Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yasmine Syifa Nabila Budi
"Latar Belakang: Reaksi transfusi adalah reaksi yang disebabkan oleh banyak hal. Reaksi yang paling sering ditemukan adalah reaksi yang berbentuk alergi pada pasien karena ada perbedaan jenis antigen dan antibodi yang ditransfusikan kepada pasien tersebut. Hal ini dapat terjadi karena alasan seperti: kontaminasi virus, bakteri dan juga kesalahan dalam menjaga produk sampai ke tangan pasien. Selain itu faktor yang dapat membuat hal ini terjadi dapat ditemukan dari perbedaan produk pemakaian dan juga kondisi pasien yang sudah ada sebelum pasien di transfusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah perbedaan jenis dan juga penggunaan produk platelet dapat menimbulkan reaksi transfusi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik. Hal ini dilakukan dengan pemberian questionnaire kepada 82 pasien di ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM . Penelitian ini adalah penelitian analitik untuk melihat apa yang menimbulkan reaksi transfusi pada pasien jika ada.
Hasil: Reaksi akut adalah reaksi yang paling sering terjadi pada pasien di dalam ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM, dengan gejala yang paling sering terjadi adalah reaksi alergi. Insiden terbanyak adalah terkait dari pemakaian produk TC
Kesimpulan: Reaksi transfusi adalah sebuah reaksi yang mungkin terjadi pada setiap episode transfusi. Reaksi dapat terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi pasien yang mungkin saja tidak sesuai dengan produk itu sendiri. Hal seperti kontaminasi dan kelalaian saat memberikan produk juga adalah salah satu faktor resiko adanya kejadian reaksi transfusi ini. Pada 82 pasien yang menggunakan produk platelet ditemukan reaksi akut yang terjadi kepada 59,8% dari keseluruhan pasien transfusi. Pemakaian yang paling sering menimbulkan reaksi adalah produk TC dari seluruh derivatives platelet.

Background: Transfusion reaction is one of the problems that are most commonly found in hospital setting after the process of transfusion. The occurrences are still present after several preventive measures, transfusion reaction is usually elicited because the product is contaminated by virus, bacteria and also the mismanagement of the product. Other factors that could elicit such reaction varies from the kind of blood product that the patient acquired, how many times the patient have undergone the procedure and also their own diagnosis.
Method: Use of questionnaires that are given to 82 pediatric patients in the transfusion ward and perinatologi ward. This is an analytical research that dwells into finding out the causes and also the risk factor of transfusion reaction.
Result: Acute reaction is the most common type of reaction happening after the use of platelet product, with the symptoms similar to those of allergic reaction (urticaria, pruritus and rashes). The most common type of product used in RSCM is Thrombocyte Concentrate.
Conclusion: Transfusion reaction is a reaction that may occur in every transfusion episode. The reaction could occur due to a reaction between the patient's antigen and antibodies which may not be compatible with the product. Matters such as contamination and negligence when providing products are also one of the risk factors for the occurrence of this transfusion reaction. In 82 patients using platelet products, it is found that acute reaction was the most common reaction in patients from the RSCM transfusion ward with a prevalence of 59.8% of all transfusion patients. The most common product that caused reaction was TC with prevalence causing transfusion reaction as much as 64.2% of all TC product usage. In RSCM, platelet and plasma products used are at TC = 64.6%, Pooled TC = 26.8% and Apheresis Platelet along with other products at 8.5%. In short using platelet product can be deemed as safe since the risk outweighs its benefit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Dharma Saputra
"Latar belakang: Immune thrombocytopenia (ITP) didiagnosis dengan mengekslusi penyebab lain trombositopenia. Mekanisme trombositopenia terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu destruksi trombosit seperti pada pasien ITP dan penurunan produksi trombosit pada pasien leukemia. Aspirasi sumsum tulang merupakan metode yang dapat membedakan mekanisme trombositopenia yang terjadi, tetapi karena invasif tidak rutin dilakukan untuk diagnosis. Seiring dengan perkembangan zaman, dapat dilakukan pemeriksaan trombosit muda dengan teknik flouresensi untuk menilai kadar immature platelet fraction (IPF). Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kadar IPF pada pasien ITP dibandingkan dengan leukemia.
