Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Faisal Alamsyah
"ABSTRAK
Masjid agung Pondok Tinggi adalah salah satu masjid yang terletak di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Masjid ini belum pemah diteliti secara khusus. Pada tahun 1998 SPSP Jambi, Sumsel, Bengkulu melakukan pemerian dan studi konservasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk arsitektur dan ragam hias Masjid Agung Pondok Tinggi, Kerinci sebagai masjid kuno juga untuk mengungkapkan percampuran budaya akulturasi antara budaya Islam dengan budaya lokal ( Kerinci ) dan budaya Minangkabau di dalam pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi.
Untuk mecapai tujuan di atas maka diperlukan langkah - langkah penelitian secara bertahap yang dapat mengidentifikasikan :a. Bentuk arsitektur dan ragam hias Masjid Agung Pondok Tinggi secara menyeluruh sehingga dapat diketahui ciri khas yang dimiliki Masjid Agung Pondok Tinggi Sebagai masjid kuno. b.Ciri - ciri khas dari komponen - komponen bangunan masjid agar dapat diketahui ada tidaknya ciri - ciri yang asalnya bukan dari daerah Kerinci.
Dengan demikian tahap kerja yang harus dilakukan pada tingkat observasi adalah memerikan unsur - unsur bangunan masjid yang meliputi : Pondasi dan denah, ruang utama, mihrab, tiang, ruang tempat adzan, atap, ragam hias, bedug, dan mimbar. Pada tingkat deskripsi/ analisa akan dilakukan perbandingan. Perbandingan dilakukan antara komponen - komponen tertentu dari masjid dengan literatur maupun bangunan dari berbagai daerah untuk membuktikan yang mana komponen asli dari daerah Kennel dan yang mana yang bukan. Perbandingan dilakukan dengan memperbandingan langsung komponen masjid seperti atap masjid dengan atap-atap bangunan tradisional kerinci maupun minangkabau. Pemilihan unsur - unsur tersebut didasari atas pertimbangan bahwa komponen tersebut merupakan satu kesatuan arsitektur bangunan masjid. Digunakannya sumber dari Minangkabau disebabkan oleh latar sejarah yang menyebutkan bahwa proses lslamisasi yang terjadi di Kerinci berasal dari Minangkabau. Pada tahap akhir adalah melakukan penjelasan terhadap data yang telah dianalisa, baik penjelasan berupa tulisan maupun gambar.
Dengan masuknya agama Islam ke dalam masyarakat Islam, tidak berarti semua unsur dalam kebudayaan Kerinci berubah. Salah satunya adalah arsitektur. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Masjid Agung Pondok Tinggi diketahui bahwa bentuk arsitektur dan ragam hiasnya sangat jelas memperlihatkan pengaruh arsitektur lokal yang kemudian menjadi ciri khas /keunikan dari masjid tersebut.

"
2001
S11835
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Ariesna Elvijanny
"Mesjid Agung Palembang adalah salah satu mesjid tua di Palembang sekaligus yang terbesar. Mesjid ini memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh mesjid tua lainnya di Indonesia yaitu denah bujursangkar, beratap tumpang, memiliki serambi. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah: a. Metode deskriptif; b. Metode komparatif. Teknik yang digunakan adalah teknik wawancara dan teknik pengamatan. Sebagai perbandingan dilakukan pengamatan terhadap Mesjid Agung Banten serta Rumah Limas Palembang."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S11937
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juny Setyantari
"Penelitian mengenai mata uang logam pada masa kolonial lakukan di Museum Nasional Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis mata uang berdasarkan nilai, berat dan masa untuk melihat perkembangannya dari tiap-tiap masa serta mengetahui kemungkinan adanya hubungan mata uang ini dengan keadaan perekonomian pada masa tersebut. Metode yang digunakan dalam analisis ini, yaitu metode analisis khusus (specific analysis), yang didasarkan pada ciri-ciri khusus dari seluruh atribut pada mata uang logam seperti bentuk, ukuran, hiasan, bahan serta keadaan fisiknya.
