Indonesia. One form that arises in the midst of community needs in access to funding is peer-to-peer lending. Lately, it has been widely reported by the media that there are problems with setting Peer-to-peer lending rates. This is caused by
the determination of the interest made by the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) which is considered quite high, which is 0.8 percent per day. The determination of peer-to-peer lending lending rates is determined by an association appointed by the Financial Services Authority (OJK). With the determination of the interest that becomes the authority of the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) which is a Peer-to-peer lending business organizer that is a member of the association, it can create a gap for business actors to carry out unhealthy business practices, especially cartel practices. The type of research used by the authors in this paper is normative juridical research, namely research that emphasizes the use of written legal norms. From this research, the author is of the opinion that the determination of loan interest by the AFPI does not result in monopolistic practices or unfair business competition. The Financial
Services Authority does indeed allow the determination of peer-to-peer lending rates to be submitted to the association and each organizer because peer-to-peer lending in Indonesia is still relatively new and is still in the initial stages, so that flexibility is needed in conducting its business so that the peer-to business peers lending can develop and move forward in Indonesia"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Luthfi
"Tindak pidana dan aktivitas di pasar modal semakin kompleks dan canggih. hal ini
merupakan salah satu dampak dari semakin maju dan canggihnya teknik dan sistem
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam melakukan berbagai macam hal
yang dapat dikategorikan tindak pidana dalam pasar modal. Sedangkan di Indonesia
skema ganti rugi yang dapat dilakukan oleh investor masih terhitung sangat samar,
tidak pasti, dan jumlahnya sangat kecil. Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan
dengan Disgorgement dapat dikatakan sebagai remedial action yang diharapkan
dapat mencegah pihak yang melakukan pelanggaran. Tulisan ini akan membahas
bagaimana perbandingan dari disgorgement dan disgorgement fund dengan Dana
Perlindungan Pemodal Indonesia serta disgorgement dan disgorgement fund di
Amerika Serikat dengan metode penelitian yuridis normatif. Dengan skemanya
yang tidak sulit dan menjamin kepastian diterimanya ganti rugi oleh investor jika
dibandingkan dengan moda ganti rugi sebelumnya serta jumlah yang terhitung
besar jika dibandingkan dengan moda ganti rugi sebelumnya. Maka penerbitan
rancangan peraturan tentang Disgorgement dan Disgorgement Funds adalah sebuah
terobosan baru untuk industri pasar modal di Indonesia dalam menangani suatu
pelanggaran hukum, meningkatkan perlindungan kepada investor dan efektivitas
penegakan hukum di bidang Pasar Modal serta merupakan suatu titik balik bagi
penerapan restorative justice terhadap kerugian yang dialami oleh pemodal yang
diakibatkan oleh pelanggaran atas ketentuan perundang- undangan di bidang pasar
modal. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki seperti perincian
tentang subjek yang dapat menerima klaim dan penggunaan redaksi yang kurang
tepat dalam konsideransnya.

Capital market crimes and activities are getting more complex and sophisticated.
These phenomenon are the impacts of increasingly advanced and sophisticated
techniques and systems carried out by certain parties in doing various things that
can be classified as capital market crimes. Whereas in the Indonesia Indemnity
scheme, pertaining capital market crimes, at the moment, that can be executed by
an investor can be considered as cryptic, uncertain, and, for the amount, is very
measly. Hence, this disgorgement, as the new indemnity scheme, issued by the
Financial Services Authority can be considered as a remedial action that is expected to prevent parties to do such wrongdoing. This thesis will examine the comparison between the Indonesian version of disgorgement and disgorgement fund with the Investor protection fund also with the American Version of disgorgement and disgorgement fund by using juridical normative research method. Uncomplicated scheme and certainty on receiving of such indemnity by investor as well as a proportionate amount of indemnity compared to the previous regulation makes this draft regulation pertaining disgorgement and disgorgement funds is a breakthrough for the Indonesian Capital Market in handling violation, increasing protection towards investor, strengthening capital market law enforcement effectively, and constitute a turning point for restorative justices application against losses
encountered by investor caused by violation against the capital market law. Nevertheless, there are a few things that need to amend such as specification on the
subject suitable for receiving such claims and the use of inadequate words in its
consideration
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Prasetya
"Dalam 3 (tiga) tahun terakhir sering terjadi kebocoran data pribadi sensitif yang melibatkan instansi pemerintahan dan perusahaan besar di Indonesia. Pelindungan data pribadi dan rasa aman atas privasinya merupakan hal fundamental yang wajib diberikan oleh negara pada setiap individu. Hal ini sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) UUD NR1 1945 yang menyatakan bahwa pelindungan data pribadi adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Dalam implementasi PDP, diperlukan Profesi Penunjang Pelindungan Data Pribadi (PPDP) yang bertugas melakukan pengawasan tersebut secara berkala. Sedangkan, penerapan PPDP pun telah menjadi bagian regulasi Pelindungan Data Pribadi di 136 negara di dunia. Meski tingkat penerapan PPDP di berbagai negara memiliki perbedaan, tetapi hadirnya PPDP mampu menunjang pelaksanaan PDP. Di Indonesia, peran PPDP sudah diterapkan di beberapa perusahaan, lumrahnya terdapat di perusahaan multinasional atau perusahaan yang bergerak di bidang sistem informasi elektronik. Profesi penunjang ini pun menjadi salah satu materi muatan dalam Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP). Rumusan masalah yang diangkat penelitian ini ialah lingkup pengaturan PDP dalam perspektif global, pengaturan PDP berdasarkan hukum positif Indonesia, dan implementasi PPDP di Indonesia. Penelitian dilakukan secara kualitatif dan hasil penelitian menyarankan diperlukan Undang-Undang PDP yang mengatur Profesi Penunjang PDP secara terperinci, baik dari segi ruang lingkup, tugas dan peran, ataupun sertifikasi kompetensi.

In the last 3 (three) years, there have been frequent leaks of sensitive personal data involving government agencies and large companies in Indonesia. Personal data protection (PDP) and security of their privacy are a fundamental thing that need to be provided by state to every citizen. This is in accordance with Article 28G paragraph (1) of the 1945 Constitution NR1 which states that PDP is part of Human Rights. In the implementation of the PDP, a Personal Data Protection Supporting Professional or "PPDP)" is required to carry out such supervision on a regular basis. Meanwhile, the implementation of PPDP has also become part of the regulation of Personal Data Protection in 136 countries in the world. Although the level of implementation of PPDP in various countries has differences, the presence of PPDP can support the implementation of PDP. In Indonesia, the role of PPDP has implemented in several companies, usually in multinational companies or companies engaged in electronic information systems. This supporting profession has also become one of the content materials in the Personal Data Protection Bill (RUU PDP). The formulation of the problem raised by this research is the scope of PDP regulation in a global perspective, PDP regulation based on Indonesian positive law, and PPDP implementation in Indonesia. The research was conducted qualitatively, and results of the study suggest that a PDP Law is needed which regulates PDP Supporting Professionals in detail, both in terms of scope, duties, and roles, or competency certification."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library