Metode: Studi potong-lintang kadar IPF pasien anak dengan ITP dan leukemia, yang dilaksanakan dari 2017-2020 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien anak umur kurang dari 18 tahun, yang menderita ITP dan leukemia, yang belum mendapatkan kemoterapi ataupun imunosupresan. Data penelitian diambil dari rekam medis atau pemeriksaan darah rutin.
Hasil: Dari 42 pasien, didapatkan 21 pasien ITP dan 21 pasien leukemia. Terdapat perbedaan bermakna (16,6 poin) dari rerata kadar IPF pasien ITP dibandingkan pasien leukemia (P<0,001). Pasien ITP memiliki kadar rerata IPF sebesar 18,6%(SB 12,1%). Pasien leukemia memiliki kadar IPF 2%(SB 1,31%).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar IPF pada pasien ITP dibandingkan pasien leukemia akut.

.Background and aim: Immune thrombocytopenia (ITP) is diagnosed by excluding other causes of thrombocytopenia. The thrombocytopenia itself could occur through 2 mechanisms, which were platelet destruction as in ITP, and decrease platelet production as in leukemia. Bone marrow aspiration used to be done to distinguish the mechanism of thrombocytopenia, but it has not been routinely done due to its invasiveness. Examination of young platelets with fluorescence technique are currently done to assess the level of Immature Platelet Fraction (IPF). This study was conducted to evaluate the differences in IPF levels in ITP patients compared with leukemia patients.
Methods: A cross-sectional study was carried out on the IPF levels on patients with ITP and leukemia, from 2017-2020 at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. The study sample was pediatric patients, less than 18 years old, diagnosed with ITP and acute leukemia, whom had not received any chemotherapy or immunosuppressants. Research data were taken from medical records and/or routine blood tests.
Results: Total of 42 patients, 21 ITP patients and 21 leukemia patients were found. There was a significant difference (16,6 poin) in the mean of IPF levels of ITP patients compared with leukemia patients (P <0.001). ITP patients had an average IPF level of 18,6% (SB 12,1). Leukemia patients have 2% IPF levels (SB 1,31).
Conclusions: There is a subtantial different in IPF in ITP patient compared to acute leukemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadirah Rasyid Ridha
"ABSTRAK
Latar belakang: Peran utama matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) adalah mendegradasi matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan terjadinya invasi dan infiltrasi sel tumor. Tujuan utama penelitian ini adalah menilai kadar MMP-9 pada pasien leukemia limfoblastik akut-L1 (LLA-L1).
Metode: Penelitian dengan metode kohort prospektif telah di lakukan di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar dari bulan Augustus sampai Desember 2014. Jumlah pasien LLA sebanyak 20 orang yang dikelompokkan menjadi risiko tinggi (RT) dan risiko biasa (RB). Luaran pasien di kelompokkan menjadi remisi dan tidak remisi setelah kemoterapi fase induksi.
Hasil: Pada kelompok LLA dengan RT dan RB masing-masing terdiri dari 6(30%) dan 14(70%). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MMP-9 antara kelompok RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi dengan nilai p=0.216 dan 0.68, perubahan kadar MMP-9 antara RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi dengan nilai p=0.60 dan 0.975, kadar MMP-9 sebelum kemoterapi fase induksi antara kelompok remisi dan yang tidak remisi dengan nilai p=0.614 dan kadar MMP-9 sebelum kemoterapi fase induksi antara kelompok RT dan RB dengan nilai p=0.402 (p>0.05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MMP-9 antara kelompok RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi, perubahan kadar MMP-9 pada kelompok RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi, kadar MMP-9 sebelum kemoterapi fase induksi anrata kelompok remisi dan tidak remisi, kadar MMP-9 pada yang remisi antara kelompok RT dan RB.