Setelah diklasifikasi berdasarkan atribut yang lama, kemudian dilakukan terlebih dahulu pemilahan atas dasar frekuensi (jumlah), hal ini bertujuan agar dapat diketahui jumlah sebenarnya dari mata uang yang akan diteliti dan mata uang yang tidak akan diteliti. Kemudian mata uang ini diklasifikasi dengan menitikberatkan pada pengamatan terhadap atribut-atribut untuk membentuk tipe. Selanjutnya tipe-tipe tersebut disusun secara berurutan berdasarkan masanya untuk mengetahui jenis-jenis mata uang tersebut, sehingga dapat melukiskan perkembangan mata uang tersebut.
Hasil yang dicapai dari penelitian tentang mata uang logam Bonk, yaitu bahwa mata uang tersebut terdiri dari 3 tipe berdasarkan nilainya dimana ketiga tipe tersebut dikelompokkan berdasarkan 4 masa yang berbeda. Kemudian dapat diketahui secara lebih jelas jenis-jenis mata uang Bonk dari tiap-tiap masa tersebut hingga diketahui perkembanganya. Selain itu dapat dilihat kemungkinan hubungan mata uang ini dengan keadaan perekonomian pada masa itu.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini, yaitu bahwa mata uang logam Bonk dapat membantu penelitian tentang kronologi walaupun tidak secara mutlak. Selain itu dengan melakukan penelitian kronologi berdasarkan urutan waktu, maka dapat diketahui perkembangan mata uang tersebut dan kemungkinan adanya hubungan mata uang Bonk dengan keadaan perekonomian pada masa itu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S11741
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prajodi Daris Andaru
"Kekuasaan merupakan konsep yang melekat pada masyarakat feodal. Pada masyarakat feodal di Jawa abad XV-XIX kekuasaan dipegang oleh sultan. Kekuasaan dapat direpresentasikan ke dalam berbagai bentuk termasuk kebudayaan material. Representasi kuasa sultan di Jawa dapat dikaji dengan menggunakan mimbar masjid sebagai objek kajian karena mimbar masjid merupakan kebudayaan material. Kebudayaan material dapat merepresentasikan kelas sosial penggunanya. Oleh karena itu, pada paper ini akan membahas representasi kuasa yang terdapat pada 11 mimbar masjid di pulau Jawa yang berasal dari abad XV-XIX. Masjid-masjid yang dibahas merupakan masjid kerajaan dan bukan kerajaan. Melalui analisis komparatif pada masjid kerajaan dengan masjid yang bukan kerajaan maka diketahui keberadaan perbedaan dan kehadiran representasi kuasa.

In feudal society, the concept of power cannot be separated to their daily life. In 15th to 19th century, in Javanese feudal society Sultan was a figure who is on the top of the pyramid of power. His power could represent in varied forms including material culture such as minbar. It because material culture could represent the users social status. Therefore, this paper will discuss about representation of power in 11 mosque rsquo s minbar in Java island which was dated from 15th until 19th century. The selected mosque was divided into two category the royal mosque and the non royal mosque. By comparing these mosque we could find out the presence of Sultan representation through his minbar. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Nurlia
"Penelitian mata uang Hindia Belanda tahun 1816-1942 dilakukan dengan menggunakan data yang ada di Museum Nasional. Selain itu, digunakan Pula data pustaka yang mendukung penelitian ini. Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis mata uang Hindia Belanda dan dihubungkan dengan keadaan keberadaan penguasa Hindia Belanda pada masa itu.Jenis-jenis mata uang Hindia Belanda tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut terutama dapat dilihat pada tanda-tanda cetak yang tertera serta jenis tulisan yang digunakan dari waktu ke waktu. Secara keseluruhan. Jenis tulisan yang digunakan ada empat macam yaitu huruf Latin, Arab, Jawa dan Cina.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanda tempat cetak pada umumnya memiliki tanda dari Utrecht sedangkan tanda lainnya yaitu tanda yang mengepalai tempat cetak sesuai dengan tahun-tahun mereka mengepalai percetakan tersebut. Bervariasinya jenis tulisan menunjukkan bahwa yang menggunakan mata uang tersebut terdiri dari berbagai kalangan. Maksud dari, bervariasinya tulisan tersebut adalah agar dapat dimengerti oleh masing-masing pihak. Isi dari semua tulisan tersebut sama yaitu memuat tentang nilai nominal dari mata uang tersebut, pihak yang mengeluarkan, serta peraturan-peraturan dari pemerintah yang berkaitan dengan mata uang tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S11781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Yuniati
"Ragam hias wadasan dan mega mendung merupakan ragam hias yang banyak menghiasi bangunan-bangunan di Kepurbakalaan Islam Cirebon. Dianatara bangunan_bangunan kuno di cirebon, keraton merupakan salah satu bangunan yang dihiasi oleh kedua ragam hias. Terdapat tiga keraton di Cirebon, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Keraton Kacirebonan merupakan satu-satunya yang tidak dihiasi kedua ragam hias tersebut. Ragam hias wadasan telah ada sejak masa pemerintahan Sunan Gunung Jati. Hal itu terbukti dengan adanya wadasan pada area bekas Keraton Pakungwati. Sedangkan ragam bias mega mendung, menurut para ahli, merupakan ragam hias yang bentuknya dipengaruh kebudayaan Cina.
