Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhayati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Plasmodium vivax merupakan spesies penyebab malaria setelah P. falcifarum dan menyebabkan angka kesakitan yang tinggi. Akhir-akhir ini telah banyak laporan tentang parasit yang muncul kembali di dalam darah (rekurens) setelah diobati dengan klorokuin, sewaktu kadar klorokuin diperkirakan masih efektif, sehingga perlu dilakukan evaluasi efikasi klorokuin. Adanya variasi yang besar pada farmakokinetik klorokuin perlu dilakukan pengukuran kadar klorokuin dalam darah untuk membuktikan apakah rekurens disebabkan oleh parasit resisten. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian prospektif secara in vivo di daerah hiperendemik malaria, Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur terhadap 32 orang penderita malaria vivax yang diobati dengan kiorokuin dosis standar (25 mg/kg, selama 3 hari). Pasien tersebut diamati selama 28 hari terhadap parasitemia dan gejala klinis, kemudian dikonfirmasikan dengan kadar klorokuin dalam darah mereka.
Hasil dan Kesimpulan: Klorokuin efektif terhadap P. vivax pada 34, 4% (11/32) penderita. Sebanyak 65, 6% (21/32) mengalami kegagalan pengobatan dalam 28 hari. Tujuh belas orang mengalami kegagalan pengobatan sewaktu kadar klorokuin melebihi atau sama dengan kadar terapeutik minimal (100 ng/ml), sehingga parasit P. vivax terbukti resisten, sedangkan pada 4 orang kadar klorokuin dalam darah tidak terukur dan tidak terbukti resisten. Dan 17 orang tersebut, 5 orang mengalami kegagalan pengobatan pada hari ke-7 atau sebelumnya. Disimpulkan bahwa angka kegagalan pengobatan klorokuin terhadap P. vivax di Nusa tenggara Timur ialah 65, 6% dan angka resistensi 53,1%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T10971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meizi Fachrizal Achmad
"Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin diltubungkan dengan mutasi titik gen Pfcrt sehingga diduga menyebabkan meningkatnya efflux klorokuin dari vakuola makanan. Penelitian pada beberapa riegara secant in vivo memo rikan hasil yang berbeda pada daerah yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria dimana penggunaan klorokuin sejak lama telah memacu timbulnya resistensi dan saat ini bampir 50 % P. falcipaaum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah klorokuin masih dapat dipakai sebagai first line therapy, diperlukan analisa mutasi Plot yang berguna untuk memberikan masikan dalam kebijakan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparurn yang didapat dari pasien yang datang berobat ke Puskesmas Kenarilang (Alor) kemudan diberi klorokuin 25 mglkgbb selama 3 hari dan dilakukan pengamatan selama 28 hari. Dan spot darah pasien, DNA P. falciparum diekstrak dengan menggunakan metode Meier dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen Pfcrt. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihaQ. adanya mutasi.
Hasil dan Kesimpulan : Angka endemisitas malaria di Alor sebesar 65,9 % (1921292) dengan prevalensi malaria falsiparum sebesar 28,9 % (871292) sebagai infeksi tunggal dan 4,4 % (131292) sebagai infeksi campur. Sedangkan aagka kegagalan pengobatan sebesar 65 % (26140) dan diantaranya disebabkan oleh resistensi parasit terhadap klorokuin sebesar 56,3 % (18132). Mutasi pada kodon 76 Pfcrt memperlihatkan hubungan yang sangat bermakna dengan kegagalan pengobatan (p r 0,05). Selma penderits yang gagal dalam pengobatan (resisten) ternyata mengandung parasit yang mengalami mutasi pada gen Pfcrt sebesar 100 % (18/18). berdasarkan kriteria WHO, Alor dimasukkan ke dalam kategori "change period'.