ABSTRACT
Back ground: The main role of matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) in invasive and infiltration is degradation of extracellular matrix. The objective of this study was to evaluate the serum level of MMP-9 in children with acute lymphoblastic leukemia-L1 (ALL-L1) as prognostic marker.
Methods: A prospective cohort study was conducted in Dr Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar from August to December to 2014. Twenty patients were enrolled and devided into high risk (HR) and standard risk (SR) ALL group. In terms of outcome, patients were classified into remission and non-remission induction phase of chemotherapy.
Result: High risk and SR ALL group consisted of 6(30%) and 14(70%) patients respectively. Statistical analysis showed no significant differences levels of MMP-9 between HR and SR groups before and after induction phase of chemotherapy with p=0.216 and 0.68, changes levels of MMP-9 between HR and SR groups before and after induction phase of chemotherapy with p=0.60 and 0.975, levels of MMP-9 before induction phase of chemotherapy between remission and non-remission groups with p=0.614 and levels of MMP-9 before induction phase chemotherapy in remission between HR and SR groups with p=0.402 (p>0.05).
Conclusion: MMP-9 expression was no significant difference in HR and SR groups before and after induction phase of chemotherapy, changes MMP-9 expression between HR and SR before and after induction phase of chemotherapy, MMP-9 expression between remission and non-remission groups and MMP-9 expression in remission between HR and SR groups.;"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Beatrix
"Latar belakang: Kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) pada anak berkembang dengan
cepat menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA), yang sering disertai gejala saluran cerna termasuk infeksi Helicobacter pylori (H. pylori). Faktor risiko infeksi H. pylori pada anak PGTA yang menjalani dialisis termasuk status nutrisi, status sosioekonomi, kepadatan lingkungan, tipe dan durasi dialisis.
Tujuan: Mengidentifikasi faktor risiko infeksi H. pylori pada anak dengan PGTA yang
menjalani dialisis. Metode: Penelitian cross-sectional ini menganalisis data primer pasien anak dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara pada tahun 2023.
Hasil: Jumlah subyek penelitian ini adalah 47 anak yang terdiri dari 30 (63,8%) lelaki dan 17 (36,2%) perempuan. Nilai rerata usia adalah 13,15 ± 2,72 tahun. Mayoritas pasien tinggal pada pedesaan (57,4%), menjalani hemodialisis (70,2%) dengan durasi dialisis ≥1 tahun (55,3%), mengalami malnutrisi (51,1%) dengan status sosioekonomi rendah (61,7%), crowding index (CRI) >2 (66%), terinfeksi H. pylori (80,9%), memiliki skor frequency scale for the symptoms of GERD (FSSG) ≥8 (61,7%) dan skor pediatric quality of life inventory (PedsQL) <70 (97,9%). Berdasarkan analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi H. pylori pada pasien anak dengan PGTA adalah kepadatan lingkungan (p=0,012) dan status sosioekonomi (p=0,048). Kesimpulan: Prevalens infeksi H. pylori pada anak dengan PGTA yang menjalani dialisis adalah sebesar 80,9% dengan reratan usia pasien 13.15 ± 2,72 tahun. Dari hasil analisis multivariat, faktor risiko infeksi H.pylori adalah kepadatan lingkungan (p=0,012) dan status sosioekonomi (p=0,048). Mayoritas pasien memiliki kualitas hidup yang terganggu.

Background: The incidence of chronic kidney disease (CKD) in children increases rapidly towards end stage renal disease (ESRD) which is often accompanied with gastrointestinal symptoms include Helicobacter pylori (H. pylori) infection. Risk factors for H. pylori infection in ESRD children undergoing dyalisis include poor nutritional and low socioeconomic status, crowded environments, type and duration of dialysis. Objective: To identify risk factors of H. pylori infection in pediatric ESRD patients undergoing dialysis.
Methods: This cross-sectional study analyzed primary data on pediatric ESRD patients undergoing dialysis at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Public Hospital in 2023.