Penelitian terhadap aspek bentuk kedua ragam hias di kedua keraton menunjukkan adanya bentuk-bentuk khas yang dimiliki oleh masing-masing keraton, di samping bentuk-bentuk yang umum ditemui di kedua keraton. Bentuk-bentuk khas wadasan di Keraton Kasepuhan adalah bentuk dasar segitiga dengan puncak membulat dan segitiga dengan puncak mendatar. Bentuk wadasan yang hanya terdapat di Keraton Kanoman adalah bentuk dasar belah ketupat dan kerucut. Bentuk wadasan yang terdapat di kedua keraton adalah bentuk dasar segitiga dengan puncak meruncing.
Bentuk mega mendung yang hanya ada di Keraton Kasepuhan adalah bentuk dasar belah ketupat dengan garis-garis pembentuk yang arahnya vertikal. Keraton Kanoman tidak mempunyai bentuk mega mendung yang khas,'karena di keraton tersebut mega mendungnya adalah mega mendung yang berbentuk dasar belah ketupat dengan garis-garis pembentuk yang arahnya horisontal yang terdapat juga di Keraton Kasepuhan.
Selain perbedaan bentuk, terdapat perbedaan pemilihan bahan pembuat mega mendung pada kedua keraton. Di Keraton Kasepuhan hanya bahan tras tang dipilih untuk membentuk mega mendung, sedangkan di Keraton Kanoman, selain bahan tras, bahan kayu dan kulit binatang (sapi) juga dipakai untuk membuat mega mendung. Perbedaan pemilihan bahan tidak terlihat pada wadasan, karena wadasan di kedua keraton sama_sama dibuat dengan menggunanakan bahan kayu, tras, dan karang.
Perbedaan yang juga terlihat antara kedua aragam hias di kedua keraton juga terlihat pada keberadaan wadasan di masing-masing keraton. Di Keraton Kasepuhan, wadasan merupakan ragam hias yang lebih banyak terlihat sebagai bagian dari satu kelompok ragam hias, seperti pada relief yang memuat berbagai bentuk ragam hias, termasuk wadasan. Di Kanoman, wadasan lebih cenderung sebagai ragam hias yang mandiri, tidak menjadi bagian dari satu kelompok ragam hias.