Dengan demikian penggunaan klorokuin sebagai obat pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum di Alor sudah selayakrtya dievaluasi kernbali. Walaupun belum ideal, namun penggunaan terapi kornbinasi artemisin dengan amodiakuin dapat dijadikan sebagai pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ludong, Dorothea Theresia
"Penyakit malaria menduduki urutan utama di antara penyakit tropik endemik. Penyakit ini disebabkan oleh parasit genus plasmodium dan pada manusia diketahui empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium aralarias dan Plasmodium ovale. Dari ke empat spesies tersebut, Plasmodium falciparum adalah yang paling sering menyebabkan penyakit di daerah tropik dan berbahaya, karena dapat menimbulkan kematian (1). Oleh karena itu untuk menilai situasi malaria di suatu daerah, keberadaan Plasmodium falciparum perlu diketahui dengan jelas. Penilaian penyakit malaria di suatu daerah dapat dilakukan antara lain dengan survei malariometrik. Survei ini dapat menentukan prevalensi dan tingkat endemisitas malaria di daerah tersebut dengan mengukur angka limpa ("spleen rate") dan angka parasit ("parasite rate") (1,2). Angka limpa adalah persentase penduduk yang limpanya membesar dari seluruh penduduk yang diperiksa (1,2,3). Pada suatu infeksi malaria, limpa akan membesar untuk beberapa minggu walaupun parasit tidak ditemukan lagi dalam darah tepi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Ika Susanti
"Resistensi terhadap S/P dihubungkan dengan mutasi titik pada enzim DHFR/DHPS, sehingga menyebabkan melemahnya ikatan afinitas antara enzim dengan inhibitornya. Meskipun secara in vitro hal ini sudah dibuktikan, namun secara in vivo belum ada pola mutasi yang spesifik yang dapat digunakan untuk memperkirakan kegagalan S/P, mengingat penggunaan S/P sebagai first line atau second line di beberapa daerah endemik malaria memacu timbulnya resistensi SIP dalam waktu yang relatif cepat. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria, dimana hampir 50% P. falciparum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah S/P akan dipakai sebagai first line ataupun second line anti malaria drug , diperlukan analisis dari mulasi gen DHFR dan DHPS, yang berguna memberikan masukan untuk kebijkan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparum yang didapat dari pasien yang berkunjung ke Puskesmas Kenarilang (Alor) dan Hanura (Lampung) kemudian diberi S/P dan diikuti hingga 28 hari pengamatan. Dari spot darah pasien, DNA P. falciparum di ekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi chelex, dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen DHFR dan DHPS. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihat adanya mulasi di kedua gen tersebut.
Kegagalan pengobatan di Alor dan Lampung sebesar 8,5 % dan 22,5%. Dari kedua daerah ditemukan adanya mutasi DHFR yaitu aspargin 108 Alor vs Lampung sebesar 71,2% vs 87,2%, valin 16 sebesar 93,6% vs 33,3%, Arginin 59 sebesar 59,6% vs 72,4%. Tidak ditemukan adanya mutasi isoleusin 51 di kedua daerah, meskipun di Alor hanya ditemukan mutasi leusin 164 hanya sebesar 8,5%. Sedangkan mutasi DHPS pada residu glisin 437 sebesar 64% hanya ditemukan di Lampung saja. Proporsi mutasi ganda dikedua daerah masing-masing sebesar 48,9% dan 51,9% untuk Alor dan Lampung dengan predominasi aspargin 108 + arginin 59. Aspargin 108 + arginin 59 I(DHFR), glisin 437 (DHPS) atau gabungan ketiganya (DHFR mutan + DHPS mutan) berhubungan dengan kegagalan pengobatan S/P. Ada hubungan age-dependent distribusi parasit dengan alel gen DHFR mutan + DHPS mutan dimana akan semakin dijumpai dalam proporsi yang semakin sedikit di usia dewasa (> 20 tahun). Terdapat perbedaan proporsi pembawa gametosit dimana diakhir pengamatan (H28). dimana Lampung lebih banyak dari Alor. Penggunaan SIP di Alor masih dapat dipakai sepanjang tidak digunakan sebagai first line antimalaria drug dan harus digunakan dengan kombinasi SIP dan obat lainnya. Sedangkan di Lampung penggunaan SIP sebaiknya diganti mengingat tingginya mutasi di daerah tsb."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedeh Endawati
"Kegagalan pengobatan dengan klorokuin dapat disebabkan oleh faktor hospes dan faktor parasit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui absorpsi obat pada hari ke-3 dan kadarnya pada hari rekurens dari penderita malaria falsiparum dan vivaks yang diobati klorokuin.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai September 2002 di puskesmas Hanura, propinsi Lampung, Indonesia. Enam puluh enam penderita terdiri dari 33 malaria falsigarum dan 33 malaria vivaks diberikan klorokuin dengan dosis standar (25 mg/kgbb, selama 3 hari). Pasien diamati secara klinis dan parasitologi selama 28 hari dan diambil darah pada hari ke-0, 2, 3, 7, 14, 21, 28. Empat puluh sembilan dari 66 penderita malaria mengalami kegagalan pengobatan yaitu 25 penderita malaria falsiparum dan 24 penderita malaria vivaks. Kadar klorokuin diukur dengan HPLC sesuai metode Patchen pada hari ke-0, 3, 28 dan saat terjadi rekurens.