Results: The number of subjects in this study were 47 children, 30 (63.8%) boys and 17 (36.2%) girls. The mean value for age was 13.15 ± 2,72 years. Most patients lived in rural areas (57.4%), had hemodialysis (70.2%) with duration of ≥1 year (55.3%), had malnutrition (51.1%), with low socioeconomic status (61.7%), crowding index (CRI) >2 (66%), infected by H. pylori (80.9%), had frequency scale for the symptoms of GERD (FSSG) score of ≥8 (61.7%) and pediatric quality of life inventory (PedsQL) score <70 (97.9%). Based on multivariate analysis, the risk factors associated with H. pylori infection in pediatric ESRD patients were environmental density (p=0,012) and socioeconomic status (p=0,048).
Conclusion: Prevalence of pediatric ESRD patients who had dialysis that were infected by H. pylori was 80.9% and the age’s average value was 13.15 ± 2,72 years. Based on multivariate analysis, the risk factors for H. pylori infection were environmental density (p=0,012) and socioeconomic status (p=0,048). Most of the patients had low quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadia Yunita
"
Pendahuluan: chemotherapy induced nausea and vomiting (CINV) adalah mual dan muntah yang terjadi pasca kemoterapi merupakan salah satu efek samping kemoterapi yang sering terjadi. Ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat kemoterapi sering kali menimbulkan kecemasan terutama pada remaja. Perlindungan lengkap obat antiemetik standar terhadap gejala CINV pada anak-anak dan remaja yang menerima obat kemoterapi emetogenik sedang dan kuat kurang dari 50%. Akupunktur adalah salah satu penatalaksanaan non farmakologi yang telah terbukti memperbaiki gejala CINV. Pemilihan modalitas akupunktur khususnya pada remaja merupakan hal penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas laserpunktur dalam memperbaiki gejala CINV terhadap skor Rhodes index of nausea, vomiting and retching (RINVR) pada pasien remaja yang menjalani kemoterapi.
Metode: Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol ganda dengan kontrol sham. Penelitian ini diikuti 58 pasien kanker remaja yang menjalani kemoterapi yang dilakukan pengelompokkan secara acak ke dalam kelompok perlakuan (n=29) dan kontrol (n=29). Kelompok perlakuan mendapatkan laserpunktur dan antiemetik standar serta kelompok kontrol mendapatkan sham laserpunktur dan antiemetik standar. Tindakan laserpunktur ataupun sham laserpunktur dilakukan sekali sehari selama pasien menjalankan kemoterapi. Penilaian gejala CINV dengan menggunakan skor RINVR yang dilakukan dari 2 jam sebelum kemoterapi, saat kemoterapi hingga 3 hari pasca kemoterapi.
Hasil: Skor RINVR pada kelompok laserpunktur dan antiemetik standar dibandingkan kelompok laserpunktur sham dan antiemetik standar pada 2 jam sebelum kemoterapi, hari kemoterapi dan 3 hari pasca kemoterapi mempunyai skor RINVR yang lebih rendah serta perbedaan skor RINVR antara kedua kelompok berbeda bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Kombinasi laserpunktur dan antiemetik standar efektif dalam memperbaiki gejala CINV berdasarkan skor RINVR pada pasien kanker remaja yang menjalankan kemoterapi.

Introduction : Chemotherapy induced nausea and vomiting (CINV) is nausea and vomiting that occurs after chemotherapy, which is one of the frequent side effects of chemotherapy. The discomfort caused by chemotherapy often causes anxiety, especially in teenagers. Complete protection of standard antiemetic drugs against CINV symptoms in children and adolescents receiving moderately and strongly emetogenic chemotherapy drugs was less than 50%. Acupuncture is a non-pharmacological treatment that has been proven to improve CINV symptoms. The choice of acupuncture modality, especially for adolescents, is important in supporting the success of therapy. The aim of this study was to assess the effectiveness of laserpuncture in improving CINV symptoms on Rhodes index of nausea, vomiting and retching (RINVR) scores in adolescent patients undergoing chemotherapy.