Persamaan yang teramati, selain persamaan pemilihan bahan wadasan, pola persebaran kedua jenis ragam hias. Baik( wadasan maupun mega mendung sama-sama tersebar pada bangunan-bangunan dan benda-benda yang terletak di halaman III (halaman paling selatan kompleks bangunan) kedua keraton, kecuali wadasan yang menempel pada tembok pembatas halaman II dan III KeratonKanoman.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mungkin didorong oleh pengaruh kekuasaan raja dan penghuni masing-masing keraton. Sedangkan persamaan-persamaan yang timbul agaknya dipengaruhi oleh keberadaan kaidah-kaidah yang dijadikan pegangan oleh para seniman dalam membuat atau penempatkan ragam hias wadasan dan mega mendung di keraton Kasepuhan dan Kanoman. kaidah-kaidah tersebut bisa berupa tradisi atau kebiasaan turun temurun."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S-11844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jatmiko
"ABSTRAK
Cekungan Soa adalah sebuah dataran rendah berbentuk lembah yang terjadi
karena letusan gunungapi purba pada Kala Pliosen sehingga membentuk kaldera. Pada
masa selanjutnya (Kala Pleistosen), kondisi cekungan berubah menjadi sebuah danau
besar dengan lingkungan yang subur, schingga telah mengundang berbagai makhluk
hidup (manusia dan binatang) datang dan menghuni di sekitar lingkungan danau tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti temuan artefak dan ekofak yang didapatkan dalam penelitian,
kehidupan purba di wilayah ini diduga telah berlangsung sejak Kala Pleistosen Bawah -
awal Pleistosen Tengah (Morwood dkk, 1999)
Cekungan Soa yang mempunyai luas sekitar 35 x 22 km dan terletak sekitar 15
kilometer di timur laut kota Bajawa (ibukota Kabupaten Ngada, Flores Tengah) ini
memperlihatkan bentang alam yang khas terbuka, mengingatkan kita pada lingkungan
umum kehidupan Homo erectus. Kobatuwa yang menjadi fokus penelitian ini merupakan
salah satu bagian/lokasi dari sejumlah situs di wilayah Cekungan Soa dan teriftak di Desa
Piga, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada (Flores Tengah), Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Secara astronomis, posisi situs berada pada koordinat 08° 41° 17,4 " LS dan 121° 05' 16,4 " BT, serta berada pada ketinggian 325 meter di atas permukaan laut.
Secara geomorfologis, wilayah Soa merupakan sebuah cekungan yang dikelilingi
oleh dataran tinggi dan gunung api serta sebaran bukit-bukit kecil dan lembah-lembah
terjal yang di bagian tengahnya ditoreh oleh aliran sungai Ae Sisa yang mengalir arah
timur laut - barat daya (Suminto dkk, 1998). Secara stratigrafis, susunan batuan yang tersingkap di Cekungan Soa (dari tua ke muda) adalah sebagai berikut: Formasi Olakile, Formasi Olabula, Batugamping Gero, dan batuan Gunungapi Resen (Hartono, 1961).
Cekungan So tampil pertama kali dalam studi prasejarah berawal pada tahun
1960-an ketika Th. Verhoeven melakukan penelitian di wilayah ini dan menemukan
berbagai artefak batu di Situs Mata Menge, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Berdasarkan
penemuannya yang berasosiasi dengan fosil Stegodon, Verhoeven menduga pembuat
artefak ini adalah manusia purba Homo erectus dan berasal dari kurun waktu sekitar
750.000 tahun lalu (Verhoeven, 1968). Hasil-hasil penelitian sejauh ini semakin mengkonfirmasikan hipotesis Verhoeven. Wilayah Cekungan Soa dalam kenyataan merupakan kompleks situs purba yang kaya akan artefak dan fosil fauna. Walaupun belum menemukan sisa manusianya, namun penemuan himpunan artefak dan fosil-fosil fauna (antara lain Stegodon, buaya, komodo, kura-kura darat, dan sejenis tikus besar) di berbagai situs di Cekungan Soa sudah diperkuat dengan data pertanggalan absolut, sehingga dapat diketahui umurnya secara pasti. Dengan demikian, hal ini semakin memastikan bahwa Homo erectus telah mendiami Cekungan Soa pada kurun waktu antara 900.000 - 700.000 tahun yang lalu (Morwood dkk, 1999).
Di wilayah Cekungan So in telah ditemukan sebanyak 12 lokasi/situs yang
mengandung temuan alat-alat bat Paleolitik yang berasosiasi dengan fosil-fosil tulang vertebrata. Temuan alat-alat batu yang berasosiasi dengan fosil-fosil tulang Stegodon dari hasil penelitian di Situs Kobatuwa secara nyata merupakan data yang sangat penting dan signifikan dalam perkembangan penelitian di wilayah Cekungan Soa. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, temuan alat-alat batu yang didapatkan umumnya
hanya berupa alat serpih, namun dalam perkembangan penelitian belakangan ini ternyata alat-alat masif mulai banyak ditemukan. Hal ini sangat penting artinya, karena alat-alat
masif (seperti kapak perimbas dan penetak) yang selama ini diduga oleh para ahli
merupakan produk budaya manusia purba Homo erectus, sekarang telah banyak
dibuktikan keberadaannya di Situs Kobatuwa. Keberadaan alat-alat batu tersebut semakin
memperkuat bukti bahwa di wilayah Cekungan Soa (khususnya di Situs Kobatuwa)
pernah menjadi ajang aktivitas manusia masa lalu pada kurun waktu yang sangat tua
(Kala Pleistosen).