Absorpsi klorokuin (1-13) ditemukan tidak adekuat pada 54,5% (18/33) penderita malaria falsiparum dan 94,4 % (17/18) penderita tersebut mengalami kegagalan pengobatan. Sedangkan dari 51,5% (17/33) penderita malaria vivaks yang absorpsinya in adekuat terclapat 82% (14/17) mengalami kegagalan pengobatan. Hampir seluruh (96%=24/25) penderita malaria falsiparum yang gagal mempunyai kadar klorokuin 2200 ng/ml pada hari rekurens. Sedangkan pada penderita malaria vivaks 79% (19/24) kadar klorokuin darah lebih besar dari 100 ng/ml pada waktu terjadi rekurens.
Penelitian di Lampung Selatan ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa kegagalan pengobatan klorokuin terutama disebabkan oleh absorpsi klorokuin yang inadekuat.

Therapeutic failure with chloroquine thempy of malaria can be caused by hospes and parasite factor. The aim of this study is to know drug absorptions on day-3 and drug levels on recurrent days For falciparum and vivax malaria patiens treated by chloroqune.
The study was conducted during June and September 2002 in Hanura health center, Lampung province, Indonesia. Sixty-six patients consisted of 33 malaria falciparum patients and 33 malaria vivax patients administered supervised standard chloroquine therapy (25 mg/kg, for 3 days) and followed clinically and parasitologically for 28 days. Blood sample of all pateints were taken on day-0, 2, 3, 7, 14, 21 and 28. Forty-nine of 66 patients had therapeutic Failure, consisted of 25 falciparum malaria and 24 vivax malaria patients. Whole blood chloroquine concentrations were measured by HPLC according to method of Patchen on day-0, 3, 28 and on the day of reccurance.
It was found 54,5% (18/33) falciparum malaria patients had inadequate chloroquine absorptions and from those number 94,4% (17/18) patients had therapeutic failure, whereas 51,5% (17/33) vivax malaria patients had inadequate chloroquine absorptions, there were 82% (14/17) had therapeutic failure. Most of the falciparum malaria patients (96%=24/25) who failed had chloroquine level 2200 ngfml on recurrent days, whereas 79% (19/24) vivax malaria patients had chloroquine level 2100 ng/ml on recurrent days.
The result of this study in South Lampung requires further data in order to clarify that chloroquine therapeutic failure is especially caused by inadequate chloroquine absorptions."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervi Salwati
"Ruang tingkup dan cara penelitian: Sampai saat ini, diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopik. Cara ini memiliki keterbatasan : untuk mendapatkan tenaga mikroskopis yang berkualitas, mendeteksi parasit pads densitas rendah, mengidentifikasi spesies dan infeksi campur. Uji cepat malaria berdasarkan deteksi antigen yang dihasilkan plasmodium (HRP-2, pan-LDH dan aldolase) telah dikembangkan dengan menggunakan antibodi monokional. Adanya perbedaan batas deteksi terendah antara deteksi antigen dan pemeriksaan mikroskopik perlu digunakan PCR sebagai alat untuk koreksi, karena PCR mempunyai sensitivitas melebihi mikroskopik Dengan kelebihan ini, hasil pemeriksaan mikroskopik akan terkoreksi dengan baik. Sampel penelitian ini adalah 495 pasien tersangka malaria yang datang berobat ke Puskesmas Hanura (Lampung Selatan). Deteksi antigen dilakukan pads saat darah diambil Pemeriksaan mikroskopik dilakukan di Jakarta tanpa mengetahui hasil pemeriksaan deteksi antigen. Dari spot darah pasien DNA di ekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi saponin-chelex dan selanjutnya dilakukan annplifikasi DNA dengan primer yang mengapit daerah 18S ssu rRNA.