Methods : The design of this study was a randomized double-blind clinical trial with sham control. This study followed 58 adolescent cancer patients undergoing chemotherapy who were randomly grouped into treatment (n=29) and control (n=29) groups. The treatment group received laserpuncture and standard antiemetics and the control group received sham laserpuncture and standard antiemetics. Laserpuncture or sham laserpuncture is performed once a day while the patient is undergoing chemotherapy. CINV symptom assessment using the RINVR score was carried out from 2 hours before chemotherapy, during chemotherapy to 3 days after chemotherapy.
Results : The RINVR score in the laserpuncture and standard antiemetic group compared to sham laserpuncture and standard antiemetic group at 2 hours before chemotherapy, the day of chemotherapy and 3 days after chemotherapy had a lower value and the difference in RINVR score between the two groups was statistically significant.
Conclusion : The combination of laserpuncture and standard antiemetics is effective in improving CINV symptoms based on RINVR scores in adolescent cancer patients undergoing chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dora Novriska
"Latar belakang: Chemotheraphy induced nausea and vomiting (CINV) merupakan efek samping kemoterapi yang dapat menurunkan kualitas hidup dan kepatuhan pengobatan. Emetogenisitas kemoterapi merupakan prediktor utama terjadinya CINV. Di samping itu terdapat faktor risiko lain yang berperan terhadap kejadian CINV. Pada pasien kanker anak yang menjalani kemoterapi, sistem skoring berdasarkan faktor risiko diperlukan untuk mengklasifikasikan individu berisiko agar mendapatkan profilaksis antiemetik yang adekuat untuk mengontrol terjadinya CINV.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang bertujuan untuk mngembangkan sistem skoring dari faktor risiko CINV pada anak berusia 0-17 tahun yang menjalani kemoterapi di RSCM pada Desember 2023 – Maret 2024. Analisis bivariat dilanjutkan multivariat dilakukan untuk menentukan faktor risiko utama CINV akut, delayed dan CINV derajat ≥ 2 menurut skor common terminology criteria for adverse events (CTCAE) National Cancer Institute. Selanjutnya dilakukan pembobotan skor dari faktor risiko utama CINV derajat ≥ 2 dengan regresi logistik. Akurasi sistem skoring dilakukan dengan analisis kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Sebanyak 198 subjek. Secara keseluruhan CINV terjadi pada 42,93% pasien dengan 32,3% subjek mengalami CINV derajat ≥ 2. CINV akut dan delayed dialami oleh masing-masing 26.77% dan 35,35% pasien. Berdasarkan analisis multivariat faktor risiko utama terjadinya CINV derajat ≥ 2 adalah riwayat mual/ muntah pada siklus kemoterapi sebelumnya, mendapatkan kemoterapi sisplatin dan terapi opioid. Analisis ROC menunjukkan akurasi yang cukup baik untuk memprediksi luaran dengan area under-the-curve (AUC) 0,669, p=0,034 IK 95% (0,602 – 0,736). Pasien dengan skor total 3-4 sebelum siklus kemoterapi diberikan, diklasifikasikan sebagai risiko tinggi untuk mengalami CINV derajat ≥ 2.
Simpulan: Sistem skoring ini dapat digunakan dalam praktek klinis untuk memprediksi risiko CINV sebagai dasar pemberian profilaksis antiemetik yang adekuat

Introduction: Chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) are significant adverse effects of chemotherapy that can negatively impact quality of life and treatment adherence. The emetogenicity of chemotherapy is the main predictor of CINV. Apart from that, there are other risk factors that play a role in the incidence of CINV. In pediatric oncology patients undergoing chemotherapy, a risk factor-based scoring system is essential to identify high-risk individuals. This classification enables the administration of appropriate antiemetic prophylaxis to effectively manage and control CINV.
Methods: This research is a prospective cohort study conducted to develop risk scoring system for CINV on children aged 0-17 years undergoing chemotherapy at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) from December 2023 to March 2024. Bivariate followed by multivariate analysis was performed to identify the main risk factors for acute, delayed and ≥ grade 2 CINV according to common terminology criteria for adverse events (CTCAE) scores National Cancer Institute. Subsequently, a scoring weight for the main risk factors of CINV grade ≥ 2 was determined using logistic regression. The accuracy of the scoring system was evaluated using receiver-operating characteristic (ROC) curve analysis.