Melalui kailan arkeologi keruangan, tesis berjudul 'Pola Pemanfaatan Sumber
Daya Lingkungan Pada Kala Pleistosen di Situs Kobatuwa: Kajian Arkeologi Ruang
Skala Meso' ini diharapkan dapat mengungkapkan kehidupan masa lalu di Situs
Kobatuwa dan Cekungan Soa pada khususnya, terutama berkaitan dengan aspek
pemanfaatan sumber daya lingkungan di sekitar wilayah ini.

ABSTRACT
Soa Basin is a valley-shaped plain, which was formed by the eruption of an ancient volcano during the Pliocene period that created a caldera. In the next period, the Pleistocene, it turned into a big lake with lush environment, so that it tempted various
living creatures (both humans and animals) to come and inhabited the area arround the
lake. Based on the artifacts and ecofacts found at the site, life at this area has been going on since the Lower Pleistocene - Early Middle Pleistocene (Morwood et al, 1999).
The 35 x 22 km Soa Basin is located 15 km northeast of Bajawa (the capital of
Nada Regency, Central Flores). It has a unique open landscape that reminds us of the typical environment of Homo erectus. Kobatuwa, which is the focus of this research, is part of the sites within the Soa Basin area that is located at Piga Village, Soa District,
Nada Regency (Central Flores) in East Nusa Tenggara Province. Astronomically the site is situates at 08° 41° 17.4" Southern latitude and 121° 05' 16.4" Eastern hemisphere, and it is 325 m above sea level.
In terms of geomorphology, the So is a sunken area surrounded by highlands and
volcanoes, as well as small hills and steep valleys, which are cut in the middle by Ae Sisa River that flows in northeast southwest direction (Saminto et al, 1998).
Stratigraphically, the rock formations found at Soa Basin (from the old to the younger ones) are successively: Olakile, Ola Bula, Gero Limestone, and Recent Volcanic rocks (Hartono, 1961).
The Soa Basin was first introduced in the prehistoric studies in 1960s when Th.
Verhoeven carried out investigations at this arca and found some lithic artefacts at Mata
menge Site, Boa Lesa, and Lembahmenge sites. Based on the finds, which are associated with Stegodon fossils, Verhoeven assumed that the makers of those artifacts were Homo erectus that lived 750,000 years ago (Verhoeven, 1968). Results of investigations thus far further confirm Verhoevens hypothesis. In reality the Soa Basin area is a complex of
ancient sites rich in artifacts and fossils of fauna (among others Stegodon, crocodiles,
komodo lizards, land tortoises, and a species of big rats) at various sites within the Soa Basin area - which are supported by absolute dating - have enabled us to know their exact age. This confirms that Homo erectus had inhabited the So Basin 900,000 700,000 years ago (Morwood et al, 1999).
We have found 12 locations/sites that bear Palacolithic tools in association with
fossils of vertebrates bones. The discovery of lithic tools, which are associated with
fossils of Stegodon bones, at Kobatuwa Site is clearly an important and significant data in the development of researches at So Basin area. During previous investigations, the lithic tools found are mostly flakes, but eventually massive tool began to be found. This is important because massive tools, such as choppers and chopping tools, which have
long been thought bu experts to be the cultural products of Homo erectus, now exist at
the site of Kobatuwa. It proves that the Soa Basin - especially Kobatuwa Site - was once
a place where humans did their activities in the very old period (the Pleistocene.
By using the spatial archaeology study, this tesis the Pattern of Utilization of Natural Sources at the Site of Kobatuwa, Central Flores: Study of Meso-scale Spatial Archaeology' is hoped to be able to reveal the life at Kobatuwa Site and Soa Basin in particular, especially in relation to the aspect of utilization of natural sources around this area."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T39928
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library