Hasil :Ketidak sesuaian hasil antara pemeriksaan mikroskopik dan deteksi antigen HRP-2 dengan atau tanpa pan-LDH, ditemukan pada 38 penderita yang dikelompokkan menjadi : 1) positif palsu sebanyak 47,4% (18/38), 2) negatif palsu 40% (15138); 3) ketidak sesuaian spesies 13,2% (5138). Setelah dikoreksi PCR, positif palsu berkurang menjadi 11 dan negatif palsu menjadi 14. Deteksi antigen HRP2 dengan atau tanpa pan-LDH mempunyai sensitivitas lebih balk dalam mendeteksi P.falciparum dibandingkan mikroskopik walaupun perbedaan tersebut tidak bermakna untuk deteksi antigen HRP-2 saja, tetapi bermakna untuk deteksi antigen HRP-2 dengan pan-LDH. Pemeriksaan mikroskopik mempunyai sensitivitas lebih baik dari pada deteksi antigen pan-LDH dalam mendeteksi P. viva:c tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna.
Kesimpulan : deteksi antigen HRP-2 dengan atau tanpa pan-LDH tidak dapat menggantikan pemeriksaan mikroskopik."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anisa Salsabilla Oktaviani
"Pendahuluan: World Health Organization (WHO) melaporkan ratusan juta jiwa di seluruh dunia terinfeksi malaria setiap tahunnya. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dengan prevalensi malaria tertinggi. Di daerah endemis, malaria menjadi salah satu penyebab utama demam pada anak. Namun, hingga saat ini penelitian di Indonesia mengenai infeksi malaria dan hubungannya dengan demam belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara demam dan riwayat demam dengan infeksi malaria pada kelompok usia anak sekolah dasar di Nusa Tenggara Timur.
Metode: Penelitian potong-lintang ini melibatkan anak sekolah dasar, berusia 6-16 tahun pada 5 SD di Kecamatan Wewiku, NTT. Parasit malaria terdeteksi dengan mikroskop dan RT-PCR. Demam didefinisikan sebagai suhu ≥ 37,5 °C diukur saat dilakukan wawancara dengan termometer telinga. Riwayat demam didefinisikan menderita demam 1 minggu terakhir. Data dianalisis menggunakan SPSS dengan uji Chi-square dan uji lanjutan Post-Hoc untuk analisis hubungan antara infeksi malaria dengan demam atau riwayat demam. Selain itu, uji Kruskal-Wallis untuk analisis hubungan densitas parasit dengan demam atau riwayat demam.
Hasil: Di antara 348 anak sekolah dasar, ditemukan prevalensi infeksi malaria sebesar 34,8% dengan proporsi seimbang antara infeksi mikroskopik (16,4%) dan infeksi submikroskopik (18,4%). Secara keseluruhan, infeksi P. vivax (82,6%) lebih tinggi dari P. falciparum (15,7%). Proporsi demam didapatkan 4,3% dan riwayat demam 17,5%. Infeksi mikroskopik 4,6 kali lebih banyak menyebabkan demam atau riwayat demam daripada yang tidak terinfeksi (OR = 4,601; 95% CI = 2,442─8,670; p <0,01). Sebaliknya, infeksi submikroskopik lebih banyak tidak menimbulkan demam atau riwayat demam dibandingkan infeksi mikroskopik (76,6% vs 54%; p = 0,009). Pada infeksi P. falciparum, penderita dengan demam atau riwayat demam mengandung jumlah parasit lebih tinggi daripada kelompok yg tidak demam (2.499 vs 5.001 vs 77). Namun hal ini tidak berlaku pada infeksi P. vivax (242 vs 272 vs 168).
Simpulan: Densitas parasit Plasmodium yang lebih tinggi cenderung menyebabkan demam atau riwayat demam. Temuan ini mendukung riwayat demam dijadikan sebagai tambahan indikator diagnosis malaria.

Introduction: World Health Organization (WHO) reports that hundreds of millions of people worldwide are infected with malaria each year. East Nusa Tenggara is one of provinces in Indonesia with the highest prevalence of malaria. In endemic areas, malaria is one of the main causes of fever in children. However, until now research in Indonesia regarding malaria infection and its relationship with fever has not been conducted. This study aims to examine the relationship between fever and history of fever with malaria infection among school-age children in East Nusa Tenggara, Indonesia.