Results: A total of 198 subjects were included in the study. Overall CINV occurred in 42.93% of patients with 32.3% of subjects experiencing CINV grade ≥ 2. Acute CINV and delayed CINV were experienced by 26.77% and 35.35% of patients, respectively. Multivariate analysis identified the main risk factors for CINV of grade ≥ 2 as a history of nausea/vomiting in previous chemotherapy cycles, receiving cisplatin chemotherapy, and opioid therapy. ROC analysis indicated a moderately good accuracy for predicting outcomes with an area under-the-curve (AUC) of 0.669, p = 0.034, 95% CI (0.602 – 0.736). Patients with a total score of 3-4 before each cycle of chemotherapy would be considered at high risk for developing ≥ 2 grade CINV.
Conclusion: This scoring system can be implemented in cli
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Zatil Izzah
"Latar belakang: Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan kanker tersering pada anak. Berbagai studi mendapatkan bahwa vitamin D berperan dalam pencegahan beberapa jenis kanker. Belum ada studi yang menilai hubungan status vitamin D dengan penyakit LLA pada anak di Indonesia.
Tujuan: Untukmengetahui hubungan antara status vitamin D dengan penyakit LLA pada anak.
Metode: Studi potong lintang pada 40 anak LLA yang baru terdiagnosis dan 40 anak sehat yang sesuai umur dan jenis kelamin. Pasien LLA diambil secara consecutive sampling di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUP Dr. M. Djamil Padang. Status vitamin D diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi Institute of Medicine yaitu defisiensi bila kadar < 12 ng/mL, insufisiensi 12 - <20 ng/mL, dan normal 20-100 ng/mL. Data dianalisa menggunakan uji Chi-Squaredan independent sample t-test, dengan kemaknaan p <0,05.
Hasil: Terdapat 22 (55%) anak laki-laki pada masing-masing kelompok dan kelompok usia 1-4 tahun merupakan kelompok terbanyak (48%). Mayoritas anak LLA memiliki status vitamin D normal (78%), demikian juga kelompok kontrol (63%). Terdapat 3(7%) dan 6(15%) anak LLA serta 1(2%) dan 14(35%) anak sehat memiliki status defisiensi dan insufisiensi berturut-turut dengan p =0,14. Rerata kadar vitamin D anak LLA adalah 25,1(7,6) ng/mL dan anak sehat 21,9(5,67) ng/mL, dengan perbedaan rerata 3,14 (IK95% 0,15-6,13) dan p =0,04.
Simpulan:Mayoritas anak LLA yang baru terdiagnosis memiliki status vitamin D normal. Rerata kadar vitamin D anak LLA lebih tinggi bermakna dari anak sehat, namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status vitamin D dan penyakit LLA pada anak.

Background:Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common cancer in children. Various studies have found that vitamin D plays a role in the prevention of several types of cancer. Currently, there is no study in Indonesia that assess association between vitamin D status and pediatric ALL
Objective:To determine association between vitamin D status and pediatric ALL.
Methods:A cross-sectional study of 40 newly diagnosed ALL children and 40 age-and sex-matched healthy children. ALL patients were taken by consecutive sampling at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta and Dr. M. Djamil Hospital Padang. Vitamin D status is classified based on Institute of Medicine recommendations; deficiency <12 ng/mL, insufficiency 12 - <20 ng/mL, and normal 20-100 ng/mL. Data were analyzed using Chi-square test and independent sample t-test. A p-value <0.05 is considered to be statistically significant.
Results: There were 22 (55%) boys in each group and the group 1-4 years was the most age group (48%). Majority of ALL children had normal vitamin D status (78%) and also in healthy children (63%). There were 3(7%) and 6(15%) ALL children as well as 1(2%) and 14(35%) healthy children had deficiency and insufficiency status consecutively, with p value =0.14. The mean vitamin D level of ALL children and healthy children were 25.1 (7.6) ng/mL and was 21.9 (5.67) ng/mL consecutively, with mean difference of 3.14 (95% CI 0.15-6.13) and p value =0.04..
Conclusion:The majority of newly diagnosed ALL children have normal vitamin D status. The mean vitamin D levels of ALL children was significantly higher than healthy children, however there was no significant association between vitamin D status and ALL in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Devina Esmeralda
"Latar belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronik residif dengan manifestasi utama berupa gatal dan iritasi kulit yang berkepanjangan. Antihistamin oral telah digunakan secara luas untuk mengurangi gatal pada DA namun efektivitasnya masih kontroversial. Setirizin merupakan antihistamin-1 generasi kedua yang digunakan pada penyakit alergi, termasuk gatal yang berhubungan dengan DA.
Tujuan. Untuk menilai efektivitas penggunaan setirizin dibandingkan dengan plasebo dalam terapi DA.
Metode. Studi klinis acak terkontrol dilakukan selama Agustus 2014 sampai Mei 2015. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi usia 6 bulan sampai 15 tahun dengan DA derajat sedang dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan diterapi dengan setirizin (0,25mg/kgBB, dua kali sehari untuk pasien < 2 tahun dan sekali sehari untuk pasien > 2 tahun) sedangkan kelompok kontrol mendapat plasebo. Derajat keparahan DA pada kedua kelompok diukur dengan indeks SCORAD dan kekambuhan DA dievaluasi setiap bulan selama 6 bulan.
Hasil penelitian. Total 38 subjek penelitian (18 plasebo, 20 setirizin) ikut serta dalam penelitian dan dianalisis dengan per protocol analysis. Karakteristik dasar meliputi usia, jenis kelamin dan riwayat atopi tidak berbeda di kedua kelompok. Derajat keparahan DA berdasarkan indeks SCORAD pada kedua kelompok adalah derajat sedang (kelompok kontrol 31,5 vs kelompok perlakuan 34,75). Selama pengobatan 6 bulan derajat keparahan DA menurun bertahap dengan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan (31,5 menjadi 0 vs 34,75 menjadi 0, p=0,200). Kekambuhan DA pada kelompok setirizin tidak lebih rendah daripada kelompok kontrol dengan tidak terdapat perbedaan bermakna (2 dari 17 subjek vs 2 dari 14 subjek, p=1,000).
Simpulan. Pengobatan setirizin selama 6 bulan pada anak dengan DA derajat sedang tidak dapat mengurangi kekambuhan maupun derajat keparahan penyakit.

Background. Atopic dermatitis (AD) is chronic relapsing skin disease, characterized by intense itching and inflammation. Oral antihistamine has been widely used to reduce pruritus of AD but the effectiveness is still controversial. Cetirizine is a second generation H1 selective antagonist that has been used in allergic diseases, including AD-associated pruritus.
Objective. To assess the efficacy of cetirizine compared with placebo for the treatment of AD.
Method. A randomized clinical controlled trial was performed during August 2014 until May 2015. Eligible patients aged 6 months ? 15 years with moderate AD was divided into treatment group and control group. Treatment group were treated for 6 months with cetirizine (0.25 mg/kg twice daily for patients < 2 years old, once daily for patients > 2 years old), while the control group was given placebo. The severity of AD between both groups was measured by SCORAD index and recurrence was evaluated every month for 6 month-period.
Results. A total of 38 subjects (18 with placebo, 20 with cetirizine) participated in this study and a per protocol analysis was performed. The baseline characteristics, including age, gender and atopic history were similar in both groups. The severity of AD according to SCORAD index were moderate (control group 31,5 vs treatment group 34,75). During 6 month-study period, the severity of AD decreased steadily with no statistical differences between placebo and treatment group (31,5 to 0 vs 34,75 to 0, p=0,200). The recurrence of AD in cetirizine group were not lower than control group with no statistical differences (2 from 17 subject vs 2 from 14 subject, p=1,000).