Methods: This cross-sectional study involved elementary school children, aged 6-16 years at 5 elementary schools in Wewiku District, NTT. Malaria parasites were detected by microscope and RT-PCR. Fever was defined as an temperature ≥ 37.5° C, measured at the time of interview with an ear thermometer. History of fever was defined as having had fever in the last 1 week by asking history taking the subject. The data were analyzed using SPSS with Chi-square test and Post-Hoc follow-up test to analyze the relationship between malaria infection and fever or a history of fever. In addition, the Kruskal-Wallis test to analyze the relationship between parasite density and fever or history of fever.
Results: Among 348 primary school children, it was found that the prevalence of malaria infection was 34.8%, with a balanced proportion between microscopic infection (16.4%) and submicroscopic infection (18.4%). Overall, the proportion of infection was higher in P. vivax (82.6%) compared to P. falciparum (15.7%). The proportion of fever was 4.3% and a history of fever was 17.5%. Microscopic infections were 4.6 times more likely to cause fever or a history of fever than those who were not infected (OR = 4.601; 95% CI = 2.442─8.670; p <0.01). In contrast, submicroscopic infections were more likely to not cause fever or history of fever than microscopic infections (76.6% vs 54%; p = 0.009). In P. falciparum infection, patients with fever or a history of fever contained a higher number of parasites than the non-fever group (2.499 vs 5.001 vs 77). However, this did not apply to P. vivax infection (242 vs 272 vs 168).
Conclusion: Higher Plasmodium parasite density were associated with higher risk of fever and history of fever. These findings support the history of fever as an additional indicator of malaria diagnosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Mawar Cita Puspita
"Pendahuluan: Malaria masih menjadi permasalah kesehatan terutama di Indonesia bagian Timur. Di daerah endemis infeksi malaria dapat terjadi secara mikroskopik dan submikroskopik. Namun sejauh ini, penelitian mengenai relevansi klinis infeksi malaria terhadap anemia di daerah endemis belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara infeksi malaria dengan anemia pada kelompok anak usia sekolah di provinsi Nusa Tenggara Timur.
Metode: Penelitian potong-lintang ini melibatkan subjek siswa sekolah dasar kelas I-V berusia 6-16 tahun dari beberapa sekolah dasar di kecamatan Wewiku Nusa Tenggara Timur. Infeksi malaria ditentukan berdasarkan pemeriksaan apus darah menggunakan Giemsa 3% dan RT-PCR. Kadar hemoglobin dinilai dengan alat HemoCue® Hb 201 portabel dan anemia ditentukan berdasarkan sistem klasifikasi WHO. Analisis hubungan antara infeksi malaria dan anemia dilakukan dengan uji Chi-square dan Mann-Whintey, sementara uji korelasi dilakukan dengan uji Spearman. Seluruh analisis data dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) for Windows versi 20.
Hasil: Sebanyak 348 anak sekolah dasar terlibat dalam penelitian ini. Proporsi infeksi malaria ditemukan sebesar 34,8% terdiri dari 18,4% infeksi submikroskopik dan 16,4% infeksi mikroskopik. Infeksi malaria yang terjadi didominasi oleh P.vivax (82,6%), diikuti oleh P.falciparum (15,7%), dan mixed infections (1,7%). Sementara itu, proporsi anemia ditemukan sebesar 55,2%, mayoritas anemia yang ditemukan termasuk ke dalam kategori ringan (>11 g/dL). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara infeksi submikroskopik dengan anemia (OR=0,809, 95% CI [0,464-1,410], p=0,454). Akan tetapi, ditemukan korelasi negatif sedang yang signifikan antara densitas parasit infeksi mikroskopik P.vivax dengan anemia (r= -0,408, p=0,005). Analisis pada infeksi P.falciparum tidak dapat dilakukan karena jumlah sampel tidak mencukupi.
Simpulan: Anemia pada wilayah studi bukan disebabkan oleh infeksi submikroskopik. Namun, infeksi mikroskopik dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan berpotensi menjadi kontributor terhadap anemia. Dengan demikian, diperlukan pemeriksaan kadar hemoglobin pada penderita malaria mikroskopik untuk mengantisipasi kejadian anemia.