Conclusion. Cetirizine treatment in children with atopic dermatitis for 6 month-period cannot reduce reccurence and disease severity of moderate AD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Renato Nafarin
"ABSTRAK
Latar belakang: Sakit perut berulang SPB merupakan penyebab terbanyak dari sakit kronis pada anak. Irritable bowel syndrome IBS merupakan salah satu penyebab terbanyak dari SPB, ditandai oleh nyeri/ rasa tidak nyaman pada perut dan perubahan fungsi saluran cerna. Patofisiologi IBS saat ini banyak dihubungkan dengan gangguan pada mikroflora usus. Belum ada data tentang mikroflora usus pada anak dengan IBS di Indonesia.Tujuan: Mengetahui pola mikroflora saluran cerna pada anak penderita IBS dan anak sehat berusia 13-18 tahun di Indonesia.Metode: Penelitian kasus-kontrol dilakukan pada 22 anak penderita IBS dan 28 kontrol pada anak usia 13-18 tahun di SMP dan SMA di Jakarta Pusat. Diagnosis IBS menggunakan kriteria Rome III. Usia, jenis kelamin, pendidikan dicatat saat awal penelitian. Spesimen feses dikumpulkan lalu diperiksa jumlah Bifidobacterium dan Enterobacteriaceae.Hasil: Penderita IBS terbanyak dari perempuan 17/22 dengan median usia 16 tahun. Nilai median Bifidobacterium spp sebesar 138,95 rentang 0,2 ndash;22.735,8 pada kelompok IBS dan 232,5 rentang 1,9 ndash;38.985,6 CFU/gram pada kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan bermakna Bifidobacterium antara kedua kelompok p=0,493 . Nilai median Enterobacteriaceae sebesar 58,9 rentang 2,5 ndash;9.577,8 CFU/gram pada kelompok IBS dan 85 rentang 12,1 ndash;3.139,4 CFU/gram pada kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan bermakna Enterobacteriaceae antara kedua kelompok p=0,938 .Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara jumlah Bifidobacterium dan Enterobacteriaceae pada kelompok IBS maupun kontrol. Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah Enterobacteriaceae pada kelompok IBS dan peningkatan jumlah Bifidobacterium pada kelompok kontrol.Kata kunci: irritable bowel syndrome, mikroflora usus, Bifidobacterium, Enterobacteriaceae
"hr>"
"ABSTRACT
"
Background Recurrent abdominal pain RAP is the most frequent cause of chronic pain in children. Irritable bowel syndrome IBS is one of the most occuring type of RAP, marked with abdominal pain discomfort and changes in bowel movement. The current pathophysiology of IBS is associated with alterations of gut microflora. Currently, there is no data about gut microflora in children with IBS in Indonesia.Aim To evaluate gut microflora in healthy children and children with IBS aged 13 18 years old in Indonesia.Methods A case control study was conducted to 22 IBS children and 28 healthy subjects aged 13 18 years old at junior high school and senior high school in Central Jakarta. Irritable bowel syndrome diagnosed using Rome III criteria. Age, sex, and level of education were recorded. Stool samples were collected and investigated for Bifidobacterium and Enterobacteriaceae.Result Most of the IBS subjects were females 17 22 with a median age 16 years old. The median value of Bifidobacterium spp was 138.95 range 0.2 ndash 22,735.8 for the IBS subjects and 232.5 range 1.9 ndash 38,985.6 CFU gram on healthy subjects with no statistical difference p 0,493 . The median value of Enterobacteriaceae was 58.9 range 2.5 ndash 9,577.8 on IBS subjects and 85 range 12.1 ndash 3,139.4 CFU gram on healthy subjects with no statistical difference p 0,938 .Conclusion There was no statistical difference for Bifidobacterium and Enterobacteriaceae on either IBS or healthy subjects. There was an increasing tendency of Enterobacteriaceae on IBS subjects and increasing tendency of Bifidobacterium on healthy subjects.Keywords irritable bowel syndrome, gut microflora, Bifidobacterium, Enterobacteriaceae"
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>