Introduction: Malaria is still a health problem, especially in eastern Indonesia. In endemic areas, malaria infection can occur microscopically and submicroscopically. However, there have not been many studies on the clinical relevance of malaria infection to anemia in endemic areas. This study aims to investigate the association between malaria infection and anemia in a group of school-age children in the province of East Nusa Tenggara.
Methods: This cross-sectional study involved the subjects of elementary school students from grade 1-4 aged 6-16 years from several elementary schools in Wewiku subdistrict, East Nusa Tenggara. Malaria infection was determined based on blood smear examination using Giemsa 3% and RT-PCR. Hemoglobin levels were assessed using a portable HemoCue® Hb 201 device and anemia was determined according to the WHO classification system. Analysis of the relationship between malaria infection and anemia was performed using the Chi-square and Mann-Whintey tests, while the correlation test was analysed with Spearman test. All data analyzes were performed with the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) for Windows version 20.
Results: A total of 348 elementary school children were involved in this study. The proportion of malaria infections was 34.8%, consisting of 18.4% submicroscopic infections and 16.4% microscopic infections. The malaria infections were dominated by P. vivax (82.6%), followed by P. falciparum (15.7%), and mixed infections (1.7%). Meanwhile, the proportion of anemia was found to be 55.2%, the majority of anemia was in the mild category (>11 g / dL). There was no significant association between submicroscopic infection and anemia (OR = 0.809, 95% CI [0.464-1.410], p = 0.454). However, there was a significant negative correlation between parasite density of microscopic P. vivax infection and anemia (r = -0.408, p = 0.005). Analysis of P. falciparum infection cannot be performed due to insufficient sample size.
Conclusion: Anemia in the study area was not caused by submicroscopic infection. However, microscopic infection can lead to decreased hemoglobin levels and can be a potential contributor to anemia. Thus, it is necessary to check hemoglobin levels in microscopic malaria patients to anticipate the incidence of anemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Astuty
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Berbagai faktor respon imun & seluler yang spesifik telah dipelajari sebagai dasar pengembangan vaksin malaria. Selain itu respon imun non spesifik akhir-akhir ini mulai banyak diteliti; salah satunya adalah nitrogen oksida (NO). Penelitian yang dilakukan di 2 daerah yang berbeda tingkat endemisitasnya memberi kadar NO labia tinggi di daerah hipo daripada hiperendemik. Penelitian lebih lanjut pada berbagai golongan umur di suatu daerah endemi diperlukan untuk mengetahui variasi kadar NO pada kelompok yang imunitasnya berbeda. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kadar NO pada berbagai golongan umur, serta hubungannya dengan parameter parasitemia dan splenomegali.
Hasil dan kesimpulan.: Sebanyak 150 serum penduduk desa Tipuka, Irian Jaya yang terdiri dari kelompok anak berumur 3 - 5 tahun (19 orang ), anak berumur 6 - 9 tahun 51 orang) dan kelompok dewasa z 15 tahun (80 orang) didalamkan pemeriksaan kadar NO, parasitemia dan splenomegali. Kadar NO diukur sesuai dengan metoda Rocket dkk. (1992) dengan uji Reactive nitrogen intermidiates (RNI). Hasil penelitian memperlihatkan kadar NO tertinggi ditemukan pada kelompok anak berusia 6 - 9 tahun dan berbeda bermakna dibandingkan kadar NO kelompok dewasa (p = 0.0001 ); tetapi tidak bermakna bila dibandingkan kadar NO kelompok anak 3 - 5 tahun (p = 0.0848 ). Pada anak umur 6 - 9 tahun kelompok tanpa parasitemia, kadar NO nya lebih tinggi daripada kelompok parasitemia (p = 0.0239 ); demikian juga dengan splenomegali, dimana kelompok tanpa splenomegali kadar NO lebih tinggi daripada kelompok dengan splenomegali. Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar NO pada berbagai kelompok umur suatu populasi yang tinggal di daerah malaria dengan endemisitas tinggi. Pada kelompok umur 6 - 9 tahun yang kadar NO nya tertinggi ada kemungkinan bersifat protektif terhadap infeksi malaria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>